surabaya, madura, dan kenangan masa remaja

Masa remaja itu walaupun biasa-biasa saja, cukup menarik juga pernah berada di sini

kata bun.

Waktu masuk Surabaya sekitar jam tujuh malam, lepas bundaran Waru belok kiri kami terkagum-kagum, waw, jalan rayanya gede banget sekarang. Jl Ahmad Yani, yang dulu jalan utama menuju tengah kota, sekarang jadi jalan dua dan empat jalur ke arah utara. Nggak tahu sudah berapa lama begini, tapi melihat makin banyak gedung tinggi di kiri kanan, meyakinkan bahwa crazy rich asian pasti cukup banyak di kota Pahlawan ini. 

Dengan destinasi kami ke Surabaya, tentu saja aku excited karena sudah lama sekali aku tak mengunjungi kota yang kutinggali masa SMP dan SMA dahulu. Sebenarnya aku tinggalnya di pinggir kota sih, tepatnya di Sidoarjo belakang Gelora Delta. Tapi berhubung dulu jadi anak gawls mainnya ke Surabaya terus, bolehlah ngaku-ngaku. 

Dulu kuingat sering sekali melintasi jalan Ahmad Yani, jalan Darmo, jalan Basuki Rahmat hingga Tunjungan Plaza (dulu cuma ada dua) naik bus DAMRI trayek terminal Purabaya – Jembatan Merah. Perjalanan setengah jam itu cukup menyenangkan karena selalu dapat duduk, supir dan keneknya sabar-sabar. Anak belasan tahun yang hobi naik transportasi umum ini berani ngemall tanpa diantar orang tuanya. Yah, gimana lagi, waktu itu Sidoarjo nggak punya mall, dan aku sudah mulai hobi nonton bioskop, dan yang terdekat ya TP itu. Pulangnya tinggal nyeberang dan naik bus tujuan berlawanan hingga sebelum terminal Purabaya, sambung elf hingga Sidoarjo. Yen dipikir-pikir koq yo nekad tenan, mben rong minggu dolan. 

Balik ke masa kini, memang kotanya semakin gemerlap di malam hari. Lampu-lampu kota di sekitar putaran Tunjungan, Siola (dulu), Hotel Majapahit, hingga depan Grahadi, perempatan Delta, tugu bambu, dan daerah seputaran Embong Malang, Embong Ploso. Karena kami menginap di Harris Gubeng, cukup strategis ke tengah kota begini. 

Ya, yang mengesankan memang jalan kotanya yang lebar, trotoar yang rapi, infrastruktur yang tertata membuat memang banyak warga kota ini yang bangga sekali. Apalagi disandingkan dengan ibukota propinsi lain di Pulau Jawa, Surabaya jelas lebih unggul. Apalagi sebagai pintu masuk bisnis ke wilayah Indonesia Timur membuat wajah kotanya dipercantik. 

Tapi ternyata itu hanya di tengah kota saja, karena ketika keesokan hari menyusuri ke arah utara menuju jembatan Suramadu fasade jalan berubah menjadi sangat industrial. Truk-truk besar berseliweran, angkot yang jalannya mepet-mepet, serta udara panas yang tiada duanya. Yes, inilah Surabaya sesungguhnya. 

Untunglah jembatan Suramadu cukup lancar, sehingga kami tinggal mengikuti google map untuk makan di bebek Sinjay yang terkenal itu. Sebenarnya hanya sesudah jembatan lurus, kemudian di simpang Bangkalan dan Pamekasan mengambil arah ke kiri sekitar 2-3 km. Rupanya sekarang ada gedung restoran baru yang cukup besar tingkat dia dibandingkan dengan ketika aku berkunjung ke sana tiga tahun sebelumnya. Dengan harga hanya Rp 25.000 termasuk minum, cukup ekonomis sebanding dengan perjalanannya. Bayangkan lebih dari 300 orang datang setiap harinya, berapa omzet per bulan dari restoran ini. Tapi pasti lebih dari 300 orang di weekend. 

Setelah menimbang-nimbang, keluar dari Bebek Sinjai kami memutuskan ke Bukit Jaddih. Selain karena aku sudah pernah ke Arosbaya, Bukit Jaddih sepertinya lebih dekat, dan di jalan arah kembali ke Surabaya. Jadilah kami menyusuri jalan aspal yang lumayan bagus ke arah selatan, mengikuti arah dari google maps. Sekitar 6 km kemudian, petunjuk mengarahkan kami masuk ke jalan desa berpasir (yang banyak pohonnya) cukup sempit namun bisa dilalui. Ealah, rupanya kami nyasar di dalam karena ujung jalan menuju area Bukit Jaddih cukup sempit, tidak bisa dilalui mobil kami. Jadi kami berputar-putar di dalam desa tersebut, hingga akhirnya bertemu dengan lahan berpasir luas bekas penambangan kapur putih yang cukup sepi. 

Selain bentang alam kapur yang menyiratkan kesenyapan, lobang-lobang sisa galian yang berair warna kebiruan memberikan pemandangan yang indah. Masih terlihat ada aktivitas penambangan di bawah sana dengan truk keruk dan angkut yang bersiap-siap keluar kawasan karena senja sudah menjelang. Karena kami sudah puas foto-foto, jadi kami memutuskan mengikuti truk tersebut supaya keluar lewat jalan yang benar. Nah, ternyata jalannya memang lebar tidak seperti yang tadi kami lalui. Selamatlah kami hingga jalan raya tanpa bayar sepeser pun biaya masuk kawasan ini. Mungkin ya, karena sudah sore dan ini memang punya pengelola pribadi. 

Malam hari kembali ke Surabaya tentu saja kembali ke keriuhan kota besar, gedung-gedung tinggi, dan perut yang sudah lapar lagi. Yuk, lanjutkan kuliner Surabaya! 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.