The cave you fear to enter holds the treasure you seek.
― Joseph Campbell
Sungguh, aku nggak tahu mau ke mana ketika aku membeli tiket promo CGK-KUL-CGK ini. Setelah membesarkan hati bahwa di Kuala Lumpur aku akan mencari bangunan-bangunan karya Ken Yeang, arsitek favoritku, maka aku menyusun beberapa rute. Tanya sana sini pada teman kantor yang pernah kuliah di Kuala Lumpur, mereka malah jarang jalan-jalan. Kalaupun iya, lebih banyak ke mal dan naik kendaraan pribadi.
Akhirnya aku mencontek perjalanan seseorang yang menghabiskan waktu satu hari di Kuala Lumpur. Dari situ aku memutuskan satu hari pertamaku ke Batu Caves dan Genting Highland. Tempat pertama aku tertarik karena tebing batu. Yang sering membaca post-ku mungkin tahu kalau aku tergila-gila pada tebing. Apalagi ada ratusan anak tangga di situ. Wih, cocok sekali untuk latihan fisik menjajal kekuatan sebelum menuju puncak nomor dua di Indonesia beberapa bulan kemudian, begitu angkuhku.
Tempat kedua, semata-mata karena rekomendasi mama, yang berpelesir ke sana beberapa tahun yang lalu. Katanya bagus, bagus, gitu. Aku sih sebenarnya tidak tertarik pada theme park atau kasino. Tapi ketika teman sekantorku cerita kalau ada kereta gantung menuju atas kawasan Genting yang cukup lama naiknya, aku langsung tertarik. Kereta gantung? Kereta gantung? Asyik banget naik kereta gantung di gunung!
Jadi, sesudah petualangan di KL Sentral itu, aku naik kereta ke stasiun Batu Caves. Stasiun ini ada di ujung sehingga nggak usah takut akan kelewatan. Begitu keluar stasiun, tebing-tebing batu yang besar itu sudah menghampar besar.
Aku memasuki kuil yang jadi persinggahan pertama kawasan ini. Banyak orang India berpakaian sari dan doti berdoa di tempat ini. Ada yang muda, tua, semuanya menuju relung-relung dan berdoa dengan hikmat. Aku memperhatikan mereka sambil memupuk keinginan terpendamku untuk mengunjungi negeri asalnya. Mengambil jarak supaya tidak mengganggu yang ingin beribadah.



Orang-orang meninggalkan alas kakinya di ujung tangga sebelum memasuki kuil. Seperti tak khawatir kehilangan sepatu, aku mengikuti tata cara mereka, melepas sepatu jingga dan menapaki satu per satu anak tangga yang melingkari sisi kuil.
Kuil ini berwarna hijau toska, dengan latar tebing-tebing batu yang membentang di belakangnya. Tiang-tiang berdiri berukir di ujung atas dan bawahnya, memberi rasa yang kaya untuk sebuah tempat pemujaan. Lantai dari pualam terasa dingin di kaki, menyejukkan siang yang panas itu. Ada beberapa relung berisi patung-patung yang menjadi tempat berdoa orang-orang yang beribadah di sana.
Di pojok, ada seorang anak kecil yang menunggu keluarganya yang beribadah. Berbaju ungu dan berambut ikal, wajahnya yang khas india tersenyum manis. Ia tertawa malu-malu ketika kubilang, “You have beautiful smile.” Mungkin ia capek dan bosan berkeliling sana sini. Aku mengabadikan beberapa gaya kenesnya sebelum seorang perempuan cantik (mungkin ibunya) menggandeng dan tersenyum ramah.



Turun dari kuil itu aku berjalan berkeliling, baru tampak olehku mulut gua Batu Cave yang, waw! Tinggi di atas sana!
Ada pelataran yang dipenuhi burung merpati mengawali perjalanan mendaki ratusan anak tangganya. Sebuah patung Dewa Murugha besar berdiri di sampingnya, menjadi latar menarik untuk difoto. Setelah berfoto-foto sejenak, aku melompat-lompat kecil dan mulai menaiki satu per satu anak tangga ini. Air mineral sudah kusiapkan di sisi kanan ranselku. Huih! Mungkin butuh hampir setengah jam untukku mencapai mulut goa.



Setinggi lebih dari 15 m mulut goa itu, dengan beberapa stalagtit yang bergantungan, aku masuk menuruni anak tangga dengan handrail besi. Di dalam area suasananya cukup gelap, namun tampak hole di ujung yang cukup besar memberikan cahaya di dalam goa. Suasananya dipertahankan alami tanpa lampu-lampu cahaya buatan yang menyinari ornamen. Hanya cahaya matahari yang menyelisip di antara beberapa hole di puncak goa.
Dome Batu Cave ini cukup besar, hampir 2 kali lapangan bulutangkis. Tingginya mencapai 30 m sampai puncak bukit batu ini. Batuannya mungkin sejenis kapur dolmit yang mengeras beribu-ribu tahun yang lalu. Sebuah stalagtit (yang tergantung di atas) terbuat dari tetesan endapan kapur yang perlahan hingga membeku pada ujungnya. Sementara di tepian goa di bawah juga banyak stalagmit yang juga terbentuk dari proses ribuan tahun. Ada beberapa ornamen gordyn atau batu berbentuk tirai-tirai yang sempat tertangkap mata. Juga ornamen pillar yang besar berada di ujung goanya.
Aku teringat masa kuliahku yang keluar masuk goa sambil berkubang lumpur. Batu Cave ini cukup bersih, tak ada kemungkinan berlumpur. Mungkin jika hujan teramat deras, bisa tampias cukup banyak dari arah lubang masuknya yang besar itu.



Jika tempat ini dijadikan ruang meditasi atau berdoa, cocok sekali. Asal selama kegiatan berlangsung tak ada turis yang mondar mandir. Aura dingin, lembab, dengan semilir angin cocok untuk berdoa dan mengumandangkan bacaan-bacaan. Suasana gelapnya terasa agak magis apalagi ditambah dengan teriakan kelelawar. Aku diam dan memejamkan mata. Suara gaung orang berbicara dalam berbagai bahasa, suara angin terdengar lembut di telinga.
Turun dari tangga goa tidak sesulit naiknya, hanya saja harus berhati-hati supaya tidak tergelincir. Ada kakek-kakek yang dituntun oleh keluarganya, ada anak-anak muda yang turun sambil berlari, atau yang sebentar-sebentar berhenti sambil berfoto. Di bawah ada pemandangan bendera Malaysia yang disusun dengan kantong-kantong plastik berisi air berwarna. Oh, iya. Ini kan hari kemerdekaan Malaysia.

\
Ternyata sampai di bawah, aku malah malas makan. Aku cuma membeli sepotong es krim Magnum dan berlari-lari kembali ke stasiun Batu Cave untuk mengejar bis sore ke Genting. Huiih, inilah repotnya pergi terskedul, harus taat pada jadwal sendiri. Itinerari kan dibuat untuk dipatuhi juga, kan? Kalau dilihat, sebenarnya sudah terlambat setengah jam dari jadwalku sendiri.
Kereta kembali ke KL Sentral sekitar jam setengah tiga sore. Tadi ketika datang naik bis dari bandara, aku sudah tahu lokasi menunggu bis yang akan membawaku ke Genting, sehingga setiba kembali di terminal terpadu ini, aku tinggal mencari makan untuk mengisi perutku yang kini benar-benar kelaparan. Tolah-toleh kiri kanan aku hanya melihat restoran-restoran fast food yang mereknya juga ada di Indonesia, harus cari yang khas ini di mana? Aku berkeliling ke arah depan (sebenarnya mungkin itu depan, karena aku tak tahu arah) dan akhirnya melihat tulisan di eskalator, Medan Selera. Aha! Aku naik ke lantai dua dan menemukan banyak kios-kios yang menjual masakan berbagai menu. Aku memesan mie goreng seafood seharga RM 6.5. Lumayanlah, untuk ganjalan perut.
Aku berlari-lari lagi ke terminal bawah untuk mengantri tiket ke Genting Highlands, dan bisnya sudah berdiri manis di samping loket tiket. Wah, tinggal 5 menit lagi ini dan di depanku masih ada 2 orang lagi yang mengantri. Duh, salah sendiri tadi mepet-mepet, In! Benar saja, tepat ketika orang di depanku selesai beradu argumen (rupanya dia mengembalikan tiketnya), bis itu jalan. “It’s okay, you can take the next bus,” kata petugas tiket sambil menunjukkan jadwal jam 15.55 padaku.
Perjalanan ke Genting melalui tengah kota dan jalan tol yang besar dan luas. Bis yang bagus itu hanya berisi 3 orang! Rupanya walaupun cuma berisi 3 orang, ia harus jalan sesuai jadwal, tepat waktu, tepat janji. Aku memandangi hujan di luar sambil berharap hujan reda ketika sampai di Genting nanti.
Salah satu yang kusuka di negeri ini adalah petunjuk-petunjuknya yang jelas. Sehingga aku yang pemalu ini tidak perlu banyak bertanya kiri kanan ketika sampai di satu tujuan. Tinggal membaca petunjuk maka kita bisa sampai gate yang ingin dituju. Tanpa banyak bertanya aku sampai ke tempat harus naik kereta gantung. Udara mendung dan berkabut ke di luar ketika aku masuk ke kereta berkapasitas empat orang itu.
Kereta gantung naik perlahan-lahan dan perlahan-lahan pemandangannya indah terlihat. Bukit-bukit hijau di kiri kanan perlahan ditutupi kabut putih. Waahh, seperti naik ke nirwana!



Potongan-potongan kabut itu seperti gula-gula kapas yang diterbangkan ke udara. Manis dan tak henti membuatku menyunggingkan senyum. Rasanya naik kereta gantung ini cukup lama juga, sekitar empat puluh menit. Ada seorang ibu keturunan Cina yang berusia sekitar 60-an tahun duduk di sampingku, membawa tas berisi belanjaan. Bahasa Inggrisnya agak sulit ditangkap. Jadi akhirnya kami saling menukar senyum. Percayalah, senyum itu bahasa yang universal.



Hampir sampai di atas, aku melihat sebusur pelangi di langit. Buru-buru aku lari keluar dan mencari-cari tempat strategis untuk melihat pelangi itu. Aku mengedarkan pandangan sekeliling. Ada dua bangunan besar yang ‘so called bulky’.
O-M-G.
What is this place?
Ada lapangan parkir raksasa di depan dua bangunan berlantai lebih dari sepuluh dengan model klasik gigantik penuh ornamen di bagian depan dan satu bangunan bergaya modern. Belasan mobil mewah mondar-mandir di jalanan depannya, mungkin terburu-buru sebelum datang gelap. Okay, aku sempat tahu bahwa Genting adalah salah satu area judi yang sangat terkenal di Malaysia, namun aku tak pernah membayangkan this would be so bad feeling.
Aku melongok ke tebing-tebing yang dibatasi oleh dinding beton parapet di tepian dengan harapan bisa melihat sedikit pemandangan, tapi yang kulihat adalah : bangunan parkir bertingkat ke bawah hingga delapan lantai, dipenuhi oleh ribuan mobil yang liburan akhir pekan. Haih, aku cuma melongo melihat pemandangan itu. Jauh di bawah sana pemandangan sudah tertutup kabut.



Tanggung sudah sampai sini, akhirnya aku berputar-putar saja di lapangan parkir itu, melongok-longok sambil melihat hotel berwarna-warni di kejauhan. Sulit sekali mencari tempat dipotret yang menarik di tengah lapangan parkir ini, ditambah ada bangunan pembangkit yang besar ada di tengah-tengah.
Ada beberapa orang yang kukira sama tidak jelasnya denganku yang juga berjalan-jalan sekeliling area parkir ini. Terdapat satu taman dengan perkerasan berisi tempat duduk-duduk dan beberapa kios makanan yang salah satunya menjual es durian. Slrupp, sebenarnya ingin mencoba, tapi udaranya mulai terasa menggigit kulit.


Pesan teman-temanku untuk membawa jaket di Genting rupanya tidak salah, karena sore itu udara mulai berhembus dingin. Agak-agak mirip sih dengan udara di Puncak Pass, kalau tidak memakai jaket bisa membuat badan agak menggigil. Daripada terus kedinginan, aku masuk ke salah satu bangunan yang sepertinya adalah area permainan. Berbagai mainan ketangkasan ala timezone dimainkan dengan mesin di sini. Agak bosan, aku melangkah ke koridor luarnya yang keseluruhannya dilapis kaca. Tidak heran, kalau koridor dibiarkan terbuka, hawa dinginnya pasti membuat tidak betah. Dari koridor aku melihat area permainan outdoor yang agak-agak mirip Dunia Fantasi di Jakarta. Tapi udara dingin membuatku malas juga untuk mencobanya. Lagipula, pada dasarnya memang aku sudah tidak tertarik lagi dengan permainan-permainan bermesin itu.




Aku mencari jalan menuju casino yang membuat dataran tinggi ini begitu terkenal. Rupanya kali ini pembacaan petunjukku tidak terlalu benar. Berputar-putar naik turun koridor tidak membuatku menemukan jalan menuju casino. Sesudah lelah dan bosan karena sendirian, aku jadi ingin pulang saja. Satu-satunya yang menarik untuk ke Genting hanyalah kereta gantungnya. Jadi aku kembali saja ke tempat kereta gantung itu berada. Takut juga ketinggalan bis terakhir menuju KL.


Kalau tadi ketika naik diiringi kabut, turunnya aku diiringi hujan dan petir. Sumpah, ngeri banget berada di kereta gantung dalam kondisi gelap dan hujan petir sekaligus. Pokoknya jangan putus berdoa, deh. Menurut petugas kereta gantung, kalau malam minggu seperti ini, kereta beroperasi hingga jam 2 pagi. Tapi ini baru jam 7 malam, dan suasana stasiunnya sudah cukup sepi juga.
Untunglah aku masih bisa mendapatkan bis ke terminal One Utama. Sepanjang perjalanan aku tidur karena di luar gelap tidak ada pemandangan yang dilihat, dan baru bangun lagi ketika hampir sampai di terminal. Wah, satu yang salut dengan jalan-jalan tol di sini adalah, jalan tolnya terang benderang, tidak hanya mengandalkan dari penerangan lampu mobil saja. Setelah dijemput temanku Berlian Maria di terminal, kami sempat makan malam di salah satu restoran India di dekat rumahnya. Ah, sedap.
[perjalanan 31 Agustus 2013 | dipoles akhir di mr Komot, Bandung 01.08.2014 – 12:36]
melangkah lain :
sejenak di kuala lumpur sentral: berhenti di titik silang ganti
lintas petronas : ruang terbuka yang bersahabat
Cable car di Batu Cave nya belum terealisasi ya? Tahun 2010 sempat ada pengumuman berita tentang cable car tertempel di loket masuk hehehe
cable car dari bawah pelataran sampai pintu goa? itu jarak pendek banget ya, kak. belum ada investor kali, yaa..
Mungkin buat wisatawan tuir yang males naik ratusan anak tangga hehehe. Padahal bagi yang akan sembahyang justru tangga tinggi itulah perjalanan dari sebuah doa yang akan mereka sampaikan kepada dewa kan 🙂
mungkin untuk yang tua-tua dan tetap ingin ibadah, eskalator aja lebih murah rasanya daripada cable car..
[…] Tempat kedua, semata-mata karena rekomendasi mama, yang berpelesir ke sana beberapa tahun yang lalu. Katanya bagus, bagus, gitu. Aku sih sebenarnya tidak tertarik pada theme park atau kasino. Tapi ketika teman sekantorku cerita kalau ada kereta gantung menuju atas kawasan Genting yang cukup lama naiknya, aku langsung tertarik. Kereta gantung? Kereta gantung? Asyik banget naik kereta gantung di Lebih Lanjut […]
Kira kira aku bisa turun berapa kg ya naik tangga2 itu *obsesi langsing
turun berat badan kalau patah hati, kaak.. gak perlu susah2 naik turun batu cave 3x..
Wkakakakka patah hati susah, sesusah menghilangkan status jomblo
kalau batu cave ini ada perosotannya gimana?
Wah boleh tuh
jadi nyesel pas udah nyampe atas batu cave balik lagi dalemnya bagus ternyataa 😦
wah, sayangnya udah capek2 naik gak jalan2. domenya itu gede banget, lebih besar dari semua goa yg pernah kumasuki.
Waktu di Batu Caves gue nggak naik ke atas. Nggak kuat. Sambil bawa keril 60L soalnya, hihihi 😀
Waah, mestinya check in dulu baru nanjak kak. Soalnya gampang ke sininya..
Waktu itu hari terakhir pas udah mau pulang, kak. Udah check-out hotel :p
tempatnya keren-keren bro :O
maen aja, mas…
Jadi, puncak tertinggi kedua di Indonesia itu sudah dituntaskankah? How was it?
hampir tuntas.. the experience is poetic amazing. jadinya lebih ke perjalanan hati..
but it’s worth to try! 🙂
[…] batu cave & genting : outer kuala lumpur […]
[…] di hari lain di negeri jiran : batu cave & genting : outer kuala lumpur lintas petronas : ruang terbuka yang […]
[…] Pawon di kawasan Citatah, namun kondisinya sudah banyak ornamen yang rusak. Aku juga mengunjungi Batu Cave di Kuala Lumpur yang benar-benar goa wisata, hanya saja tangga untuk menaiki sampai atas […]