rel dan masa kecil

Kereta apiku lari dengan kencang
Melintas sawah, bukit, serta ladang
Angin mengejar, mencoba menghalang
Kereta apiku laju bagai terbang

Larilah cepat hai kereta apiku
Bawa ku segera ke tempat ku tuju
Jika kau tampak kampung halamanku
Bunyikan nyaring seruling keretamu

Sejak kecil aku suka sekali dengan kereta api. Kediaman kakek nenek dari pihak ibu di Cirebon dan eyang putri dan kakung dari pihak ayah di Tulung Agung, sementara kami jauh terpisah mengelilingi pulau Jawa membuat ketika aku yang harus mengunjungi mereka, selalu menggunakan moda transportasi kereta api. Tentunya sewaktu kecil aku tidak punya hak memutuskan mau naik apa, tetapi menurut ayahku selain juga karena ongkos transportasi yang cukup murah, kereta api itu kendaraan yang gagah dan kokoh, terbuat dari besi dan pasti aman untuk dinaiki, karena kekuatannya itu selalu membuatnya menang.

Di dekat rumah nenekku di Cirebon terdapat satu jalur kereta api. Sewaktu aku masih kecil, masih ada kereta menuju pelabuhan Cirebon yang melalui rel tersebut. Aku sering menonton kereta tersebut lewat membawa gerbong bahan bakar atau gerbong barang. Kalau di dekat rumah eyang kakung dan eyang puteri di Tulung Agung, ada rel untuk lori pengangkut tebu dari perkebunan ke kompleks pabrik gula. Itu juga yang sering kulihat sembari jalan-jalan pagi. Paduan antara udara sejuk, sungai yang mengalir, dan kereta lori yang melintas itu selalu kunanti-nanti setiap liburan.

Sewaktu SD aku tinggal di Semarang. Rumahku di Jalan Sawojajar, sekitar Karang Ayu itu (sampai sekarang masih ada) berada tepat di depan rel jalur utara Jawa, hanya dipisahkan oleh jalan angkutan umum dan ketinggian rel (posisi rel lebih tinggi kira-kira 3 m dari jalan dan rumahku). Jadi setiap pagi, siang, sore, malam, sering terdengar suara klakson kereta yang berteriak kencang. Deru kotak besi itu juga menghiasi hari-hari sampai kami terbiasa. Tetapi intensitas lewatnya kereta tak sebanyak sekarang, jadi masih sempatlah aku dan teman-teman kadang berlompatan di bantalan rel di sore yang cerah, atau adu meniti keseimbangan di batang besi hitam itu, juga terburu berlarian apabila lamat-lamat terdengar suara lokomotif mendekat.

Ketika pindah ke Bandung, ternyata aku agak kehilangan dengan deru kereta itu. Apalagi jalanan Bandung-Cirebon ke rumah nenek tak ada jalur kereta seperti dari Semarang, hanya jalan darat melalui tepi tebing cadas pangeran Sumedang. Hampir tiap bulan melalui bukit padas itu. Namun karena setiap liburan sekolah aku diminta untuk datang ke Tulung Agung, jadi senang sekali. Karena itu berarti kami akan naik kereta lama sekali. Aku ingat, dulu naik Mutiara Selatan dari Bandung – Surabaya turun di Kertosono, baru disambung bis ke rumah eyang. Perjalanan berangkatnya tak terlalu istimewa, karena malam hari. Namun, perjalanan kembalinya dari sana, dengan kereta yang sama Surabaya – Bandung via Kertosono, dengan jadwal tiba yang selalu terlambat, selalu mengesankan. Sekitar pukul enam pagi kereta baru masuk daerah Tatar Pasundan, seingatku daerah Ciamis, Tasikmalaya, Garut. Itulah jalur kereta terindah di Indonesia yang pernah kulintasi (yang kedua adalah jalur Argo Parahyangan Jakarta – Bandung). Ketika lewat sekitar Tasikmalaya, kereta sudah mulai mendaki dan berkelok, memasuki terowongan, melintasi jembatan. Saat itu ayah akan ribut menyuruh aku dan adikku untuk melongok keluar jendela, “Lihat! Kepala keretanya kelihatan!!” Kami pun mengeluarkan kepala dan memandang kelokan yang membuat kami bisa melihat lokomotif dan buntut kereta sekaligus. Hembus angin pagi yang menampar-nampar muka tak kami hiraukan. Itulah pemandangan terindah, lokomotif kereta berwarna hijau kuning merah dengan latar belakang pegunungan yang hijau, sawah menguning, sungai yang mengalir kecoklatan dengan tebing-tebing di sampingnya, jembatan besi yang membuat suara mendesis ketika kereta kami melintas di atasnya, rumah-rumah penduduk yang terlihat berlarian, pohon, hutan, terowongan, uh! Tak terbayangkan betapa bahagianya setiap aku mengalami momen ini setiap tahunnya.

jalur parahyangan, salah satu yang terindah di pulau jawa

Menjelang akhir masa SD-ku kami pindah ke Blitar, dan aku benar-benar kehilangan suasana dengan kereta. Hanya jalur kereta Kertosono – Malang yang selalu kulihat setiap perjalanan dengan mobil pribadi dari Blitar ke Tulung Agung. Jarak antar kota yang cuma 35 km ini selalu kami tempuh dengan mobil. Rel yang mengular di samping jalan sering menimbulkan rinduku pada perjalanan kereta api. Apabila mudik ke Cirebon tidak menggunakan mobil kami menggunakan kereta jalur tengah – utara sesudah yogyakarta menyimpang ke utara lewat Purwokerto, yang membuat jalur indah Ciamis – Tasikmalaya – Garut itu tidak lagi kulewati.

Pindah ke Sidoarjo, semakin membuatku jauh dari moda transportasi ini. Tak ada rel yang bisa kulihat sepanjang hari, hanya satu perlintasan yang aku temui dalam perjalanan bersepeda ke SMP ketika itu. Satu-satunya hal yang istimewa adalah naik Mutiara Timur ke Banyuwangi dalam perjalanan ke Bali untuk perpisahan SMP. Jalur itu tak pernah lagi kulalui. Pertama dan sekali-kalinya aku lintasi jalur tersebut dengan kereta, malam hari pula, sehingga tak bisa melihat pemandangan di luar. Berkali-kali kemudian untuk tujuan yang sama, selalu naik mobil lintas jalur Panarukan itu. Sempat juga aku bertualang naik kereta ekonomi sendiri dari Sidoarjo ke Blitar, hanya untuk menghadiri reuni SD. Saat itu tidak ada pilihan moda transportasi lain yang melintas di kepalaku selain kereta. Untuk seorang anak perempuan berusia 13 tahun, rasanya cukup bangga juga bisa bepergian naik kereta sendiri. Lebih karena alasan kepraktisan, karena stasiun Sidoarjo cukup dekat dari rumah, dan stasiun Blitar juga berada di tengah kota yang memungkinkan aku untuk dijemput temanku.

Distraksi masa remaja pun membuatku melupakan bahwa kereta dan relnya adalah satu hal yang istimewa dalam hidupku. Walaupun masih berdebar gembira hatiku ketika bersepeda ke Tulangan dan bertemu dengan rel dan lori pengangkut tebu ke pabrik gula sekitar, namun mode dan pusat perbelanjaan yang menjadi khas anak remaja membuat pikiranku banyak teralih dari hobiku ini. Ditambah lagi semakin seringnya aku menggunakan mobil atau bis untuk transportasi sehari-hari, atau dalam perjalanan ke Surabaya yang hanya berjarak belasan km dari Sidoarjo. Padahal jalan Sidoarjo – Surabaya yang melalui Buduran, Gedangan, Aloha, Bungurasih, hingga bundaran Waru dijajari oleh rel kereta Surabaya – Malang – Blitar di sisi timurnya. Yang kuingat adalah rel kereta ini adalah membuat depan sekolah SMA-ku macet karena perlintasan yang hanya berjarak 500 m. Kemudian sesudah dibangun jalan layang melintas atas persimpangan tersebut, kemacetan itu pun hilang, dan aku menjadi lupa dengan penyebab macetnya. Perlahan aku mulai melupakan jes-jes-jes yang dulu merupakan bagian hariku di kota-kota yang kutinggali sebelumnya.

Lulus SMA, aku punya kemauan keras. Aku nggak mau sekolah di Surabaya! Aku mau ke Bandung, mengejar cita-citaku untuk duduk di kampus bermaskot Ganesha duduk tersebut. Aku mau pindah ke Bandung, walaupun tinggal terpisah dengan orang tuaku. Tekadku sudah bulat. Beruntunglah orang tuaku yang sangat tahu cita-cita masa kecilku amat mendukung keinginanku. Di Bandung banyak kerabat dari pihak ibu yang bisa diminta mengawasiku. Maka selepas ujian akhir, tepat sesudah acara perpisahan dengan teman-teman SMA-ku di Pasir Putih Situbondo, aku berangkat ke Bandung dari stasiun Gubeng. Stasiun? Ya, aku naik kereta Turangga jurusan Surabaya – Bandung! Aku akan melintasi kembali jalur masa kecilku, jalur selatan yang indah dengan kelokan dan terowongan ketika masuk Tatar Pasundan! Bungah hatiku dibuatnya. Dan pagi itu, terbangun dalam kereta Turangga, aku memandang keluar dan melihat pemandangan yang tak pernah kulupakan itu lagi. Sayangnya karena keretanya kelas eksekutif, jadi aku tak bisa merasakan angin karena tak ada jendela yang terbuka di gerbongnya. Akhirnya aku harus puas dengan hanya bisa memandang lokomotif dan buntut kereta dari jendela gerbong eksekutif yang super besar itu. Tapi pernah setelah beberapa kali balik Surabaya – Bandung naik kereta ini, akhirnya aku ke gerbong restorasi dan menemukan jendela yang terbuka sehingga aku bisa menjulurkan kepalaku dan merasakan angin menampar mukaku di pagi hari sambil tersenyum lebar merasakan angin mengacak rambutku yang memang berantakan bangun tidur. Demi selalu merasakan pengalaman ini (dan juga karena lebih murah), aku memilih naik gerbong bisnis yang berjendela hidup. Tak apa, toh sampainya bareng juga dengan kereta eksekutif. Kan ditarik lokomotif yang sama!

Depok, 15 Mei 2012 – 1 Agustus 2012
06.10

16 thoughts on “rel dan masa kecil

  1. Waow…tampak sangat mencintai kereta ya, teh.
    Aku tertarik sama kereta sejak kecil gegara baca Railway Children-nya E. Nesbit. Tp ngerasain naik kereta baru pas kuliah :))

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.