“May your adventures bring you closer together, even as they take you far away from home.”
— Trenton Lee Stewart
Ketika pertama kali menyebutkan nama Langkawi pada Mas Jo sebagai tujuan bulan madu kami, surprisingly ternyata dia tahu tempat itu (yippie, aku nggak salah pilih orang yang tahu lokasi-lokasi unik). Kalau aku tahu Langkawi dari salah satu gadis bule yang pernah makan malam denganku di Penang, Mas Jo malah tahunya dari baca novel karya salah satu penulis Indonesia. Sebenarnya alasan kami simple sih, mencari tempat yang belum pernah aku dan Mas Jo datangi, dan tiketnya murah. Dan tentu saja karena kami ini sering ke Bali di waktu-waktu sebelumnya, jadi pulau dewata ini tidak masuk dalam daftar lokasi, apalagi harga tiketnya yang selalu tinggi, entah kenapa.
Kami berangkat dengan maskapai Scoot (dan ini pun dipilih karena kepingin mencoba juga) yang transit di Changi Singapore, dan berlanjut dengan penerbangan ke Pulau Langkawi. Nah, sebenarnya berada di manakah Langkawi itu? Ini pertanyaan banyak orang ketika aku menyebut nama tempat ini.
Langkawi berada pada sebelah selatan Semenanjung Malaka, di bagian utara yang hampir mencapai Thailand. Menurut info, terdapat nama pulau Lung-Ya-Kiou-Yi pada piagam laksamana Cheng Ho di abad ke-15 dalam lawatannya ke Melaka. Pulau ini bisa dicapai lewat laut dari Penang (Pulau Pinang) ataupun dari Perlis di Daratan Semenanjung Malaka. Namun, airport yang cukup besar membuat banyak juga yang tiba ke Langkawi dengan pesawat.
Termasuk dalam Negara Malaysia pada negara bagian Kedah, kebanyakan orang-orang di sini adalah Melayu asli, namun berpadu dengan wajah India dan China. Tak heran, orang-orang Langkawi ini ganteng-ganteng dan cantik, bahkan resepsionis hotel atau supir grab pun alhamdulillah nyaman dipandang mata.
Untungnya zaman sekarang ini komunikasi mudah, sehingga airport shuttle pun mudah dipesan lewat traveloka, sehingga kami tak sulit lagi mencari mobil ke hotel yang berada di posisi selatan pulau. Wifi bandara pun memudahkan untuk berkomunikasi dengan supir yang menjemput. Perjalanan selama 30 menit dilewatkan jalanan panjang dan lebar, tanpa pemandangan yang menarik. Ternyata memang tidak ada peninggalan kultural di sini, apalagi arsitektur heritage, jadi bangunan-bangunan di sini memang umum-umum saja.
A Rock Resort Hotel
Karena menurut supir mobil hotel tempat kita menginap itu berada di atas bukit dan tidak ada apa-apanya, maka kami mampir minimarket untuk membeli jajanan, siap-siap kalau kelaparan malam-malam di sana. Untunglah kami diberitahu tentang ini, soalnya ketika sampai memang beneran di atas bukit batu yang jauh dari jalan raya.
Hotel tempat kami tinggal bernama A Rock Resort Langkawi, dipilih karena keunikannya karena bentuknya yang berputar 360 derajat. Selain itu terdapat kolam renang di tengah-tengah sehingga pemandangan bukaan pun terasa lega. Dengan struktur baja dan beton (ya Allah, anak arsitek harus banget ngebahas bangunan), dan dinding-dinding semacam conwood, jendela-jendela yang besar membuat ruangan di dalamnya terasa lega. Kami pun beristirahat hingga tiba saatnya makan malam dan memesan di restoran di depan kolam renang yang menunya western.
Namanya juga sedang honeymoon, jadi nggak bikin itinerary ke sana kemari sehingga santai saja mau ngapain selama di Langkawi, tanpa targetan jalan-jalan ke mana. DIsodori paket-paket oleh resepsionis hotel untuk snorkelling, malah lihat fotonya mirip pulau Seribu. Eaah, mendingan di Indonesia lah.
Salah satu yang menarik perhatian sebenarnya adalah tebing-tebing karst di Langkawi yang mengingatkanku pada kawasan Maros di Makassar. Ada juga paket berperahu untuk menyusuri tebing ini, tapi karena cuaca sedang sering hujan maka aku mengurungkan niat itu. Gak asyik juga kehujanan di tengah laut begitu.
Dataran Lang
Nah, asyiknya di Langkawi ini transportasi umum dengan Grab mudah sekali digunakan. Jadinya nggak perlu selalu sewa mobil sepanjang hari, apalagi kalau kepingin keluarnya hanya sore hari saja. Dari A Rock Resort kami ke Dataran Lang. Tempat ini mungkin sebenarnya dimaksudkan sebagai lokasi melihat matahari terbenam. Gate masuk yang menarik dengan fasade lengkung bertemakan kerang menyambut kami. Sayangnya walaupun arsitekturnya bagus, namun tidak banyak berfungsi, hanya tukang souvenir saja yang berjualan pada hall yang besar ini. Mungkin tempat ini hanya ramai jika ada festival saja.
Melewati bangunan pertama ada plaza yang besar sekali dengan penutup lantai keramik yang berwarna-warni mozaik dengan arah memusat. Sepertinya ini adalah titik keramaian apabila ada event yang digelar di sini. Arahnya memusat menuju patung elang besar dengan elevasi yang lebih tinggi.
Patung Elang ini yang menjadi simbol Pulau Langkawi, adalah titik teramai di mana banyak sekali yang menghabiskan waktu untuk berfoto-foto di sini. Selain di bawahnya, tentu harus agak berjarak supaya berhasil mengabadikan. Cukup banyak juga yang menghabiskan sore di sana, sembari menunggu matahari terbenam. Dari tepinya bisa dilihat pelabuhan Kuah Jetty, yang melabuhkan kapal-kapal dari Penang atau Perlis.
Tak jauh dari situ terdapat mal yang banyak terdapat coklat maupun minuman yang bebas cukai. Tapi sayangnya, bangunannya sepi sekali sehingga agak takut juga jalan-jalan di sana. Padahal malnya saja juga penuh dengan barang-barang bermerk dengan harga miring. Mungkin saja daerah selatan ini yang jauh dari keramaian Langkawi hanya ramai pada waktu-waktu tertentu saja.
Kepingin merasakan menu melayu, kami memutuskan makan di restoran PappaJack. Aku memesan nasi lemak dan mas Jo tetap saja makan nasi goreng favoritnya. Tentu saja alas an makan di situ supaya bisa nebeng wifi dan memesan Grab untuk kembali ke hotel.
Langkawi Wildlife Park
Hari berikutnya kami merencanakan keliling pulau dengan serius, maksudnya melihat-lihat obyek wisata yang ada di Langkawi, hasil googling yang menarik. Lumayan kan menyewa mobil hanya satu hari saja dengan supir. Sebenarnya, pihak hotel mau menyewakan mobil lepas kunci, tapi mas Jo khawatir ditangkap polisi karena tidak punya SIM Internasional apabila tetiba ada cegatan (masa iya, di Malaysia juga ada cegatan cem di Indonesia sana?). Lagian mungkin kalau disetirin maka kami bisa yayang-yayangan di mobil kan yaa.
Berdasarkan arahan dari mbak-mbak resepsionis, kami menuju Langkawi Wildlife Park. Sebelum masuk kami membeli tiket dan makanan binatang dalam kantong kecil. Aneka unggas yang cantik-cantik yang berkeliaran sembari bisa diberi makan. Agak takut-takut juga ngasih makan di tangan nanti dipatuk-patuk gitu. Tapi kalau makanan yang dilempar-lempar, tentu lebih mudah.
Sebenernya tempat ini lebih mirip taman safari mini, hanya saja lebih banyak unggasnya karena awalnya memang taman burung. Selain itu juga ada kelinci, rubah, bahkan raccoon yang bisa digendong-gendong tapi berat karena agak gendut. Sayangnya, binatang-binatang di sini beralaskan plesteran semen yang keras, bukan tanah seperti habitat aslinya. Sehingga kaki-kaki mereka tidak lincah lagi menapak di tanah.
Nah, di sini juga harus siap-siap untuk ketemu anak-anak usia sekolah dalam jumlah yang banyak. Lebih baik biarkan mereka 10 menit di depan supaya tidak rebutan ketemu binatangnya dan jadi stress karena kebanyakan orang.
Pantai Tengkorak
Dari Langkawi Wildlife sebenarnya diajak juga ke kebun buah Mardi Agro untuk berkeliling kebun dan makan dari pohon, tetapi… secara kami orang Indonesia yang sering ke kebon dan hmm.. we have something like that at Indonesia, kataku pada supirnya. Kalau sering naik turun di Ubud sajalah, pasti ketemu keun buah kan, ya?
Jadi kami main ke pantai yang namanya agak serem ini. Quite nice, pasirnya putih dan pantainya sepi banget. Cuma ada beberapa keluarga yang bersantai di air dan di darat termasuk beberapa pasang bule yang berjemur. Sambil meletakkan bawaan begitu saja di pasir (mengingatkan pada pantai-pantai di Sulawesi yang nyantei banget) kami masuk dan mulai berenang di pantai. Karena berada di teluk, ombaknya tidak besar hanya permainan naik turun saja yang asyik pada air setinggi dada ini.
Namun nggak lama-lama kami bisa main di laut karena terlihat langit menggelap dan suara menderu di kejauhan, pertanda badai akan datang. Benar saja, baru setengah jam di air sudah turun bulir-bulir ke air yang mengisyaratkan kami untuk ke pinggir. Berenang tapi takut kebasahan hujan. Aku dan mas Jo berteduh di gazebo bersama dua keluarga lain hingga hujan mereda, kemudian memutuskan kembali ke mobil lari-lari. Iya, supirnya tidak menjemput kami pakai payung, lhaa.
Langkawi Cable Car
Sebagai penggemar kereta gantung, maka pastilah kepingin untuk naik cable car di sini. Setelah makan siang di Subway pada taman-taman di bawah, kami berjalan ke area tiket untuk siap-siap naik cable car ke puncak gunung Machinchang dan menikmati Pulau Langkawi dari ketinggian 708 mdpl. Kata supir kami tadi, harus buru-buru supaya tidak antre. Eh, tapi ternyata sampai di sana sepi juga namun terlihat di layar monitor bahwa pemandangan di puncak, BADAI BESAR.
Hah, rupanya hujan yang tadi di pantai sekarang berpindah ke area cable car. Nggak tahu juga nih badainya selesai kapan. Mau memaksakan naik ke atas juga rasanya pasti hujan dan nggak asyik. Iyaa, apa asyiknya hujan geluduk dan dirimu bakal terjebak di dalam cable car. Daripada memaksakan beli tiket seharga RM 82.5 per orang itu (termasuk sky dome dan lainnya namun belum termasuk Skyglide RM 16 untuk sampai di puncak Skybridge), mendingan kami jalan-jalan seputar sini saja. Pupuslah harapan berfoto di ujung skybridge demi konten instagram.
Walaupun bangunannya penuh dengan fasade artifisial, tetapi lumayanlah untuk latar belakang foto dan duduk-duduk santai. Sepertinya semua orang datang ke sini untuk ke cable car, bukan jalan-jalan di tamannya sini. Jadi tak lama kemudian kami balik lagi ke mobil dan menuju Pantai Chenang.
Mercu Suar
Eh, rupanya untuk mengobati kecewa tak naik ke atas, aku melihat mercu suar di tepi jalan ketika mulai menyusur pantai. “Heii, that nice! Can we go there?” pintaku langsung pada pak supir. Ia pun mengiyakan permintaaanku dan memutar melewati kawasan pertokoan dan perkantoran hingga sampai ujung lokasi yang ternyata terdapat mercu suar dan sapi yang sedang merumput.
Rupanya kawasan ini menjadi tempat sandar kapal dan yacht milik orang-orang yang punya villa dan rumah pantai di ujung sana. Tak tahu apakah mercu suarnya ini benar berfungsi atau hanya sebagai bangunan artifisial lokasi saja, kami beberapa saat berada di sana sebelum awan menggelap lagi. Masuklah kami ke mobil untuk melanjutkan perjalanan.
Benar saja hujan turun dengan lebatnya dalam perjalanan kami di tepi laut menuju Pantai Chenang. Sempat berputar untuk mencari ATM (pokoknya punya rekening CIMB untuk keliling Asia Tenggara itu cukup enak, karena nggak ada withdrawal fee – bukan iklan ini), akhirnya nemu di pompa bensin, yang bisa sambil sekalian mencari kudapan.
Pantai Chenang
Karena masih gerimis tipis-tipis, kami memutuskan untuk masuk mall saja di Chenang, sambil mencari oleh-oleh coklat di pulau bebas cukai ini. Yesss, harga coklatnya beneran murah-murah, sampai bingung kepingin dibeli semua macam-macamnya. Sempat lama juga di toko coklat ini karena hujan nggak kunjung reda. Impian untuk duduk-duduk santai di tepi pantai sambil melihat sunset pun buyar.
Sebenarnya kalau dibandingkan dengan Pantai Kuta di Bali, Chenang ini kalah. Akses ke pantainya hanya berada pada titik-titik tertentu saja, karena tertutup oleh toko-toko atau hotel yang menjorok ke pantai. Tadinya memang kami mau menginap di kawasan sini, namun hotelnya nggak ada yang cocok sih.
Lewat magrib barulah kami bisa turun ke pantai yang sudah agak gelap dan sepi, lagipula habis gerimis begini. Jadinya untuk menghangatkan badan aku mengusulkan untuk makan tom yam dan ikan bakar di salah satu restoran Thailand di situ. Hmm, tentunya sambil bisa nebeng wifi karena supir harian tadi tidak menunggu dan sudah selesai 8 jam kerjanya. Masih banyak orang berlalu lalang di trotoar pantainya hingga kami meninggalkan pantai dalam gelap menuju ke arah selatan. Yah, walaupun hari ini diseling dengan hujan deras, namun jalan-jalannya sendiri asyik.
Fly away
Kami meninggalkan Langkawi keesokan harinya, dengan naik grab car dengan tarif RM 25 lagi hingga bandara. Sempat was-was juga karena bawaan over berkat cokelat yang terlalu banyak, mana nggak beli bagasi pula, tapi ternyata lolos di bandara untuk penerbangan menuju Kuala Lumpur.
Yes, kalau kamu ingin menyepi dan nggak kepingin ngapa-ngapain selain santai-santai dan tanpa ekspektasi hiburan macam-macam, Langkawi bisa jadi pilihan.
Perjalanan Agustus 2019
Diselesaikan di Ciledug, Mei 2020.
Kalau punya temen seperjalanan yang tahu banget tempat-tempat unik, rasanya pasti bahagia banget, ya. Beneran kayak gak salah pilih temen buat diajak ngebolang 😀
iya, sama-sama tahu banyak tempat, ngobrolnya nyambung..
wish list langkawi, pengen mejeng sama patung burung yang terkenal itu hehehe
ternyata wisata disana nggak beda jauh sama di indo ya, kayak kebun agro tadi, namanya mirip kayak yang di banyuwangi
iya, biasa aja sih.. cuma tiketnya murah, mayan ngecap paspor, huhehee.. terutama lagi duty free-nya.
Aku kayaknya akan menyarankan Sabah atau Sarawak buat mbak Indri dan mas Jo. Udah pernah ke sana? Wisata kota (termasuk heritage) dan alam, semuanya ada.
Iya mbak, bahkan di KL pun ada cegatan! Waktu itu aku liat di Chow Kit. Abang-abang India langsung banyak yang puter balik motornya melawan arus 😀
Belummm, kalau aku kepingin nyoba longtrip dari Pontianak. Mungkin lain kali.. thanks infonyaa..
Lengkap juga ya tempat wisata di Langkawi. Aku waktu ke sana cuma semalam jadinya kurang bisa explore tempatnya. Moga aja bisa ke sana lagi selesai pandemi.