Apakah masyarakat di tempat yang didatangi selalu senang dengan adanya pengunjung?
Apakah kehadiran kami mengganggu derap kehidupan mereka?
Apakah mereka menganggap kami sebagai penonton saja?
Seringkali pikiran demikian ditepiskan ketika melihat senyum mengembang di wajah mereka. Indonesia sangat terkenal sebagai negara yang amat ramah, selalu memberikan wajah ceria untuk pendatang yang mengunjungi daerah mereka. Tidak sedikit wajah-wajah ceria mewarnai hasil-hasil foto anak-anak Indonesia. Sehingga seolah-olah mereka memang terlihat selalu gembira dengann adanya pendatang (baca : turis).
Masyarakat di sekitar tempat wisata adalah orang-orang yang paling terkena dampak dari pelaku pariwisata. Merekalah yang memiliki tempat indah, kemudian dikunjungi, kemudian terpublikasikan, kemudian dikunjungi lagi, lalu menerima dampak negatif dan positifnya dari aktivitas wisata di situ. Memang sudah seharusnya bahwa wisata itu dikelola oleh penduduk sekitarnya sendiri, bukan oleh orang luar yang ujug-ujug datang dan mengambil keuntungan dari keindahan ini. Apalagi jika tempat wisata itu adalah area bertinggal mereka sehari-hari. Pengunjung akan datang dan mengamati bagaimana mereka hidup dan tinggal bersama mereka.
Sebagai orang luar, kami harus sopan dan tunduk dengan aturan sekitar, menghormati apa yang menjadi kebiasaan di tempat yang kami kunjungi, sebisa mungkin berinteraksi dengan warga lokal supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kami tidak bisa seenaknya melakukan apa yang menjadi kebiasaan sendiri. Bila ada kendala bahasa, lebih baik lagi jika menggunakan pemandu yang akan menjelaskan hal-hal yang harus kami pahami di sana. Bagaimanapun, kami adalah tamu yang tidak mungkin menyelonong begitu saja ke dalam lekak lekuk ruang bertinggal.
Aku pernah ke kampung Baduy Dalam di Banten beberapa tahun yang lalu. Kami menggunakan pemandu dari anak-anak muda yang peduli pada masyarakat adat Baduy, dan ditemani oleh beberapa pemuda Baduy juga yang membantu membawakan barang-barang kami. Sebelumnya kami diberitahu aturan bahwa di Baduy Dalam tidak ada listrik, juga kami tidak diperkenankan memotret di sana. Ada juga beberapa tempat yang tidak boleh kami injak karena dianggap sebagai tempat suci mereka. Tidak boleh mengotori air sungai dengan deterjen, sehingga tidak mandi dengan sabun atau shampoo bahkan menyikat gigi dengan pasta.
Kami tidak bisa menganggap mereka bodoh karena tidak menggunakan listrik, tidak memperkenankan anak-anaknya bersekolah, ataupun tidak menggunakan deterjen untuk membersihkan pakaian-pakaian yang kumal. Ini adalah pola pikir yang sudah mereka anut bertahun-tahun sebelum adanya pendatang. Kearifan merekalah yang membuat pemukiman ini masih bertahan sampai sekarang, walaupun harus menempuh berkilo-kilo jauhnya jalan kaki, karena mereka pun tidak mau dibangun akses yang bagus menuju desa. Jika menuju tempat meeka dimudahkan, tentu pengaruh-pengaruh luar akan lebih mudah masuk, dan keaslian desa akan terancam. Tradisi lokal ini yang menjaga mereka dari kepunahan.
Aku juga pernah ke satu desa di Nias Tengah, dekat dengan desa Tumori tempatku sempat mampir. Berbeda dengan desa Tumori yang sudah sering dikunjungi wisatawan internasional dan dijadikan salah satu agenda tujuan wisata oleh Pemerintah Nias, desa dekatnya ini sama sekali tidak mau kalau daerahnya dikunjungi oleh wisatawan.
Ketika kami berkunjung ke tetua desa, ia malah menjelaskan bahwa ada dua wisatawan bule yang kemarin diusir dari desanya karena memotret-motret tanpa izin. Pemandu kami yang asli Nias berusaha menjelaskan kepada beliau tentang keterbukaan daerah, tentang potensi pariwisata desa, namun ia menolak dengan tegas. Kami tidak memaksa untuk mengeksplorasi desa itu. Sudah menjadi hak masyarakatnya bahwa desa ini boleh dikunjungi atau tidak. Mungkin mereka tidak ingin menjadi bahan tontonan belaka, difoto-foto kemudian masuk berita internasional, atau mungkin juga ia ingin menjaga desanya dari pengaruh asing. Kami harus menghormati keputusan ini. Bagaimana pun, ini wilayah tempat tinggal mereka, jadi mereka yang berhak memutuskan untuk menerima tamu atau tidak.
Berlaku sopan, ramah, dan tetap menghargai tradisi mereka adalah salah satu kunci kita untuk bisa menikmati bagaimana rasanya hidup bersama masyarakat di daerah. Mungkin mereka tidak pernah membayangkan bahwa tempat tinggalnya akan menjadi tempat tujuan wisata. Perlu waktu untuk membuat mereka terbiasa dengan daerahnya sebagai sesuatu yang unik. Hormati kebiasaan-kebiasaan sehingga tidak mencerabut akar budaya mereka sebagai orang lokal, dan tetap bangga dengan kelokalannya.
“The first time you share tea with a Balti (Baltistan people), you are a stranger. The second time you share a cup of tea, you are an honored guest. The third time you share a cup of tea, you become family” – Three Cups of a Tea
Depok, 27 September 2014
Foto di atas adalah Rumah kepala adat di desa Tumori, Nias Tengah. Beda dengan rumah sekitarnya adanya tugu menhir di depan rumahnya.
Tulisan ini dibuat untuk merayakan World Tourism Day 2014 bertema Tourism & Community Development bareng-bareng Travel Blogger Indonesia.
#WTD2014
Felicia Lasmana Tourism & Community Development: Travelling for People or Places?
Tekno Bolang Discover Indonesia
Halim San Mengkhayal Masa Depan di Desa Wisata Tembi
Indri Juwono Tourism Community Development : Mempertahankan lokal
[…] Indri Juwono – Tourism & Community Development : Mempertahankan Lokal […]
Wah, pemikiran masyarakat di kampungku juga demikian kak, ada desa yang melarang pendatang mengeksplore potensi wisata daerah mereka. Padahal keindahan alamnya sangat wah… Ada juga yang welcome. Dan kita sebagai turis harus menghormati ketentuan ini. Setuju kak… Pingin posting ttg tema ini jugaa.
ayo kak, posting juga.
jadi ada pandangan tentang masyarakat nih mengenai pariwisata di daerahnya sendiri. dijaga supaya tak rusak yaa..
[…] Note : Tulisan ini ikut meramaikan World Tourism Day 2014 #WTD2014 Read related article from TBI –> Indri Juwono : Mempertahankan Lokal […]
kak aku ingin ke nias :((
Tapi nggak ada Garuda ke sanaaa..