Aku menempelkan hidungku pada kaca mobil yang melaju dari kota Soe. Pepohonan berlari, tiang listrik berkari, rumah-rumah berlari. Pegunungan yang membentang dari Soe menyajikan lansekap timbul tenggelam, menyembunyikan kehidupan di balik pepohonan gewang yang tegak berdiri tinggi.
Pikiranku kembali pada satu berita di tahun 1990-an tentang batang-batang rumah adat Timor yang dicat warna sesuai dengan warna sarung kesukaan penghuninya. Di mana desa itu berada? Karena yang tertangkap mataku sekarang adalah rumah-rumah berwarna senada, monokrom serupa sepia dari balik kaca mobil.
Rumah-rumah dalam pandanganku sekarang tidak terangkat dari permukaan tanah. Mungkin si penghuni tidak takut becek karena hujan amat jarang turun di sini. Apalagi hujan bulan juni, yang ditengarai sebagai pertanda ketabahan. Mungkin juga si penghuni tak takut dengan binatang buas, karena di iklim seperti ini tak ada macan yang mencari buruan yang mungkin juga kurus tak lezat dimakan.
Mengapa warna rumah ini serupa benar dengan warna tanah, seakan harus semirip mungkin dengan tempat ia berdiri. Mengapa juga ia terkadang tersembunyi di balik lembah, hanya terlihat atapnya saja dari jalan, dan penghuni yang bernaung di dalamnya hanya sesekali melongok roda-roda yang berlalu. Dilingkupi pegunungan kapur yang keras, dan lembah yang mengurai kecoklatan, pepucuk hijau di atas pohon, yang membuatku berangan, apa mungkin ada jerapah yang bersembunyi di balik kering ini? Siapa tahu leher jenjang itu sedang menyamar sebagai pohon?
Lewat satu tanjakan, aku meminta henti. Penasaran ingin mengetuk untuk tahu ada apa di dalam sana?
Rumah ini tertutup. Tak ada suara-suara di dalamnya. Sepertinya penghuninya sedang sibuk bertani, sementara sang ibu ikut menemani. Anak-anak mungkin pergi sekolah berjalan kaki. Tak ada gemericik air atau orang bersenda gurau di dalam. Semua sepi, berlatar biru langit tak berawan dan batang-batang kecoklatan yang tinggi.
Aku tak berani mengetuk pintu yang tak terkunci. Batang-batang yang disusun vertikal sebagai dinding seolah berpesan, menahan aku untuk masuk. “Kami di sini sebagai batas privasi, melindungi yang di dalam dari penasaran yang luar.” Sela-sela batang yang meneruskan cahaya, memberi bayangan gelap terang di dalam, seperti bahasa sepi arsitektur, silence and light.
Batang yang sama menopang atap ilalang, bersusun mulai dari kuda-kuda sederhana yang berdiri di atas tiang-tiang berukuran satu kepalan. Bahan atap yang mudah ditanam, mudah ditemukan, mudah diambil apabila di kemudian hari lapuk dan butuh pengganti, mengenyahkan atap logam yang menjamur di kota-kota. Atap alami yang jelas mereduksi panas luar yang terik, atau udara malam yang dingin, dengan kehangatan yang sesuai suhu badan. Atap bentuk limas untuk yang menghadap jalan.
Terdengar gelisik di pekarangan sebelah, beberapa anak yang sedang bermalasan di depan rumahnya. Mungkin mereka baru pulang sekolah, atau tak pergi? “Halo, sudah pulang sekolah?” Wajah-wajahnya malu dan bersembunyi lagi ke dalam rumah. Aku jadi berpikir, apakah terus menyapa atau kembali dalam mobil karena sudah banyak yang menunggu.
Perjalanan berlanjut, terkadang melewati hutan yang tak tertutup, terkadang melalui padang ilalang yang menghampar, jalanan yang terus menurun hingga tiba pada satu jalur lurus padang rumput di kiri dan kanan, sampai-sampai melihan beberapa titik kecoklatan sedang berkerumun.
Sapi.
Mereka tak menghiraukan kami yang terheran-heran dengan mamalia yang asyik merumput itu. Dengan latar savana seperti berada di Afrika, sapi-sapi itu berkelompok sambil bercengkrama, tidak menghiraukan udara panas di sekitar mereka. Beberapa dari kerumun ini memilih berada di dekat pohon, sambil menyeruput air dari genangan.
Mata-mata sendu si sapi menatap kami yang sengaja turun dari mobil. Mereka heran dengan makhluk-makhluk kurus dengan kotak hitam yang terus menerus mengarahkan moncong kotaknya. Tapi sapi-sapi ini memilih tak mendekat. Sepertinya mereka sudah terbiasa dengan makhluk kurus yang lain yang mengarahkan mereka harus berjalan ke mana setiap pagi. Mereka hanya memperhatikan sejenak, lalu melengos dan melenguh.
Apakah sapi-sapi ini punya rumah? Apakah mereka tinggal di dalam kandang berdesakan lalu keluar setiap hari untuk mencari makan seperti ini? Apakah mereka tidak harus bekerja setiap hari di perkebunan? Apakah mereka mengenal apa itu berkeluarga? Apakah lebih banyak jantan atau betina? Pertanyaan-pertanyaan yang membuat penasaran. Padang-padang ini adalah rumah sementara bagi si sapi setiap hari, menghabiskan waktu dengan berbagai aktivitasnya, makan, minum, tidur-tiduran.
Mobil melaju kembali melalui dataran. Bukit-bukit sudah berlalu di belakang. Tak banyak lagi kontur-kontur berbeda ketinggian, tak ada lagi rumah-rumah sendirian. Kini yang dilalui adakah pekarangan-pekarangan luas dengan rumah kotak di tepi jalan, dan rumah bulat di belakang.
Sama, rumah-rumah ini pun beralaskan tanah. Sekat di dalam hanyalah antara ruang bersama dan ruang istirahat. Makanan masak dari kubah ilalang bundar bernama ume mbubu. Di sana mereka beraktivitas pagi dan sore, makan, mengobrol, bercerita tentang kejadian hari itu. Kecamatan Kualin, demikian kubaca pada papan nama sekolah dasar yang kulewati. Pekarangan luas itu, tempat menanam jagung di musim penghujan, dibatasi oleh pagar-pagar kayu penanda batas kepemilikan lahan.
Sesekali kulihat penghuninya mulai duduk-duduk di pintu rumah. Ah, ini sudah tengah hari rupanya. Saatnya untuk pulang dari ladang dan menyantap makan siang. Mungkin mereka melingkar di dalam sambil menikmati jagung bose yang hangat sambil melihat mobil-mobil yang melaju lewat.
Pohon-pohon gewang atau lontar yang tinggi dan rendah tumbuh di mana-mana, sebagai bahan pengganti material rumah apabila lapuk kelak. Daunnya menjadi bahan utama pembuatan kipas, keranjang, atau sasando untuk menyenandungkan lagu penghibur hati. Buahnya bisa dituai sebagai campuran minuman segar di udara panas, sementara bunganya bisa disadap sebagai nira, atau difermentasi menjadi tuak.
Beberapa pekarangan kosong tak berumah hingga ujung-ujungnya, mungkin ini salah satu lahan milik penghuni yang berumah di tempat lain. Mungkin juga ini milik orang kota yang menyimpan tanah. Mungkin juga kelak akan berubah menjadi tempat peristirahatan yang dibanjiri orang-orang penasaran akan keindahan tanah Timor Tengah Selatan.
Akan berapa lama lagi rumah-rumah indah ini bertahan tanpa keinginan kuat dari penduduknya sendiri? Akankah ‘pembangunan’ yang hanya diukur dari semen dan tembok bata, dan perlahan-lahan menghilangkan alami dan sesuai dengan keseharian selama ini?
Mungkin aku harus bertanya pada batu-batu warna-warni di Pantai Kolbano.
Perjalanan Nopember 2015 bersama ASITA NTT : Pulau Timor, Soe-Kolbano
12 jam keliling kupang
cerita senja tablolong
elegi fatumnasi
rumah-rumah yang berlari dalam perjalanan menuju kolbano
cerita dari batu-batu di pantai kolbano
semau, satu bukit dan sekian pantai
Semoga bisa lestari ya, Mbak 🙂 Amin.
Amin, lestari dan ditambah pengetahuannya supaya bisa mengelola materialn alaminya dengan baik..
Butuh edukasi juga itu…
sesuai nama tengah kk Indri, lestari
Terlihat sunyi sekali. Tak tampak aktifitas warga di sana. Tetap terlihat indah dan malah kangen dengan suasana desa yang lengang.
karena mereka bekerja di luar. kayaknya sepi banget sampe aku gak tahu mau ngapain..
ah rindu kupangg
aku pun ingin ke sana lagi…
kampungnya jadi eksotik ya…
padahal sederhana, tapi menarik diamati…
Rumahnya masih tetap terpelihara, semoga tidak tergusur akan peradaban.
Dengan mempertahankan keasliannya justru lebih menarik.
dibenahi agar lebih apik, supaya tidak dipandang sebelah mata dan dianggap ‘kurang’ dari rumah tembok. halamannya juga bisa dimanfaatkan..
Suka banget bacanya.. Berasa ada di sana ngalamin yang ditulis 😀
hayo ke sana lah.. aku pengen mampir dan ngobrol dengan orang2nya..
Mudah2an rumah adat itu ttp lestari. Menurut saya dalam pembangunan itu yg penting adalah pembangunan manusianya supaya lbh maju, bukan hanya adanya bangunan2 modern 🙂
kapan ya bisa ke sini
yuk, aku pengen ke sini lagi kaakkk.
Pantai yang menyenangkan…kangen kesini lagi
pengen berhenti-berhenti lihat rumahnya, mass..
sangat sederhana banget ya min…
[…] juga di Pulau Timor, jika berkendara ke arah pantai Kolbano di daerah Oetune, aku bertemu dengan rumah-rumah penduduk yang hampir keseluruhan bangunannya terbuat dari pohon Gewang (sejenis palem-pa…. Batangnya dijadikan tiang dan dinding, atapnya dari pelepah daun. Pohon ini pun amat mudah […]
[…] jam keliling kupang cerita senja tablolong elegi fatumnasi rumah-rumah yang berlari dalam perjalanan menuju kolbano cerita dari batu-batu di pantai […]
[…] jam keliling kupang cerita senja tablolong elegi fatumnasi rumah-rumah yang berlari dalam perjalanan menuju kolbano semau, satu bukit dan sekian […]
[…] lain : 12 jam keliling kupang cerita senja tablolong elegi fatumnasi rumah-rumah yang berlari dalam perjalanan menuju kolbano cerita dari batu-batu di pantai kolbano semau, satu bukit dan sekian […]
[…] lain tentang Timor : 12 jam keliling kupang cerita senja tablolong elegi fatumnasi rumah-rumah yang berlari dalam perjalanan menuju kolbano cerita dari batu-batu di pantai kolbano semau, satu bukit dan sekian […]
[…] NTT cerita lainnya di pulau timor : 12 jam keliling kupang cerita senja tablolong elegi fatumnasi rumah-rumah yang berlari dalam perjalanan menuju kolbano cerita dari batu-batu di pantai kolbano semau, satu bukit dan sekian […]
[…] jam keliling kupang cerita senja tablolong elegi fatumnasi rumah-rumah yang berlari dalam perjalanan menuju kolbano cerita dari batu-batu di pantai kolbano semau, satu bukit dan sekian […]
Potonya keren kayak bukan poto asli,,terlalu indah