Think of life as a terminal illness, because if you do, you will live it with joy and passion, as it ought to be lived
~ Anna Quindlen
Panas menyengat ketika aku mendarat di bandara LCCT siang itu di hari terakhir bulan Agustus 2013 hampir jam 11 siang waktu setempat. Bermodal tiket promo yang kubeli sembilan bulan sebelumnya, akhirnya aku nekat pergi ke Malaysia seorang diri. Hore! Akhirnya pasporku berstempel juga. Benar, ini perjalanan ke luar negeriku yang pertama. Pikirku, kalau aku survive dengan transportasi Jakarta, kenapa di sini enggak?
Aku menghampiri shuttle bus yang terparkir berderet-deret di luar menuju terminal KL Sentral. Setelah menunjukkan pembayaran, aku memilih satu kursi di tepi jendela. Jalan tol tampak lengang dengan deretan pohon kelapa sawit di tepinya. Uwow, ini toh negeri jiran tempat berbondong-bondong perempuan dari negeriku mengadu nasib. Hampir satu jam di bus ketika memasuki kota Kuala Lumpur, dengan terowongan dan jalan layang di sana sini, dan gedung-gedung apartemen menjulang.
Aku mengecek ke googlemaps untuk tahu posisiku sudah sampai mana. Yes, I’m the googlemaps girl! Sebelum memutuskan untuk get lost ada baiknya mengetahui di mana lokasi terakhirku. Aku mengirim pesan lewat LINE ke seseorang di tanah air. “Udah sampai KL, nih!”
Bis memasuki area bawah tanah KL Sentral. Di sini berderet berbagai bus ke beberapa tujuan di Kuala Lumpur. Sebelumnya Muhidin, salah satu teman kuliah yang sekarang bekerja di Petronas, mengatakan,”Lo nanti turun di KL Sentral, Kuala Lumpur Sentral. Itu terminal keren banget, In. Kayak bandara!”
Aku cuma berharap ucapannya benar. Di bawah tanah ini cuma terlihat balok dan kolom berwarna abu-abu suram, dengan jalur sprinkler, pipa air, dan elektrikal menggantung, sama seperti setiap area basemen di Jakarta. Ada satu loket yang menjual tiket bus menuju Genting. Kulihat jadwalnya dan mengatur waktu, karena aku kepengin juga ke Genting nanti sore.
Aku menaiki tangga menuju area utama KL Sentral. Wow, benar saja! Aku terperangah melihat suasana di sini. Titik silang ganti antar moda ini lebih bagus dari setiap tempat sejenis di Indonesia. Terasa denyut pergerakan orang-orang dari satu moda ke moda transportasi yang lain. Suara tak tek tok langkah sepatu begitu riuh di lantai licin mengkilap. Kudengar irama itu. Ini adalah riuh dan gemuruh khas di sebuah terminal. Langsung kuingat beberapa studi tentang Blok M Mall di Jakarta, sebuah junction yang memadukan terminal dengan pertokoan bawah tanah. Mungkin seharusnya Blok M Mall seperti ini, pikirku.




Di kiri kanan berderet toko-toko kecil, juga restoran-restoran siap saji dengan merek yang banyak dikenal juga di tanah air. Di tengah juga terdapat gerai-gerai makanan atau baju dengan penjaganya yang ramah menawarkan dagangannya. Berbagai kios ponsel dan asesorisnya pun ada.
Aku mengambil gambar dengan kamera dari berbagai sudut. Mungkin cuma aku yang tampak sangat turis dengan ransel dan kamera karena tidak ikut bergerak cepat seperti orang-orang ini. Di pertengahan aku melihat dua gerbang masuk. Yang satu bertuliskan Batu Caves sementara yang lainnya bertuliskan Subang Jaya. Kemudian aku ikut mengantri di loket Batu Caves untuk membeli tiket sekali jalan seharga RM 1. Setelah melewati deretan gerbang untuk tapping kartunya, aku melihat petunjuk kalau kereta ke Batu Caves akan berada di platform 3. Ada eskalator turun yang panjang menuju platform 3 dan 4 tempat menunggu kereta datang. Waktu kedatangan pun bisa diperkirakan karena terpampang di display bergerak di atas setiap platform dalam berapa menit kereta akan tiba. Pengunjung menanti dengan tenang. Suasana tak seberapa ramai. Tak terlihat orang makan, minum, atau merokok di sini, karena ada larangan untuk itu di area platform. Enam menit kemudian, kereta bergerak menuju Batu Caves, satu situs gua yang banyak dikunjungi umat Hindu.






KL Sentral adalah salah satu titik silang ganti terbesar di pusat kota Kuala Lumpur. Ada 2 platform untuk KTM Komuter, 1 platform untuk KTM Intercity, 2 platform untuk Kelana Jaya Line (monorel) dan masing-masing 1 platform untuk KLIA Ekspress dan KLIA Transit menuju bandara. Jadi, setiap penyedia jasa transport memiliki relnya sendiri. Di lantai paling bawah selain tempat bis-bis, juga tempat parkir mobil yang di sana di sebut ‘Medan Kereta’. Bangunan ini direncanakan pada tahun 1994 oleh arsitek Kisho Kurokawa, yang juga mendesain bandara KLIA.
Area ini dikonsepkan sebagai inter-mode transport hub. Selain titik penghubung, di sini juga direncanakan dikembangkan area perkantoran, pertokoan, hunian yang terintegrasi dengan lansekap hijau. Sayangnya, aku hanya berputar-putar di dalamnya dan tidak sempat melihat bangunan KL Sentral ini dari luar. Tak heran di dalam terminal ini cukup lengkap terdapat toko-toko yang bisa menahanmu di sana selama beberapa jam. Tingkat kepadatannya juga masih bisa ditolerir tak seperti ketika berada di dalam Blok M Mall Jakarta yang sering penuh manusia di jam-jam sibuk. Ruang gerak dan jalan antar orang masih nyaman dengan pengudaraan yang cukup.



Aku bolak balik ke Batu Caves naik KTM Komuter yang sangat bersih. Hanya ada beberapa orang di dalam satu gerbong yang melalui beberapa stasiun di darat itu (maksudnya, jalurnya tidak melayang). Kondisi keretanya sebagus kereta Blue Line di Jakarta, kalau yang pernah menaikinya akan ingat kereta yang hanya berjalan dari Manggarai hingga Jatinegara via Tanah Abang ini. Beberapa orang Indonesia yang kutemui juga naik kereta KTM Komuter ini. Tarifnya agak aneh, kalau KL Sentral – Batu Caves RM 1, tetapi Batu Caves – KL Sentral RM 1.5.
Sekembalinya dari Batu Caves ke KL Sentral lagi, aku ingat untuk mengejar jadwal bus ke Genting jam 15.15. Namun karena perutku lapar, aku memutuskan untuk berjalan-jalan keliling untuk mencari restoran yang bukan franchise. Yah, buat apa jauh-jauh ke Malaysia kalau makannya Burger King atau McDonalds lagi. Iseng aku naik eskalator ke dekat jalur Kelana Jaya Line, namun berbelok ke hall di atrium untuk melihat keseluruhan terminal dari atas. Ingin aku mengamati kehidupan yang berjalan di bawah. Pergerakan-pergerakan manusia dari satu kendaraan ke kendaraan lain. Ada yang terburu-buru, ada yang santai, dan ada juga yang datang ke sini untuk belanja, tidak hanya sebagai fungsi silang ganti saja.




Struktur atapnya disangga oleh pipa-pipa baja dengan sambungan rangka barang ruang membentuk sirip-sirip melengkung yang membuat bentangan lebar sehingga tidak banyak diperlukan kolom di bawahnya. Dinding-gindingnya paduan antara kaca dan alumunium composite panel berwarna silver lembut menjadikannya warna dominan di antara gemerlapnya lampu toko yang berwarna warni. Di tengah-tengah terdapat atap transparan berbentuk lingkaran dengan rangka pipa sebagai penyangganya. Warna merah pada pipa pada bukaan cahaya ini menjadi aksen sendiri di tengah pipa-pipa lain yang bercat putih. Dari area utama terminal sampai atapnya tingginya hampir 20 meter sehingga pelalu lalang di bawahnya tidak merasa sesak.



Yang paling kusuka dari KL Sentral ini adalah papan petunjuknya yang jelas sejelas-jelasnya sampai-sampai aku tidak perlu bertanya lagi. Dengan bekal informasi ke Batu Caves atau Genting naik apa, aku tidak salah memasuki platform karena semua informasi tujuan, peta jalur kereta, lokasi transit terpampang jelas dengan ukuran besar sehingga memudahkan orang (terutama yang pandai membaca peta) untuk mengenali dan mapping tujuannya. Di Jakarta yang transportasi umumnya ruwet saja aku bisa melewatinya lebih dari 10 tahun, apalagi di sini, cengirku lebar. Jika agak tidak paham, ada petugas yang bisa menjelaskan baik dalam bahasa Inggris maupun Melayu. Sebenarnya seorang pejalan harus berbaur untuk tahu mengetahui tentang titik tertentu dari kacamata lokal juga, tak hanya versi dirinya sendiri. Tapi dengan petunjuk yang amat jelas ini, jadinya aku bicara seperlunya.
Tiba-tiba aku membayangkan stasiun Manggarai di Jakarta, yang sudah pasti bikin get lost yang baru pertama kali turun di stasiun 10 jalur itu.


Di ujung atas aku menemukan foodcourt yang ditulis Medan Selera. Wah, pilihan makanannya cukup banyak di sini! Aku mampir satu kedai dan memesan mie goreng seafood seharga RM 6.5. Lumayanlah rasanya agak-agak citarasa Melayu dan Thailand cukup untuk mengganjal perut yang lelah naik turun Batu Caves tadi juga sambil beristirahat karena lupa lelah berkeliling terminal ini. Di bawahnya, adalah arah pintu masuk ke KL Sentral dari arah jalan raya.



Hah, ternyata agak santai aku baru berjalan keluar Medan Selera jam 15.05, sambil setengah berlari ke lokasi bis yang akan membawaku ke Genting Highland. Sampai di bawah o’ooww… ternyata ada antrian panjang di loketnya, padahal busnya sudah tersedia. Sambil berdoa semoga aku masih terbawa bus yang jam 15.15 ini aku berdiri sambil melihat-lihat harga tiket. Aku memutuskan beli tiket terusan sampai kereta gantungnya juga (Hah? Ada kereta gantung? Asyik dong!). Tepat ketika aku dilayani oleh petugas tiket, breemm, busnya jalan. Seruan petugas tiket pada supir bus untuk menungguku yang antri terakhir tak didengar oleh supir tepat waktu itu.

Yah, sudahlah. Aku melangkah gontai di bangku tunggu sendiri sambil menunggu bus berikutnya yang baru akan jalan jam 15.50. Waduh, mau sampai jam berapa nih di Genting? Kemalaman nggak ya nanti balik ke KL?
[perjalanan 31 Agustus 2013. edit terakhir di Cirebon, 29 Juli 2014]
langkah di hari lain di negeri jiran :
batu cave & genting : outer kuala lumpur
lintas petronas : ruang terbuka yang bersahabat
Itu terminalnya emang bagus banget! Bandara di Indonesia aja bisa jadi nggak sebagus itu. Menurutku jadi kayak mal sih, karena banyak franchise makanan dan ina inu. Waktu itu aku makan di belakang, ada medan selera juga.
Tulisanku nggak bisa menjelaskan detil desain atap yang unik karena aku nggak tahu istilahnya haha. Punya buku arsitektur yg bisa kupinjem? 😀
ada banyak banget buku arsitektur di rumah. 😉
iya, ini titik silang ganti yang merakyat dan cukup manusiawi ya, karena pengudaraannya pun bagus, gak bikin sesak napas.
tapi kalau musim mudik padat juga gak ya?
Aku ke sana awal Juni lalu hehe. Rumahnya di Jakarta kan? Oke nanti kalau aku ke Jakarta, mampir deh 😀
Bukunya di Jakarta, eh, Depok.
Kalau rumah adalah di mana pun. #ternyataiklan.
Kalau lihat betapa rapi dan teraturnya, jadi ngiri dan ngayal juga, kapan di sini bisa begitu ya
Btw, lagi di Cirebon? Mudik atau jalan-jalan lagi?
masyarakat terlalu heterogen, susah diaturnya. eh, tp di malay malah berbagai etnis, ya?
iya, di cirebon. edisi mudik nganter orang tua senang2 kenangan. 🙂
Jd inget feb 2013 ke sini. Beneran tuh stasiun directionnya jelas banget.
di beberapa junction kyk masjid jamek, bandar tasik selatan, juga jelas banget..
Welcome to Kuala Lumpur, Malaysia Truly Asia
Thank you for visiting..
Sama2 kok, kapan berkunjung lagi ke Kuala Lumpur?
mungkin pertengahan tahun depan. moga2 ada promo 🙂
[…] Bis memasuki area bawah tanah KL Lebih Lanjut […]
[…] sejenak di kuala lumpur sentral: berhenti di titik silang ganti […]
[…] sesudah petualangan di KL Sentral itu, aku naik kereta ke stasiun Batu Caves. Stasiun ini ada di ujung sehingga nggak usah takut akan […]
[…] tangga. Tapi tetap saja aku berharap semoga di sini akan banyak eskalatornya, seperti lalulalang di Kuala Lumpur Sentral sana. Ah, jadi terbayang bagaimana suasana di sini […]