catatan waisyak dari tepi-tepi candi

foto9

Light is more important than the lantern,
The poem more important than the notebook
― Nizar Qabbani

Tahun ini memutuskan melihat Perayaan Tri Suci Waisyak 2555 BE.

Kenapa? Karena ada teman yang mengajak. Sebenarnya ini bukan trip budaya yang direncanakan, namun kok banyak peminat ya? Gara-gara membaca twit Wenny Gustamola dari Bandung yang dapat tiket pesawat murah ke Jogja, lalu terpikir mengunjungi candi terbesar di Jawa Tengah itu. Ditambah Endah Tri Utami, teman kuliahku dari Jakarta yang pengen sekali menyaksikan prosesi ini, dan my best travelmate Felicia Lasmana dari Bogor juga ikut, maka kuputuskan untuk mengatur perjalanan ini.

Sialnya, tiket kereta ke Yogyakarta ternyata mahal sekali. Masa untuk kereta ekonomi tiketnya mencapai lebih dari Rp. 200.000. Bukan aku tak mampu membayar, tapi rasanya nggak pantas saja harga yang harus dibayarkan ini. Jadi aku berputar haluan ke Semarang, dan didapat tiket kereta bisnis seharga Rp. 155.000. Segera kuhubungi temanku Astin Soekanto yang ternyata menyambut baik ajakan ini bahkan bersedia menjemput di Stasiun Semarang Tawang bareng dengan Pra Vlatonovic.

Istimewanya, orang-orang yang kusebutkan di atas bahkan belum pernah ketemu sebelumnya, atau amat jarang ketemu saking penuhnya kesibukan-kesibukan yang menghantui hari-hari kita. Haha, tak menyangka di sinilah ‘keajaiban’ kami bermula.

Aku, Felicia dan Endah tiba di Stasiun Semarang Tawang jam 4 pagi. Setelah duduk-duduk menunggu, baru Astin dan Pra datang dengan Taruna merahnya dan kami meninggalkan stasiun yang berada di tengah kota lama Semarang itu dengan perut lapar. Jam segitu belum ada tukang makanan berjualan di sekitar Semarang. Kami langsung melaju menuju Magelang. Lepas Banyumanik dan Ungaran, kantukku tak tertahan lagi, sehingga ketika Pra bercerita bahwa kami lewat kota Ambarawa, aku tertidur pulas.

Jam enam pagi kami tiba di Magelang dan sarapan nasi gudeg, sambil menunggu kabar Sansan, yang juga sering bepergian denganku, baru berangkat dari Jogja. Melihat-lihat jalan raya, siapa tahu ada taruna Akabri yang lari-lari pagi, ternyata harapan kami sia-sia sehingga perjalanan dilanjutkan ke Terminal Magelang tempat ketemu Sansan. Di sini aku berganti baju dan berdandan sedikit.

mendut
Dengan ID wartawan Jawa Pos milik Pra, kami diperkenankan belok langsung ke jalan menuju Candi Borobudur, dan parkir di sekitar candi Candi Mendut. Di sekitar candi banyak sekali rombongan-rombongan umat Budha yang ingin beribadah bersama di pelataran candi tersebut. Terdapat banyak tenda-tenda yang dibentangkan untuk menyambut umat maupun Buddhist yang berdoa bersama. Kami melipir dan membiarkan peserta yang mau beribadah itu lewat. Di depan gapura masuknya, banyak orang berkerumun menunggu diijinkan masuk. Banyak pedagang yang memanfaatkan keramaian ini. Mereka berjualan macam-macam, mulai dari anak ayam berwarna sampai balon-balon penghibur anak.

yang mengikuti prosesi waisyak
yang mengikuti prosesi waisyak

Di luar terdapat Api Dharma yang juga sebagai tempat berdoa sebelum masuk ke kawasan candi. Api yang bersumber dari api alam di Mrapen, Jawa Tengah ini merupakan cahaya yang memancarkan cahaya kegelapan, menghapuskan keadaan suram menjadi terang dan yang memberikan semangat menembus ketidaktahuan. Sebagai bagian dari prosesi, api ini juga akan dibawa sepanjang iring-iringan menuju Borobudur. Api ini diambil sehari sebelumya dari Grobogan Purwodadi oleh para Buddhist.

api dharma dari mrapen
api dharma dari mrapen

Beberapa saat kemudian, kami masuk ke kawasan Candi Mendut dengan memakai tanda pengenal yang harus disematkan di sepanjang acara prosesi Waisyak ini. Area ini cukup ramai. Di kanan terdapat tenda berisi air berkah yang berasal dari Umbul Jumprit, Jawa Tengah di hari sebelumnya ini, dibagikan gratis kepada peserta. Air yang diriwayatkan dari Ratana Sutta di mana Buddha Gautama menganjurkan kepada Yang Arya Ananda dan umat Buddha di Vesali, sehingga wabah penyakit di Vesali dapat disembuhkan bermakna rasa pengayoman kepada seluruh makhluk hidup. Di sampingnya terdapat buah-buahan dan sayuran yang ditata dengan apik can cantik untuk dibawa ke prosesi iring-iringan menuju Borobudur nanti. Komposisi warna yang terjadi menarik untuk difoto sehingga mengundang banyak pengunjung untuk mengabadikan juga. Segelum masuk ke tenda terdapat tumpukan bunga sedap malam yang dibagikan kepada peserta yang beribadah. Sudah hampir seribu umat Buddha yang memadati tempat ini, dikelilingi oleh ratusan turis juga yang berlalu lalang di belakang mereka.

buah-buahan di sekitar mendut
buah-buahan di sekitar mendut
sedap malam dan lotus menemani upacara
sedap malam dan lotus menemani upacara

Aku melipir ke arah candi. bangunan yang dibangun pada masa pemerintahan Raja Indra dari Dinasti Syailendra ini dikelilingi pengunjung yang menyandarkan punggung pada dinding-dindingnya. Ada petugas di bawah anak tangganya yang menghadap Barat Daya yang melarang orang naik ke atas candi. Menurut wikipedia, bangunan candi dibuat dari susunan batu bata yang tertutup batu alam. Terdapat tangga yang naik ke pelataran candi dan badan candi yang berisi tiga arca yaituarca Dhyani Buddha Wairocana diapit Boddhisatwa Awalokiteswara dan Wajrapani. Untung panitia menutup naik ke pelataran candi, sehingga sementara amanlah dari serbuan tangan-tangan jahil.

candi yang dijaga
candi yang dijaga
ornamen candi mendut
ornamen candi mendut

Di tenda utama, prosesi berdoa dimulai. Para buddhist dan umat Buddha mulai menyenandungkan sutra yang mereka baca. Endah dan Felicia bergabung untuk bermeditasi di belakang mereka. Banyak sekali turis yang berkerumun di samping altar dan membidikkan kameranya ke arah altar maupun ke arah orang-orang yang sedang berdo’a. Sesaat aku merasa sesak. Acara meditasi yang seharusnya hening dilatarbelakangi suara riuh di belakangnya. Aku membayangkan suasana sehening Sholat Ied, namun tak terjadi di sini. Menurut Endah, ia didorong-dorong oleh fotografer-fotografer yang mencoba mengambil gambar. Bahkan bahu Felicia dijadikan tatakan oleh seseorang yang mengambil gambar. Terlalu sekali etika orang-orang ini!

biksu persiapan untuk mulai upaxara
biksu persiapan untuk mulai upaxara
altar doa
altar doa

Dengan lensa tele, aku hanya mengambil gambar dari kejauhan. Astin yang lelah memutuskan untuk kembali ke mobil dan tidur. Aku, Sansan dan Pra kemudian berjalan menjauh dari tenda ketika mendekati detik-detik Waisyak pada 11.24:39 tahun ini. Keluar dari kompleks Candi Mendut, rencananya hanya mencari minum saja, tapi langkah kami bertiga berbelok ke wihara Buddha yang berada di samping candi.

khusyuk berdoa walau suasana ramai
khusyuk berdoa walau suasana ramai
biksu yang menunggu detik-detik waisyak
biksu yang menunggu detik-detik waisyak

Sayup-sayup terdengar sutra yang terus mengumandangkan pujian, kami melintasi jalan masuk wihara dengan kolam di kanan kirinya. Di dalamnya juga terdapat beberapa patung Buddha dan orang-orang baik yang hanya berfoto saja, maupun umat yang berdoa.Terlihat banyak juga wisatawan mancanegara yang berputar-putar di dalam kompleks wihara ini. Kami mencari rerumputan yang diteduhi pohon, dan menggelar sambil berbaring-baring di situ. Di sini, angin agak terasa semilir.

kolam di sepanjang jalan masuk wihara
kolam di sepanjang jalan masuk wihara
patung buddha dalam bangunan tinggi
patung buddha dalam bangunan tinggi
buddha dan stupa
buddha dan stupa

iringan
Berhubung sinyal ponsel cukup jelek, jadi agak sulitlah menghubungi Endah, yang ternyata sesudah detik-detik Waisyak kembali ke mobil bersama Astin. Usai menemukan mereka dan makan siang sate ayam, kami berlarian lagi ke Candi Mendut untuk mengikuti prosesi iring-iringan. Sempat bersalah paham karena mengira kami akan ke Candi Borobudur naik mobil dengan jalan memutar, ternyata Astin dan aku yang bisa menyetir memilih untuk berjalan kaki sepanjang lima km di samping iring-iringan umat yang berjalan kaki menuju Candi Borobudur.

sekelompok umat buddha dengan seragamnya ikut iring-iringan
sekelompok umat buddha dengan seragamnya ikut iring-iringan

Kami berjalan di samping rombongan umat Buddha yang berjalan kaki dalam kelompok-kelompok dengan berbagai model busana. Ada yang memakai kaus organisasi saja, ada yang berdandan ala dewi-dewi dari Cina, juga para biksu dengan dandanan sederhana mereka. Rupanya iring-iringan ini sudah cukup panjang ketika kami mulai ikuti. Pra yang wartawan gesit berjalan di trotoar bersama Felicia yang langkah kakinya cukup cepat juga. Akhirnya jarak kami terpisah beberapa menit. Aku dan Astin berjalan sambil memotret dari samping, karena kami tidak berani masuk dalam iring-iringan tersebut. Peserta terlihat ramah dan menebar senyum sepanjang jalan. Sementara Endah yang badannya kecil mengaku banyak ketabrak orang menyusul bersama Sansan di belakang kami.

putri cina
putri cina
iringan khas pakaian tradisional
iringan khas pakaian tradisional
sun go kong
sun go kong

Iring-iringan melintasi satu jembatan sebelum kompleks Borobudur. Di sini banyak tukang ojek menawarkan jasanya mengantar. Tapi siapa mau naik ojek di tengah kerumunan orang banyak begini? Mulai bercampur dengan turis-turis baik lokal maupun mancanegara yang menuju Borobudur. Kebanyakan mereka memang menginap di homestay-homestay yang bertebaran di sekitar kompleks Borobudur. Jadi makin padatlah tepi jalan yang ingin melihat prosesi ini.

penonton dengan gaya gimbal
penonton dengan gaya gimbal
penduduk lokal yang mengikuti di sepanjang jalan
penduduk lokal yang mengikuti di sepanjang jalan
ricuh menjelang pintu masuk
ricuh menjelang pintu masuk

borobudur
Suasana semakin ramai menjelang gerbang masuk kompleks Borobudur. Dengan tanda pengenal yang kami pakai, kami langsung disuruh lanjut masuk ke area. Kabarnya, tiket masuk area Borobudur ini Rp. 30.000 untuk turis lokal, dan Rp. 190.000 untuk turis mancanegara. Rasanya lega sekali sudah di dalam kompleks karena masuk ruang terbuka hijau, yang merasa bisa bernapas dengan bebas.

romongan biksu yang sudah masuk kompleks borobudur
romongan biksu yang sudah masuk kompleks borobudur

Aku menerima sms dari Felicia yang mengatakan kalau mereka tadi berhasil sampai lebih depan dari iring-iringan pertama. Di lahan-lahan yang terbuka hijau ini, aku dan Astin gegoleran sambil melepas lelah, sambil menunggu Endah dan Sansan.

Tiba-tiba Felicia menelepon dan mengatakan ia dan Pra ada di pos polisi depan toilet. Aku celingukan berlarian dengan Astin, semoga bukan pos polisi yang memang bertebaran di mana-mana dalam tenda kerucut. Tapi beberapa menit kemudian tampak gadis berbaju merah itu melambaikan tangannya dan Pra dengan kamera berada di sebelahnya. Suasana kompleks Borobudur ramai sekali, rasanya ribuan orang tumplek blek di sini. Kami langsung mengkapling satu bukit kecil yang menghadap Borobudur untuk tidur-tiduran dan menunggu Endah dan Sansan yang tiba tak berapa lama kemudian.

Matahari pukul tiga sore itu cukup terik dan gerah, sehingga alih-alih naik ke pelataran Candi, kami memilih untuk tidur siang di rerumputan! Tak disangka-sangka, sesosok tubuh yang dikenal menghampiri kami, dan itu Wenny Gustamola! Waahh, aku dan Felicia menjerit-jerit kegirangan. Nggak menyangka bisa ketemu di sini. Kalau ingat bahwa twit Wennylah yang mencetuskan kami semua untuk berada di sini sekarang, rasanya pengen mencubit pipinya. Wenny, aku dan Felicia pernah beberapa kali berjalan-jalan dengan goodreads bandung bareng. Jika dihitung bareng Pra dan Astin yang kukenal dari goodreads indonesia wilayah Semarang dan Sansan yang kukenal dari Jogja, perjalanan ini seperti trip dengan citarasa kopdar. Ditambah Endah yang rajin baca dan menulis buku juga, rasanya kami seperti sekumpulan pencinta buku yang jalan-jalan dengan kebetulan ketemu.

Selama satu dua jam kami menghamparkan diri di rerumputan sambil ditiup angin sepoi-sepoi. Aku mengobrol melepas kangen dengan Wenny, yang sudah satu tahunan lebih tak bertemu. Yang lain masih memejamkan mata, entah tidur-tidur ayam atau tidur beneran. Setelah agak reda lelah di kaki, aku, Pra dan Astin berjalan menuju jalan kembar yang menuju Candi Borobudur, dan berfoto-foto di sana. Yang lain malas untuk melihat dan memilih untuk tidur-tiduran saja.

borobudur dari bawah dan jalan kembalinya
borobudur dari bawah dan jalan kembalinya

Ampun, orang banyak sekali berada di jalan ini dan menyesaki tangga naik ke atas Borobudur. Tampak beberapa spanduk komunitas yang jalan bareng ke sini membentang seolah mencari anggotanya yang terpisah. Kami bertiga naik ke pelataran Borobudur. Di sana juga ramai oleh orang-orang yang naik berfoto-foto di dekat stupa kecil. Melihat banyaknya orang berkerumun laksana piknik, aku merasa malas merayakan keriaan ini. Seorang teman yang sedang berada di situ juga menganyakan posisiku lewat sms. Ia berkata bahwa dirinya sedang berada di dekat altar utama. Altar Utama? Di mana pula itu? Aku hanya melihat obor-obor yang ditancapkan untuk persiapan penerangan malam nanti. Jadi kami tidak melihat di mana patung Buddha besar itu dan biksu yang beribadah. Hanya turis yang kulihat bertebaran di mana-mana.

pengunjung pelataran borobudur yang ramai
pengunjung pelataran borobudur yang ramai
beberapa ornamen borobudur
beberapa ornamen borobudur

Menjelang magrib kami turun karena prosesi Pradaksina, yaitu berjalan mengelilingi Borobudur oleh umat Buddha segera dimulai. Kami memilih untuk tidak mengusik acara religius ini dengan menunggu saja di bawah. Setelah yang lain bangun semua, kami menaiki tangga di sisi kiri pada bukit kecil untuk mencari posisi bagus memandang candi Borobudur. Aku mengeluarkan tripod dan memasang kamera dengan mengarahkan ke Candi Borobudur. Bangunan ini mulai cantik diterpa cahaya senja.

Aku, Sansan, Pra , Astin, Felicia duduk berderet sambil membidikkan kamera ke arah candi yang semakin surup mulai diterangi cahaya lampu-lampu tembak. Wenny dan adiknya tidur-tiduran sambil sesekali memotret dengan gadget. Endah asyik mengemil camilan di antara kita sampai akhirnya gelap pun turun, disertai hujan gerimis. Aku mulai menutupi kameraku dengan plastik. Beberapa orang sudah mengeluarkan payung dan jas hujan. Aku menyesal, kenapa raincoat kuningku tak kubawa ke perjalanan ini. Aku hanya memakai topi lebarku yang pink itu. Kami bertahan beberapa saat, sampai akhirnya kami berlarian ke tenda acara yang berada tepat di depan kami. Sebelumnya, tenda itu juga dipakai untuk beribadah umat Buddha, namun sekarang mungkin mereka sedang melakukan Pradaksina di pelataran Borobudur sana.

Keputusan kami untuk pindah ke tenda ternyata benar. Tak lama hujan menderas ganas. Aku membayangkan yang berada di atas pelataran sana pasti kehujanan. Bagaimana dengan lampionnya? Tentu tidak mungkin menerbangkan lampion di tengah hujan begini. Bagaimana cara api mengangkat dirinya menembus hujan? Hilanglah obyek foto sekaligus penarik massa utama orang datang ke acara Waisyak ini. Bagaimana keadaan di atas sana ya? Sinyal ponsel yang timbul tenggelam membuatku tak bisa menghubungi beberapa orang yang berada di atas sana.

borobudur menyala
borobudur menyala

Ternyata, Waisyak tahun ini air bisa mengalahkan api dengan sempurna. Jika dibandingkan dengan film kartun Avatar, ini saat Katara, si pengendali air berjaya. Ribuan pengunjung dengan semangat berapi-api melihat lampion, harus gagal melihatnya mengudara. Hujan tak kunjung reda hingga pukul 11 malam. Selama itu yang kami lakukan hanya tidur-tiduran saja, karena bermain gadget, bahkan update status pun tak bisa karena sinyal teracak. Mungkin karena sehari sebelumnya ada ancaman bom yang membuat sistem komunikasi di sini sedikit rusak.

Akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Berjalan di tengah gerimis sisa deras tadi sampai gerbang Borobudur, dan masing-masing memesan semangkuk mie instan hangat. Usai mengisi perut, Sansan dan Astin naik ojek untuk mengambil mobil ke candi Mendut dan dan menjemput kami kembali. Sialnya, kami yang menyusuri berjalan kaki dalam gelap mengira kalau jalan yang kami tempuh adalah yang tadi siang kami lalui. Setelah mengecek ke google map (iya, jam segitu nggak ada orang lewat yang bisa ditanyai), kami sadar bahwa salah jalan karena jalanannya terlalu sepi. Untung sinyal telepon sudah baik lagi sehingga tak lama kemudian kami ditemukan mobil mereka. Tengah malam itu, kami berenam menuju Godean Yogyakarta untuk beristirahat.

Aku tidak terlalu kecewa dengan tidak diterbangkannya lampion. Toh, kami mengikuti acaranya dari pagi yang tak kalah istimewa. Tapi perjalanan ini menyenangkan sekali, dengan orang-orang berbagai latar belakang, dari berbagai kota, yang saling berbagi kegilaan kami. Siapa bilang hidup harus selalu mengikuti arus? Tersesat dan salahlah sekali-kali, pasti ada hikmah di baliknya.

stasiun pasar minggu, 12.09.13
19:25 on my way to..

we are together!
we are together!

12 thoughts on “catatan waisyak dari tepi-tepi candi

  1. Sayang ya suasana yang seharusnya khusyuk dinodai oleh orang-orang tak beretika yang mengaku fotografer 😦
    Ngomong-nomong koreksi dikit dong Ndri, itu foto yang dikasih caption “sun go kong” sebetulnya foto yang menggambarkan 4 kimkong penjaga pintu langit dan bukannya sun go kong.

Leave a Reply to johanesjonaz Cancel reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.