de Tjolomadoe, manisnya sejarah gula

Mereka yang takaran gula, kopi, dan susunya proporsional umumnya adalah pegawai kantoran yang bekerja rutin dan berirama hidup itu-itu saja.

Andrea Hirata – Cinta Dalam Gelas

Waktu kecil, rumah kakekku di Tulungagung berseberangan dengan kompleks pabrik gula. Yang menarik perhatianku hanya kereta lori yang melintas pada rel membawa tumpukan tebu yang akan diolah menjadi gula. Tak pernah sekalipun aku masuk area pabrik karena kami orang luar. Yang kutahu, biasanya pejabat yang bekerja di pabrik gula ini kaya-kaya, bermobil, dan acaranya internal mereka saja.

Gula adalah salah satu komoditas unggul Indonesia. Sejak zaman Belanda berbagai pabrik gula didirikan untuk memenuhi kebutuhan baik Hindia Belanda, maupun diekspor. Kristal ajaib pembuat hati bahagia ini menjadi primadona. Tahu kenapa masyarakat Indonesia banyak tersenyum? Ya, karena banyak mengkonsumsi gula.

Adalah Raja Mangkunegara IV yang membangun Pabrik Gula Tjolomadoe ini menjadi milik kerajan pada 8 Desember 1861 dan menjadi pribumi pertama yang mengelola pabrik gula ini. Di tangannya, perkembangan terjadi pesat mulai 3700 kwintal gula dan produksinya bisa untuk membayarkan hutang kerajaan. 

Indonesia yang sempat digdaya sebagai eksportir gula ke seluruh dunia, terpuruk sejak akhir tahun 80-an dengan kerusakan tata kelola di banyak pabrik gula, yang akhirnya tutup satu per satu, termasuk Tjolomadoe ini yang berhenti beroperasi tahun 1998. 

Setelah 20 tahun suram, pemerintah merestorasi bangunan ini dengan melibatkan sinergi BUMN menjadi PT Sinergi Colomadu, yang dipugar, diperhalus, dipercantik sebagai tempat belajar tentang gula. Tidak kurang ahli-ahli museum pun diterjunkan sehingga diperoleh pengalaman ruang yang menarik di dalamnya dengan aliran perjalanan.

Ruang pertama yang ditemui adalah Stasiun Gilingan, yang dahulu adalah tempat drop off tebu dari perkebunan, lewat lori ataupun kereta Kuda, untuk dimasukkan ke mesin press dan digiling untuk mendapatkan saripatinya. Mesin-mesin lawas beserta dudukannya tercat rapi di atas ubin motif papan catur. Roda gigi yang demikian besar ini pasti dahulu terhubung dengan belt dan membuat traksi sehingga penggiling bergerak dan memeras tebu hingga jadi ampas.

Dengan mesin uap sebagai pendorong, tentu dibutuhkan ruang yang tinggi sehingga udara panas tidak menjadi pengap di bawah. Detil tiang-tiang yang menjadi penyangga portal bangunan setiap enam meter, berdiri kokoh dan kini dicat ulang untuk ketahanan materialnya.

Rupanya, mesin besar itu hanyalah kejutan eksplorasi, karena ketika masuk ruangan sesudahnya, banyak sekali infografis sejarah gula di Indonesia yang dituturkan dengan padat dan menarik. Lorong penuh cerita ini amat menarik dengan visual cahaya yang menyedot perhatian untuk tekun mengasah ilmu.

Tak hanya itu, terdapat maket yang memperlihatkan hubungan antar ruang dan mesin secara keseluruhan sehingga prosesnya mudah diamati. Selain itu, beberapa ruang permainan visual cahaya pun ditempatkan untuk dijajal, memberikan pengalaman menarik di sini. Ada lampu-lampu yang menyala dalam gelap, atau video yang membuat kita seolah-olah di lahan tebu.

Proses gula selanjutnya sebenarnya masuk ke Stasiun Ketelan, yang kami masuki di saat akhir, karena sedang ada event. Hasil perasan dari stasiun penggilingan ini dipanaskan dan diberi pengendap untuk memisahkan zat gula dan bukan gula. Pemanasnya ini menggunakan ketel bertekanan rendah dan menghasilkan jus bersih yang diproses selanjutnya dan sisa jus kotor atau blotong.

Ruang besar selanjutnya adalah stasiun penguapan. Konon ini adalah tempat menguapkan hasil jus bersih ini sehingga kadar H2O berkurang, menjadi sirup yang kemudian dipanaskan menjadi kristal yang akan melalui mesin putar menjadi bulir-bulir gula. Kondisi tabung-tabung tempat proses gula yang tadinya sudah jelek berkarat ini, sekarang cantik kinclong apalagi dengan ubin papan catur sehingga area tetap bersih. 

Tidak terlihat area pengepakan gula, tetapi terdapat gudang besar di sebelah pabrik yang diperkirakan dahulu sebagai penyimpanan komoditi kristal terbesar di Indonesia ini. Sekarang area gudang ini disulap menjadi area event yang bisa dipergunakan masyarakat.

Ketika keluar melihat cerobong asap, baru paham dengan aktivitas ketel dan evaporasi di dalam sana, membutuhkan cerobong yang tinggi untuk membuang sisa pembakaran ke udara, supaya tidak terlalu dekat dengan hidup manusia di daratan.

Bangunan utama pabrik terlihat berlanggam arsitektur Indis dengan enam pilar bergaya Tuscany, sejenis pilar yunani berbadan polos dengan serambi pada salah satu sisinya. Atap utamanya berupa saddleback roof lazim disebut model atap kampung diposisikan sentral di tengah-tengah bangunan lainnya. Selain itu deretan teras dengan fascia berbentuk lengkung yang mengelilingi bangunan polos sederhana. Sayangnya sedang ada expo entah apa yang membuat bagian fasadenya tertutup tenda tidak karuan.

Tiket masuk ke Museum Gula Tjolomadoe ini seharga Rp. 30.000,- per orang, sementara untuk masuk halamannya saja dikenai Rp. 2.000,- per orang. Lokasinya di sebelah barat kota Solo cukup mudah dicapai (apalagi tak ada yang jauh dari Solo), juga dekat dengan pintu tol bandara Adi Sumarmo. Apabila ingin berkunjung sejenak kala lintas tol Trans Jawa, direkomendasikan untuk mampir untuk mengisi pengetahuan nyata selain hanya cerita di buku sejarah ini.

Monggo kersa,

perjalanan 09 Januari 2022

ditulis 10 Februari 2022

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.