nyiur hijau rote ndao

rote-0-menjelang senja

“Nemberala, Pak,” begitu kusebutkan tujuanku pada supir mobil sewaan yang menawarkan jasanya sesaat sesudah aku dan ketiga temanku tiba di Pelabuhan Ba’a, sesudah menempuh perjalanan selama dua jam dengan kapal cepat dari Pelabuhan Tenau, Kupang. Tempat itu kutuju karena dekat dengan pantai paling selatan Pulau Rote, pulau paling selatan di nusantara yang masih berpenghuni.

Dengan mobil sewaan, kami mulai melalui jalan-jalan di pulau Rote yang cukup mulus beraspal dan memang menjadi salah satu jalan utama menjelajah pulau. Ketika melewati area Pembangkit Listrik Tenaga Diesel, aku jadi tahu bahwa sumber listrik di pulau ini menggunakan tenaga diesel, dengan kapal-kapal pengangkut solar yang rutin merapat.

Di musim kemarau yang mendominasi musim tahunan di sini, hampir seluruh Pulau Rote beriklim terik dan panas dan pohon-pohon kerontang menghiasi tepi kiri dan kanan jalan. Lahan-lahan pertanian merekah kering di lembah-lembah sepanjang perjalanan. Rumah-rumah penduduk berlarian sepanjang laluan.

Kabupaten Rote Ndao atau terkadang disebut dengan Pulau Roti, terletak sebelah barat daya dari Pulau Timor, dikelilingi oleh perairan Laut Sabu di sebelah Utara, Samudera Hindia di selatan dan Selat Pukuafu di sebelah Timur. Bukan hanya pulau utama, termasuk di dalamnya pulau-pulau kecil yang tersebar di wilayah dengan luas 1280.10 km2 itu.

Pohon flamboyan yang berbunga merah, pohon lontar, savana menghampar, hingga kuda-kuda yang asyik merumput menjadi pandangan yang menyegarkan mata. Walaupun udara terik di luar, namun anginnya berhembus dengan sejuk, sehingga tidak terlalu panas di kulit. Tidak terlalu banyak mobil yang berlalu lalang di jalan raya ini, hanya sesekali kami temui truk pengangkut kayu dari arah berlawanan.

rote-1-pelabuhan baa

rote-2-jalan

rote-3-jalan

rote-4-kering

rote-4-kering-a

rote-5-kering

Kami tiba di Nemberala setelah menempuh perjalanan satu jam lebih, beristirahat di penginapan Anugerah yang dilingkungi oleh pohon-pohon kelapa yang tinggi. Belakang penginapan yang langsung menghadap laut, bersebelahan dengan rumah-rumah penduduk yang dibatasi oleh tembok rendah. Pantainya bukan merupakan bagian penginapan ini, karena ada jalan paving block selebar 1.2 m di tepi pantai yang bisa disusuri, selain pilihan untuk menjejakkan kaki di pasir putih.

Daripada rebahan di kamar, aku dan Dea malah memilih untuk menggelar kain di pantai dan tidur siang di bawah pohon kelapa, sementara Bobby dan Gio terkantuk-kantuk di sofa di halaman penginapan. Deburan ombak yang terdengar seperti irama musik berulang-ulang, menghantarkan mata terlelap ditemani sepoi-sepoi angin. Beberapa orang bule juga menggelar kainnya dan memilih beristirahat di hari yang panas.

rote-30-nemberala-anugerah-resort

rote-31-nemberala-anugerah-resort

rote-32-nemberala-anugerah-resort

“Kebanyakan orang bule datang ke Rote untuk surfing,” cerita Adit, pengelola penginapan yang memang hobi berselancar di ombak ini, ketika kami sudah bangun hampir sore. “Kalau sore begini, di Pantai Boa banyak bule-bule yang sedang surfing karena ombaknya bagus.” Putra asli Rote ini juga membantu mencari motor sewa sehingga kami bisa menjelajah Nemberala dan sekitarnya.

Dengan dua motor, kami berkendara ke arah selatan menuju lokasi-lokasi yang direkomendasikan Adit. Jalan desa mulus beraspal, dengan pepohonan kelapa di kiri dan kanan, serta rumah-rumah penduduk dalam pekarangan luas, sebagian sudah berdinding batu dan beratap pelepah kelapa. Halaman-halaman rumah ini berpasir bersih, dengan babi dan kambing yang asyik berkeliaran dengan gembira. Walaupun jarak dari jalan raya ke pantai sekitar 100 m, namun karena cukup landai laut bisa diintip dari sela-sela pohon kelapa. Aku malah jadi berpikir, mungkin pulau Bali di masa lalu seperti ini, didominasi hamparan pasir, rumah kayu dan nyiur kelapa yang melambai. Sungguh sangat merayu!

rote-35-nemberala-desa

rote-34-nemberala-desa

Usai melewati beberapa desa, pandangan kami terpaku pada satu teluk yang dipenuhi oleh kapal kayu yang berjalan sendiri-sendiri dengan latar tebing batu di belakangnya. Rupanya kapal-kapal tersebut berlabuh pada pantai batu yang dangkal di mana dasarnya bisa dilihat dari tempat kami berdiri di tepi jalan.

Di sampingnya berderet-deret rumput laut yang baru dituai dan dijemur oleh seorang ibu bercaping. Pada tanggul rendah yang membatasi jalan dengan laut, rumput laut itu ditebar begitu saja dari tumpukan. Rupanya rumput laut di daerah sini menggodaku untuk mengigitnya sedikit.

Karena senja sudah menjelang, kami tidak meneruskan perjalanan ke Pantai Boa. Selain terlihat jalannya cukup berbukit dan naik turun, kami tidak mau kemalaman di jalan dan memilih untuk mencari pantai terdekat untuk berburu senja. Tentu saja tak sulit mencari pantai cantik di sini, karena di balik desa-desa yang tadi kami lewati pasti ada pantai.

rote-8-rumput-laut

rote-6-rumput-laut

rote-7-rumput-laut

Akhirnya motor kami arahkan ke Pantai Delin yang berpasir putih halus dan tak jauh dari jalan raya. Sambil mengarahkan pandangan ke langit yang mulai memerah, kami tidur-tiduran sambil mendengar suara ombak. Lucunya, banyak babi yang berkeliaran lewat di depan kami dan ikut berlarian ke pantai. Binatang berwarna kelabu ini ternyata berjalan-jalan di pantai berkarang itu dan kepalanya menunduk sambil ngemil. Ah, mungkin ia makan lumut dan ganggang yang banyak menempel di pantai berbatu itu.

Warna langit mulai berubah menjadi lembayung dan perlahan-lahan bola merah itu tenggelam di laut dan menyisakan semburat jingga di sepanjang cakrawala. Satu tebing batu besar di depan kami menjadi latar terbenamnya matahari. Siluet babi dan kambing yang masih bermain bersama menjadi pemandangan menarik sebelum gelap benar-benar datang.

rote-11-senja-B

rote-11-senja

Keesokan harinya aku berkunjung ke rumah Karina, seorang gadis Bali yang menjadi guru dari program Indonesia Mengajar. Menurutnya rumah tinggalnya hanya berjarak sepuluh menit naik motor dari penginapan kami, namun karena jalan yang cukup sepi, ternyata jarak yang kutempuh cukup jauh, hampir delapan km.

Karina tinggal bersama bapak Esau Nalle, seorang pemain sasando handal dari pulau Rote. Di sore hari, acapkali anak-anak berkumpul untuk berlatih alat musik khas Timor ini. Beliau juga menunjukkan cara memainkan sasandonya itu kepadaku. Di rumahnya banyak terdapat sasando yang ia buat sendiri dari daun lontar yang ada di sekitar rumahnya. Pak Esau bercerita bahwa kalau di musim hujan tanah-tanah kering sekitarnya berubah menghijau, dengan daun-daun yang memenuhi batang-batang yang sekarang kering itu.

rote-12-sasando

rote-33-karina-indonesia-mengajar

rote-12-sasando-a

Karena Karina harus mengajar, aku kembali ke penginapan dan bersiap-siap ke Pantai Boa yang kemarin batal dikunjungi. Kali ini aku memilih tidak berboncengan dengan Dea karena medan yang dilewati agak sulit, sehingga kami mengendarai motor sendiri-sendiri. Kami berempat melewati jalan yang kemarin dilalui, hingga berhasil melewati tanjakan yang agak curam dan jalannya agak rusak.

Kami naik turun melalui jalan satu-satunya yang cukup sepi di atas perbukitan, pemandangannya didominasi batu dan karang dan semak kering. Matahari belum lagi pukul sepuluh, hanya biru mendominasi langit tak berawan.

rote-25-pulau-ndana

rote-9-jalan

Di balik bebukitan batu ini kami menemukan pemukiman penduduk lagi yang berderet sepanjang jalan. Bangunan dari kayu pohon kelapa dan beratap daun kelapa juga ini berderet di tepian jalan yang berpasir. Rupanya memang material ini paling mudah ditemukan di sekitar pemukiman, sehingga tak heran rumah-rumah asli Rote menggunakan bahan ini.

Atap daun kelapa yang bertumpuk menjadikan udara di dalam rumah tidak sumpek, karena udara mengalir dan berganti dari sela-selanya. Pohon kelapa yang tinggi-tinggi menaungi area sekitar rumah dan kebun-kebun di belakangnya, sehingga terasa sejuk dan semilir, tidak gersang seperti di tengah lahan-lahan pertanian kering yang sudah kami lewati sebelumnya. Tiba-tiba rasa malas pun berangsur-angsur datang, kepingin berayun-ayun di hammock bergantung pada pohon kelapa.

rote-17-anak-anak-rote

rote-18-rumah-rote

rote-19-rumah-rote

rote-28-jalan-desa

Menjelang tengah hari, kami tiba di Pantai Boa sesudah melewati dataran berpasir yang cukup luas. Mungkin karena tiba pada jam terik inilah maka tak ada orang yang iseng-iseng ke sini seperti kami ataupun surfer yang mencoba menaiki ombak. Benar kata Adit, ombak di sini cukup besar dan menantang bagi peselancar untuk bermain-main.

Pantai Boa ini berada di penghujung selatan Pulau Rote, dengan gelombang-gelombang yang memecah pantai. Dataran pasir putihnya memanjang dan luas, hingga dibatasi oleh tanjung tinggi yang menjorok ke tengah laut. Mengamati beberapa bangunan yang berada di atas tanjung itu, sepertinya sudah dikapling oleh resort yang menawarkan keindahan Rote sebagai pulau paling selatan di Indonesia. Ya, ternyata titik kami berdiri di tepi pantai ini adalah titik paling selatan di Indonesia yang pernah kujejak.

rote-13-menuju-pantai-boa

rote-14-pantai-boa

rote-15-pantai-boa

Kami melanjutkan berkendara lagi naik turun bukit lagi melewati beberapa pemukiman, hingga bertemu dengan satu desa memanjang yang rumah-rumahnya hanya ada di sebelah kiri saja, sementara bagian depannya tanah berpasir putih yang berada tak jauh garis pantai, kosong. Rupanya kelandaian kontur antara laut dan pemukiman ini membuat daerah ini rawan tsunami dari arah Samudera Hindia. Hanya ada beberapa rumah yang berada lebih dekat dengan garis pantai, lainnya lebih mundur hingga ke seberang jalan. Di ujung jauh, nampak Pulau Ndana yang merupakan pulau terluar bagian selatan Indonesia, namun tidak berpenghuni, hanya sebagai pos jaga Angkatan Laut saja.

rote-27-desa-tsunami-a

rote-27-desa-tsunami

rote-22-desa-tsunami

rote-24-pulau-ndana

rote-23-pulau-ndana

Resor-resor yang sedang dibangun di perbukitan rupanya mulai marak sebagai tempat bersembunyi dan menikmati keindahan air laut yang menampar-nampar. Birunya langit yang indah menaungi sampai kami menemukan satu teluk berwarna toska dengan air yang tenang. Kami pun berlarian merasakan sejuknya air yang membasahi kaki, terus hingga dada. Suara kecipuk itu terus terdengar ditemani angin yang berhembus semilir dan riak buih yang merangkul mengucapkan selamat datang. Langit biru membentang di atas kepala memberi rasa damai pada pantulannya di air.

rote-20-pantai-tanjung

rote-21-pantai-tanjung

rote-21-pantai-tanjung-a

Sebelum gosong di tengah hari kami kembali ke Anugerah karena aku dan Gio harus kembali lagi ke Kupang. Rupanya tak banyak lagi orang beraktivitas di jalan, karena cukup terik di balik pelepah-pelepah kelapa yang menjuntai. Sesampai di resor, ternyata aku dan Gio tidak bisa menemukan ojek yang akan membawa kami ke Bandara Lekunik, tempat pesawat yang akan menerbangkan kami sore nanti. Segera aku meminta bantuan Karina, yang untungnya bisa mencarikan ojek di dekat tempat tinggalnya. Barulah aku dan Gio tenang menumpang ojek ke bandara yang kami tempuh selama hampir satu jam! Bayangkan di siang hari yang panas dan tanah kering itu berpacu di atas motor supaya tidak ketinggalan pesawat.

Rupanya kejutan belum selesai, sesudah aku check-in dan memasukkan bagasi, Karina dan teman-temannya dari Indonesia Mengajar rupanya ikut menyusul mengantar ke bandara untuk melepas kami. Rasanya seperti punya saudara baru di tanah orang, apalagi ditambah Adit yang tiba-tiba muncul juga. Ah, tanah Rote, belum puas rasanya menjelajah di sini. Lain kali pasti aku akan datang lagi.

rote-29-dari-udara

#ExploreTimor #ExploreTheDiversity

12 jam keliling kupang
cerita senja tablolong

elegi fatumnasi
rumah-rumah yang berlari dalam perjalanan menuju kolbano
cerita dari batu-batu di pantai kolbano
semau, satu bukit dan sekian pantai

19 thoughts on “nyiur hijau rote ndao

  1. Ngebayangin puding/agar2 pas liat rumput laut itu hwhwhw. Panas bener keliatannya. Dan pantainnya juga kayaknya gak begitu cakep ya mbak *keinget pulau Lengkuas sih hahaha

  2. Halo kak Indri,
    Mau tanya kakak punya nomor sewa motor yang di rote?
    Aku rencana ke rote minggu ini, rencananya mau sewa motor di sana ^^

  3. Patai Boa terlihat sepi kak. Apa mungkin saat kunjungan di weekday? Tjakep gradasi warna lautnya petjah. Lamanya perjalan dan kondisi jalan yang ditempuh, terbayar dengan melihat pemandangan seperti ini :3

  4. Hallo mba indra. Salam kenal. Sy mau tanya alamat bapak esau Nalle pemain dan pembuat Sasando. Karena dari blog yg banyak sy baca ttg pulau rote cuma sedikit yg membahas sosok pelestari musik Sasando. Rencananya thn depan sy mau ke pulau rote, tapi masih bingung cari penginapan yg murah dan strategis

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.