Menghadapi bumi yang semakin tua ini, sustainable architecture atau yang biasa dikatakan arsitektur berkelanjutan adalah topik yang menarik untuk dipelajari. Arsitektur sebagai peninggalan ikon waktu menjadi salah satu bentukan yang mengubah bentuk alam menjadi bentuk binaan. Perubahan-perubahan tapak yang disesuaikan dengan kebutuhan manusia ini seringkali melupakan bahwa sebenernya kehidupan manusia sebagai pengguna ruang bangunan amat tergantung oleh alam, karena itu bagaimana pun desain lingkungan binaan, harus selalu memperhatikan alam, mengembalikan keseimbangan dan tidak menjadi pongah.
Pengertian Arsitektur yang berkelanjutan, seperti dikutip dari buku James Steele Sustainable Architecture, adalah ”Arsitektur yang memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa membahayakan kemampuan generasi mendatang, dalam memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Kebutuhan itu berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain, dari satu kawasan ke kawasan lain dan paling baik bila ditentukan oleh masyarakat terkait.”
Beberapa peraturan yang dituangkan dalam peraturan seperti KDB, KLB, KDH, bisa dipahami sebagai salah satu upaya untuk menyeimbangkan alam dengan bangunan, seberapa besar area tutupan dan seberapa besar ruang terbuka yang digunakan sebagai penyerapan air secara alami, supaya ketersediaan sumber daya alam ini tetap terjaga. Keharusan membuat ruang hijau juga dimaksudkan sebagai penghasil oksigen yang memang untuk dinikmati bersama oleh penghuni-penghuni ruang kota. Wacana ke depan tentang nilai ‘hijau’ suatu bangunan juga harus menjadi poin penting tentang upaya-upaya penghematan energi, yang diketahui bahwa beban terbesar adalah penggunaan listrik dan mesin pendingin.
Karena pembangunan berkelanjutan harus dapat menggunakan sumber daya alam, merekayasa teknologi dan meningkatkan kualitas hidup manusia, maka arsitektur berkelanjutan juga harus diarahkan sebagai lingkungan binaan baik yang bersinergi secara ekonomi dan sosial, juga lebih berkualitas mulai dari pembangunan, pemanfaatan, pelestarian, hingga pembongkaran bangunan. Karena jika nilai-nilai ‘hijau’nya meningkat, diharapkan kesehatan, kenyamanan, estetika, pun akan datang terkatrol dengan sendirinya.
Dalam beberapa perjalanan yang aku lakukan ke beberapa daerah pedalaman di Indonesia, sebenarnya banyak sekali nilai-nilai kearifan lokal yang sudah turun temurun dilakukan oleh warga demi menjaga keberlangsungan lingkungan. Di Kampung Baduy dalam, Banten, warga tidak diperkenankan menggunakan deterjen untuk membersihkan pakaian ataupun sabun dan shampoo untuk badan. Ini untuk menjaga supaya aliran air tetap bersih dan desa yang ada di hilir tetap mendapatkan air bersih. Bukankah ini adil? Kebetulan juga aku datang ketika sedang melakukan penggantian rumah. Maksudnya mereka mengganti dinding dan atap rumah-rumah mereka yang terbuat dari kayu dan bambu, dengan bahan yang sejenis, yang mereka tumbuhkan di hutan-hutan sekitar pemukiman. Setiap 5-7 tahun ketika bahan bangunannya sudah lapuk, mereka tinggal mengambil dari bambu atau kayu di hutan.
Begitu juga di Pulau Timor, jika berkendara ke arah pantai Kolbano di daerah Oetune, aku bertemu dengan rumah-rumah penduduk yang hampir keseluruhan bangunannya terbuat dari pohon Gewang (sejenis palem-paleman). Batangnya dijadikan tiang dan dinding, atapnya dari pelepah daun. Pohon ini pun amat mudah diketemukan di halaman rumah mereka yang amat luas. Setiap rumah memiliki beberapa pohon gewang yang tumbuh dengan baik, sehingga ketika mereka membutuhkan untuk rumah, akan lebih banyak didapat. Proses pembangunan seperti ini adalah contoh pola keseimbangan terhadap ketersediaan sumber daya alam.
Sebagai penerapan pola serupa di tengah kota, memang perlu ditumbuhkan sebuah kesadaran bersama tentang menjaga sumber daya alam sebagai bahan baku pembangunan. Pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan pergerakan perekonomian yang tidak dipaksa terlalu cepat supaya bisa mencapai keseimbangan. Akhir-akhir ini begitu banyak pembangunan yang ternyata hanya mengatasnamakan prestise kemegahan, padahal bangunannya tak banyak difungsikan, karena memang pada saat perencanaan hanya mengejar saleable area atau unsur ekonomi belaka. Keseimbangan pada alam pun amat kurang diperhatikan.
Salah satu arsitek yang mengambil prinsip-prinsip ekologis adalah Ken Yeang dari Malaysia, di mana karya bangunannya selalu mengadaptasi dari alam, tidak dilawan melainkan diselaraskan, memanfaatkan sebesar-besarnya energi luar yang bisa diambil, diserap, dan dipergunakan di dalam bangunan. Penghematan biaya operasional bangunan dengan pengurangan jumlah pendingin menjadikan bangunan lebih panjang umur manfaatnya. Kembali ke alam menjadi nilai plus untuk memberi energi positif bagi penggunanya.
Arsitek yang berperan sebagai agen perubahan harus belajar untuk mengedukasi pemilik kapital supaya membangun sesuai kebutuhan, dan meningkatkan perencanaan bangunan yang lebih hemat energi, hemat air, maupun menggunakan bahan bangunan yang ramah lingkungan. Sebagai seseorang yang hobi menulis, mensosialisasikan tentang arsitektur berkelanjutan ini adalah penting, sehingga di kemudian hari bangunan-bangunan akan menjadi lebih ramah, lebih jarang, lebih seimbang antara kebutuhan dengan ruang maupun lingkungannya. Sebagai arsitek, kaidah-kaidah dari arsitektur berkelanjutan ini yang harus terus-terusan dikampanyekan kepada klien juga khalayak.
Suatu hari nanti, gunung-gunung batu itu akan habis berubah menjadi semen. pasir-pasir akan habis berubah menjadi kaca, atau tak ada celah di desa lagi bagi tanah liat untuk dibakar, sehingga orang kota kehabisan batu bata. Bisakah kita memperlambat dan tidak semena-mena atas dasar pembangunan? Di situlah Arsitektur dan Sustainabilitas dipelajari. Alam selalu butuh keseimbangan.
[ditulis sebagai essay pelengkap ujian SIMAK UI pascasarjana arsitektur 2016]
Banyak orang bertanya, apa alasanku untuk melanjutkan sekolah lagi setelah menunda 20 tahun? Alasan utama adalah aku ingin belajar lagi setelah memantapkan peminatan di mana aku ingin berkontribusi. Menjadi seorang pencinta alam, arsitek, dan pejalan sekaligus memberikan kesadaran untuk menjaga bumi ini dengan tata pikir yang lebih baik. Belajar mungkin memperlambat perjalanan, tapi memperkaya diri dengan nilai-nilai yang bermanfaat kelak. Mungkin harus sejenak berhenti keliling dunia, dan membiarkan dunia mengelilingi kita.
Sudah dapat bahan tesis, tampaknya 🙂
semogaaaa, dimantapkan lagi!
Ahhhh suka dengan bahasan yang seperti ini. seperti sekolah bambu di bali mungkin mba ? kadang kita perlu untuk menyeimbangkan diri dengan alam, jangan sampai alam yang menyeleksi agar seimbang. semoga dilancarkan mba dan nantinya arsitektur ini dapat diterapkan di tempat yang berbasis sumber daya alam… 🙂
sekolah bambu di Bali itu cantik banget ya, bagaimana mengerti teknologi bambu menjadi konstruksi yang kuat sekaligus lentur. amiiinn, semoga lancar….
Sangat menarik essaynya mbak…ternyata pola hidup “green living” sudah ada di berbagai tempat di Nusantara ini sebelum “trends” dunia saat ini dan satu hal lagi yang di miliki bangsa ini yaitu semangat “Gotong royong” yang menurut arsitek Adi Purnomo “..”Green” bukan hanya “menghijaukan” bangunan individual, tetapi juga berpotensi menjadi gerakan perbaikan bersama seluruh warga kita, bahkan warga negeri. Itulah “Gotong royong” yang merupakan jiwa kehidupan bersama Nusantara yang perlu diwujudkan di masa kontemporer, atau di masa kini dan yang akan datang…”
Demikian mbak indri salam kenal dan selamat melanjutkan studynya.thx
terima kasih Pak Hendarto, pola hidup hijau ini kalau diterapkan terus menerus dan besar akan memperlambat penuaan bumi ini. semoga sumber daya alam yang ada tidak dieksplorasi terus menerus, tapi lebih memanfaatkan material yang sumber dayanya lebih mudah untuk diperbaharui. salam kenal..
Sustainable Architecture, adalah ”Arsitektur yang memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa membahayakan kemampuan generasi mendatang, dalam memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Mantab sekali tuh kak
Benar-benar menambah wawasan tentang arsitektur, terutama arsitektur yang berkelanjutan. Terima kasih banyak mba, semoga sukses selalu dengan ide-idenya.
sama-sama mas..