“It is good to have an end to journey toward; but it is the journey that matters, in the end.”
― Ursula K. Le Guin, The Left Hand of Darkness
Aku teringat pertama kali jatuh cinta pada Kolf Braza, adalah ketika pagi menyapa usai beristirahat setelah perjalanan panjang dari Agats. Kabut dan embun menyapa dari pucuk-pucuk pohon sagu, yang siluetnya memberikan dimensi kala mengedarkan pandangan mata. Udara dingin menggigit kulit, dengan semburat kebiruan di kejauhan, sementara burung-burung bersahutan menyambut pagi.
Aku melangkah pada jalan kayu yang melayang di atas tanah seperti pada titian, menghirup aroma pagi yang haru. Di sekumpulan sisi lain desa, anjing-anjing menggonggong membangunkan satu sama lain, seperti panggilan untuk memulai hari. Pagi yang setengah riuh dari Kolf Braza, sebelum matahari menggeliat dan pergerakan dimulai.
Tak lama kemudian, bapak-bapak mulai berlalu menuju sungai, melalui papan yang berderak-derak setiap saat, juga harus berjalan hati-hati supaya tidak salah langkah pada bagian paku yang sudah lepas. Satu sisi desa yang melayang di atas tanah, ditingkahi babi-babi yang mulai mondar-mandir, menunggu sisa-sisa makanan dari rumah panggung.
Aku teringat delapan jam kemudian menyusuri jalan papan tersebut hingga ujung, ketika bertemu dengan anjing-anjing yang sebelumnya hanya kudengar suaranya saja. Usai melintasi gereja kayu, jalan itu berakhir pada sehamparan pasir putih, yang selembut tepung terigu. Di situlah pemukiman desa Binamzain berada, dengan rumah-rumah berdiri di sisi kiri dan kanan berhadapan, tanpa pagar yang membatasi. Pasir putih itulah pekarangan bersama mereka.
Rumah-rumah berdiri di atas tonggak dengan bentuk persegi empat, lengkap dengan beranda tempat mereka bercengkerama. Anak-anak kecil, sebagian berbaju namun yang kecil-kecil telanjang saja berlari-lari kecil di bawahnya. Beberapa orang sudah pulang dari hutan dan duduk-duduk seperti mengawasi kami yang baru datang.
Beberapa rumah ada di tepi jalan, namun sebagian lagi jauh di belakang. “Apa bedanya, mama?” tanyaku pada mama Theresia yang menerimaku di rumahnya pada bagian ujung desa. “Yang di belakang itu rumah bujang, sedangkan di depan itu rumah dari pemerintah,” jelasnya. Yang ia sebut rumah bantuan pemerintah itu berdinding papan dan berjendela dengan atap seng, sementara rumah asli penduduk sana berdiri di bagian belakang dengan dinding dan atap pelepah daun sagu.
Terdapat ikatan silang dari tiang-tiang penumpu rumah-rumah ini yang membuatnya lebih kuat berdiri di atas tanah berpasir tanpa pondasi ini. Mungkin seperti jembatan yang dibangun di depan, tiang-tiang ini berdiri tanpa dudukan pada batu atau apa pun yang membuatnya tidak lembab. Aku tak tahu berapa lama lagi kayu-kayu ini akan bertahan di sini.
“Dalam rumah ini ada tiga kamar, masing-masing satu keluarga,” sambil menyibakkan tirai yang menutupi ambang tanpa pintu dari bilik-bilik di dala, rumahnya. Ia menunjukkan dapur tempat memasak dan tungku, yang lantainya terbuat dari batang-batang bambu. Anaknya yang masih balita, hanya berbaring saja tanpa celana di situ. “Supaya mudah buang air,” katanya lagi.
Walaupun sore sudah menunjukkan jam setengah lima sore, tapi matahari masih terik dan garang di angkasa. Langit biru tanpa awan menjadi bingkai perjalanan melintasi Binamzain yang juga sepi. Orang-orang di beranda mulai terbiasa dengan keberadaan kami, membalas lambaian tangan dengan senyuman.
Sebagai pusat distrik Kolf Braza, desa Binamzain ini memiliki beberapa fasilitas penunjang seperti gereja, puskesmas dengan mantri kesehatan dan lima orang perawatnya, juga balai warga yang bisa digunakan untuk berbagai acara. Pada sisi lainnya terdapat sekolah dengan enam lokal, dengan lapangan berpasir putih tempat anak-anak berkulit hitam ini bermain bola setiap harinya dengan lincah dan tangkas. Mungkin akan lahir Boaz Salosa baru dari desa ini.
Mungkin hal kedua yang membuatku jatuh cinta adalah senjanya. Semburat langit mulai dari berwarna kemerahan di balik awan, perlahan turun ke garis cakrawala yang tenggelam di balik hutan-hutan sagu, pisang, singkong, atau apa pun hasil bumi yang disediakan alam untuk menghidupi masyarakat Papua di sini.
Dari lapangan kayu di depan kantor kepala distrik, kami menutup hari dengan segaris jingga di langit yang warnanya hangat jatuh pada kulit. Terik yang tadi sudah terlupakan dengan cahaya yang pelan-pelan bermain.
Dan keesokan harinya, aku jatuh cinta lagi dengan pagi di Kolf Braza dari tepi sungai Elianden.
Perjalanan 20-21 Februari 2018
Ditulis di Wae Rebo 27 Maret 2018, di pagi dingin yang mirip.
tulisan lain tentang papua:
kolf braza dari tepi sungai
cerita dari agats, kota sejuta papan
Serasa ikut jalan-jalan di Binamzain. Ikut menyicipi kesederhanaan kehidupan penduduknya. Tulisan yang cantik Mbak Indri
terima kasih mbak Evi.. kan udah jalanjalan ke Papuanya..
Salut ya, mereka masih bahagia dengan kesederhanaan mereka. 🙂
mungkin masih perlu dibina untuk memaksimalkan potensi
aku mencari-cari gambar babi – babi yang mondar – mandir 😉
aku mau renang di sungainyaaa~
[…] cerita lain dari Papua : cerita dari agats, kota sejuta papan selamat pagi desa binamzain asmat papua […]
[…] cerita dari agats, kota sejuta papan kolf braza dari tepi sungai selamat pagi desa binamzain asmat papua […]