No one lights a lamp in order to hide it behind the door: the purpose of light is to create more light, to open people’s eyes, to reveal the marvels around.
― Paulo Coelho
Apalagi yang bisa kulakukan di Moni sesudah turun dari Kelimutu? Pemilik penginapan menyarankan untuk berjalan-jalan melihat rumah adat di arah bawah, dekat pasar. “Jalan saja terus, nanti belok kiri,” katanya.
Tak jauh dari penginapan kami (sesungguhnya tidak ada tempat jauh di Moni) kami berjalan menuju keramaian di di depan pasar yang masih beraktivitas. Benar kata teman-teman yang pernah ke pulau Flores, di sini penuh keramahan yang tidak terbantahkan. Orang-orang lokal tersenyum seperti ucapan selamat datang. Tulus.
Beberapa orang berkumpul di tepi jalan menunggu kendaraan usai mereka beribadah di gereja. Beberapa anak-anak bermain-main. Ada satu pick-up berisi orang-orang yang hendak pulang ke desanya. Berdesakan, tapi mereka tetap tersenyum. Tak ada sorak usil mengomentari pendatang seperti kami. Aku tidak merasa asing di tengah-tengah mereka.

“Hei, Where do you come from?”
“Me? Indonesia!”
“Kamu mau lihat rumah adat?”
Eih, tiba-tiba ada seorang gadis kecil yang menyapaku dengan sebutan ‘kamu’. Aku terkikik dalam hati, “Iya, kita mau lihat rumah adat. Kamu bisa antar?”
Ia tertawa riang. Sorot matanya cerah memancarkan kecerdasan. Diam-diam aku kagum pada keberaniannya. Tinggi anak perempuan ini sebahuku, rambutnya ikal dibando merah cerah. Sepertinya ia baru pulang beribadah di gereja.
“Kamu dari Indonesia mana?”
“Aku dari Jawa. Dari Jakarta.”
Satu temannya yang masih malu-malu berjalan mengiringinya. Gadis kecil ini lucu.
“Nama kamu siapa?”
“Maria..”
“Kelas berapa?”
“Kelas 6..”
Kami berjalan sekitar lima menit sementara ia asyik berceloteh dan tetap menyapaku dengan ‘kamu’. Aku membiarkannya. Menganggapnya salah juga belum tentu. Di kebudayaan yang berbeda, lebih baik menghormati cara dan budaya masing-masing. Aku merangkul pundaknya akrab. Di satu pelataran, ia menunjukkan, “Ini rumah adatnya!” sambil tetap tersenyum lebar. “Boleh aku masuk?” izinku. Ia menyilakan aku untuk masuk sesudah membuka alas kaki.
Rumah adat di desa Koanara ini memiliki bagian teras panjang terbuat dari bilah-bilah bambu dengan disangga kayu-kayu. Masuk ke bagian dalamnya, ada satu kotak yang harus diinjak sambil menunduk masuk. Dengan merendahkan badan ketika masuk, dianggap menghormati tuan rumah. Di area pertama ini tidak ada banyak benda, juga sebagai ruang penerima, meletakkan alat-alat yang digunakan sehari-hari. Di area ini, posisinya lebih tinggi dari teras, alas bawahnya kayu yang berjajar. Penerangan pada area ini hanya terdapat dari pintu tempat kami masuk tadi.

Maria mengajakku masuk ke bagian yang lebih dalam. Aku sempat ragu memasuki bagian dalamnya, karena kupikir area ini khusus untuk keluarga, dan kami tetamu bukan bagian dari situ. Tapi ia tetap memaksaku ikut masuk. Untuk masuk ke bagian lebih dalam ini pun aku juga harus menunduk memasuki ambang pintu yang rendah. Di dalam ada seorang ibu tua yang sedang mengiris-iris sayur. Ia mempersilakanku duduk dan mengamat-amati rumahnya.
“Di sini kegiatannya apa saja, mama?” sapaku. Mama adalah sapaan umum di Flores untuk seorang perempuan. “Ya, kami di sini memasak, makan, tidur juga di sini,” sambil tetap melanjutkan pekerjaannya.
Aku mengamati sekeliling. Ruangan tengah ini tidak terlalu lebar hanya berukuran sekitar 4×4 meter. Penerangan hanya berasal dari celah-celah atap. Di tepian-tepian balok kayunya diletakkan mangkuk-mangkuk tanah liat yang dipergunakan untuk keperluan upacara. Di situ juga digantung tampah dan aneka peralatan memasak lainnya. Tapi meskipun tidak terlalu terang, namun udara di dalam bangunan rumah adat ini tidak lembab. Atap yang tinggi tanpa langit-langit membuat udara di dalam tidak terperangkap di dalam dan mencari jalan keluar lewat celah-celah cahaya.


Tak berapa lama kami di situ, Maria memanggilkan seorang bapak yang rupanya adalah salah satu tetua adat di sini. Bapak Antonius Sumbena ini memiliki jabatan adat yaitu Masalaki Riabawa Ine Ama. Beliau menjelaskan bahwa rumah adat yang kami masuki bernama Sa’o Ria Laki Ine Ongga Ame, yang sudah berumur hampir 200 tahun. Bahan-bahan kayu untuk membangun rumah ini berasal dari hutan di Kelimutu yang ditebang dengan serangkaian upacara. Rumah ini baru direnovasi dengan mengganti atap ilalangnya. Satu rumah membutuhkan 24 tusuk ilalang ukuran 1 meter panjangnya.
Sa’o berarti rumah, dan Ria berarti besar. Laki Ine adalah pemberian tanah, sementara Ongga Ame adalah nama leluhur. Sebagai bangunan utama, Sa’o Ria terlihat besar dan luas daripada rumah lain di sekitarnya. Rumah panggung yang besar ini tidak memiliki jendela. Atap Sa’o Ria yang membentang hingga turun ke batas lantainya membuat dindingnya tidak nampak jelas. Sa’o Ria membentang tinggi, makin ke atas mengecil, hingga bubungan yang memanjang sejajar dengan pintu masuknya.


Kami keluar lagi sampai di teras tempat kami bercakap-cakap tadi. Teras ini menggantung di atas tumpuan batu yang menjadi pondasi umpak untuk pembangunan Sa’o Ria. Teras tempat kami duduk yang berbentuk bale-bale dibagi menjadi dua bagian, yaitu Tenda Lo’o, bagian terendah tempat beristirahat sebelum memasuki ruangan dalam, atau tempat mama-mama mengawasi anak-anaknya bermain sambil memberi makan babi. Kemudian Tenda Ria, yaitu bale-bale panjang yang memanjang sepanjang tampak depan Sa’o Ria yang sering juga digunakan untuk menerima dan menjamu tamu. Tepat di sebelum masuk ke pintu depan, jalur jalannya ditandai dengan bilah kayu. Di tangga masuknya ada tanduk kerbau yang dulu dijadikan pengorbanan ketika didirikan Sa’o Ria ini.

Secara vertikal rumah adat ini dibagi dalam tiga ruang, yaitu Lewu (kolong), One (ruang tengah), dan Padha (loteng). Sebenarnya, orang luar seperti aku hanya boleh sampai bagian luar, tidak sampai masuk ke bagian One, tempat bertemu dengan Mama tadi. One merupakan ruang bersosialisasi seluruh anggota keluarga adat, dan merupakan pusat kegiatan. Di sini penghuninya tidur, akan, memasak, dan melakukan berbagai sosial bersama-sama.



One terbuka hingga ke Isi (Bubungan). Ia merupakan rahim Sa’o Ria. Pada sudut kanan belakangnya terdapat sebuah ruang suci yang dianamakan Wisu Lulu. Pada Wisu Lulu ini diletakan barang-barang pusaka (keramat) antara lain sejumlah Watu Pore (batu perjanjian antara nenek moyang dengan suku-suku lain mengenai batas-batas tanah Moni). Juga terdapat Watu Pa’a, yakni batu untuk menaruh persembahan bagi roh-roh nenek moyang. Selain itu, juga terdapat Roe Kiwi (piring pusaka), Sau (parang), Sue (gading), dan Sundu(Kelewang). [sumber : tiga danau warna]



Di satu kampung adat di Koanara yang tidak terlalu besar ini terdapat dua rumah adat yaitu Sa’o Ria dan Sa’o Kedha. Setiap Sa’o Ria adalah tempat tinggal Ata Laki Pu’u beserta saudara-saudaranya yang tinggal di dalamnya, juga sebagai ibu dan bapak, naungan bagi suku untuk menjamin kesatuan seluruh warganya karena Sa’o Ria dibangun dengan gotong-royong, maka ia mempersatukan seluruh anggota suku. Sementara Sa’o Kedha tidak berdinding karena hanya digunakan sebagai tempat pertemuan adat beberapa kali setahun. Jika Sa’o Ria dianggap sebagai simbol wanita untuk keberlangsungan kehidupan, maka Sa’o Kedha dianggap sebagai simbol lelaki yang memimpin.

Di depan Sa’o Ria tempat Maria tadi mengajakku terdapat pelataran dengan tiang kayu dengan kepala batu bersusun yang dinamakan Saga. Mama menjelaskan bahwa batu tersebut untuk mempersembahkan sirih pinang untuk Du’a Ngga’e (Tuhan). Ketika kami datang, masih ada kerangka bambu sebagai naungan untuk persiapan upacara. Di Sa’o Ria ini tempat diadakan upacara-upacara religius, seperti upacara pertanian, kelahiran, perkawinan dan kematian dengan keramaian di halamannya.

mama di samping saga
Di seberang Sa’o Ria terdapat dua bangunan terbuka yaitu Kuwu dan Kebo. Kuwu digunakan untuk menjamu tamu-tamu yang datang atau kadang untuk menyimpan peti jenazah sebelum upacara pemakaman, sementara Kebo berfungsi sebagai lumbung tempat menyimpan cadangan makanan. Juga ada Lewa, naungan kecil tempat memasak makanan untuk upacara.



Aku berhati-hati berjalan di sekitar pelataran supaya tidak salah menginjak tempat-tempat yang mungkin suci bagi masyarakat setempat. Jangan mencoba-coba untuk berkeliling kampung adat sendiri tanpa pemandu, karena kita tidak pernah tahu mana tempat terlarang atau tidak. Aku meminta Maria menemaniku ke samping Kanga, yaitu sebuah pelataran bundar dengan susunan batu-batu pipih mengelilinginya. Karena ini tempat suci, tidak boleh dinaiki di atasnya. Tempat ini merupakan tempat suci dan simbol kekuasaan. Di situlah nenek moyang dikuburkan dan disuguhi upacara persembahan juga menyambut Du’a Ngga’e dalam upacara adat.


Baik Mama maupun Pak Antonius berharap supaya ada perhatian dari pihak terkait tentang keberlangsungan perawatan rumah adat ini. “Atap harus diganti lima tahun sekali. Jika dulu ilalang bisa mudah dicari, sekarang kami harus beli dari jauh dan mahal.” Rupanya dana dari sumbangan sukarela ketika turis datang pun mungkin tak cukup untuk merawat. Rumah adat adalah salah satu aset budaya yang harus dipertahankan karena keunikannya.


Kami keluar dari area desa adat itu melalui satu rumah panggung dengan atap ilalang. Seorang bapak yang berdiri di dekat bangunan itu menjelaskan, “Ini dulu pusat informasi Koanara, dibangun oleh orang-orang dari kota. Tapi sayang, sekarang tutup. Tidak ada yang mengelola lagi. Kalau mau bertanya tentang rumah adat, harus ke Pak Antonius.” Aku mengucapkan terima kasih atas informasinya dan bercerita bahwa kami sudah bertemu dengan Pak Antonius.

Ya, Sa’o Ria ini salah satu aset bangunan istimewa di Koanara dan masih dihuni, sehingga orang masih bisa mempelajari tidak hanya bangunannya saja, namun juga kebiasaan-kebiasaan penghuni untuk memanfaatkan ruang-ruangnya. Mungkin juga pusat informasi itu harus dihidupkan dengan pengelolaan dari masyarakat sendiri sehingga mendapat hasil yang lebih optimal.
“Maria, kamu pandai sekali. Nanti kalau sudah besar kamu mau jadi pemandu wisata?” Ia mengangguk. Keramahannya mendorongku untuk menyemangati belajarnya. Ia ikut mendengarkan penjelasan Pak Antonius dan Mama dengan seksama. Aku ajak ia kembali ke penginapan untuk mengambil hadiah untuknya, “Kamu suka membaca? Mau aku kasih buku?”
“Suka! Aku biasa membaca di sekolah..”

Maria menemaniku kembali ke penginapan melalui pasar yang hanya buka beberapa kali sehari. Hari Minggu itu, pasar ramai dengan orang-orang berjualan. Mungkin karena bebarengan dengan orang-orang yang beribadah di gereja yang tak jauh dari situ. Ini titik keramaian masyarakat Moni. Maria menunjukkan sekolahnya di sebelah pasar, dan gereja tempat ia beribadah tadi pagi. Wajahnya sumringah ketika kupenuhi janjiku memberinya buku, “Membacanya gantian dengan teman-temannya, yaa..”
berkenalan dengan Maria pada 09.11.14
ditulis di kereta 17.01.15
lebih lengkap tentang Sa’o Ria : tigadanauwarna.blogspot.com
cerita sebelumnya : flores flow #1 : fly to kelimutu!
berikutnya : flores flow #3 : debu lintas trans ende-bajawa
flores flow #4 : luba, doa di kaki gunung inerie
flores flow #5 : loka, batu, dan bena
aku kmrn ngga sempet mampir ke sini… kayaknya pengen balik lagi ke Flores
hayo kak, balik lagi, sekalian olahraga….!
Di kampung saya itu 7
Maria manis sekali, saya boleh dong ditemani saat ke sana? Dua tulisan Mbak Indri, membuat saya kangen dan ingin kembali ke flores, semakin ke timur….
aha, aku akan bikin kamu lebih kangen lagi ke flores 😉
Hehehehe, saya ingin lebih ke timur pokoknya 🙂
Liat gambar naik mobil berdesakan, masak pakai tungku, rumah panggung jadi ingat rumah di Karimunjawa 🙂
wah, waktu di karimunjawa aku tinggal di tengah laut. ini kayak di rumah nenek duluu..
Baca tulisan ini saja aku bisa merasakan keramahan dan ketulusan khas Flores mbak 😀
iya, auranya juga menyenangkan sekali…
bangunannya asik banget
smoga lestari
dan ramah banget maria nya
smoga cita2nya terwujud, ya, dik
kak dansap.. lestari itu nama saya… 😀
pergilah ke sana dan sampaikan salamku pada maria..
Maria cocok jadi tour guide tuh. hihiii aku ngiri hks
ditunggu Maria di Koanara.. 😉
[…] cerita sebelumnya : flores flow #1 : fly to kelimutu flores flow #2 : maria, gadis pemandu sa’o ria koanara […]
Flores ini luar biasa ya Mba In. ya alamnya ya budayanya.
lovely banget! pengen balik ke sana lagi.
seru bangeet!
hasek, selainngangenin, flores memang seruu!
[…] sebelumnya : flores flow #1 : fly to kelimutu flores flow #2 : maria, gadis pemandu sa’o ria koanara flores flow #3 : debu lintas trans […]
[…] sebelumnya : flores flow #1 : fly to kelimutu flores flow #2 : maria, gadis pemandu sa’o ria koanara flores flow #3 : debu lintas trans ende-bajawa flores flow #4 : luba, doa dari kaki gunung […]
[…] selanjutnya : flores flow #2 : flores flow #2 : maria, gadis pemandu sa’o ria koanara flores flow #3 : debu lintas trans ende-bajawa flores flow #4 : luba, doa di kaki gunung inerie […]
waktu ke moni nggak sempet ke sini nih, next time semoga bisa ke sana lagi
aku juga pengen ke sana dan leyeh2 tiga harii.. 😉
[…] sebelumnya : flores flow #1 : fly to kelimutu flores flow #2 : maria, gadis pemandu sa’o ria koanara flores flow #3 : debu lintas trans ende-bajawa flores flow #4 : luba, doa dari kaki gunung Inerie […]
[…] rebo melalui kelimutu, moni, ende, bajawa, ruteng di cerita ini : flores flow #1 : fly to kelimutu flores flow #2 : maria, gadis pemandu sa’o ria koanara flores flow #3 : debu lintas trans ende-bajawa flores flow #4 : luba, doa dari kaki gunung Inerie […]
[…] perjalanan dari : flores flow #1 : fly to kelimutu flores flow #2 : maria, gadis pemandu sa’o ria koanara flores flow #3 : debu lintas trans ende-bajawa flores flow #4 : luba, doa dari kaki gunung Inerie […]
[…] terbit. Sewalah mobil atau motor ke start point pendakian danau Kelimutu kemudian turun dan mampir desa adat Koanara, melihat air terjun kecil atau berendam air hangat. Jika beruntung, bisa mendapatkan tawaran sewa […]