“If I’d chosen never to the foot inside the great fairytale, I’d never have known what I’ve lost. Do you see what I’m getting at? Sometimes it’s worse for us human beings to lose something dear to us than never to have had it at all.”
― Jostein Gaarder, The Orange Girl
Apakah yang dipikirkan ketika berjalan sepanjang jalan Legian? Riuh ramai bule berlalu lalang, aneka toko suvenir, cafe, restoran, dan kios-kios yang menawarkan jasa spa untuk meringankan beban kaki yang mungkin sudah penat berpesiar seharian. Legian pernah diingat sebagai tempat meledaknya bom di Paddy’s Club, yang hingga kini masih saja meriah berdentam-dentam, sambil dipenuhi orang-orang yang ingin menikmati hiburan malam di situ. Monumen peringatan yang berdiri tak jauh dari situ berulangkali disinggahi orang-orang sambil berfoto, entah mengenang penanda waktu atau sekadar memberi jejak pernah berlalu di seputaran Legian. Mobil-mobil yang berjalan satu arah melaju tersendat karena menunggu taksi yang berjalan lambat sembari mencari penumpang ke suatu tempat.
Alkisah ada seorang perempuan mungil, yang tiba di Legian dengan menggunakan mobil sewaan, sesudah berkeliling seharian di Ubud yang membuatnya terlambat karena beberapa upacara di jalan membuatnya terhambat. Hujan seketika menyambut selepas senja ketika ia tiba di The One Legian dengan koper jingganya membuat ia harus turun di lantai basement. Ketika ia naik lift ia bingung hendak mendarat di lantai mana untuk menemukan lobby. Untunglah seorang petugas ramah menemukannya tersesat di lantai yang salah dan mengantarkannya hingga ruang besar tempat seharusnya ia melaporkan kedatangannya.
“Kak Indri Juwono, ya? Wah, sudah ditunggu sejak tadi.”
Dengan tersipu malu perempuan itu mengatakan alasan keterlambatannya, sekaligus menjadwalkan ulang beberapa pertemuannya di depan. Ruang lobby ini luar biasa menarik dengan tiga meja kayu berbentuk cangkang dan front office yang ramah, dipenuhi oleh nuansa jingga. Cocok sekali dengan topi lebar dan koper yang dibawanya, pikirnya sambil mengelap minyak yang memenuhi hidungnya. Setelah menerima kunci, seorang pemuda mengantarnya menuju kamar yang akan ditinggalinya dua hari ini.
Ternyata cukup jauh juga perjalanan dari lobby ke kamar Suite yang berada di ujung itu. Setiba di kamar, perempuan itu melihat-lihat ruangan yang cukup luas untuk ditinggalinya sendirian. Sofa besar dan televisi, sepiring besar buah-buahan, dan surat manis yang menyambut kedatangannya. Satu meja makan bundar bisa dipakai untuk sekadar menikmati kudapan nanti.
Ia menggeser pintu di balik televisi. Wow, satu kamar bernuansa jingga yang segar dengan tempat tidur besar yang memanggil-manggilnya untuk tenggelam berbaring di situ. Dinding berwarna ungu berpadu dengan putih kontras dengan bantal jingga bak jeruk marmalade yang wangi. Lantai dengan pola strip bergantian motif gading dan kayu memberikan suasana yang cukup atraktif. Kamar mandi dengan bathub besar, shower, kloset dan lavatory putih melengkapi ruang tinggalnya. Dirapikannya beberapa barang dari koper sebelum ia bergegas keluar untuk menyegarkan badan.
Dirasa tubuh penat, perempuan mungil itu keluar dari kamarnya. Ia menyusuri lorong yang tadi dilaluinya menuju lobby lagi. Lewat pintu di sebelah ruang besar tadi, diikutinya petunjuk arah ke ruang yang dikiranya akan membebaskan. Spa. Seorang perempuan berseragam batik menyambutnya dengan hangat, menjelaskan berbagai minyak yang akan digunakan, menghidangkan teh serai untuk menghangatkan badan.
Dengan pencahayaan temaram, diamatinya satu per satu ruangan dengan dipan tunggal beralas kain. Privasi menjadi keunggulan di sini, ketika terapi menyegarkan badan, dengan pijatan tangan-tangan yang terlatih. Di salah satu sudut, terdapat ruangan dengan wangi aromaterapi dan dua dipan untuk pasangan. Shower dan bathub di sebelahnya untuk menyegarkan usai perawatan. Perempuan mungil itu masuk ke dalam satu ruang, meluruhkan pakaiannya dan menunggu pijatan pengusir penatnya. Perlahan lampu pun meredup, dan harum inspirational oil memenuhi ruangan. Ia memejamkan mata, menikmati aliran darahnya yang diurut satu-satu, menghilangkan ketegangan karena terlalu banyak berjalan tadi siang.
Satu jam berlalu dan purna lelahnya, perempuan berambut keriting ini bangun dengan segar dan berjalan kembali ke lobby The One Legian, menuju restoran De Basilico untuk menikmati makan malam. (Ah, sudahlah. Akan terlalu banyak yang kukisahkan tentang restoran ini, mungkin pada cerita lain). Berjalan di tepi kolam renang yang gelap, ia berharap ada pantulan bintang dari langit pada perairannya. Tapi hanya awan gelap yang berarak seperti halnya di angkasa yang kelam. Kembali ke peraduan, menyejukkan diri di antara busa-busa dalam bak mandi untuk menetralkan otot-otot yang tadi penat. Hampir saja tertidur di dalamnya, jika saja tidak ingat untuk berpindah ke kasur empuk yang sudah menjanjikan mimpi sejak siang tadi. Menunggu pagi yang kelak menjelang.
Kemudian bukan kokok ayam atau matahari yang membangunkannya, karena buat apa memikirkan waktu ketika sedang liburan toh? Ia beringsut dari peraduan untuk menyegarkan diri di kamar mandi. Sempat terpikir untuk berenang di kolam depan kamar, tapi keinginannya berubah menjadi sekadar membaca di tepian saja. Diperhatikannya awan-awan di langit yang bergerak ditiup angin dari lantai paling rendah di hotel ini. Suara air berkecipuk dari orang-orang yang berenang di ujung sana, renyah tawa sekeluarga yang mengajak anak bayinya bermain air. Sepertinya memang kolam yang dilingkupi dinding-dinding tinggi gedung ini cocok untuk berenang santai tanpa terkena terik nanti.
Merasa perutnya perlu diisi, perempuan mungil itu menuju lift, naik ke lantai teratas gedungnya untuk sarapan seperti petunjuk front office kemarin. Setiba di lantai atas ia bingung, karena hiruk pikuk orang sarapan berada di bangunan sebelahnya, gedung lama hotel. Tanpa berpikir untuk mencari jembatan yang tak nampak, ia turun lagi ke lantai lobby, berlari ke sisi gedung sebelah, dan naik ke lantai teratasnya lagi untuk mengisi perut. Pramusaji yang ramah menyambutnya untuk menikmati berbagai hidangan yang tersedia.
Wow, dengan lokasinya di paling atas ini membuat angin bertiup semilir langsung ke ruang-ruang makannya. Pilihan antara sarapan segar dengan salad, nasi dan lauk, aneka roti serta selai, wafel dan omelet favoritnya, membuat perempuan itu sempat berpikir memilih sebelum akhirnya mengambil semuanya. Iya, butuh banyak makan rupanya hari ini sebelum beraktivitas di siang hari nanti.
Restoran di lantai paling atas ini dikelilingi oleh meja saji dengan aneka hidangan, dibatasi dengan bilah-bilah kayu berwarna gelap di sisi-sisi, menutup batas namun masih transparan, mengintip pemandangan di kejauhan. Pilihan duduk di sisi depan menggoda dengan meja beratapkan langit, namun sepertinya lebih nyaman jika ada teman berbincang. Menemani sendirinya, perempuan itu mengambil meja di sudut sambil mengamati sekeliling. Orang-orang berlalu lalang dengan irama denting sendok, garpu, dan pisau beradu dengan piring. Bermacam warna kulit, beragam penampilan, berbaur dekat meja hidangan untuk mengisi energi nanti.
Perempuan itu tertarik untuk melihat apa yang berada di bagian depan, menghadap ke laut yang dibatasi bangunan di sisi barat. Wow, ia menemukan perairan biru tak jauh beda tingginya dengan tempat berdirinya, kolam renang lain di ketinggian langsung terbuka dengan langit dan pandangan ke kejauhan. Laut di sisi barat membentang di balik bangunan-bangunan yang berdiri. Karena tempatnya di ketinggian, maka birunya laut seperti tanpa penghalang. Orang-orang berenang atau bersantai di tepian kolam dengan dek kayu yang hangat, sambil memesan minuman dari poolbar di tepian. Kala cuaca tak seberapa terik, menghabiskan waktu beratapkan langit memang pilihan menyenangkan.
Sembari melintasi tepian kolam dan bertemu satu hall besar, ia tergelak. Rupanya jalan dari lift pertama tadi ke seberang tempat sarapan bisa melalui sini. Posisi kolam renang yang berada di tengah menjadi penghubung antara bangunan baru tempatnya tinggal dengan bangunan lama yang di atasnya restoran, sehingga mudah dicapai dari dua arah. Hall kosong dengan struktur baja beratap jengki sepertinya kerap kali menjadi tempat berkumpul atau pesta di sore hari sambil menikmati Legian dari ketinggian.
Melalui lift, langkahnya mengarah ke lobby, yang ternyata bukan sekadar meja terima tamu belaka, tapi sebagai titik temu yang cukup strategis. Bar panjang terletak di satu sisi, siap menyajikan minuman di kala obrolan yang berlarut-larut. Berbagai sitting groups dengan berbagai model yang bisa dipilih sesuai dengan suasana hati. Pilihan empuk di sofa, kursi-kursi untuk pembicaraan serius, atau mengobrol ringan di tepi jendela sambil memandang jalan Legian yang cukup ramai. Cermin-cermin pada kolom persegi memberi bayangan-bayangan unik pada siapa yang melintas.
Ketinggian area lobby sekitar enam meter dari jalan membuat orang bisa mengintip pada pejalan kaki, kafe di seberang, taksi yang berhenti menaik turunkan penumpang, atau sekadar mengamati cuaca yang berubah-ubah di luar. Yang paling unik di sini adalah langit-langit dengan sirip-sirip kayu yang bergantungan, menyembunyikan aneka lampu maupun sprinkler di baliknya, dalam tatanan acak. Permainan cahaya baik ketika lampu menyala atau di siang hari ketika lampu padam memberikan bayangan yang menarik. Aha, ia menemukan teman baru yang bisa diajak berkeliling untuk tahu ruang mana saja yang dimiliki oleh The One Legian.
Tipe kamar pertama di sini adalah Superior, dengan satu kamar tidur besar dalam ruang yang simpel di sayap utara. Nakas di tepi double bed, televisi, serta dinding berwarna cerah memberikan nuansa riang untuk yang bertinggal di dalamnya. Untuk memberi kesan luas, kamar mandi hanya berbatas kaca dengan area tidur, hanya saja terlindungi oleh horizontal blind sehingga privasi bisa terjaga.
Jika bersama keluarga, tentu bisa mencoba tipe Deluxe Family, dengan ukuran kamar yang lebih luas, masih dengan double bed di area utamanya, dilengkapi dengan seperangkat meja kursi untuk sekadar tempat bekerja. Di ceruk yang lain, tempat tidur anak dengan single bed dalam ruangan tersendiri, juga mendapatkan pencahayaan yang cukup. Kamar mandi yang cukup luas dengan nuansa teraso berwarna biru memberikan kesan adem dan serasa berada di laut. Bathub dan ruang shower yang terpisah bisa menjadi pilihan ketika membersihkan badan.
Pilihan lain adalah Deluxe Balcony, dengan ruangan yang cukup luas untuk berdua saja dan menghadap ke Jalan Legian. Nuansa warna jingga masih mendominasi memberikan sirit pagi yang bersemangat. Masih dengan pola lantai yang berkombinasi warna kayu dan gading, selain double bed juga dilengkapi dengan sofa serta ruang lega yang masih banyak sisa untuk yoga di pagi hari ataupun berdansa sebelum tidur. Aw, bisa romantis sekali menginap di sini.
Melangkah keluar dari lift di lantai paling atas yang tadi pagi dilalui, terdapat hall besar yang bisa disewa untuk acara-acara dengan pengaturan sendiri. Pepohonan besar berwarna-warni di atas seperti hutan mungil yang memberikan kesejukan di bawah langit yang biru. Diluruskannya pandangan ke belakang, mengintip sepotong pura tempat pemujaan. Pertanda bahwa hotel The One Legian ini memang berada di Bali, yang tak lupa menempatkan tempat ibadah untuk umat Hindu di sana.
Diamatinya jendela-jendela di bawah sulur-sulur tanaman merambat yang berjatuhan di tepi-tepi dinding. Melayangkan pandangan pada kolam jauh di bawah di depan kamarnya tadi, ternyata sudah tidak ada yang iseng bermain air saat tengah hari ini. Mungkin sudah beraktivitas di luar hotel menikmati perjalanan sekeliling.
Mereka kembali ke rooftop kolam yang berada di depan, dekat dengan restoran tempat sarapan. Gazebo-gazebo mungil menjadi tempat bermalasan dalam naungan, sambil memeluk bantal sebagai teman. Ternyata masih ada yang bercumbu dengan air di bawah langit biru untuk membuat kulit menjadi lebih gelap. Deru kecipuk pun beradu dengan suara tawa sambil bersenda gurau di sana.
Di satu area besar yang beratap jengki, perempuan mungil itu berteduh. “Di sini bisa dijadikan tempat pesta terbuka. Dari The One Legian bisa membantu organize, tapi apabila membawa organizer sendiri juga dipersilakan,” jelas wanita muda yang mengajaknya berkeliling itu. Ruangan ini cukup besar dengan rangka baja dengan bentang untuk atap yang menaungi ruangan sebesar 12 meter itu. Sirip-sirip kayu di samping teratur membentuk lengkung di sisi utara dan selatan.
Di sisi barat yang menghadap laut, langit-langit kaca tembus pandang ke kejauhan. Jeruji kayu di bawah menjaganya agar tidak jatuh. Ia melemparkan tatapannya pada cakrawala seolah sedang mencari yang tak nampak.
The ONE Legian
Address : Jalan Legian No. 117, Legian, Kuta, Kabupaten Badung, Bali 80361
P. (+62 361) 3001 101
F. (+62 361) 3002 101
E. sales@theonelegian.com, reservation@theonelegian.com
http://theonelegian.com
kok bisa pas banget warna topi dan koper sama hotelnyaaa..
btw itu atap yang di lantai atas banget (yang lo bilang ada sirip-sirip kayunya) keren banget bentuknyaaaa..
begitulah bagaimana si koper dan topi oranye menemukan persembunyian yang tepat rupanya…
nah atap jengki itu sketchable banget yaa..
Kak indriiii, ajaak aku ke bali terus nginap di Legian dong. Warnanya aku sukaa. Jingga
aku juga suka banget sama jingga. cerah dan segar nih yaaa..
Iya seger banget warnanya
Warna dinding ungu dan bantal oranyenya kontras banget, mbak. Segar, bangun tiap pagi bakal semangat!
Iyuhu, walaupun bangun pagi setelah malamnya minum cocktail itu agak gimana gitu.. #eh