Peminum kopi itu pemikir, peminum teh itu romantis.
Kata-kata itu pernah kusampaikan pada seorang teman bertahun-tahun yang lalu, dalam satu perdebatan minuman pagi, kemudian dikutip dalam novel yang ditulisnya. Buatku yang tidak kuat minum kopi, kalimat itu untuk menjustifikasikan diriku yang romantis. Padahal sesungguhnya, suka membaca buku puisi ditemani segelas teh sambil memandang hujan itu bisa dilakukan siapa saja. Oh, tapi ternyata lebih banyak waktuku memandang hujan sambil memandangi berkas-berkas gambar dan angka-angka. Sungguh tidak romantis. Pemikir, iya. Apa sebaiknya aku minum kopi saja?
Sedari dulu aku memang jarang meminum kopi, sering mencoba memaksakan diri untuk minum biji hitam dengan merk instan ini sembari mengerjakan tugas-tugas gambar, malah membuat perutku bergemuruh tak karuan, malah memaksaku untuk berbaring menenangkan rasa mual. Jadi, walaupun aku harus berpikir banyak, tapi kopi tidak mampu menjadi teman diskusiku.

Sampai satu ketika aku berkunjung ke Belitong dan mampir di Kedai Kopi Kong Djie, dan menemukan bahwa perutku tidak ada masalah dengan kopi seduhannya! Kedainya pun tidak terlalu besar dan suasananya hangat. Aku yakin bahwa berbagai topik diskusi dari yang ringan hingga berat bisa keluar di kedai dengan beberapa meja ini. Kong Djie sendiri melayani pelanggannya sambil tetap berinteraksi sehingga tercipta ruang yang lebih padat. Petualanganku selanjutnya membawaku ke kedai kopi di Malaka, kemudian di Lampung, disajikan di rumah-rumah adat di Flores, yang semuanya ada satu kemiripan, ada ruang yang rekat untuk meminum kopi.
Kopi disajikan di kualitas ruang yang temaram, di antara warna-warna kayu yang kuat, seperti warna yang kuat dari kopi itu sendiri. Disajikan panas-panas bukan oleh barista profesional, namun oleh peracik kopi yang belajar turun temurun sebagai bisnis keluarga. Kopi lokal, begitu kubilang. Kopi yang bisa membangkitkan tenaga lagi setelah lelah berjalan.


Maka ketika ada tawaran untuk menonton FILOSOFI KOPI yang diangkat dari cerpen berjudul sama di buku bertajuk serupa karya Dee Lestari, aku segera mengiyakan walaupun harus berangkat pagi-pagi sekali dari Depok, menuju Setiabudi XXI. Dahulu pun aku amat suka dengan cerpennya, tentang seorang barista yang amat mencintai dan begitu tergila-gila pada kopi. Ia menciptakan satu racikan yang menurutnya terenak, Ben’s Perfecto.
Mungkin yang sudah membaca sudah sangat tahu jalan ceritanya, ketika Ben, si barista super narsis dan pede mendapatkan tantangan untuk menyajikan satu racikan untuk memenuhi tantangan seorang kaya untuk menyelamatkan kedai kopi mereka dan menjadi gamang ketika hasil karyanya yang menurutnya racikan terbaik ini, kalah oleh kopi Tiwus, yang menurutnya adalah kopi kampung, yang tidak bisa dibandingkan dengan Ben’s Perfecto yang sudah ia riset berdasarkan pengetahuan per-kopi-an yang ia tahu.
Kedai Filosofi Kopi yang tervisualkan sangat menarik, sebuah toko kelontong tua di kawasan Melawai, di depan lalu lalang yang ramai, tempat orang-orang singgah untuk diskusi atau sekadar chitchat. Ada meja panjang besar sebagai coffee bar sehingga pelanggan bisa langsung melihat bagaimana Ben meracik tiap pesanan untuk mereka. Jarak antara meja-meja dan coffee bar ini juga tidak terlalu lebar, sehingga interaksi antara pelanggan dan barista begitu rekat. Ya, konsep ruang seperti yang ada di kedai-kedai lokal.
“Mas, boleh selfie bareng, nggak?”
“Tapi jangan lama-lama, saya lagi kerja!”
Begitu ajak dua gadis yang mengagumi Ben, barista utama yang ramah di Kedai Filosofi Kopi.
Chicco Jerikho sebagai Ben, barista ganteng, urakan, dan merasa dirinya adalah peracik kopi paling hebat di ibukota, sangat pas aktingnya di film ini. Rambut gondrongnya, gaya yang seenak udel, ego yang super tinggi, beradu akting dengan Rio Dewanto, yang berperan sebagai Jody, si pemilik kedai kopi yang sangat logis, penuh perhitungan, tidak bisa meracik kopi, dan memiliki ego super tinggi juga.
Jody yang selalu berada di belakang meja kasir, dan menghabiskan malam dengan analisis-analisis bisnisnya, menjalankan Kedai Filosofi Kopi bersama Ben, yang melewatkan hari dengan eksperimen meramu kopi-kopi berkualitas untuk mendapatkan rasa terbaik. Kedua orang yang bersahabat sejak kecil ini memiliki karakter sang amat kuat, amat lelaki, mengungkapkan apa yang menjiwai keseharian mereka. Ketika masalah keuangan melilit kedai kopi tempat mereka melewatkan hari-hari, yang akan berakibat buruk di masa depan pada kecintaan mereka pada kopi, mereka bersitegang. Atas dasar modal atau jiwa terhadap pengolahan kopi.
Dua lelaki. Sulit untuk saling mengalah.
Scene : di warung. Jody menghampiri Ben yang sedang makan dan menutup kedai Filosofi Kopi.
Jody : Kita harus buka pada jam makan siang. Saat itu pengunjung banyak. Coba, apa yang dicari orang sesudah makan siang. Kopi!
Ben : (melengos) Mbak! Es teh!
Perjalanan mencari kopi terbaik untuk kedai kopi terbaik memang luar biasa. Perjalanan Ben untuk menemukan kopi Tiwus yang katanya lebih enak daripada racikannya ini menariknya kembali pada masa lalu, pada masa-masa ia pertama kali jatuh cinta pada kopi, kebun, bunga, dan buah kopi yang wangi di kampung halamannya. Tentang menyayangi kopi dengan sepenuh hati. Tentang bagaimana memupuk kebun kopi, tentang dahan-dahan yang harus dibuang untuk menyehatkan biji kopi. Tentang menumbuk. Tentang menyeduh. Tentang rahasia yang tidak ia ceritakan.
“Kami merawat dan menyayangi pohon-pohon kopi ini seperti menyayangi Tiwus, anak kami.”
Buku dan film selalu memberikan cara menikmati yang berbeda. Aku sendiri selalu memilih tidak membandingkan keduanya, karena pasti cara penceritaan verbal dan visual akan berbeda. Keduanya memiliki keterbatasan masing-masing, dan ketika sebuah cerita tulisan dibahasakan gambar, ia akan menjadi karya baru yang diapresiasi dengan cara yang berbeda. Untunglah aku terakhir membaca Filosofi Kopi hampir lima tahun yang lalu. Sehingga cerita yang tertempel di otakku tinggal sedikit dan bisa menerima versi visualnya, walaupun ada beberapa yang kurang sreg. But life is about excuse and sacrifice, too.
FILOSOFI KOPI : on cinema 9 April.
foto-foto dari Youtube.
Review ini ditulis karena aku suka dengan bukunya, dan filmnya. Bukan karena memang dapat kesempatan nonton gratis di hari minggu pagi. Benar, ini salah satu film Indonesia yang keren dan patut ditonton. Nonton, ya!
Suka sama cerpen Dee yang satu ini, filosofinya memang keren banget, jadi penasaran sama Film satu ini, kalau suka dua-duanya berarti aku seorang prmikir yang romantis? hehehe
romantis pake mikir mungkin iyaa.. :p
romantis kok mikir-mikir. :p
Aku belum baca cerpennya, tapi kemaren pas liat trailernya emang seru banget. Jadi pengin nonton!
Anyway, aku pencinta green tea. Masuk ke romantis gak? XD
chei, aku pun penggemar green tea. eh, matcha tepatnya. yuk, mari kembali menjadi romantis!
ih aku peminum teh ahahha
ah, kamu sok romantis gitu, wiinnnn… 😀
Aku kan romantis hahah
Kemarin waktu ke XXI udah lihat posternya, coming soon 🙂
Hari ini mulai main lohhh… Keren!
Iya e mbak, barengan sama HOS Cokro….. Kayaknya harus nonton semua 😀
Sebagai penggemar kopi pemula, sepertinya saya harus nonton. Kak Indri berarti sekarang ada di JKT?
iya, tiap hari kecuali liburan mendadak.. 😄
Eh ya aku suka teh, tapi gak pernah diromantisin 😦 *tetep*
Hari ini udah ada dong yah?! Nonton ah sendirian, akupun baca bukunya udah 3 tahun lalu.. lupa-lupa dikit dan baca review ini makin penasaran!
udah ada kok hari ini. eh, kok sendirian? yang mau diromantisin mana? 😉
Wah beruntung banget sudah nonton filmnya mba. Kan baru hari ini launching. 😀
Salam dari penikmat kopi,
iya, dapat undangan screening dari majalah. kebetulan pas kosong, jadi ikut deh. 😀
paling demen ama tulisan dee,
gag sabar pengen nonton filmnya
samaa! aku juga suka tulisan Dee. dan film ini favoritku, selain Madre 😀
hehehehe madre bagus, tentang resep roti..
cuma film perahu kertas juga ciamik lo mbak
perahu kertas juga dapat pre-screening-nya. 😀 suka semua, buku, film, ma soundtrack-nya. related gitu, hehehee..
aku juga tim teh! tapi lebih lagi tim air putih sih.. hihihi..
kayaknya cewek2 emang penggemar teh. tapi, kamu romantis?
hmmmm…. 😌
Kereen.. pengemasannya apik
Kamu suka kopi, Dhev?
Filmnya udah main yaaaa 😀
Ih, Dee lestari ini kece banget kalau bikin buku, bikin mikiiiir. Filmnya pun masih sama pasti, nyuruh kita buat mikir juga 😀
mikir itu harus ikhlas juga. kerelaan hati. manusia kan dikutuk untuk berpikir.. 😉
Wahahaha iya juga sih Mbak. Manusia yang nggak berpikir itu manusia yang aneh juga ya ._. pokoknya tetep kalau ngapa-ngapain itu harus ikhlas 😀
Aku udah baca bukunya. Karya Dee Lestari emang bagus”. Di daerahku belum tayang filmnya 😦
dudududddhh, ditunggu aja ya. kalau tayang, buruan nonton! sebelum turun dadakan.
ntn filnya seru, baca resensi filmnya di sini juga seru 🙂
fazhry, nonton cerita kopi memang seru2 asyik yaa!!
satuju kaakk..
Blm nonton filmnya mb. Hiks
Nonton dong. Nggak ada akunya kok. 😝
Oke, kita ngakak dulu dengan quote di awal tulisannya…haha
Tapi, betul, walau ada beberapa part yang kurang sreg. Secara keseluruhan, film ini bagus. Layak ditonton!
(Komentar dari penggemar kopi :D)
Jadi kapan kita rumpi; aku ngopi sambil Mbak nya ngeteh. hihiw.
haha! you know exactly what I mean.
yuk, aku lagi tergila-gila sama matcha ini… :)))
Sini ke Yogya, jadi aku tergila-gila sama matcha yang dibuatkan Mas Barista yang itu. Eh, gimana? Hahaha
Eh, nanti kalau ke Jakarta kukabari deh.
haha, mending kita ketemu di purwokerto aja di tengah-tengah. asyik khaann??
Nah, boleh juga. Tapi, cocokin dengan jadwal aku business trip ke Purwokerto ya..hahaha.. *teteup cari gratisan*
aku romantis donk karena suka teh, meski terkadang menyesap si hitam di masa tertentu. blom sempat nonton nih 😉
Kak olip bukannya penggemar kopi? Kan kamu pemikir :)))