Jendela adalah sebuah alternatif. Dengan ukurannya, ia adalah sebuah lubang besar yang membuka dunia dalam terhadap luar dan sebaliknya. Tapi dengan posisi perletakannya, ia juga membatasi lalu lintas fisik antar keduanya itu. Ada sedikit usaha yang harus dikerahkan kalau kita ingin keluar atau masuk lewat jendela. Jendela lalu jadi sebuah terobosan, tapi juga batas. Ia adalah lubang yang “bingung”. Ambigu. Tapi justru di sinilah asyiknya.
[Avianti Armand ~ Arsitektur yang Lain]
usai bermain air di : kecup pantai gawu soyo dan ture loto : ya’ahowu nias #4
Di rumah-rumah tradisional, sering kita tak menemukan jendela terkunci. Lubang lebih sering terbuka dan penghuni di dalamnya bisa bercengkrama dengan mudah dengan di luar. Interaksi terjadi dengan hangat tentang hal sehari-hari dalam publik. Walau terkadang jendela juga sebagai tempat mengintip sepotong kondisi di dalamnya. Satu wajah khas Indonesia yang dalam budaya asli yang ramah.
Jendela menghadap ke satu ruang sosial bersama untuk bersosialisasi, tidak hanya sekadar untuk menerangi ruangan atau mengalirkan udara menukar kesegaran di luar ke dalam. Ruang sosial untuk berbagai kegiatan, melakukan hal bersama, atau mempertunjukkan sesuatu. Di Nias Selatan, ruang bersama ini berada di depan Omo Sebua, yang terkenal dengan pertunjukan lompat batu di depannya, bisa dilihat dari jendela-jendela rumah desanya.
Semenjak pertama kali melihat gambar pada uang jajanku kala SMP, sebenarnya tak pernah terpikir akan berada dan menyaksikan langsung lompat batu yang tersohor itu. Akhirnya kesempatan itu ada! Bukan cuma satu dua kali, namun enam kali dalam sehari kami menyaksikan lompatan di atas batu setinggi dua meter itu.
Serunya, sewaktu kami berada di Nias Selatan bertepatan dengan festival adat Bawamataluo. Ini adalah nama desa adat yang termasuk dalam cagar budaya UNESCO pada tahun 2009. Desa ini ditempuh dalam satu jam perjalanan dari penginapan kami di pantai Sorake.
Dari Teluk Dalam Sorake melintasi hutan-hutan kelapa hingga belokan ke kiri yang menanjak terus hingga sampai bawah desa Bawomataluo. Setelah memarkir mobil, kami harus menaiki sekitar 80-an anak tangga untuk mencapai gerbang desa. Pemandangan dari atas indah sekali. Kami bisa melihat laut di kejauhan, gereja di ujung desa, dan satu desa adat juga di ujung sana yang terpisah oleh hutan. Percayalah, ini masih mengingatkanku pada komik Asterix melihat pemukiman di tengah hutan, dengan babi hutan di dalamnya!


Sampai di atas, kami melihat rumah berderet di kanan dan kiri. Menurut data, jumlah Omo Hada yang berderet di sini 137 buah. Jalan desa tersusun dari lempengan batu kali selebar 10-12 meter membentang di antara rumah yang berhadapan. Ada sepeda maupun motor yang terparkir di beberapa rumah mereka.



Tepat di tengah persimpangan, di kanan terdapat satu balai pertemuan, dan di kiri, menghadap ke selatan, berdiri Omo Sebua Bawomataluo yang sudah berusia lebih dari 100 tahun. Di sinilah pemimpin desa yang turun temurun bertinggal. Omo Sebua di Bawomataluo ini salah satu yang tertua dan selamat dari gempa tahun 2005.

Di depan Omo Sebua ini, terdapat meja batu lengkap dengan kursi yang juga dari batu (Daro-daro atau Harefa) serta beberapa menhir. Batu yang menjulang tinggi adalah batu Faulu (batu tanda menjadi raja) yang sebelah kanan adalah batu Loawo yang sebelah kiri batu Saonigeho, sementara batu datar adalah batu untuk mengenang kebesaran dan jasa kedua orang raja ini. di atas batu-batu itu hanya si ulu atau balo ji’ila yang bisa duduk disitu bila ada pertemuan. Sementara Batu di depan balai desa (Omo Bale) merupakan tempat duduk masyarakat jelata bila ada orahua / pengambilan keputusan (sumber: kompasiana Java).


Kami berjalan diantara dua meja itu dan masuk ke dalam rumah. Uniknya, pintu masuknya tidak melalui depan namun langsung masuk lewat kolong rumah panggung itu dan berjalan di antara tiang-tiang penopangnya, lalu di tengah ada tangga ke atas yang menuju satu pintu tingkap ke lantai bangunan rumah panggung.

Aku memanjat tangga lebar itu dan menemukan satu ruangan besar di dalam yang digunakan sebagai ruang pertemuan. Di sisi selatannya terdapat undakan tempat duduk yang di atasnya bergantung deretan gigi babi hutan. Menurut cerita, Omo Sebua ini dikerjakan oleh 40 tukang ahli selama 4 tahun. Deretan gigi babi adalah menandakan yang dimakan seluruh pekerja selama mengerjakan bangunan ini.

Di arah depan terdapat dua undakan selebar bangunan setinggi kira-kira 50 cm. Di situlah tempat tetua duduk untuk melakukan pertemuan. Di samping kiri kanannya terdapat banyak ukir-ukiran gambar di dinding kayu, yang memiliki banyak arti. Kami juga bertemu beberapa rombongan misionaris dari Medan yang juga berkunjung ke Omo Sebua.


Di ruang bersama atau Tawolo yang lebar ini digantung juga beberapa peralatan seperti kendang dan tombak.Dari bentang jendela panjang selebar Omo Sebua, kami melihat sebingkai desa Bawomataluo. Ujung desa di persimpangan, dengan aktivitas lalu lalang di jalan batunya. Lalu kami melongok lewat tingkap di atap. Semua lebih jelas sepandangan mata. Ujung atas tangga utama yang kami naiki tadi, hingga ekor desa di ujung sana. Berwarna-warni tenda di depan rumah warga, beragam bahan atap dipasang, dengan struktur yang hampir sama.


Aku merasakan sedikit angin menerpa rambutku. Siang hari yang panas itu agak terteduhkan oleh sebongkah awan di angkasa. Atap rumah-rumah di desa Bawomataluo bermacam-macam, ada yang masih memakai rumbia, seng lembaran gelombang, atau seng motif genteng. Atap rumbia, tentu menyerap panas secara alami, tak seperti seng yang seharusnya diinsulasi lagi. Bahan alam yang kian lama kian mahal, mendorong produk pengganti namun kurang cantik secara estetis, juga berbahasa lebih ‘keras’ daripada bahan alam yang ‘lunak’.


Beruntung, kami bisa menengok ke ruangan di balik perapian yang membatasi ruang bersama dengan ruang pribadi, yang ternyata adalah ruang bertinggal tetua atau disebut Foruma. Ada ruang luas juga yang di tepinya adalah meja makan. Bagian yang lebih tinggi dan ada sekatnya digunakan sebagai ruang tidur. Di bagian belakangnya lagi ada dapur untuk kaum perempuan beraktivitas. Dinding tepat di belakang perapian itu juga berfungsi sebagai perapian untuk bagian dalam.

Keluar dari bangunan itu, kami menyusuri perkampungannya yang berderet. Sayangnya, karena festival, di depannya banyak terdapat tenda-tenda yang menghalangi vista. Beberapa anak kecil mengikuti kami sambil menawarkan kalung dan gelang dagangannya. Panas sekali siang itu, sehingga aku tetap memakai topi pink lebarku dan kacamata hitam. Warna rumah-rumah itu tampak sudah lama dan kusam, sudah lama tidak diperbaharui. Aku berpikir, maukah sebuah perusahaan pelitur pelapis kayu menjadi sponsor untuk mempertahankan rumah-rumah ini lagi dari lapuk cuaca tropis? Kekayaan arsitektur seperti ini tidak seharusnya punah begitu saja ditinggalkan oleh warna dan modernisasi. Selama ada generasi yang bangga dan mau menjaganya, pasti ini menjadi warisan budaya yang indah.

Di atap rumah juga ramai dengan parabola dan kabel-kabel listrik yang berseliweran. Jika tak ada festival, mereka juga menjemur pakaiannya di atap yang diletakkan begitu saja supaya cepat kering. Seng sudah menggantikan rumbia sebagai atap asli rumah-rumah adat ini. Namun, dengan tetap mengikuti kuda-kuda asli, bentuk atap masih sesuai bentuk aslinya, walaupun berbeda penutup atap. Pintu masuk rumah tidak dari depan, melainkan lewat beranda di samping tiap rumah, kemudian masuk ke salah satu rumah yang kiri atau kanan. Beranda ini digunakan bersama dua rumah.

Di depan setiap beberapa rumah terdapat keran air bersih yang bisa digunakan beberapa keluarga, sumbangan dari ILO-UN. Tak seperti di Nias Tengah yang rumah-rumah tunggal, di sini rumah berderet menempel. Sehingga bisa masuk rumah dari ujung sampai ujungnya lagi, seloroh seorang anak yang berjualan kalung kepadaku.

Lebar depan tiap rumah kira-kira 6-8 m, dengan satu pintu dan jendela berventilasi memanjang, membuat kami banyak diintip-intip penghuni rumah. Hiasan dekoratif tiap rumah berbeda, tergantung kemampuan penghuninya. Namun tingkap atas itu selalu ada di rumah mana pun! Rupanya memang ini khas di Nias.

Kami kembali ke depan Omo Sebua dan ditunggu oleh dua orang pelompat batu yang bersiap-siap melakukan aksinya. Setelah melakukan pemanasan, satu, dua, tiga… Pelompat berlari dari jarak 20 meter, lompat ke tumpuan pertama lalu melayang melewati batu tersusun setinggi dua meter itu, lalu mendarat dengan selamat. Tak berapa lama kemudian, pelompat kedua juga melakukan aksi yang sama. Kami bertepuk tangan riuh. Dua pelompat batu berusia 20-25 tahun ini mberhasil melakukan aksinya.

Menurut tradisi, lompat batu atau fahombo ini adalah pertanda seorang anak lelaki sudah memasuki usia kedewasaannya dan siap untuk berperang menikah. Anak lelaki berlatih sejak usia 10 tahun untuk dapat melakukan fahombo mereka. Batu setinggi dua meter ini memiliki alas datar dengan lebar bawah 90 cm dan tinggi 60 cm. Lompatan ini harus dilakukan oleh yang ahli dengan banyak latihan, karena jika gagal lompat atau salah teknik mendarat, bisa mengalami cedera kaki. Di masa lampau, di atas papan batu bahkan ditutupi dengan paku dan bambu runcing, yang menunjukkan betapa seriusnya ritual ini di mata Suku Nias. Secara taktis dalam peperangan, tradisi fahombo ini juga berarti melatih prajurit muda untuk tangkas dan gesit dalam melompati dinding pertahanan musuh mereka, dengan obor di satu tangan dan pedang di malam hari.

Sesudah diberitahu bahwa akan ada ‘orang pusat’ yang akan meninjau festival siang nanti, kami pergi makan siang di tepi laut dan kembali mendaki desa ini lagi. Sayangnya ketika kami kembali hujan turun gerimis, padahal cukup banyak anak berseragam sekolah yang menunggu menyambut pejabat-pejabat tersebut. Akibat hujan maka rencana akan ada pertunjukan tari perang batal ditampilkan. Aku melihat dua anak penjual gelang tadi berseragam merah putih ikut bergabung dengan teman-temannya.


Suasana sekitar Omo Sebua semakin ramai meskipun hujan gerimis menerpa. Sejumlah wartawan menyiapkan alat untuk mengambil gambar. Tak lama hujan berhenti, dan aku menjadi was-was melihat baru pijakan untuk melompat itu menjadi licin. Jalan desa yang dari batu juga basah usai hujan. Namun pelompat tak gentar. Mereka tetap tetap bersiap-siap dan meletakkan karung di atas batu pijakan pertama.


Satu, dua, tiga, lariiiii, pijak, dan HUP!
Ia mendarat mulus. Ketiga rekannya mengikuti lompatannya dalam selang waktu 2-3 menit. Penonton semua bertepuk tangan. Bangga. Anak-anak sekolah yang berkerumun di sekitar menara batu itu bersorak gembira.
Hujan sudah benar-benar reda ketika kami menuruni kembali anak tangga dari ketinggian 270 mdpl itu kembali ke jalan raya. Tak sangka aku bertemu bang Irwan Telaumbanua, seniorku di kampus yang sudah lama tidak bertemu sejak tahun 2000-an. Rupanya usai kuliah ia kembali ke kampung halamannya.
Hari itu tercapai salah satu impianku melihat rumah adat di Bawomataluo dan melihat tradisi lompat batu fahombo. Semoga 20-50 tahun lagi kekayaan budaya ini masih berdiri diuji alam. Teknologi lampau dengan sambungan kayu dan pasak yang lentur bisa menahan Omo Sebua ini dari gempa. Dengan perasaan riang kami kembali ke mobil untuk kembali ke Teluk Dalam, Sorake. Pulang? Nanti dulu. Kami ingin menikmati sunset dan bermain di laut dulu. Rindu air pada Lagundri, Sorake!

perjalanan 08.06.2013
writing room with Lumbi, 13.11.2013 : 23.53
bermain air lagi di : ujung selatan teluk dalam, selancar lagundri dan sorake : ya’ahowu nias #6
Ya gini nih kalo arsitek yg nulis.. fokus ke bangunan daripada ke festivalnya… wkwkwkwkwk
harus konsisten dengan judul blog 😀
[…] bawomataluo, lompatan di atas bukit : ya’ahowu nias #5 […]
ya’ahowu…asik yaa..bisa melihat fahombo..aku waktu kesana pas nggak ada festival. nggak bisa lihat fahombo dan om aku terlalu pelit buat bayar mereka lompat 😦
esok aku kesana lagi deh 🙂
beruntung ada kesempatan luxi, aku kan jauh sekali kalau harus bolak balik 😀
hihihi…iya..smoga esok aku sbruntung kamu..emang sih..bagusnya klo mw liburan itu observasi dulu festival budaya d sana 🙂
Beruntung sekali bisa diantar putra asli Nias selama menjelajah; bisa dapat view yang tidak biasa pastinya
beruntung sekali aku mengenalnya, lokasinya bagus-bagus.
thanks java, thanks google 😀
waduh… Sumbar belum selesai udah bikin ngiler aja ini…
Boleh juga nih buat tahun depan…
hahaa, jalan2nya sambil buka-buka blog sih.. ayuk, ke Nias!
mantap ulasannya yah Ndri! bangunannya unik dan berkesan banget !
makasih udah mampir ya Yen.. 😉
[…] indah di tepi : bawomataluo, lompatan di atas bukit : ya’ahowu nias #5 Tempat favoritku melihat bintang adalah di tepi laut. Tengah malam setiba di pantai Sorake di […]
wow belum pernah ke Nias tp pas baca blog ini jd seperti ke Nias
OMG, Nias, destinasi impian nih mbak, Seru ya kalo bisa liat langsung event lompat batu Nias-nya. Salam kenal
Ayo ke Niaaaassss… Emang asik kl belajar kultur di sinii…
[…] indah di tepi : bawomataluo, lompatan di atas bukit : ya’ahowu nias #5 Tempat favoritku melihat bintang adalah di tepi laut. Tengah malam setiba di pantai Sorake di Teluk […]
Arsitek ketje, ulasan arsitekturnya juga ketje abis dah, hehehe.
wah, kamu sampai di cerita Nias jugaa… 😉
terima kasih yaa…
Maaf mba mau tanya, ornamen didalam ruangan itu mengambarkan apa yah 😀
heheh dapat tugas cagar budaya nih mba heheh
Hae, Zaki.
Ornamen yang mana ya? Japri di fb aja deh, hehe.