Tang ki pomabanda penawa
Ya mo passanan tengko ki
Umpasundun rongko’ki
[lagu Toraja: Marendeng Marampa]
Aku terkantuk di dalam bis besar dengan trayek Makasar-Toraja ini yang meninggalkan poolnya pada jam 10 malam. Menurut info yang didapat, perjalanan di Sulawesi Selatan ini akan ditempuh dalam waktu 8 jam. Berada dalam bis dengan ukuran kursi lebar memeluk badan, ditambah bantal dan selimut yang menemani perjalanan, membuatku lekas berpindah ke alam mimpi hingga terbangun ketika pagi menjelang di sekitar kota Makale yang berhawa sejuk. Satu jam kemudian aku, Winny, dan Lukman tiba di kota Rantepao untuk menuju rumah salah satu teman yang asli orang Toraja, kak Olive di depan alun-alun.
Setelah menyegarkan tubuh, kak Olive menyarankan kami untuk berkeliling Rantepao, mulai dari mengunjungi makam di Londa, rumah adat di Kete’ Kesu’, dan makam batu di Lemo. Memang Toraja adalah salah satu destinasi impianku sejak dulu, sejak masa kuliah aku mengikuti seminar yang bercerita tentang rumah tongkonan yang menjadi ciri khas dari masyarakat adatnya. Di banyak tempat di Toraja, rumah adat ini masih banyak berdiri di satu lingkungan pemukiman yang terdiri dari beberapa rumah tongkonan.
Londa, misteri makam batu
Dengan naik kendaraan umum dan dilanjutkan dengan berjalan kaki, kami menuju Londa, pemakaman salah satu keluarga di Toraja yang berada di dalam goa tebing batu setinggi 100-an meter. Peti-peti yang disebut erong diletakkan di dalam goa dalam ceruk-ceruk tersembunyi, atau di’tanam’ di dalam dinding tebing yang sudah dilubangi persegi terlebih dahulu. Suasana di dalam goa yang remang dan dipenuhi tengkorak di mana-mana agak membuatku gentar. Namun suasana pengunjung dan peziarah yang ramai cukup menentramkan hatiku.
Di bagian luar tebing batu ini dibuat boneka-boneka kayu yang disebut Tau-tau yang menggambarkan kekerabatan orang yang sudah meninggal di dalam goa. Boneka ini disusun berjejer dan diberi rumah seperti layaknya rumah keluarga manusia. Sorot mata boneka yang kosong agak membuat bergidik untuk tidak menatap lama-lama. Saat kami di situ, sedang ada persiapan untuk acara pemakaman di siang harinya sehingga terlihat beberapa orang sedang mengkatrol peti mati menuju lubang yang sudah disediakan, jauh di atas sana.
Menurut cerita kak Olive tadi pagi, biasanya jenazah disemayamkan bisa hingga 2 tahun di rumah, sebelum diadakan upacara adat Rambu Solo’ yang memakan biaya besar, karena harus memotong kerbau besar untuk dinikmati bersama keluarga. Harga kerbau yang mencapai ratusan juta inilah yang membuat keluarga harus menyisihkan cukup banyak tabungan dulu sebelum memakamkan keluarganya di tebing batu.
Kete’ Kesu’, pemukiman dan tebing batu
Melanjutkan perjalanan ke Kete’ Kesu’, kami tiba di salah satu desa adat terkenal yang sering sekali dikunjungi turis. Jika naik kendaraan umum Rantepao-Makale, turun di pertigaan menuju Kete’ Kesu’, disambung dengan angkot berwarna merah yang akan membawa kami semua ke pemukiman khas Toraja ini. Ramai mobil di area parkir menandakan kawasan budaya ini cukup banyak dikunjungi orang. Sawah luas dan kerbau-kerbau yang asyik memamah biak menjadi pemandangan pertama yang ditangkap mata.
Di desa Kete’ Kesu’ terdapat 6 tongkonan besar yang menghadap ke utara selatan, dengan kondisi sebagian besar kosong, sementara yang dihuni hanyalah dua tongkonan yang di bagian ujung saja. Dua tongkonan paling dekat jalan tidak ada penghuninya, namun masih berdiri tegak, semantara dua yang tengah dalam proses renovasi penggantian beberapa bagian kayunya. Menurut cerita, kata “tongkonan” berasal dari bahasa Toraja “Ma’ Tongkon” yang berarti duduk, karena rumah-rumah ini ditempati untuk duduk berkumpul bersama tetua dan anggota masyarakatnya.
Rumah-rumah ini berdiri di di atas umpak batu, dibagi menjadi tiga, yaitu bagian kolong (suluk banua), bagian ruangan rumah (kale banua), dan atap (ratiang banua), dan sudah berumur ratusan tahun. Bagian kolong lebih sering digunakan sebagai area servis atau sebagai kandang, bagian tengah sebagai hunian, dan bagian atap sebagai pelindung. Di desa Kete Kesu, atapnya masih asli menggunakan bambu yang disusun sedemikian hingga membentuk himpitan yang menahan atap dari kebocoran. Pada balok-balok kayu yang menahan pelat lantai kayu hunian, diukir dengan motif khas Toraja, dengan dominasi warna merah, hitam dan kuning.
Di tiang paling depan terpasang belasan tanduk kerbau, pertanda sudah berapa banyak mereka melakukan acara-acara adat dan memotong hewan tersebut. Karena harga kerbau yang cukup mahal, maka jumlah tanduk menjadi semacam pertanda kekayaan dari keluarga dalam tongkonan tersebut. Selain itu, di samping juga kerap digantung tengkorak rahang kerbau juga.
Di depan deretan tongkonan banua berjejer tongkonan alang yang digunakan sebagai lumbung. Tongkonan ini berukuran lebih kecil dan jumlahnya lebih banyak. Di bagian bawahnya dipergunakan sebagai bale-bale tempat beristirahat atau bercengkrama dan mengobrol, sementara di atasnya menjadi tempat menyimpan bahan makanan. Di Kete’ Kesu, tiang dan balok pada tongkonan alang pun diukir sehingga terlihat cantik. Melihat warnanya yang masih segar, kemungkinan tongkonan alang ini pun baru saja selesai direnovasi.
Selain tongkonan, di bagian belakang Kete’ Kesu’ juga bisa ditemui tebing-tebing batu dengan kuburan-kuburan yang tertanam di dalamnya merupakan makam dari kerabat Kete’ Kesu sendiri. Jalan selebar 1.5 meter ini harus disusuri sambil menilik peti-peti, tengkorak, dan berbagai perangkat kematian. Beberapa goa tertutup dengan jeruji besi untuk mengamankan ‘harta’ dalam makam dari tangan-tangan jahil. Peti-peti tergantung di tebing-tebing ditemani boneka Tau-tau di dalam goa yang membuat aura magis di situ mengawasi. Keheningan yang tercipta seketika memaksa kami untuk berbicara dengan perlahan.
Berjalan kaki ke Lemo
Kami bertiga kembali ke jalan raya untuk naik angkutan umum menuju Lemo, tebing batu yang juga sebagai tempat pemakaman. Karena tidak ada tukang ojek dari jalan raya hingga ke dalam desa, kami berjalan kaki hingga sekitar 2 km, sampai menemukan desa Lemo. Sebenarnya agak gamang juga berjalan di sore hari yang mendung itu, karena tak seorang pun kami temui di jalan yang melintasi tengah hutan-hutan bambu tersebut. Tapi karena sudah bertekad sampai di sana, maka perjalanan kami lanjutkan walaupun kaki lelah.
Ternyata satu kejutan menemui kami karena di Lemo ditemukan tiga tongkonan yang masih berdiri, hanya saja bentuknya lebih sederhana daripada di Kete’ Kesu’. Kayu-kayu yang menopangnya telanjang tanpa ukiran, namun struktur bangunannya persis sama dengan filosofi tongkonan. Atapnya menghijau karena bilah-bilah bambu ini ditumbuhi oleh pakis-pakis yang merimbun liar. Di sekitar kawasan pemukiman ini ditumbuhi rerumputan dan pepohonan rendah sehingga menjadi latar depan hijau yang cantik, apalagi ketika gerimis satu demi satu turun dan membasahinya.
Terus berjalan hingga di tepi desa, kami bersua dengan tebing batu yang dijadikan makam kerabat-kerabat di Lemo. Dinding tebing yang dihiasi boneka Tau-tau yang membuatku bergidik, apalagi ditambah hujan yang mulai menggelapkan langit. Pintu-pintu kayu persegi empat menjadi penanda bahwa di baliknya adalah makam leluhur Lemo. Pintu-pintu ini tak ditata secara teratur, pada satu bagian berjejer empat, pada bagian lain berjejer dua, atau hanya ada satu pintu yang sendiri di samping deretan boneka Tau-tau.
Jika ada yang dimakamkan di sini, tebing batu juga dilobangi sedalam peti yang akan ditanam dengan jasad di dalamnya yang mengenakan pakaian terbaik, beserta perangkat kenangan semasa hidupnya yang diikutkan di dalam peti. Karena itu, pemakaman di tebing ini cukup rawan dari pencuri yang mengincar barang berharga yang dibawa di dalam peti. Karena itu sebagian besar kuburan diletakkan di bagian-bagian tinggi tebing, sehingga menyulitkan orang untuk mencapainya.
Boneka Tau-tau di sini kebanyakan berwarna gelap, berderet dalam ceruk-ceruk memanjang yang dikelompokkan berdasarkan keluarga. Walaupun tak mengarah ke mana, namun sorot matanya seolah mengikuti ke mana pun kami melangkah di depan tebing batu tersebut. Aku jadi merasa gamang untuk berlama-lama di situ. Kembali jalan raya lagi ditemani gerimis, sepertinya masih ada tatapan mata yang tertinggal.
perjalanan 27.12.2015.
ditulis di depok 17.12.2016
SulselTrip2015/16
makassar dan hujan sehari
toraja tau-tau: berangkat dari rantepao
tertawan arsitektur tongkonan
menuruni batutumonga hingga palawa
rammang-rammang: berdialog dengan batu
Tatapan matanya memang mistis, sepertinya banyak aura yang tertinggal di sana. Apalagi roh leluhur ya, hehe. Tongkonan di Lemo sepertinya sudah tidak dihuni lagi–tapi pakis yang tumbuh di atap membuat suasana jadi sangat berbeda, seolah ada di dunia lain, haha.
Mudah-mudahan suatu hari nanti saya bisa bersua dengan Toraja. Semakin banyak membaca tentang Toraja, semakin banyak pertanyaan yang ingin saya ajukan pada rumah-rumah serta ceruk-ceruk di tebing-tebing daerah sana :hehe.
Tongkonan di Lemo masih dihuni, masih ada orang keluar masuk di dalamnya. Lihat deh, ada water torn jingga di luarnya. Katanya sih, tumbuhan pakis itu malah dibiarkan supaya tidak bocor. Tapi menurutku sih, mungkin memang belum waktunya mengganti ya.
Ah, seru kali!
Kak Indri! Mayoritas tempat2 wisata di Rantepao itu bisa dikunjungin naik kendaraan umum ya? Berarti sebenernya ga perlu sewa motor/mobil ya?
Bisa banget. Asal kuat jalan kakinya ke dalam. Haha.
Tapi deket koq cuma 1-2 km saja. Katanya kak Olip sih sebenernya ada ojek, tapi entah kenapa kabur dalam pandangan mata kami, gak kelihatan yang nongkrong.
Jalur ini ada di sepanjang jalan raya Rantepao-Makale, jadi spot2 aja.
Tunggu cerita selanjutnya deh, lebih seru usaha naik kendaraan umumnya.
Wiiiih mantap! Info yang sangat berharga, karena info yang selama ini dibaca selalu tentang perjalanan di Toraja dengan mobil/motor sewaan. Ditunggu! 🙂
simpen ah, buat bekal di tanatoraja nanti…..
simpen, dibungkus juga atuuhh
Eh aku foto manja di 3 tongkonan lemo itu hehehe. Kalian hebat jalan kaki di tenpat yg sepi itu, kalo gw dah ngibrit ngebayangin mayat2 itu hahaha
pulangnya jadi takut kaaakkk. mana gerimis tipis-tipis manis pulaaa.
[…] SulselTrip2015/16 makassar dan hujan sehari toraja tau-tau: berangkat dari rantepao […]
[…] makassar dan hujan sehari toraja tau-tau: berangkat dari rantepao tertawan arsitektur […]
[…] makassar dan hujan sehari toraja tau-tau: berangkat dari rantepao tertawan arsitektur tongkonan menuruni batutumonga hingga palawa rammang-rammang: berdialog dengan […]
[…] makassar dan hujan sehari toraja tau-tau: berangkat dari rantepao tertawan arsitektur tongkonan menuruni batutumonga hingga palawa rammang-rammang: berdialog dengan […]