“Aku mau bangun setiap pagi dan melihat anak-anak berangkat sekolah di Flores.”
Niat itu sudah kucetuskan, karena aku akan bangun pagi di tempat-tempat yang berbeda setiap harinya dalam perjalanan keliling pulau ini. Senin pagi di Bajawa, usai menikmati sarapan lezat buatan kak Vita di rumah yang aku tinggali malam itu, aku nongkrong di depan rumah, menunggu tunas-tunas bangsa ini menyongsong hari cerahnya.
Udara Bajawa pagi itu sejuk dan dingin, sebenarnya agak enggan untuk keluar dari selubung jaket. Satu demi satu anak-anak ini lewat, ada yang juga memakai jaket sepertiku, ada yang berseragam putih merah saja, ada yang diantar ibunya, ada yang berombongan dengan teman-temannya. Mereka berjalan kaki ke arah sebelah barat dari rumah kak Vita. Jalanannya mendaki, sehingga mereka tidak berjalan dengan cepat.
Kota Bajawa yang berada di kaki gunung Inerie memang beriklim sejuk dan dingin. Konturnya berbukit-bukit naik turun, sehingga lansekap kotanya cukup menarik. Di jalan utamanya mudah ditemukan beberapa penginapan dengan harga yang tidak terlalu mahal. Semalam kak Vita bercerita, andai saja kami datang tidak kemalaman, mungkin kami bisa mampir di So’a, salah satu sumber air panas yang cukup terkenal. Tapi karena hari ini jalur kami ke arah Bena, jadi tidak bisa mampir ke So’a.




Mas Agus menjemput kami jam delapan pagi sesudah ia mengisi bensin, “Mengantri di mana-mana, mbak. Katanya akan ada kenaikan BBM juga, ya?” Untuk pulau yang jauh dari Jawa seperti ini, persediaan bahan bakar yang tidak pasti menghantui jasa travel seperti yang dikelola oleh bosnya Mas Agus ini. Apalagi dengan jumlah SPBU yang tidak terlalu banyak juga.
Sebelum meninggalkan kota, aku minta mas Agus mengitari kota Bajawa, dan juga karena Jay ingin menemui teman SMPnya yang baru diangkat menjadi jaksa di kota itu. Aku sih setuju saja. Kapan lagi ke satu kota mampirnya ke Pengadilan Negeri? Kota Bajawa tidak terlalu besar, sehingga dalam beberapa menit kami tiba di depan kantor pengadilan yang berhadapan dengan kantor kabupatennya. Setelah bertegur sapa sebentar, kami melanjutkan perjalanan menuju Ruteng.
Tidak seperti jalur Ende – Bajawa yang melalui tepi laut, lepas dari gerbang kota yang juga kami lalui sebelumnya, kami melewati hutan-hutan bambu, dengan jalan yang berkelak kelok naik dan turun, di beberapa bagian bisa melihat gunung Inerie yang indah. Gunung ini tidak memiliki banyak kontur punggungan, hanya lereng di kanan dan kiri menuju puncak, geometris dasar bentuk segitiga. Tidak setinggi gunung-gunung di Jawa, walaupun hanya 2230 mdpl namun pasti memberikan pemandangan yang mengesankan. Kaki gunungnya dipenuhi oleh gerumbul hutan kemiri dengan bunga-bunga yang putih bermunculan acak.


Kami mampir ke kampung Luba dan kampung Bena, yang termasuk wilayah Ngadha, dengan pola bermukim yang hampir mirip. Jalan rayanya tidak terlalu besar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Melihat ngarai di kanan atau kiri yang cukup curam, aku lebih memilih jika kami tidak usah bertemu kendaraan lain dari depan.
“Kita lewat jalan pintas, mbak. Nanti langsung sampai di Aimere,” jelas Mas Agus. Wah, ternyata bakal lewat pelabuhan terkenal di Flores itu. Jalan yang kami lewati dari mulai jalan halus lama kelamaan menjadi jalan kerikil dan berbatu-batu. Udara di luar sangat panas sehingga aku tidak membuka jendela dan menikmati AC di dalam mobil. Kami sempat melewati juga beberapa pemukiman adat seperti Nage dan Gurusina, tapi hanya dari tepi jalan saja, tidak mampir ke sana.
Sepanjang jalan kami juga menemukan pemukiman-pemukiman yang berada linier di tepi-tepi jalan. Bentuknya masih sama khas dengan pemukiman di Bena dan Luba, karena daerah ini memang masih masuk wilayah Ngadha, hanya modifikasi pada material atap yang kini menggunakan seng. Aku agak heran dengan penggunaan seng sebagai material pengganti, karena udara di dalamnya akan terasa amat panas, apalagi di musim terik begini. Sementara di berbagai tempat yang tadi dilalui, masih cukup banyak ilalang yang merupakan material utama atap dari rumah tradisional ini.




“Aimere…”
Nama kota ini terdengar indah di telingaku. Pelabuhan tempat kapal-kapal bersandar dari Kupang, Rote, atau Sumba ini adalah kota pertama yang kami temui sesudah berjam-jam meninggalkan Bajawa. Dari atas bukit kami bisa melihat pelabuhannya, terus sampai tak sadar ketika lewat di depannya. Mas Agus terus membawa kami ke tempat penyulingan arak yang berada di tepi jalan.


“Arak diambil dari pohon nira di atas sana, kemudian disuling di sini,” jelas ibu-ibu pemilik tempat penyulingan ini. Di sini terdapat tiga jenis arak kelas 1, 2, dan 3 tergantung dari kadar yang dihasilkan. “Mau mencicipi? Ayo sudah sampai sini..” mas Agus menawarkan. Hemm, coba tidak ya? “Sesendok saja, mas!” kataku nekat. Aku mendekatkan arak itu ke mulutku, dan.. blah! Lidahku rasanya terbakar. Mulut yang hampir tidak pernah menerima minuman keras ini ternyata masih tidak bisa terima juga. “Awas mas Agus jangan minum, masih harus menyupir jauh, nih..”



Kami meneruskan perjalanan dan mampir untuk makan siang sebentar di Borong. Di sinilah pertama kali aku menjajal kopi Flores yang mahsyur itu. Dan sop ikannya, lezat sekali! Ikan dengan potongan besar dengan kuah agak asam menyegarkan hari kami yang panas itu. Tapi tentu tak lupa aku juga meminta kelapa muda untuk mengobati tenggorokan yang haus. Langit di luar luar biasa cerahnya. Biru dengan sedikit awan.
Lepas dari tepi laut, jalanan mulai mendaki menuju Ruteng. Karena mulai lelah, jalur ini pun juga mulai membosankan. Kelak kelok, naik turun, hutan lagi, sawah, sampai aku menemukan pemandangan menarik. Ada satu spot dengan pemandangan yang cukup menarik yang membuatku meminta mas Agus berhenti. Eh, ternyata di tempat aku berhenti ada anak-anak yang menonton aku memotret.
“Kalian suka baca?” tanyaku antusias. Aku sangat suka melihat anak-anak yang berani menyapa tanpa malu-malu. Sesudah mengobrol sebentar, aku mengeluarkan salah satu buku dan memberikannya pada mereka. Mereka berebutan menerimanya. Tapi ada seorang bapak yang menyeberang jalan dan mengambil buku itu untuk ia baca-baca. Ah, mungkin ia ingin memeriksa buku ini cocok untuk anak-anak atau tidak. Kami berpamitan untuk meneruskan perjalanan.



Hujan turun.
Langit sudah tidak sepanas tadi. “Ini sudah masuk daerah Manggarai,” jelas mas Agus. Wah, ini rupanya tempat asli nama salah satu tempat terpadat di Jakarta. Kabarnya, daerah Manggarai di Jakarta memang banyak berasal dari Manggarai Flores ini. Iklim lokal di Manggarai tidak sepanas jalur Aigela kemarin atau Aimere tadi. “Kalau di sini sering turun hujan, mbak,” sambungnya. Benar saja, hujan tipis-tipis menemani sisa perjalanan kami hingga tiba di balik tembok besar.
“Itu danau Ranamese di balik tembok.”
“Hah, kenapa ditembokin, mas?”
“Soalnya kalau tidak ada temboknya, mobil-mobil pada berhenti di situ.”
“Kan nggak apa-apa, mas..” aku masih heran.
“Ini tikungan, kan bahaya kalau banyak mobil berhenti. Kalau mau ke tepi danaunya, harus turun ke bawah,” tunjuk mas Agus.

Kami hanya sebentar di situ. Rupanya aku benar-benar sudah merasa cukup lelah. Berkendara di mobil selama berjam-jam mulai membuatku bosan ingin lekas sampai. Untung mas Agus mengingatkan bahwa Ruteng sudah tidak terlalu jauh lagi. Benar saja, tak lama kemudian ponselku sudah mendapat sinyal lagi, pertanda kami sudah memasuki kota. Hujan lumayan deras mengguyur ketika kami tiba di depan gereja katedral dan berbelok untuk menuju tujuan kami malam itu, desa Denge, di kaki Wae Rebo.
Wae Rebo? Yap, aku memang menuju ke sana! Itu tujuan utamaku datang ke Flores, untuk mengunjungi pemukiman adat yang berada di atas gunung dan baru direhabilitasi pemukimannya oleh sekelompok tim arsitek dari Jakarta, yang merupakan senior sealmamaterku juga. Jalan dari Ruteng ke Wae Rebo cukup sempit dan menurun, apalagi di tengah hujan yang menderu. Setelah 10 menit mulai memasuki perbukitan, sinyal ponselku hilang lagi. Hujan di tengah tebing dan ngarai, agak membuatku ngeri di dalam mobil. Apalagi jalanan naik dan turun dengan kemiringan yang lumayan curam.
Perjalanan kami menuju arah selatan, terus melalui jalanan naik turun bukit sampai akhirnya kami menemukan desa-desa di tepi hamparan sawah yang begitu indah. Ternyata di balik hutan-hutan dari kota tadi, desa-desa di sini begitu hidup dari hasil-hasil pertanian. Hujan yang sudah berhenti membuat matahari senja menemani perjalanan di jalan berbatu-batu itu. Mas Agus cukup terampil mengemudikan mobilnya di antara jalan yang sangat tidak bisa dibilang bagus ini.



“Nanti makin bagus lihat senja di tepi laut, mbak,” cerita Mas Agus. Hah, laut? Bukannya Wae Rebo di atas gunung? “Dintor itu di tepi laut, baru nanti naik lagi ke atas sampai habis jalan aspalnya,” sambungnya. Aku mengambil peta dan melihat di mana sebenarnya posisi kami. Posisi kami berkedip di GPS memang menunjukkan lokasi menuju tepi laut. Jalan rusak pun sudah tidak kuindahkan, sawah, kebun, hutan, rumah-rumah yang dilewati dengan bau tanah yang harum sesudah hujan membuat kami asyik menikmati pemandangan sore hingga sampai di tepi laut. Tidak ada pasir putih di sini, hanya bebatuan hitam dengan sleret lembayung di belakang dan pulau Mules yang tampak tidak jauh.
Ketika gelap benar-benar datang, kami tiba di Dintor. Namun karena tidak hendak menginap di Wae Rebo Lodge di Dintor, aku meminta Mas Agus terus sampai atas. Kami tiba di desa Denge hampir jam setengah delapan malam disambut oleh Bapak Blasius Monta yang ramah. Ah, aku merasa sudah pernah bertemu bapak ini di buku Wae Rebo yang kubaca…
Hmm, besok pagi aku akan bertemu anak-anak sekolah lagi tidak, ya?
perjalanan : 10 Nopember 2014
ditulis : 13 Februari 2015
cerita sebelumnya :
flores flow #1 : fly to kelimutu
flores flow #2 : maria, gadis pemandu sa’o ria koanara
flores flow #3 : debu lintas trans ende-bajawa
flores flow #4 : luba, doa dari kaki gunung Inerie
flores flow #5 : loka, batu, dan bena
Dari sejuknya Bajawa, lalu menerjang terik Aimere, menembus hujan Manggarai, menyambut senja dari tepi laut, dan tiba di Denge malam hari itu sepertinya rasanya sesuatu ya mbak… 🙂
luar biasa. rasanya terlalu cepat.
Duuh, kangen Flores…
aku sebenernya pengen eksplore banyak di bajawa. banyak tempat2 menarik. tapi gak kuat dinginnya. berasa mandi air es.
kan kalau mau mandi tinggal ke So’a, kaakk.. air panas alami katanya..
Baru di postingan kemarin saya bertanya-tanya sendiri bagaimana pendidikan anak-anak di daerah sana, eh di sini ada jawabannya. Senang melihat tawa polos mereka yang bersekolah. Semoga mereka jadi orang-orang terbaik, ya 🙂
Jalan berkabut, sawah, dan senjanya joss banget. Di sana masih banyak perkampungan adat ya Mbak, cuma yang bisa saya simpulkan itu kampung-kampungnya sepertinya sporadis begitu, terpisah-pisah satu sama lain, benarkah?
Wae Rebo? Tunggu… tempat itu kan mendapat UNESCO Asia Pasific Awards for Heritage Conservation, yang hanya 5 lokasi di Indonesia yang mendapatkannya itu ya? Wah, kehormatan betul bisa berkunjung ke sana :mupeng
Ah, saya rasa saya pantas iri dengan teman-teman saya yang bekerja di sana… *bicara pada diri sendiri*.
aku tertarik memotret anak sekolah supaya semangat bangun pagi setiap hari dan menunggu wajah-wajah bersemangat itu.
rasanya pola pemukiman di nusa tenggara memang seperti itu, satu demi satu kampung yang dipisahkan oleh hutan, kebun atau sawah. coba lihat dari udara, atau paling tidak dari google map. di lombok punkelihatan seperti itu dari udara.
wae rebo, tunggu cerita selanjutnya ya! wae rebo adalah alasan utamaku datang ke flores. 🙂
Mungkin karena saya tinggal di ibukota makanya tumben melihat demikian. Meskipun setelah saya ingat-ingat, iya juga sih…
Siap, saya tunggu!
Seru banget petualangannya. Sepertinya satu provinsi NTT sudah dijelajahi 🙂 gimana kopi Floresnya? mantap kah?
kopi flores itu enak banget! padahal aku nggak biasa ngopi loh..
yah, belum satu NTT, baru satu pulau 😉
Yoi. Kopi Flores emang mantap. Apalagi diminum d sana, pasti citarasanya lebih segar. Kirain udah semua pulau d NTT 🙂 ditunggu artikel berikutnya.
Duh, belum. Mau banget kembali ke NTT kalau ada kesempatan (dan sponsor. atau tabungan) lagi. Pengen overland Sumbawa juga nih..
Melihat jalan dan suasananya kok ya enak banget buat nyepeda 🙂
Enak banget kayaknya naik turun. Kata Aldi @stressmetal yang tahun lalu sepedaan di sini overland, asik nanjaknya 😛
gimna mbak rasanya ketika melhat flores begtu unik n trdri dari brbgai mcam suku di dlmnya…….
bangga ya, punya keragaman dan keunikan masing-masing 🙂
[…] aku menuju wae rebo melalui kelimutu, moni, ende, bajawa, ruteng di cerita ini : flores flow #1 : fly to kelimutu flores flow #2 : maria, gadis pemandu sa’o ria koanara flores flow #3 : debu lintas trans ende-bajawa flores flow #4 : luba, doa dari kaki gunung Inerie flores flow #5 : loka, batu, dan bena flores flow #6 : dingin bajawa, panas aimere, dan hujan ruteng […]
1) Aku selalu suka melihat anak-anak dengan segala keluguan dan keceriaanya 🙂
2) Arak itu, dibandingkan brem Bali jauh lebih keras ya?
3) Foto sawahnya keren! Aku suka dengan berkas-berkas cahaya matahari yg menyorot dari celah langit itu…
1) Aku ini punya magnet buat anak2 kali yaa?
2) Nggak tahu, Nug. Blum pernah nyoba brem. Pernahnya bir. #eh
3) Sawah di Flores keren2 bangett siihh…
Mungkin karena memiliki wajah keibuan #ups
Memiliki kehangatan keibuan tepatnya, Nug. #nahloh
[…] flores flow #4 : luba, doa dari kaki gunung Inerie flores flow #5 : loka, batu, dan bena flores flow #6 : dingin bajawa, panas aimere, dan hujan ruteng flores flow #8 : wae rebo, melestarikan arsitektur dengan […]
[…] #11 : seputar lingkar sawah cancar flores flow #8 : wae rebo, melestarikan arsitektur dengan tulus flores flow #6 : dingin bajawa, panas aimere, dan hujan ruteng flores flow #1 : fly to […]
[…] cerita panasnya perjalanan dari Bajawa hingga malam di Denge bisa diikuti di : flores flow #6 : dingin bajawa, panas aimere, dan hujan ruteng […]
Hi Mba,
Aku ada rencana juga buat ke Ruteng dan Wae Rebo.
Boleh minta CP nya mas Agus ini?
email aku di hallo.olivia@gmail.com yaa
Thank you so much
Pernah punya cerita sedih, tepatnya saat melewati jalan dekat danau ranamese. Temanku yg sedang bawa mobil bilang klo lewat disitu harus hati”, angker sering terjadi kecelakaan. Ga lama didepan kita nabrak mobil travel 😦
Ada dua yg bikin kangen sama flores, keramahan orang” sana dan moke arak khas flores, hehehe.
Pas belokan gitu, orang mesti lihat danau, makanya jadi agak rawan. Sekarang kan ditembok jadinya ya.
Aduh, aku cuma nyoba sesendok moke araknya, nggak suka, hahaa.