betapa banyak perjalanan terhenti karena tidak ada jembatan?
Tidak kusangka bahwa Jembatan Ampera yang menjadi ikon kota itu benar-benar strategis sampai-sampai ke mana pun di Palembang sepertinya aku selalu melewati atau sekadar melihat jembatan ini. Tercatat sehari dua kali mondar-mandir lalu di tepinya atau melintas di atasnya. Warna merahnya yang cerah sangat mudah tertangkap mata berpadu dengan biru atau kelabu langit.
Perjalanan ke Palembang tahun 2015 lalu merupakan salah satu favoritku tahun lalu. Bukan saja karena aku terbang dengan tiket gratis dari Citilink, tapi karena di sana aku mendapat banyak teman dan saudara baru dari keluarga BPI Palembang. Walaupun aku tidak ikut komunitas ini, tapi rasa hangat amat terjaga. Bayangkan, baru saja tiba di Bandara Sultan Badaruddin Palembang saja, aku sudah dijemput untuk diantarkan ke tengah kota.
Kami berkendara mampir mencemil Pempek Beringin, lalu terus menuju tepi Jembatan Ampera, untuk menengok Benteng Kuto Besak. Karena si pengantar ada keperluan, jadi aku dan Bintang hanya berkeliling berdua saja. Tempat yang kukira adalah tempat wisata ini berupa sebuah dinding tinggi yang mengelilingi satu kompleks yang ternyata adalah kompleks Komando Militer, yang tentu saja tidak bisa dimasuki begitu saja.
Benteng Kuto Besak sendiri berdiri pada abad XVIII yang sebenarnya adalah pusat Kesultanan Palembang. Pembangunannya pada tahun 1780 diprakarsai oleh Sultan Mahmud Badaruddin dan dilanjutkan oleh Sultan Mahmud Bahauddin yang menjadikan Palembang sebagai pusat sastra agama di Nusantara. Ia juga yang memindahkan pemerintahan dari Keraton Kuto Lamo ke Kuto Besak. Secara resmi keraton ini ditempati pada tahun 1797.
Cuaca Palembang di bulan Juni benar-benar panas, menjelang tengah hari dengan udara yang begitu cerah. Dari depan Benteng Kuto Besak ini bisa terlihat Jembatan Ampera yang indah memanggil-manggil. Aku dan Bintang berjalan ke tepi sungai Musi yang lebar dan menemukan perahu berlalu lalang. Di siang hari memang tidak banyak orang berjualan, kabarnya cuma malam hari di sini ramai sekali.
Jembatan Ampera dibangun tahun 1962 untuk menghubungkan kota Palembang di bagian Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Usulan pembangunannya sendiri sudah mencuat sejak tahun 1906 ketika masih dalam pendudukan Belanda. Namun hingga Indonesia merdeka, proyek ini tidak terealisasi. Ketika akhirnya Presiden Soekarno menyetujui pembangunan jembatan ini, beliau mensyaratkan adanya ruang terbuka pada kedua ujung jembatan. Sisi tempat aku berada sekarang adalah sisi Ilir. Nama Ampera diberikan sebagai akronim dari Amanat Penderitaan Rakyat, sesudah sebelumnya bernama Jembatan Bung Karno.
Karena posisi kota Palembang yang begitu strategis dengan kapal-kapal dari pelabuhan hingga pedalaman sungai Musi, awalnya jembatan dengan bentang 1117 m dan dibagi menjadi tiga bentang lengkung baja ini bisa diangkat dengan peralatan mekanis dua bandul pemberat di menaranya, sehingga kapal-kapal besar bisa lewat. Karena waktu yang diperlukan untuk mengangkat penuh jembatan cukup lama, sekitar 30 menit, maka sejak tahun 1979 aktivitas ini tak lagi dilakukan dengan alasan mengganggu aktivitas penyeberangan di atasnya.
Sempat terus berjalan menuju satu restoran ayam goreng tepung yang terkenal dan spot yang bagus untuk memotret, aku urung memasuki Museum Sultan Mahmud Badaruddin II karena sedang dipakai sebagai tempat pernikahan. Menyeberang jalan, kami tiba di Monumen Perjuangan Rakyat di mana banyak anak-anak muda yang kumpul-kumpul di situ sesudah bubar sekolah. Wah, memang hari Sabtu dan besok libur, pantas saja mereka leyeh-leyeh di sini dan nggak langsung pulang. Plaza di depan Monpera ini memang letaknya amat strategis di mana dilewati aneka bis ke aneka penjuru sehingga amat cocok dijadikan sekadar tempat rendezvous. Kaena siang hari, nggak banyak ketemu pasangan yang sedang kencan juga.
Tidak seperti Benteng Kuto Besak atau Jembatan Ampera yang dibangun sejak zaman Belanda, Monpera ini didirikan 27 tahun yang lalu di mana pemerintah memang sedang giat-giatnya membuat simbol di mana-mana. Sayangnya, sculpture raksasa ini hanya menjadi penarik sentris bagi lalu lintas sekitarnya saja, tapi masih kalah jauh dengan pesona Jembatan Ampera yang berdaya magnet lebih kuat. Padahal monumen ini dibangun untuk mengenang perjuangan pertempuran lima hari lima malam di Palembang pada masa penjajahan Belanda.
Karena panas makin terik, kami menyeberangi jalan Merdeka yang cukup ramai untuk sejenak beristirahat di Masjid Agung Palembang. Tentu saja sembari menunaikan ibadah sholat Dhuhur dan melihat-lihat arsitektur masjidnya yang cantik. Banyak sekali orang yang beribadah di sini dari sekadar pelintas seperti kami atau yang mungkin sudah terbiasa ke sini setiap hari. Alhamdulillah.
Masjid ini memiliki beberapa menara syiar, ada yang kecil atau yang lebar, yang di lantai-lantainya terdapat balkon melingkar yang dikelilingi langkan pengaman. Bagian utama bangunan masjid beratap cungkup tingkat tiga agak mirip dengan arsitektur Cina, dengan jurai berhias ukiran berwarna emas. Ambang jendela yang lengkung dengan profil bertumpuk memberi rasa klasik kolonial pada bangunan ini. Daun-daun jendela berwarna hijau mendominasi sekeliling bangunan dengan kaca patri berhias. Lubang jendela ini cukup unik karena hanya setinggi 15 cm saja dari lantai sehingga memungkinkan pengunjung untuk melompati jendela langsung. Di sisi utara dan selatan terdapat foyer dengan tiang-tiang besar mendominasi, namun agaknya seiring ekstensi luasan masjid, foyer ini tak lagi terlalu berfungsi.
Palembang memang sebuah kota yang dipengaruhi budaya Melayu, Hindia Belanda, juga Cina. Tak sedikit teman-temanku yang beretnis Cina atau berwajah mirip Cina yang memang berasal dari kota Palembang. Karenanya berbagai area bangunan pun dipengaruhi oleh etnis-etnis di sini.
Dari masjid kami berjalan ke tepi jalan Jendral Sudirman ke satu halte tinggi untuk menunggu bis Trans Musi. Sebenarnya ada beberapa bis yang bisa membawa kami ke hotel, namun karena aku agak parno (akibat terlalu sering mendengar idiom Komplotan Palembang) dan ingin aman, aku menunggu bis Trans Palembang ini. Ternyata nyaman sekali seperti tak kalah dengan bis saudaranya di ibukota. Ada banyak jalur bus Trans Musi ini ke berbagai daerah, tapi aku hanya mencoba yang menuju hotel tempatku menginap saja. Selang setengah jam, tibalah aku di depan lobby hotel Red Planet yang menjadi tempat tinggalku dua malam ke depan. Pas jam 14.00, waktunya tidur kembali karena tadi bangun terlalu pagi.
Rupanya keakraban tidak berhenti di sini karena Adhyt, salah satu anggota BPI Palembang menelepon dan mengajak jalan-jalan malam bersama teman-temannya. Kami bertemu di depan hotel dan berkenalan dengan beberapa orang lagi. Kami menuju Martabak Har yang ternyata enak sekali. Pantas saja martabak ini menjadi salah satu signature food di Palembang.
Putri, salah satu teman baru kami mengajak untuk menghabiskan sebagian malam minggu di Museum Purbakala. Wah, rupanya sedang ada event kesenian di sana sehingga bisa menyaksikan berbagai pentas budaya Palembang. “Kalau sedang tidak ada event, museum ini sepi dan jarang ada yang datang,” ceritanya. Kami menonton beberapa pertunjukan dan berjalan-jalan sekeliling. Di siang hari Museum ini dibuka untuk umum dan menyimpan aneka benda purbakala seperti beberapa prasasti. Rupanya malam itu sedang ada Festival Sriwijaya yang digelar beberapa hari, dan rupanya cukup menarik minat warga Palembang untuk hadir ke sana.
Sesudah itu tetiba tercetus ide untuk melihat keramaian di Jembatan Ampera pada malam hari. Betul juga, kan aku belum melihat-lihat lampu-lampu indah di malam hari itu. Rasanya memang lokasi-lokasi di Palembang tak jauh sehingga dalam beberapa saat kendaraan kami sudah merapat di Benteng Kuto Besak, dan kami kembali berjalan-jalan di tepian sungai. Kali ini tak seperti tadi siang, tepi sungai Musi ini ramai sekali oleh penjaja aneka makanan.
Sambil melihat kanan kiri dan berjaga, kami terus berjalan hingga satu dermaga kecil menjorok yang berada tepat di depan Jembatan Ampera. Warna merah, ungu, hijau, biru, bergantian menerangi kolom-kolom utama jembatan. Tak banyak lagi kapal yang menderu-deru berlalu di bawahnya. Mungkin mereka sekarang menepi dan beristirahat.
Kami mendaki tangga menuju jalan raya yang melintas menuju jembatan. Lalu lintas cukup ramai dengan kendaraan berlalu lalang cukup sering. “Kalau di sini dulu banyak jambret, mbak. Keluarin hape di sini bisa-bisa disambar. Harus hati-hati,” pesan Adhyt. Wah, aku jadi agak gentar untuk mengeluarkan kamera untuk memotret. “Tapi sekarang sudah lebih aman, mbak. Lagi pula kan kita jagain,” tenangnya.
Jembatan dengan tinggi menara 63 m ini sangat kuat sebagai ikon kota Palembang. Karena dengan tidak banyaknya bangunan di sekelilingnya sehingga ia dominan sebagai vista. Untunglah jembatan ini tak lagi diangkat, karena bisa terbayang kemacetan yang akan terjadi karena antrian. Seandainya terangkat, kapal dengan lebar 60 meter dan tinggi maksimum 44,5 meter bisa melewati sungai Musi hingga ke dalam. Saat ini hanya bisa dilewati oleh kapal dengan tinggi sembilan meter.
Aku dan Adhyt menyeberang jalan, karena di sisi kami pencahayaan agak kurang. Untung di sisi sana cukup terang sehingga bisa mengabadikan menara-menaranya yang disinari lampu-lampu yang indah. Tak lama aku berada di sisi seberang, kami kembali menyeberang. Memang agak susah sampai ada mobil yang rela berhenti dan menyilakan kami melintas. Tapi tiba-tiba..
BRAK!
Aku terkapar di tengah jalan dengan kamera di pangkuanku. Adhyt juga tergeletak tak jauh dari tempatku. Sembari kaget dan menyadari apa yang terjadi, ternyata baru saja ada motor yang ngebut dan menabrak kami berdua. Kami baru melihat motor itu juga jatuh di ujung sana, dan pengendaranya yang berusaha membangunkan motornya lagi. Teman-teman yang berada di seberang jalan menghambur menolong kami, menarik supaya aku dan Adhyt tak disambar mobil yang iseng ngebut.
Aku memeriksa lengan kiriku yang rupanya berdarah-darah. Kucoba menggerak-gerakannya tapi ternyata masih bisa. Ah, tak apa. Putri membelikan plester untuk menutup lukaku. Aku menganggapnya sebagai salah satu momen unik di Palembang, walaupun bukan kenangan yang manis. Sampai kini kalau sikut kiriku terbentur sesuatu, aku jadi teringat Palembang. Jembatan Ampera, memang nostalgia.
Golden bridge, silver bridge or diamond bridge; it doesn’t matter! As long as the bridge takes you across the other side, it is a good bridge!
― Mehmet Murat ildan
Pulomas, 02.03.2016.
tentang Palembang :
riak menari sungai musi
tentang jarak pulau kemaro
Makin ga sabar buat nikmatin Palembang minggu depan.
Wah, ikutan yang di jembatan ampera itu nunggu gerhana ya?
Iya. Rencana mau ke sana. Hehe.
Ampera kalo malam indah banget dipotret 😀
Tapi harus hati-hati kakk..
BPI itu apa? Btw untunglah gpp ya walopun tertabrak motor. Palembang emang ngangeniiin!
backpacker indonesia chapter Palembang, kak Eka. ada situs forumnya sendiri..
Oalaaah… Kudet banget ih aku 😐
Astaga, lalu lintas Palembang memang keras, mbak. Seperti nggak peduli dengan penyeberang jalan dan kendaraan lainnya. Too bad, padahal kota ini punya banyak potensi wisata. Aku menyeberang di bunderan depan Masjid Agung aja ketar-ketir 😀
Masjid Agung Palembang is my favorite. Kirain dibangun dengan arsitektur Melayu yg kental, tapi rupanya justru lebih menonjol dengan gaya Jawa dan Tionghoa.
aku belum pernah ke Palembang, tapi suka makan pempek 😉