mengaut kabut dieng #2 : di antara kawah sikidang dan candi arjuna

covercandi

Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia di udara tinggi, ringan dan bebas; lalu mengkristal dalam dingin; kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi; dan menimpa pohon jambu itu; tergelincir dari daun-daun, melenting di atas genting, tumpah di pekarangan rumah dan jatuh ke bumi.

Hujan dalam Komposisi 2 ~ Sapardi Joko Damono

cerita sebelumnya :mengaut kabut dieng #1 : menuju negeri di awan

Ada banyak yang bilang janganlah bepergian di cuaca hujan. Tapi di negeri khatulistiwa ini, tidak mungkin tidak hujan di penghujung tahun. Usai hujan di dataran tinggi, memberikan dingin yang menggigit, kabut yang melingkupi, dan rasa hangat dalam kebersamaan. Maka tak ada rasa takut dalam hujan selain bahwa menganggapnya sebagai anugerah semesta sebagai waktu yang diberikan untuk menunggu reda.

Cuaca rupanya agak tidak bersahabat siang itu. Gerimis tipis mengiringi perjalanan selanjutnya ke Kawah Sikidang yang ditempuh sekitar 10 menit dengan mobil. Di jalan kami sempat bertemu dengan anak gimbal yang merupakan satu kekhasan kawasan Dieng. Anak gimbal yang kami lewati hanya satu dan sedang asyik bermain sepeda. Menurut mitosnya, di umur 12 tahun atau akil baliq ketika mereka harus dicukur habis rambut gimbalnya, apa pun yang diminta oleh si anak gimbal ini ketika diruwat harus dipenuhi.

Di Dataran Tinggi Dieng terdapat anak-anak berumur sekitar 1 – 7 tahun berambut gimbal. Rambut gimbal ini bukan sengaja dibikin seperti para rasta di pantai-pantai. Rambut gimbal ini terjadi setelah mengalami suatu gejala sakit dan dipercaya merupakan titipan dari nenek moyang mereka yg sekarang menjadi penguasa alam gaib Dieng, yaitu Kyai Kolodete.
Sumber : catatan si kudaliar .

Sesampai di kawah Sikidang bau belerang menyengat menyelimuti udara. Kami membeli beberapa masker untuk menutupi hidung. Lokasi ini dinamakan kawah Sikidang yang berarti kijang, karena lokasi kawahnya yang berpindah-pindah. Semburan uap belerang bisa berpindah tergantung kekuatan panas bumi di bawahnya. Dari kejauhan tampak seperti tertutup kabut putih uap belerang yang menghambur ke udara. Di dekat kawah yang sekarang berada, terdapat pagar yang menghalangi bahaya tercebur ke dalam kawah. Bebatuan kapur di sekitar kawah mendominasi pemandangan. Ada penyewaan sepeda atau penyewaan kuda bagi yang tidak ingin berjalan kaki ke dekat kawah. Jarak jalannya sendiri tidak jauh, hanya sekitar 15 menit saja. Di sini juga ada dua orang berpakaian Hanoman yang bersedia berpose difoto bersama dengan imbalan Rp. 5000,- .

sekeliling kawah
sekeliling kawah
hanoman, jembatan dan pagar
hanoman, jembatan dan pagar

Kami berjalan lambat-lambat. Rhea, Erry, dan Novi berjalan santai. Aku harus mengejar Bintang yang asyik berlarian menaiki batu-batu mengejar Sansan yang jalan terlebih dulu. Beberapa kali mengambil foto di sekitar kawah, namun banyak terhalang uap tebal. Sekembali dari kawah yang sekarang, kami melalui cekungan besar yang ternyata dulunya juga kawah sebelum berpindah di posisi yang sekarang. Di beberapa tempat juga sudah mulai nampak semburan-semburan uap, yang menandakan mungkin di situ akan menjadi kawah baru lagi.

kawah sikidang dengan uap belerangnya
kawah sikidang dengan uap belerangnya
jelajah dengan sepeda atau motor trail
jelajah dengan sepeda atau motor trail

Hujan mulai menderas ketika kami melanjutkan perjalanan ke kompleks Candi Arjuna. Sebentar menikmati mie bakso di kawasan parkir sambil menunggu hujan reda, lalu akhirnya kami nekat masuk ke kawasan candi walaupun gerimis. Bintang dan aku mengenakan raincoat kami. Memang kami tak suka memakai payung. Memasuki kawasan candi, ada pemandangan lucu, di sini ada beberapa orang yang mengenakan kostum teletubbies sehingga menarik untuk diajak foto bersama. Kami tidak melewatkan kesempatan itu, walaupun harus berhujan-hujan sedikit.

Sayang kondisi cuaca yang tidak bersahabat ini membuat kami memutuskan tidak berlama-lama di kawasan candi. Hujan yang terus mengguyur dan badan yang mulai kuyup membuat kami kembali saja ke mobil dan kembali ke penginapan. Apa lagi yang bisa kami lakukan? Tentu saja makan! Kami sempat membeli beberapa porsi kentang goreng dari pertanian kentang khas Dieng yang rasanya enak dan renyah. Malamnya, kembali kami mencobai mie ongklok yang rasanya menagih ingin dan ingin lagi. Pulang dari makan mie kami masih membeli sate untuk dicemil sesudah makan malam. Tak heran, udara dingin memang membuat kita kepengin makan dan makan lagi. Akhirnya sesudah puas perang bantal, kami pun tertidur lagi.

mie ongklok yang legendaris
mie ongklok yang tersohor

Karena masih penasaran dengan Candi Arjuna, ketika bangun pagi jam 06.00 itu kami langsung bersiap-siap untuk berjalan-jalan di sekitar pedesaan sampai ke daerah Candi. Dari tepi jalan di depan penginapan, sudah terlihat siluet candi yang dihembusi kabut. Jika sunrise di puncak Sikunir disebut Golden Sunrise, di kawasan Candi Arjuna ini disebut Silver Sunrise. Kami sempat melalui kebun kentang dengan harapan bisa menyeberangi dengan jalan pintas. Ternyata setelah diintip dengan lensa tele, di dekat candi terdapat pagar yang menutupi juga. Jika kami sampai di tepi pagar itu tetap saja sulit untuk melompat.

Pagi-pagi itu sudah banyak petani kentang yang menyiangi tanah pertaniannya. Ada yang sedang menyemprotkan anti hama, juga memeriksa kondisi tanaman kentang di situ. Udara dingin tak menghalangi mereka untuk terus bekerja. Di beberapa lokasi umbi kentang tampak berserakan siap untuk dipetik dan dijual ke kota. Di desa Dieng Kulon ini mudah ditemui toko-toko yang menjual alat-alat pertanian, juga obat-obatan anti hama, dan bibit kentang unggulan, namun tidak ada toko atau pasar yang menjual kentang dalam jumlah banyak untuk dibawa sebagai oleh-oleh. Tempat menjual kentang hanya di kawasan wisata, di depan area parkir di Telaga Warna, atau di Candi Arjuna.

perkebunan kentang
perkebunan kentang

Kami berjalan terus berputar hingga bertemu gerbang masuk ke kompleks candi, namun bukan melalui jalan yang kami masuki kemarin yang lebih dekat ke desa. Ternyata, kompleks candi ini terdapat dua pintu masuk. Sekarang kami masuk melalui pintu yang menghadap ke museum Dieng. Lokasi pintu masuk ini lebih tinggi dari kompleks candi, sehingga kami bisa melihat deretan candi dari kejauhan dengan perkebunan kentang sebagai latar belakangnya.

Menuju area candi menuruni anak tangga dan berjalan di jalan setapak yang sudah diperkeras dengan paving block dengan pemandangan pekerja kebun kentang di kiri dan kanan. Sesekali kami berpapasan dengan wisatawan yang juga berjalan-jalan pagi. Sekitar 10 menit berjalan, kami kembali bertemu dengan kompleks Candi Arjuna yang kemarin tak sempat kami nikmati karena hujan.

jalan perkerasan menuju candi dan pemandangan persemaian kentang
jalan perkerasan menuju candi dan pemandangan persemaian kentang

Kompleks ini adalah Candi Hindu beraliran Syiwa peninggalan sekitar abad ke 8. Di sini berderet Candi Arjuna, Candi Srikandi, Candi Puntadewa dan Candi Sembadra yang bersusun berderet. Siluet candi yang membelakangi matahari membentuk gunungan keemasan tertimpa cahaya. Candi Arjuna paling ramai dikunjungi orang. Sempat bertemu dengan satu rombongan yang tampak berziarah di candi tersebut. Ketika kami ke Candi, ada bunga-bungaan dalam wadah daun pisang yang ditinggalkan oleh peziarah sebelumnya. Candi Sembadra juga tampak cantik. Bentuknya yang tinggi langsing dan berada di sisi yang berjauhan dengan Candi Arjuna menarik perhatian yang datang dari pintu arah Museum seperti kami pagi itu. Di sekitar candi adalah hamparan pasir yang masih basah sisa hujan semalam. Candi-candi ini juga berundak-undak dengan relung di dalamnya.

kompleks candi arjuna
kompleks candi arjuna
pengunjung candi yang bergaya
pengunjung candi yang bergaya

Sebelum masuk kompleks tadi kami sempat juga bertemu dengan Candi Bima dan Candi Setiyaki. Di ujung arah ke parkir juga terdapat Candi Semar dan Gatotkaca. Tak banyak pengunjung yang melihat candi-candi lainnya itu. Usai berfoto-foto, kami membeli kentang goreng lagi untuk sarapan lalu melanjutkan berjalan kaki sampai penginapan lagi. Hari sudah makin siang, dan kami harus segera berkemas karena masih harus melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta.

peziarah candi arjuna
peziarah candi arjuna

Perjalanan dua hari ke negeri kabut ini sedikit menarik napas dari riak kehidupan di kota besar. Alur kehidupan yang lambat, bangun sepagi-pagi mungkin menikmati sinar matahari, hujan sore hari yang disyukuri, udara dingin yang menggigit, pelukan dalam persahabatan, membuat aku selalu merindu saat seperti ini. Buat si gadis kecil, ini perjalanan jauhnya yang pertama, gunungnya yang kedua. Kehidupan di puncak gunung yang seolah tak terjangkau hiruk pikuk daerah bawah membuat ingin kembali ke sini. Tapi siapa yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana? Kami hanyalah tamu, yang beruntung mendapatkan keramahan Dieng Kulon yang kami tinggali. Semoga tetap sesederhana ini.

perjalanan 23-24 Desember 2012
rumahkentang. 19.05.2013 : 22.38

foto29

12 thoughts on “mengaut kabut dieng #2 : di antara kawah sikidang dan candi arjuna

  1. Aaahh.. mbak Indri.. aku sudah pernah ke Dieng tp terinspirasi lagi dengan tulisan ini. Penuturannya enak mbak, rapi pula. Pas banget lagi mau nulis tapi stuck.. 🙂

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.