Kenapa tak pernah kau tambatkan perahumu di satu dermaga?
Padahal kulihat, bukan hanya satu pelabuhan tenang
yang mau menerima kehadiran kapalmu!
Kalau dulu memang pernah ada satu pelabuhan kecil,
yang kemudian harus kau lupakan,
mengapa tak kau cari pelabuhan lain,
yang akan memberikan rasa damai yang lebih?
Seandainya kau mau,
buka tirai di sanubarimu,
dan kau akan tahu,
pelabuhan mana yang ingin kau singgahi untuk selamanya,
hingga pelabuhan itu jadi rumahmu,
rumah dan pelabuhan hatimu.
[Pelabuhan, Tias Tatanka]
Gola Gong (dan aku berkeras menulis ejaannya seperti aku pertama kali mengenalnya dulu) adalah sosok yang sangat menginspirasi. Aku bisa berkata bahwa tulisan-tulisan dan bukunyalah pernah membalikkan hidupku. Aku ingat bertahun-tahun yang lalu ketika aku masih menjadi remaja yang tenggelam dalam rutinitas belajar, suka membaca buku-buku populer, tiba-tiba diperkenalkan pada sosok Roy, karakter ciptaannya yang menjelajah bumi Indonesia, bertualang ke Asia Tenggara hingga India. Sesosok remaja ganteng yang menjadi idolaku, membuatku jatuh cinta dan terpaku untuk mengikuti ke mana arah perjalanannya.
Roy dan Gola Gong mengubahku dari gadis remaja biasa yang rajin belajar, menjadi dewasa oleh perjalanan. Seseorang yang berkacamata tebal dan kutu buku menjadi berani berkenalan dengan orang baru, mencoba hal-hal di luar hal biasa dan menentukan sikap. Berani mengambil keputusan untuk jauh, berani menerima tantangan. Berani untuk naik gunung, menjelajah, belajar ke alam, berpendapat dan bersuara. Bertahan karena merasa benar. Roy membuatku kembali menulis tentang hari-hari, bercerita kisah-kisah yang aku lalui dan tidak membuatku meninggalkan buku-bukuku.
Sampai bertahun-tahun lamanya aku hanya bisa mengagumi sosok Gola Gong dari jauh, membacanya dari berita-berita, mengetahui bahwa sesudah serial Balada si Roy tamat, ia melabuhkan dirinya masih di dunia tulis menulis, dan punya satu bangunan untuk mendukung literasi yang dibangun dengan penuh cintanya pada dunia sastra. Rumah Dunia namanya, berlokasi di kampung Ciloang, Serang, Banten, tak jauh dari gerbang tol Serang Timur.
Ketika suatu hari aku tahu bahwa Gola Gong sedang mengisi acara di World Book Day tahun 2010 dan tak jauh dari kantorku, aku berinisiatif menemuinya dan berkenalan sambil meminta tanda tangan untuk 10 jilid buku Balada si Roy koleksiku ketika masa remaja dulu. Di situ aku juga berkenalan dengan mbak Tias Tatanka, istri yang dinikahi dan memberinya 4 orang anak, dan pendukung utama dalam semua kegiatan literasi Gola Gong. Mereka mengundangku untuk datang ke acara peluncuran ulang buku Balada si Roy yang sudah dibundel menjadi satu buku, yang peluncurannya dilakukan di Rumah Dunia, tempat beliau menampung dan mengadakan kegiatan-kegiatan, tempat ruhnya untuk memajukan kecintaan pada dunia tulis menulis di Serang.

Cikal bakal Rumah Dunia berasal dari perpustakaan keluarga ayah Gola Gong yang pensiunan guru SPG yang memiliki banyak koleksi buku, majalah, dan banyak bahan bacaan lainnya. Tahun 1990-an, sambil tetap menulis serial yang melambungkan namanya, ia membuka perpustakaan keluarganya untuk umum. Bulan Maret 2002, ia mendirikan Pustakaloka Rumah Dunia yang dibangun awalnya di belakang rumah tinggal yang didiaminya bersama istrinya. Mas Gong dan Mbak Tias (begitulah kemudian aku akrab memanggil mereka) sedikit demi sedikit membeli tanah di sekitarnya untuk perluasan markas literasi mereka.
Bangunan pertama yang dibangun adalah pendopo, tempat mereka berkegiatan, berkumpul, dengan satu bangunan perpustakaan di sampingnya tempat para relawan Rumah Dunia tinggal. Bersama relawan-relawan yang berasal dari sekitar Banten inilah Rumah Dunia mulai memiliki kegiatan yang lebih terarah seperti wisata baca dan dongeng, wisata gambar, wisata tulis, juga wisata lakon. Kesibukan ini mulai menarik perhatian anak-anak kecil dan remaja yang berada di sekitar Rumah Dunia. Setiap sore mereka bermain ke sini untuk membaca sambil mendapat berbagai pengetahuan tambahan. Ruang literasi ini adalah impian kawan-kawan sesama pencinta literasi, Gola Gong, Toto ST Radik, dan Rys Revolta (almarhum).


Tahun 2008 sedikit demi sedikit Gola Gong membebaskan tanah hingga sebesar 3000 m2 dengan uang honorariumnya yang dikumpulkan sedikit demi sedikit. Tahap pertama perluasan Rumah Dunia dengan membangun satu panggung beserta backstage-nya di kiri dan di kanan. Dilengkapi juga dengan fasilitas mushola, kamar mandi, dan bangunan panjang yang dilengkapi komputer untuk para relawan mengasah ketajamannya menulis. Di sini juga terdapat buku anak-anak di ruangan tersendiri. Halaman luas yang terletak di tengah-tengah menjadi tempat berkumpul.
Mei 2010
Aku pertama kali datang ke sini tahun 2010, ketika si Roy hadir kembali. Mas Gong menerbitkan ulang Balada si Roy dalam bentuk bundel 1 buku tebal. Acaranya sendiri suasananya semarak sekali. Kegiatan dipusatkan di panggung tempat mementaskan puisi-puisi yang dibacakan oleh Toto ST Radik. Beberapa sahabat juga ikut di acara ini membacakan beberapa nukilan dari buku, juga testimoni tentang Balada si Roy. Saat itu, Rumah Dunia menjadi ruang yang guyub untuk kami semua, menjadi tempat pulang bagi pencinta-pencinta si Roy. Aku bertemu dengan idola-idola masa remajaku, juga berkenalan dengan sahabat-sahabat baru dengan nafas gerak yang sama, aroma petualangan! Di sini aku berkenalan dengan banyak orang yang memacak dirinya ala Roy, seperti Daniel Mahendra dan Koelit Ketjil, dan penyair idolaku Toto ST Radik yang sajak-sajaknya banyak menghiasi cerita Balada si Roy. Lucunya, sesudah acara berlangsung kami malah akrab karena komen-komen usil dan lucu di jejaring Facebook.




Oktober 2012
Kali kedua aku ke situ lebih dari setahun berikutnya Oktober 2012. Mbak Tias pernah berpesan, ke sininya kalau ada acara, atau bikin acara sekalian. Aku paham maksudnya, supaya yang datang ke Rumah Dunia merasakan adanya kegiatan yang hidup di sini. Jadi ketika aku datang bersama Dewi Venus, eh, kakak Nungki Prameswari yang berprofesi sebagai dokter gigi, kami mengadakan acara periksa gigi gratis untuk anak-anak di sekitar kampung Ciloang. Sebelum acara dimulai mbak Tias mengajak kami untuk gonjlengan, yaitu makan beramai-ramai pada hamparan daun pisang berderet dan saling berbagi lauk dan nasi. Seru sekali! Aku, kak Nungki, Devi R. Ayu, mbak Tias dan beberapa relawan Rumah Dunia menghabiskan makanan dengan gaduh. Sayangnya mas Gong sedang berada di luar kota ketika itu.
Gonjlengan diadakan di bangunan panggung, yang terbuat dari bahan-bahan yang alami saja, berdinding bata polos tanpa finishing, juga batang-batang bambu di bagian belakang. Udara Serang yang panas membuat ruang yang dibuat tinggi tanpa langit-langit ini mengalirkan udara dengan lancar. Material yang dipakai mengisyaratkan kesederhanaan dan membuat orang tidak segan untuk mendekat. Rumah Dunia memang berkonsep lebih dekat dengan alam dan masyarakatnya.
Ketika kak Nungki berpraktek, aku dan Devi mengadakan permainan bersama anak-anak di luar. Kegiatan periksa gigi dilakukan di bagian Rumah Dunia bagian luar, satu bangunan berdinding bata beratap atap rumbia dengan teras lebar, yang sehari-hari difungsikan sebagai perpustakaan anak. Tak ada langit-langit di sini karena langsung pada kuda-kuda atap, sehingga di dalamnya tidak terasa pengap. Rak-rak buku anak berderet-deret di depan karpet, sehingga anak leluasa membaca di lantai. Khas pada bagian depannya ada foyer menjorok yang juga beratap rumbia. Ini adalah spot foto paling menarik. Menurut salah satu relawan, biasanya perpustakaan ini ramai siang sampai sore hari, ketika anak-anak sekitar sudah pulang sekolah dan menghabiskan waktu luangnya di sini.







Maret 2013
Tak cuma bagian bangunannya saja yang asyik. Di depan perpustakaan anak terdapat saung-saung untuk mengobrol. Di situlah kami berkumpul bersama untuk membicarakan rencana acara 25 tahun Balada si Roy ketika berkunjung di bulan Maret tahun 2013, tepat ketika ulang tahun Rumah Dunia. Bersama beberapa sahabat yang dikenal lewat facebook Sahabat Balada si Roy, kami bercengkrama ringan seharian. Semua lelaki yang mengaku menjadi titisan Roy ini saling berbagi cerita petualangannya. Denie Kristyono dari Blitar, Koelit Ketjil dari Serang, Aldi Perdana dan John dari Bandung, Zico Ashari Siregar dari tanah Deli, dan aku dari mana-mana asyik bercerita saling ledek dan tawa. Kisah-kisah fiksi yang menyatukan kami membangun nostalgia, apalagi kalau bukan Ani, si Dewi Venus khayalan.
Menariknya, sesudah seharian mengobrol, sorenya kami diajak oleh mas Gong untuk berkeliling-keliling kota Serang. Di sana ia bercerita tentang beberapa bagian kota yang menjadi latar cerita Balada si Roy. Kami ditunjukkan alun-alun Serang, tempat Roy bertemu Ongki lari pagi, juga Yumaga Corner markas mojoknya Roy bareng sahabat-sahabatnya kebut-kebutan motor. Mas Gong juga menunjukkan sisi bagian Serang di mana ia tinggal dulu, yang tentu mengingatkan kami pada Dullah dan Borsalino-nya, tokoh antagonis di fiksi itu. Dan satu pertanyaan terlontar dariku, “Di mana Jesse bermain basket, mas Gong?” Jesse, si tomboy favoritku di serial itu.

(fotonya denie)


Agustus 2013
Beberapa bulan ketika aku ke sana lagi bersama kak Imelda Coutrier yang sedang mudik dari Jepang, halaman depan perpustakaan anak Rumah Dunia sudah berubah menjadi teater terbuka. Ada perkerasan bangku-bangku dari batu kali berbentuk melingkar, dengan panggung batu juga untuk tempat anak-anak ini mementaskan lelakon sore harinya. Ruang bentukannya menjadi lebih rapi dan hidup. Bentuk lingkaran yang dipilih selain karena lebih dinamis juga bisa memusatkan perhatian ke satu titik, bisa ke panggung depannya, atau ke pusatnya di bagian tengah.
Karena waktu itu bulan puasa, kami mengadakan acara menggambar bersama di teras perpustakaan dan berdiskusi dengan anak-anak di teater terbuka itu. Mereka cukup kritis dan dinamis bertanya-tanya kepada kak Imelda, juga Kang Bagja yang mudik juga dari Abu Dhabi. Anak-anak inilah sumber tenaga untuk Rumah Dunia karena kegiatan-kegiatan yang mereka rutin datang sehingga ruang-ruangnya bisa berfungsi dengan baik. Selain itu, banyak berkumpul di sini juga peserta dari Kelas Menulis Rumah Dunia dari berbagai angkatan. Mereka juga menjadi darah dari terciptanya kegiatan-kegiatan literasi di sini.






Juni 2014
Karena aku (akhirnya) menulis buku mengikuti jejak mas Gong, kami mengadakan acara diskusi di Auditorium Surosowan yang sudah jadi. Bangunan yang didirikan dari dana hibah salah satu Kementrian ini hanya dipergunakan untuk acara-acara yang edukatif. “Auditorium tidak disewakan untuk acara pernikahan dan sejenisnya,” jelas mas Gong. Saat itu sudah setahun berlalu sejak aku berkunjung, dan kembali berada di sini, namun untuk mempromosikan buku antologiku yang baru, Rumah adalah di Mana Pun.
Aku ditemani editor kami, mas Adinto Fajar dari Grasindo dan dua orang pembahas yang juga pejalan, mas Chris Moris dan Pradikta Dwi Anthony. Saat itu pertama kali aku melihat isi ruangan auditorium yang bagus sekali. Di panggung berlatar gambar rak-rak buku dengan ditemani lampu-lampu yang menyorot ke panggung. Di ujung-ujung terdapat sculpture kuda kayu yang berdiri di atas tegel keramik warna gelap. Enam deret bangku-bangku empuk yang disusun bertingkat mengingatkan pada pola teatrikal. Tidak akan ada pandangan yang terhalangi di sini. Di bagian atas terdapat balkon tempat mengatur hal-hal teknis panggung. Peserta Kelas Menulis Rumah Dunia memenuhi tempat-tempat duduk yang tersedia. Sesi diskusi dan tanya jawab pun berlangsung interaktif.
Di depan auditorium terdapan perkerasan tanah yang katanya biasa dibuat untuk main bola sementara ada lapangan bulutangkis di bagian belakang. Saung-saung di bagian samping biasa dijadikan tempat main anak-anak sekitar Kampung Ciloang. Mereka akan senantiasa melihat kami dengan pandangan ingin tahu, tapi kemudian tersipu-sipu malu ketika dihampiri. Kak Olyvia dan kak Felicia, teman-teman Travel Blogger Indonesia yang juga ikut denganku juga senang melihat suasana di Rumah Dunia sejak sore hingga menjelang malam.






Oktober 2014
Kali terakhir aku ke Rumah Dunia, bersama mas Sutiknyo yang dikenal juga sebagai Tekno Bolang, seorang travel blogger yang juga sangat terinspirasi oleh cerita-cerita yang dirangkai oleh mas Gong. Aku beruntung karena baru sekarang aku berkunjung ke rumah dunia tanpa ada kegiatan keramaian di situ. Hari itu hari Selasa, hari dimana anak-anak pergi sekolah dan suasana di Rumah Dunia cukup lengang. Mbak Tias masih sibuk di dapur dan mas Gong hendak memulai rapat dengan para relawan ketika kami tiba di sana.
Mas Gong sebagai penasihat Rumah Dunia masih sangat memperhatikan perkembangan kegiatan yang diadakan. Beliau mengevaluasi kinerja relawan yang sedang mengadakan lomba menulis cerpen yang sedang dalam proses penjurian. Selama berdiskusi, mas Gong juga memberi contoh bagaimana menghadapi berbagai masalah ketika mengurusi Rumah Dunia dulu. Mbak Tias juga bolak-balik menemuinya untuk urusan-urusan administrasi.
Ketika mas Bolang yang juga hobi membuat video ini bercerita tentang kisah-kisahnya melanglang negeri sendiri karena terinspirasi oleh kisah-kisah di Balada si Roy, mas Gong menyimaknya dengan seksama. Mbak Tias bergabung dengan kami ikut mendengarkan cerita-ceritanya, menonton video Kembara tentang perjalanan naik motor menyusur NTT selama 3 bulan, kemudian berpamitan pada kami karena harus ke bank untuk urusan Rumah Dunia juga. Mas Gong kembali bertukar cerita juga tentang perjalanannya dan juga berbagi ilmu menulis, juga memberinya saran-saran tentang menulis cerita perjalanan.
Mas Gong memperlihatkan Gong’s Library yang berisi kenangan dan buah tangannya berjalan ke berbagai tempat. Tulisan-tulisannya yang sudah dimuat di berbagai media massa diarsipkan, koleksi buku-buku Karl May yang menginspirasi beliau, cetakan lama Balada si Roy, majalah Hai yang memuat serialnya, foto-foto di berbagai tempat, ransel, sepeda, poster 25 tahun Balada si Roy. “Blue Ranselnya sudah saya lelang waktu Tsunami Aceh,” kata Mas Gong.
Bangunan memorabilia ini separuh berdinding tembok separuh lagi bambu yang mengingatkan pada bahan bangunan kekayaan negeri. Isi di dalamnya, jejak perjalanan, kenangan yang begitu berharga, yang menjadi awal modal cita-cita untuk membangun, membebaskan dari buta literasi di daerahnya yang hanya dua jam jauhnya dari ibukota. Pengingat masa mudanya berada di banyak tempat, belajar untuk memahami orang lain dan diri sendiri. Pengalaman yang kemudian menjadi cerita, yang menjadi modal berdirinya Rumah Dunia.







Aku selalu menemui senyum ramah relawan yang menyambutku, “Halo, mbak Indri!” walau pun aku tak selalu ingat nama mereka. Bersama mbak Tias, keempat anaknya dan relawan-relawan yang membantunya, Rumah Dunia ini tumbuh perlahan-lahan. Berbagai usaha internal dikerjakan untuk tetap berjalannya kegiatan-kegiatan di sini menjalankan fungsinya dengan maksimal. Tanpa rasa cinta yang sedemikian besar, tanpa mimpi yang sedemikian tinggi, Rumah Dunia hanya menjadi angan-angan. “Rumahku Rumah Dunia, Kubangun dengan Kata-kata.”
Balada si Roy tidak pernah selesai. Kehidupan Gola Gong memberikan contoh masih banyak hal yang dilakukan sesudah perjalanan. Bukan hanya menuliskan dan menerbitkan, namun bagaimana melanjutkan memberi makna dan membangun cita-cita yang tertanam, mewujudkan tidak dengan langkah mudah. Semua berawal dari kata-kata, huruf demi huruf, ketikan dari lima jarinya.
Joe. Avonturir. Rendez-vous. Bad Days. Blue Ransel. Solidarnosc. Telegram. Kapal. Traveler. Epilog.
Lewat perjalanan, aku berusaha untuk menaklukan diri saya sendiri. Karena dalam dirilah berjuta ambisi dan impian terdapat, dan keputusan dirilah yang menentukan, akan terus dikejar, atau dilepaskan karena ada kepentingan yang lain. Bagaimana menerima keputusan-keputusan yang pernah diambil tanpa merasa menyesal. Semua perjalanan adalah pembuktian diri. Ujian bagi diri apakah akan sanggup melaluinya atau terdampar di tengah jalan. Seperti yang dilalui Roy. Suatu saat akan sampai pada puncaknya namun juga harus pulang. Kembali dan memulai tantangan lainnya lagi.
Gola Gong dan Tias Tatanka berlabuh, dan masih terus berjalan hingga kini, untuk Rumah Dunia.
masih tentang perjalanan! sebab sebelum
sampai pada langkah yang penghabisan ia
terus melagu pada batinku dan aku tak bisa
mengelakkannyamaka biarlah aku kembali berlari meski beribu
keentahan di depanku
: jalan ini memang tak pernah selesai, tak
selesai-selesai!Toto ST. Radik (BSR8: Kapal, eps. Tolong)
Pulomas-Manggarai-Depok, 02 Juni 2015. 16:33. Jesse.
ah,…. ulasan yang lengkap sekali! So, rencananya kapan ke sana lagi? hehehe
ayok ke sana lagi. asyiknya ke sana memang pas rame-rame laah…
Kakak mau ngajak aku ke sini kan? Kapaaaaan? 😦
ya, kalau kamu ke sini. hayuk!! tapi cek skedul yang punya rumah juga, ya 😀
Gol a Gong salah satu inspirasiku yang membuat aku ingin terus menulis. Pernah bertemu dengan beliau di Perpusda DIY, saat teman-teman dari Ilmu Perpustakaan mengundang beliau sebagai narasumber
ya, betul. sampai saat ini pun ia tetap menulis dan mengembangkan penulisan. bukan cuma sekadar musim lewat saja..
Semoga kita bisa tetap berkarya seperti beliau mbak 😀
Keren. Tulisan dan foto-fotonya lengkap, dari RD yang dulu hingga sekarang.
Terima kasih, mas. Sudah beberapa kali dan belum bosan. Anggaplah ini nostalgia… 🙂
ya, saya pernah ketemu. waktu bedah/launcing buku “Rumah adalah dimana pun”
eh, pernah ketemu aku. deuh.. makasih yaa..
Aku belum pernah main ke rumah dunia mbak~ tapi kalau bukunya mas gol a gong punya 😀 terutama yang tewe, aku banyak belajar dari situ 😀
aku punya tewe bertandatangan tapi lupa dipinjam siapa. sudah beli lagi tapi lupa terus minta ttd lagi. nanti digambar2i oleh mas gong, hahaha…
Lama ga main ke blogmu. Jauh lebih rapi tampilannya sekarang.
ah, kamu. padahal aku banyak menulis, kan? hehe.
Loh, Rumah adalah dimana pun itu pengarangnya mbak to? Baru ngeh. Beberapa bulan yang lalu sempet baca ada judul buku gituan di Gramed Amaris Semarang. Tapi belum kesampaian beli. Besok lah coba cari hehehe. Siapa tau kan ceritanya kayak si Roy sama anjingnya yang melegenda itu hehehe 🙂
aku cuma salah satu penulisnya, kok. itu antologi bareng 19 penulis perempuan semua yang suka jalan-jalan. hayoo, beli. seperti yang ada di sidebar ini lho.. 😊
Belum sempet buka-buka waktu itu, cuman lihat covernya yang… ah lupa, pokoknya ada mataharinya deh hehe. Karena dapet recomend buat beli dari salah satu penulisnya, jadi… ya beli lah ya harusnya hehehe
aha, penulisnya cantik-cantik, sih.. #eh
Agaknya, seluruh pujian belum akan cukup untuk saya layangkan pada kalian, orang-orang hebat yang dengan niat dan usaha tulusnya bisa menggerakkan semua yang ada di sekitar menuju sebuah kebaikan di hari esok. Sungguh, kalian dan semua karya kalian sangat menginspirasi, dan saya angkat topi untuk itu :)).
Teruslah menginspirasi, dan jangan berhenti berjalan, Mbak :hehe. Keren banget dah ini, sampai saya sempat kehilangan kata-kata. Salut dengan kalian semua!
p.s. Kayaknya saya mesti mengulang lagi membaca Balada Si Roy yang dulu sempat terhenti :hihi. Penasaran!
baca lagi, kak! baca.
belum tuntas kau kalau belum tiba di epilog.
saat perjalanan sebenarnya adalah pembuktian terhadap diri, tapi apakah benar begitu?
Siap, Kak! Ah, saya mesti membaca itu secara lengkap sebelum menjawab pertanyaan itu secara lengkap pula! Terima kasih!
Mau diajak ke sini donk kaaak
ayo dong, pas bulan puasa rame loohh…
Ahayy…ada foto saya waktu masih abg. Habis baca tulisan ini jadi bnyk kerinduan, kapan ya bisa balik lagi k Rumah Dunia….
it’s been 5 years yaaa.
masa sampai ada bundel lagi kamu baru datang ke sana??
Gola gong baru traveler expert kak, bukan pemula kayak kamu! *kaboorrr*
Aku memang pemula, kaakk.. Iyalah, zaman Gola Gong dulu dia nggak asyik selfie2an, moto makanan, boro2 ada iPad. 🙋🏻
Eh, Mbak In, baca dari atas sampe bawah, ternyata gak ada namaku disebut2 hahaha. Padahal kita ketemu di Senayan klo gak salah pas ketemu sama mas Gong ya? Sama mas Daniel Mahendra juga. Karena gak terlalu ngefans, dulu kukira mas Gong itu namanya Daniel Mahendra.
Btw, fyi, pas Mbak In sama kak Bolang ke Serang itu sebenernya aku pas dinas di daerah Anyer, Serang juga, cuma mau mampir udah sorean, jadi gak jadi ke sono. Masih maju mundur sampai sekarang, mau beli buku Balada Si Roy gak jadi2, seberapa menarikkah buku itu sehingga aku punya alasan kuat untuk mengoleksinya? 🙂
Aku ingat kamu sebagai seseorang yang jongkok di pojokan lalu memanggilku, “mbak Indri?”
Jelas saja namamu tak muncul karena tulisanku tentang orang-orang yang kutemui di Rumah Dunia. 😜
Ah, nggak apa2 belum ketemu di Serang, Adie. Mungkin bisa bertemu lagi di lain waktu.
Rumah Dunia, Mbak Tias, Mas Gong… selalu membuat aku punya alasan untuk kembali. Rasanya senang ya, bisa menjadi saksi bahkan mungkin bagian dari perubahan RD dari tahun ke tahun. Tanggal 11 ke RD yuk, mbak Tias launching buku
eh, eh, eh. jadi pengen ke RD lagi. moderator bedahnya mbak Truly pula, temenku juga.
Jujur aku pernah dengar sesosok nama ‘Gola Gong’ saat dibangku sekolah. Tanpa membaca bukunya, dipikirku tulisan tersebut berat dengan bahasa sastranya yang membuatku enggan membaca. Hmm apakah demikian ?
tentu tidak. novel Gola Gong sarat dengan petualangan yang hidup!