Lewat radio aku sampaikan | Kerinduan yang lama terpendam
Terus mencari biar musim berganti | Radio cerahkan hidupnya
Jika hingga nanti ku tak bisa
Menemukan hatinya
Menemukan hatinya
Menemukan hatinya lagi
~ Sheila on 7
Ada satu tempat yang selama ini aku dengar dengan membaca. Bagaimana bisa? Radiobuku dengan akun twitter @radiobuku sejak tahun lalu mengudara dengan streaming lewat http://www.radiobuku.com, juga bisa didengar liputannya lewat berita di twitter. Kegilaanku akan membaca buku menjadi marak dengan berita yang berkaitan dengan buku, termasuk tentang pengarang dan sejarah. Tak jarang di siang hari diperdengarkan pidato Bung Karno yang membakar semangat.
Dengan beberapa komunitas yang aku ikuti dan ingin aku temui juga di Jogjakarta, maka aku memutuskan untuk ketemu dengan mereka di radiobuku, yang bermarkas di Indonesia Boekoe Jl Patehan Wetan Alun-alun Kidul Keraton Jogjakarta. Bersama seluruh rombongan usai dari Perayaan Waisyak sehari sebelumnya, kami berenam menuju lokasi yang berada di bawah pohon rindang itu. Kami semobil berlima, Aku, Astin, Pra , Felicia dan Endah, sementara Sansan menunjukkan jalan dengan naik motor.
Tak jauh dari Taman Sari, kami tiba terlalu pagi di sana. Padahal sudah jam 11, namun suasana masih terbilang sepi. Memang studio radio baru buka jam 1. Muhidin M Dahlan atau biasa dipanggil Gus Muh, menyambut kami di satu ruang bersama yang dialasi karpet merah. Bangunan ini sederhana, pada rumah tua jaman belanda yang dialihfungsikan menjadi beberapa kegiatan di dalamnya. Ruang bersama ini berada di tengah perpustakaan dengan koleksi perpustakaan terutama berkaitan dengan sejarah. Banyak buku-buku langka berada di sini, bahkan buku tentang Tirto Adhi Soerjo, pendiri Medan Prijaji yang kisahnya difiksikan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru-nya. Poster Tirto Adhi Suryo dalam ukuran besar terpajang di bagian depan perpustakaan. Ada meja tulis di situ untuk pengunjung sekadar menuliskan catatan, atau bekerja dengan laptop.


Aku masih melihat-lihat koleksi ketika Lutfi Retno dari goodreads jogja muncul. Rupanya Lutfi sudah cukup sering juga ke sini bahkan beberapa kali juga tapping siaran di sini. Dari rumahnya di tepian Jogja, ia mengendarai motor. Kami berbincang-bincang seru karena sudah lama juga tak bertemu. Terakhir mungkin ketika Lutfi berkunjung ke Jakarta beberapa bulan sebelumnya.
Gus Muh menunjukkan kami beberapa ruangan yang digunakan. Ada satu ruangan dengan koleksi langka yang tidak boleh dipinjam bebas. “Buku-buku tulisan George Adhitjondro ada di sini semua,” tuturnya. Aku melihat ruangan berisi rak-rak setinggi langit-langit berisi buku-buku. Beberapa masih tersimpan di kardus. “Ini masih harus didata lagi sebelum dimasukkan ke rak.” Ruangan ini tertutup dan belum terkondisi pengudaraannya.
Di bagian belakang, Gus Muh menunjukkan Gudang Arsip yang berisi kumpulan arsip suara dan lainnya yang disimpan. Juga ada rak-rak tinggi yang menyimpan berbagai macam jurnal juga. Di sampingnya adalah kantor Indonesia Buku dengan beberapa komputer di salamnya.
Di samping ruang bersama, ada ruang mengarsip. “Untung kalian datang hari Minggu, karena hari Minggu adalah hari mengarsip,” kata Gus Muh sambil menyalakan sederet lampu di atas meja. Kemudian ia membentangkan surat kabar yang bertumpuk di sampingnya, dan memotret satu persatu halaman dengan kamera yang dudukannya sudah disetel dengan pas di atas meja. “Semua arsip ini nanti disimpan di ruangan sebelah,” sambil menunjuk gudang arsip. Menurutnya, siapa pun bisa mempergunakan arsip-arsip ini dengan menghubungi pihak Indonesia Buku.


Seperti umumnya bangunan lama, langit-langit ruangan cukup tinggi sehingga tidak diperlukan pengudaraan buatan. Angin semilir masuk dari pintu dan jendela dan keluar lagi melalui lubang-lubang ventilasi di atas. Jendela-jendela besar di samping memberikan pencahayaan alami untuk yang membaca di dalam ruang berkarpet merah itu. Cahaya dalam ruangan perpustakaan tidak terlalu banyak, mungkin untuk melindungi buku-buku supaya tidak cepat rusak. Lantai bebasnya tegel abu-abu terasa dingin di kaki, menetralkan dari udara jogja yang panas. Asyik sekali mengobrol dan berdiskusi di situ. Kesederhanaannya membuat suasana mejadi guyub, karena bebas untuk mengobrol sambil selonjoran, angkat kaki, bahkan tengkurap sambil membaca-baca koleksi buku yang ada.
Tak lama kemudian, Denie Kristyono, teman virtualku dari komunitas Sahabat Balada si Roy, salah satu novel serial petualangan yang terkenal di tahun 80-90an datang menumpang becak. Mungkin benar, di Jogja kemana-mana naik becak itu menyenangkan. Ataukah ia mengambil paket naik becak dari Malioboro untuk berwisata ke Keraton dan Tamansari sekalian baru ke Patehan Wetan yang memang tak jauh itu? Haha, aku tak bertanya dengan pasti. Aku baru bertemu dengan pria pendiam itu dua kali. Sekali di Serang, dan sekali lagi di Jakarta. Selebihnya hanya perjumpaan di dunia maya belaka.

Begitupun dengan teman-teman yang kuajak ke sini dan juga kru radiobuku, hanya pernah dijumpai dalam berbalas twitter atau email. Nadia, salah satu penyiar radiobuku datang. Ia sudah membuat janji untuk mewawancaraiku. Tadinya aku bingung mau wawancara tentang apa, ya? Tentang Indri and friends pasti tidak menarik pendengar. Aku ajak Denie menemaniku siaran untuk promo acara 25 tahun Balada si Roy. Lagipula kami sudah sering bercanda lewat facebook, jadi tidak terlalu asing lagi.
Bilik siaran itu terletak di luar bangunan utama Indonesia Boekoe. Ada bangunan tambahan sepanjang 6 m dengan beberapa pintu di luarnya. Salah satunya bertuliskan radiobuku, tempat aku, Denie dan Nadia akan merekam suara kami. Radio ini sistemnya rekam suara (tapping) dan baru diperdengarkan pada jadwal tertentu.
Ruangan mungil ini hanya berukuran 2×2 m berwarna kelabu, berisi satu meja dengan satu layar monitor dan papan ketik. Tiga kursi untuk tamu yang diwawancara berada di depannya. Ada tiga mic dan headphone di meja yang segera dikenakan oleh aku dan Denie. Lantainya beralas karpet dan dindingnya dilapis peredam dari bahan lunak. Peredam ini untuk meminimalisasi gangguan suara dari luar, juga menyerap gaung yang mungkin terjadi apabila suara terkena permukaan keras. Pra ikut masuk untuk memotret kami. Ruangan yang sempit ini membuatnya kurang leluasa mengambil gambar.

Dipandu pertanyaan Nadia, aku dan Denie asyik bercerita tentang Balada si Roy dan komunitasnya, buku masa remaja yang banyak mempengaruhi kami untuk bepergian sejauh-jauhnya. Buku yang ditulis oleh mas Gola Gong ini bercerita tentang sesosok remaja pria yang melakukan perjalanan dan mencari pengalaman hidup untuk memperkaya batinnya. Tiba-tiba muncul seraut wajah di lubang jendela berukuran 20×20 cm di pintu studio. Ternyata itu Nuran Wibisono, salah satu penggemar Balada si Roy juga yang sengaja kuundang untuk menemaniku diwawancara. Aku juga belum pernah bertemu dengannya sebelumnya. Tambahlah kami bersesakan dalam ruang studio yang kecil itu. Tapi dengan pertemanan yang luas dan obrolan yang mengasyikkan, ruangan itu tak terasa sempit lagi. Bagaimana mengkondisikan pikiran kita, sebenarnya ruang sempit dan ruang besar hanya sugesti dalam kepala masing-masing. Kami masih bisa berbicara dengan nyaman ketika diwawancara. Jika satu orang butuh 0.6 m2, ruangan ini sebenarnya cukup. Namun aku tidak menyarankan apabila diisi lebih dari empat. Ruang bernafasnya bisa jadi lebih sempit.
Usai siaran kami berfoto-foto di depan studio. Ada saung-saung yang terbuat dari bambu yang menempel pada dinding yang dinamakan Angkringan Buku, Terdapat satu gerobak angkringan khas Jogja di pojoknya. Siang itu sepi. Tak banyak orang-orang yang duduk ngangkring dan berdiskusi di situ. Aku ngobrol dengan Denie dan Nuran di satu meja yang juga dilengkapi colokan listrik. Asyik juga kayaknya kalau mau sambil bekerja di sini, tanpa khawatir kehabisan daya baterai.

Lokasinya yang mudah dijangkau, membuat area Indonesia Boekoe ini enak dijadikan sebagai tempat berkumpul. Daripada repot mencari tempat kumpul yang berupa tempat makan, di sini sambil menunggu kencan datang, bisa membaca koleksinya yang ciamik. Tanpa janjian sebelumnya, aku melihat seseorang berambut keriting berkacamata sedang melihat-lihat koleksi buku di ruang perpustakaan. Ya ampun, itu Iiw, salah satu teman goodreads juga yang kukenal di Bandung. Cowok penghunting buku langka ini juga ngiler dengan koleksi di sini.
Tiba-tiba aku merasa Jogja itu kota tempat aku mungkin menemukan teman-teman yang terpisah jauh. Karena ada satu event Waisyak sehari sebelumnya, yang membuat banyak orang berada dalam satu kota ini. Buku, persahabatan, dan traveling, sepertinya sulit dipisahkan dengan diriku. Selalu ada keterkaitan si antara ketiganya. Seperti radio, orang-orang dengan peminatan yang sama berada di frekuensi yang sama.
Kami pamit karena akan melihat satu festival buku di Jalan Sagan. Juga bertemu dengan orang-orang lain yang selama ini bertemu di dunia maya. Dari radio, kami kembali ke buku. Lagi.

(iiw, astin, sansan, gusmuh, pra, nuran, denie, endah, indri, lutfi, felicia)
foto cover oleh Astin
perjalanan 26 mei 2013
jakarta. 17 september 2013
it seemed you really enjoying what you like.. #ya iyalah…
me, travels, books, are love collide.. đŸ˜€
Manttaaapp…
terima kasih sudah baca, mampirlah ke sanaa..
dulu beberapa kali main ke radiobuku, kebetulan beberapa temen ada di sana juga….:)
Sama.. Aku juga terpengaruh Balada si Roy đŸ˜€
waah, makasih kakak Eka sudah mampir..
hayu jalan-jalan yuuk..