tololela, menjaga tradisi di antara kampung wisata bajawa

Meningkatnya sektor pariwisata di Indonesia, khususnya pada Pulau Flores yang menjadi salah satu destinasi unggulan pada dekade  ini, membuat banyak sekali kunjungan-kunjungan pada desa-desa adat yang masih terawat di pulau ini. Daerah Ngadha yang berada pada area Flores Tengah menjadi salah satu primadona destinasi yang sering mendapat kunjungan dari wisatawan mancanegara.

Kampung adat Tololela berada di Desa Manubhara, Kecamatan Inerie, Kabupaten Ngada,  terletak pada dua lahan datar di perbukitan di bawah kaki gunung Inerie. Tololela menampung sejumlah 20 kepala keluarga yang secara ekonomi umumnya bergantung pada sumber alam setempat. Tanah di sekitar kampung menghasilkan rempah-rempah, umbi, jagung dan kacang-kacangan.

Kesadaran masyarakatnya melakukan pelestarian permukiman adat terus meningkat seiring dengan perkembangan industri pariwisata, sebagai salah satu tujuan wisata budaya dan arsitektur. Pelestarian menjadi program, baik untuk menjaga keberlangsungan dan keberlanjutan budaya setempat maupun memberi insentif pendapatan desa melalui kegiatan pariwisata.

Kampung Tololela ini berjarak sekitar satu jam dengan kendaraan bermotor dari kota Bajawa, melalui banyak hutan-hutan bambu dan kebun-kebun milik masyarakat setempat. Tidak seperti kampung Bena dan Gurusina yang cukup dekat dari jalan raya, Tololela agak terpencil dan jalannya menanjak selama 15 menit dengan kendaraan bermotor dari tepi jalan Gurusina. Selain itu, desa ini juga bisa dicapai dengan trekking melalui hutan dari Desa Bena selama satu jam.

Dengan semakin meningkatnya jumlah pengunjung pada suatu kampung budaya, perlu adanya ruang transisi antara luar kampung dengan bagian dalam kampung, sebagai salah satu filter budaya sehingga pengaruh luar tidak begitu saja masuk ke dalam kampung. Ruang transisi ini menjadi ruang henti sementara dari pengunjung atau orang asing sebagai tempat untuk menginformasikan hal-hal yang terkait dengan kebiasaan-kebiasaan di kampung. Di sini juga menjadi ruang tunggu pengunjung sebelum ‘diizinkan’ untuk masuk kampung.

Pintu masuk Kampung Tololela yang berada di sudut desa hanya memiliki jalan masuk umum yang bisa dicapai dengan berjalan kaki selama satu jam dari kampung Bena atau jalan aspal yang sudah rusak dari arah kampung Gurusina. Untuk memenuhi kebutuhan akan ruang transisi, Tololela belum memiliki gapura bata nua yang resmi sebagai pintu masuk pengunjung padahal kampung ini sudah mulai populer sebagi tujuan pariwisata sebagai desa budaya yang memiliki kekhasan dari kawasan Ngada.

Salah satu artefak budaya yang perlu dilestarikan,  gapura atau pintu masuk (bata nua)  merupakan bagian dari struktur kampung adat dan simbol identitas masyarakat kampung. Kehadiran bata nua penting sebagai kelengkapan suatu kampung yang pada sistem tata ruangnya diletakkan pada lokasi yang tinggi dalam suatu kampung menghadap kepada suatu gunung.

Observasi dilakukan mulai dari pengamatan di sekitar lokasi rencana pembangunan gerbang, memetakan potensi jalan masuk, mengecek luasan area dan benda-benda apa yang ada di sekitar lokasi. Dengan mencocokkan kondisi desa dengan peta didapat data bahwa kampung Tololela terpisah menjadi dua yaitu desa atas dan bawah dengan perbedaan kontur yang cukup tinggi, sementara desa atas sendiri juga terbagi-bagi atas loka (pekarangan) luas yang berbeda ketinggian dan berbatas dengan ture (turap). Di beberapa bagian ture ini dibangun tangga sebagai penghubung antar loka.

Universitas Indonesia bersama warga kampung Tololela memberikan desain gapura bata nua dengan keberlangsungan tradisi membangun kepada generasi muda masyarakat dan untuk melestarikan pengetahuan tanpa tulis. Melalui pendekatan di lokasi, bersama warga Tololela mendiskusikan bersama desain dan lokasi yang paling cocok untuk membangun artefak budaya bata nua melalui proses pembangunan menurut ketentuan tradisi budaya.

Rencana tempat membangun Gapura Bata nua di bagian depan desa masih milik satu keluarga, dibicarakan bersama-sama oleh warga. Dari diskusi warga dengan tim UI, Indri Juwono, ST, M. Ars dibicarakan bahwa warga pada prinsipnya setuju dengan pemilihan lokasi di situ karena memang cocok yang berhubungan dengan luar/jalan raya. Gapura akan diletakkan di tepi jalan dan memindahkan satu tugu batu yang ada sebagai ruang antara supaya yang baru datang dari luar tidak langsung masuk ke dalam area perkampungan, namun bertemu dulu di shelter dan dijelaskan mengenai Tololela.

Dengan keterlibatan masyarakat pada proses desain ini menjadikan artefak yang akan dibangun lebih kuat terasa dimiliki oleh masyarakat. Di sini juga dibahas bukan hanya pembangunan fisik, namun juga upacara-upacara adat yang mengiringi pembuatan kelengkapan kampung tersebut. Penduduk Tololela bermusyawarah bersama-sama untuk mengkurasi desain hingga menentukan waktu yang sesuai untuk pembangunan.

Sebagai salah satu kegiatan Pengabdian Masyarakat yang bertajuk FTUI Peduli, tim dari Universitas Indonesia di bawah arahan Dr. Ir. Toga H. Panjaitan Aa.Grad.Dipl menyelesaikan desain berdasarkan data lapangan maupun hasil masukan dari pembicaraan bersama tetua-tetua adat.



Jakarta, November 2018.

3 thoughts on “tololela, menjaga tradisi di antara kampung wisata bajawa

  1. Harusnya pariwisata yang dibanyakin itu yang begini ya. Bisa mendatangkan income untuk masyarakat sekitar adat, tapi dengan tidak menghilangkan budaya lokal. Setuju banget kalau pembangunan yang melibatkan warga sekitar, selain menjadikan warga merasa memiliki juga biar warga nggak merasa disuapi melulu.

  2. jadi Klo mau explore desa desa wisata disana sebaiknya sewa motor ya kak dari Bajawa. kalaupun trek jalan kaki, pastinya harus ada guide biar nggak tersesat di hutan. complete infonya

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.