Takdir UMPTN mengatakan kalau aku harus kuliah di kampus beringin di Depok, bukan di kampus Ganesha cita-citaku. Meskipun diterima di beberapa perguruan tinggi swasta di Bandung, namun aku tetap memilih Depok, dengan pertimbangan sama-sama universitas negeri.
Kunjungan pertamaku di Depok, menginap di rumah salah satu kerabat di situ, yang kemudian mengajakku berjalan-jalan ke kota Jakarta naik… KRL alias Kereta Rel Listrik! Awalnya sempat ngeri juga naik KRL yang kondisinya penuh dan kita harus sigap untuk naik dan turun di stasiun yang dituju. Beda dengan kebiasaanku naik kereta api luar kota dengan jeda waktu naik turun yang santai, KRL ini mengejutkanku. Seperti di film-film luar negeri yang kutonton ketika orang berebutan di stasiun untuk naik kereta cepat, seperti ini juga yang kusaksikan di peron. Bedanya, kalau di film atau komik Kobo-chan itu KRLnya bersih dan pintunya selalu menutup otomatis, di KRL Jabodetabek ini agak kotor, pintunya tak bisa tertutup, dan penumpangnya berjubelan sampai atap.
Sudah menjadi kebiasaanku jika tinggal baru tinggal di satu kota, maka aku akan mencoba seluruh jalur kendaraan umumnya sampai ujung dan kembali lagi. Tak terkecuali naik KRL. Aku mencoba naik KRL ini sampai stasiun Kota, balik lagi ke Depok, atau ke arah stasiun Bogor, balik lagi ke Depok. Selain untuk mengenali kota Jakarta, juga untuk menghafalkan semua stasiun yang aku lalui.
Di tahun-tahun kuliahku, KRL yang ada hanya KRL ekonomi. Kereta dari PT INKA yang berwarna hijau itu setiap hari melintas di rel yang berada tak jauh dari tempat tinggalku saat itu. Bunyi palang pintu kereta di dekat stasiun Depok Baru setiap pagi terdengar nyaring seperti alarm harian yang membangunkan tidur. Sayang, jarak dari rumah ke kampus yang cukup dekat membuatku tidak memerlukan KRL sebagai moda transportasi setiap hari. Jadi aku hanya mendengar cerita dari teman-temanku yang tinggal di Jakarta yang setiap hari ‘nglaju’ ke Depok. Cukup banyak juga yang mengandalkan kereta. Selain cepat juga murah, alasannya. Apalagi jam-jam berangkat dan pulang ke Depok melawan arus pekerja kantoran yang memenuhi kereta. Kalau pagi ketika kepadatan terjadi di KRL arah Jakarta, mahasiswa mahasiswi ini menuju Depok. Saat sore hari, ketika kepadatan tinggi ke arah selatan (Depok-Bogor), mereka kembali menuju Jakarta. Tak heran KRL menjadi moda transportasi favorit. Banyak mahasiswa menyatakan dirinya ‘anker’ akronim dari ‘anak kereta’.
Memang terdapat beberapa stasiun yang memfasilitasi beberapa kampus ini. Sebutlah ada stasiun Universitas Pancasila yang berada tepat di depan kampusnya. stasiun Universitas Indonesia tepat di samping jalan utama masuk kampus, dan stasiun Pondok Cina yang selain dekat dengan beberapa bangunan utama UI, juga dekat dengan kampus Universitas Gunadarma pada sisi lain relnya. Karena itu, cepat dan murah serta akses yang mudah menjadikan KRL dijadikan tumpuan perjalanan sehari2 mahasiswa-mahasiswi kampus tersebut.
Keliling Jabotabek memang paling praktis naik kereta. Selain cepat, juga murah. Bayangkan saja jalan Depok sampai Pasar Minggu itu macetnya amit-amit di Lenteng Agung dan Tanjung Barat setiap pagi, belum lagi Pasar Minggu – Pancoran yang padat merayap. Kalau sendiri (berempat juga nggak apa-apa sih) lebih baik naik kereta sampai tengah kota (Cawang-Gambir misalnya) baru melanjutkan naik kendaraan umum yang lain. Makanya kalau ada yang menanyakan jalan, aku sering menyarankan ke orang-orang yang mau ke mana-mana untuk naik kereta, dengan pertimbangan lebih cepat. Tapi tentunya tergantung keberanian dan tekad orang itu mau atau tidak ikut naik dan keluar kereta (di jam sibuk).
rumah kentang. 16.08.2012
h.o.l.i.d.a.y
foto dari : http://pemanisbuatan.files.wordpress.com/2012/01/krl1.jpg dan http://johannesharry.files.wordpress.com/2007/07/krl-ekonomi-1500.jpg