“To dwellers in a wood, almost every species of tree has its voice as well as its feature.”
― Thomas Hardy, Under the Greenwood Tree
Setelah sekitar 10 jam perjalanan malam di laut, KRI Hasan Basri merapat di Pelabuhan Besar Agats, Papua pada jam 07.16 WIT. Malam sebelumnya kami berangkat dari Dock Freeport di Timika untuk menuju ibukota kabupaten Asmat ini melalui jalur laut. Jalur ini adalah salah satu pilihan menuju Agats dari Timika, selain menggunakan pesawat udara hingga bandara Ewer di Agats.
Hampir keseluruhan tanah di Agats adalah rawa-rawa, sehingga tak heran bahwa kota ini berdiri di atas tonggak-tonggak yang memenuhi setiap ujung kotanya. Sementara barang-barang diangkut lagi dengan perahu ketinting dari tepi pelabuhan, kami berjalan kaki menyusuri jalan di kota Agats. Tim UI Peduli bersama Satgas Kesehatan TNI akan berada di Asmat selama beberapa waktu untuk pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Jalan utama dibangun dengan tiang beton dan pelat beton beraspal, menggantikan jalan papan sebelumnya. Sepanjang jalur perjalanan dari pelabuhan hingga penginapan adalah jalur ekonomi yang cukup mapan, aneka toko yang berjualan dibuka di tepi jalan. Sementara rumah-rumah agak mundur ke belakang dengan jalan-jalan dari pelat kayu untuk mencapainya. Kebanyakan toko dimiliki oleh orang Bugis atau Ambon. Beberapa rumah dengan gaya atap Bugis ditemui di tepi jalan.
Kemudian aku berpikir, jika dahulu seluruh jalan di kota ini terbuat dari papan, pasti akan terasa berderak-derak manakala ada yang berlarian di atasnya. Bahkan pelat beton ini masih merasakan getaran dari pergerakan kendaraan di atasnya.
Transportasi di sini selain sepeda hanyalah motor listrik dengan charger di rumah-rumah. Motor ini tidak berisik dengan knalpot seperti halnya di Jawa, namun halus meluncur di atas jalan yang berderak-derak. Kota Agats sudah dialiri listrik PLN dengan tenaga diesel, yang energinya bisa digunakan untuk mengisi ulang baterai yang digunakan motor-motor ini.
Pola kotanya linier sepanjang jalur jalan beton, dengan jalur grid ketika memasuki pusat kota yang dilengkapi berbagai fasilitas seperti pasar, masjid, gereja, RSUD, kantor Koramil, Kodim, PAUD, SD, SMP, SMA. Di tengah kota, jalur utama bercabang ke arah pemukiman ke kiri dan ke kanan terus hingga ujung jalan aspal di Desa Syuru.
Hujan sempat menghambat perjalanan sehingga aku sempat berhenti lama di kantor Koramil dan menunggu hujan reda. Beruntung, waktu yang sedemikian bisa digunakan untuk men-charge motor listrik yang sudah kehabisan dayanya. Tak jauh dari Koramil, ternyata terdapat sungai yang menjadi jalur perahu yang mengantarkan barang-barang kami. Namun aku tak menyesali hujan yang datang, karena di kota yang pasokan air bersihnya kurang ini, turunnya air hujan akan mengisi tandon-tandon air kebutuhan mereka.
Di dekat hotel tempat kami tinggal, jalan menuju rumah-rumah dibuat dari papan yang berdiri di atas tonggak-tonggak kayu, dengan semua bangunan pun berdiri di atas rawa-rawa ini, yang berjarak dari jalan. Yang unik, walaupun areanya cukup berjarak dengan jalan, namun rumah-rumah ini juga memiliki gerbang dari kayu yang dicat warna-warni sesuai keinginan pemiliknya. Di halamannya juga tumbuh banyak pohon-pohon buah untuk dinikmati hasilnya.
Menjelang sore, kami berjalan-jalan ke Sekolah Dasar Syuru yang juga terbuat dari papan. Kondisi fisik sekolah maupun kelengkapan bangkunya terlihat cukup bagus, dengan cat berwarna cerah. Yang unik, lapangan bolanya juga terbuat dari papan tempat belasan anak asyik berebut bola plastik yang mereka mainkan. Tak heran Asmat dijuluki sebagai negeri sejuta papan karena hampir keseluruhan melayang dengan bilah-bilah papan menghubungkan berbagai titik di kota ini.
Melanjutkan ke desa Syuru, lebih banyak lagi penduduk lokal Papua yang tinggal di sini. Jalanan makin ramai di sore hari karena mereka tidak hanya bercengkrama di rumah-rumah, tapi juga bermain di tengah jalan. Ibu-ibu mengunyah sirih di beranda sementara anak-anak bermain mobil-mobilan tali di jalanan.
Hingga menjelang malam hari, ternyata keramaian berpusat di pasar dekat Pelabuhan Ferry Agats. Puluhan orang masih berlalu lalang dan toko-toko masih buka hingga sayur-sayuran masih dijual di emperan toko yang terbuat dari papan. Di pelabuhan pun masih ramai barang-barang yang baru datang untuk dibawa ke pasar. Terdapat tanggul beton di sepanjang kawasan pelabuhan yang ternyata menjadi tempat mengambil gambar senja yang indah.
Di hari berikutnya yang kebetulan hari Minggu, masyarakat Agats beribadah ke gereja yang terletak tak jauh dari desa Syuru. Meskipun masih jam sembilan pagi, tapi matahari di Agats sudah bersinar cukup terik. Tak heran kami sudah berpeluh di pagi hari ketika menyusuri jalan-jalan di Agats. Orang-orang lewat sambil berjalan kaki maupun naik motor listrik untuk beribadah ke gereja yang tak jauh dari tempat tinggal mereka. Senyum manis terukir di wajah-wajah itu ketika kami mengucapkan salam untuk menyapa.
Tak jauh dari hotel tempat tinggal kami berada, terdapat percabangan jalan yang banyak terdapat rumah-rumah dengan ukuran yang cukup besar. Namun lingkungannya tetap asri dengan aneka tanaman di halamannya. Bahkan ada rumah yang berlantai dua dengan pagar yang cantik. Kami juga menemukan dua rumah panjang dengan denah U di ujung jalan ini, dengan banyak pintu di depannya. Sempat ragu, apakah ini merupakan asrama atau bentuk lebih modern dari rumah Asmat yang panjang dan dihuni beberapa keluarga dengan beberapa pintu?
Ketika kami kembali ke gereja, ibadah minggu sudah selesai sehingga kami menuju rumah baca di samping gereja yang dikelola oleh keuskupan dengan koleksi buku yang lumayan banyak. Dari tim Antropologi UI pun melakukan pendekatan pada anak-anak dengan bermain dan bercerita bersama di rumah baca, juga menyanyikan lagu-lagu nasional bersama-sama.
Menjelang sore, tim kesehatan dari FK UI melakukan pemeriksaan kesehatan di Polindes(Poliklinik Desa) Syuru. Kegiatan dihadiri sekitar 50-an ibu-ibu beserta balita yang diukur berat badan dan tinggi badannya serta diberikan pengarahan secara berkelompok tentang kesehatan dan gizi. Karena di ruang polindes cukup kecil, kegiatan diperlebar ke pendopo di samping Polindes. Tidak hanya tim kesehatan UI saja yang menangani, namun dari SatgasKes TNI pun turut serta membantu dalam FGD ini.
Satu hal yang tidak mungkin kami lupakan di Agats adalah persahabatan kami dengan Arnold dan kawan-kawan. Anak Papua berusia sekitar 12 tahun ini sudah mengikuti kami sejak KRI Hasan Basri merapat di Pelabuhan Besar Agats, mengiringi kami berjalan hingga hotel (bahkan termasuk nyasar) sambil mengobrol, hingga bermain air di salah satu ujung pelabuhan kecil.
Bahkan mereka dengan sabar menunggui kami di lobby hotel sambil ikut menonton televisi, dan tekun mendengarkan aku yang membacakan buku untuk mereka di teras hotel. Rupanya mereka antusias dengan cerita-cerita yang dibacakan, kebetulan salah satunya tentang anjuran makan sayur.
Apalagi kebetulan hari Minggu, sehingga anak-anak ini pun menemani ke mana-mana, mululai dari makan bakso, bermain bersama balita di Polindes, hingga menunjukkan lokasi PAUD di desa Syuru. Aku sempat berpikir ketika sebagian tim harus turun ke distrik selama beberapa hari, anak-anak ini merasa kehilangan tidak ya? Hingga seluruh tim meninggalkan Agats seminggu kemudian, mereka mengantar hingga pelabuhan malam menjelang.
Rasanya berat kalau tak rindu pada mereka.
Perjalanan bersama tim UI Peduli Asmat 15-22 Februari 2018
Depok, 9 Maret 2018
Kontributor foto lainnya: Wanda Ayu, I Made Genta
cerita dari agats, kota sejuta papan
kolf braza dari tepi sungai
selamat pagi desa binamzain asmat papua
uwawww kereen kak Indri!
Eh malah di tempat yang cukup jauh dari kota kendaraannya pake tenaga listrik ya? Keren. Ramah lingkungan jadinya~
bener banget, soalnya BBM susah di sini
menarik banget ceritanya. jadi pengen kesana 🙂
nah nanti kalau pulang kaann
[…] cerita lain dari Papua : cerita dari agats, kota sejuta papan […]
[…] tulisan lain tentang papua: kolf braza dari tepi sungai cerita dari agats, kota sejuta papan […]
Aku mau ke Agats. Mengumpulkan informasi dari internet, eh mendarat di blog ini. Hebat perjalanannya Mbak Indri. Semoga aku kesampaian datang ke sini Oktober nanti 🙂
Buat lihat festival ya, mbak?? Iihh pengen lagi ke sanaaaa…
[…] bedah buku. Buat pelatihan menulis. Jadi Ketua bidang Humas dan mengelola isi website-nya. Tugas ke Papua gara-gara menawarkan diri untuk menulis report harian. Editor buku reuni alumni. Menginap gratis di […]