Deru mesin motor tempel mengiringi kapal kayu yang kami naiki bertolak dari Dermaga Tenau, Kupang. Kapal berukuran sedang itu berisi delapan sepeda motor yang akan kami gunakan nanti di Semau, 30 menit menyeberang dari Pulau Timor itu. Kapal-kapal barang maupun penumpang menjangkar tak jauh dari pelabuhan, menunggu saatnya berlayar kembali. Lamat-lamat kami bisa mengamati gugusan kota Kupang yang berbukit-bukit dari kapal yang melaju santai.
Tidak terasa laju gelombang di perjalanan tadi hingga kami tiba di Pulau Semau yang tidak berdermaga. Hanya pantai berbatu-batu yang menyambut dan membuat sepeda motor itu harus diangkat satu demi satu ke jalan raya yang berdebu menuju desa-desa terdekat. Pak Boy, pemandu kami di Semau, menaiki motornya dan memimpin barisan kami yang mengikutinya dengan motor sambil berboncengan.
Iklim lokal di sini terasa kering, dengan tanah merah yang kering merekah di kanan dan kiri jalan yang dibatasi oleh potongan kayu, ataupun batu karang muda yang disusun sebagai batas. Sempat ditemukan satu papan bertuliskan ‘awas semburan lumpur’. Ah, adakah gas panas bumi yang bergerak di bawah sana? Musim kemarau yang masih menyambung, membuat banyak pohon hanya menyisakan dedaunan pada ujung. Tak sedikit yang gundul, meluruhkan hijau untuk menyimpan air pada batangnya.
Motor-motor kami masih melaju di jalan aspal yang berdebu cukup pekat. Tanah di kiri dan kanan yang tertiup sedikit angin membuat kami harus berhati-hati agar tidak terbatuk oleh kepulan yang terhembus dari roda-roda motor. Kami bertemu seorang anak sekolah yang berjalan kaki di tepi padang gersang sambil tersenyum manis. Dik, sejauh ini kamu berjalan untuk memperoleh pendidikan. Memang hanya ada sedikit rumah di jalur yang kami lalui tadi, dan menurut Pak Boy, desa baru ada setengah jam di depan tempat sekolah-sekolah berada.
Ternyata walau jalanan yang kami lalui cukup panas, tapi ternyata ada beberapa lahan perkebunan swadaya yang diberdayakan oleh masyarakat. Beberapa ibu-ibu terlihat menarik daun lontar untuk dijadikan atap rumah tradisional yang sedari tadi memang kami temui sepanjang jalan. Lajur-lajur sayur itu tertata rapi di pekarangan yang cukup luas.
Berkendara selama hampir satu jam, kami menyusuri jalan-jalan desa yang indah. Kibaran flamboyan yang memerah memenuhi batang-batang pohon yng menjulur menaungi jalan tanah itu. Di siang hari, desa-desa ini tampak sepi karena penduduknya banyak yang bercocok tanam ke kebun. Tak seperti di luar desa, di sini jarak antar rumah pun tak terlalu jauh sama lain, dengan masing-masing pekarangan yang ditumbuhi pepohonan yang agak meranggas.
Setengah jam dari desa, kami tiba di pantai pertama, Otan. Hamparan pasir putih menghampar tersembunyi di balik pohon pandan laut yang berderet menghijau. Beberapa kapal kayu sedang terparkir di pantai dengan gradasi warna putih, hijau tosca, hingga kebiruan yang jauh di sana. Mungkin karena letaknya yang berada di ceruk, Ombaknya pun tidak terlalu tinggi, sehingga nyaman untuk direnangi sembari berkecipuk riang bersama teman-teman. Cuaca memang terik panas menggila, tetapi tidak menyurutkan niat untuk berjemur di pasir putih.
Motor-motor kami masih melanjutkan ke arah utara, menjelajah tepian pulau, mengejar suara buih-buih ombak. Kami melintasi daerah sangat gersang tanpa pepohonan, dengan garis pantai tipis di kejauhan. Hanya ada satu dua pohon di tepi, dengan pasir mendominasi pandangan. Jejak panjang motor yang melintasi sebelumnya yang menjadi panduan untuk terus melaju melewati jalur ini. Debu mengebul dari ban-ban yang perlahan melaju. Walaupun panas, titik ini begitu sayang untuk dilewatkan dengan terburu-buru. Komposisi bebatuan karang hitam serta padang pasir kering menambah eksotisme gersangnya. Pohon-pohon kering yang berdiri sendirian, atau sapi-sapi yang berteduh di tengah gersang, dilewati sambil satu dua tiga kali mengambil gambar.
Kami tiba di desa Oibua, aku mampir ke rumah Bapak Sef, seorang kepala sekolah yang mengelola perpustakaan untuk anak-anak Semau di rumahnya. Sayang, beliau sedang tidak berada di rumah karena sedang berdinas ke Kupang, sehingga aku hanya memberikan titipan seorang kawan pada istri Kepala Sekolah itu. “Nanti disampaikan pada Pak Sef. Jangan lupa main ke pantai di dekat sana,” pesan wanita yang menerimaku dengan ramah itu.
Aku sempat tersesat karena terpisah dari rombongan sehingga melintasi sisi lain desa yang jauh, namun akhirnya aku menemukan jalannya kembali. Saking sepinya jalanan ini, hingga ketika aku bertanya pada penduduk sekitar adakah mereka melihat rombongan bermotor yang lewat, dan dua penduduk yang kutanyai mengatakan bahwa mereka belum bersua dengan rombongan teman-teman kami. Seketika itu aku sadar, bahwa kami salah jalan dan berputar balik arah kembali ke Oibua.
Ternyata, jalan menuju pantai Oenian tak sulit ditemukan. Tepat di ujung desa Oibua tadi, kami melalui hutan bambu dan jalan setapak cukup lebar namun hanya bisa dilewati dengan sepeda motor. Terus menyusuri jalan ini, akhirnya kami mendengarkan debur ombak menderu di bawah jalan berbatu. Berbeda dengan Otan yang lembut, ombak di Oenian ini cukup garang.
Hamparan pasir di sini sama putihnya dengan di Otan, namun lebih bersih dalam bulir-bulir halus, karena tak banyak pandan laut di sekitar sini, sehingga daun keringnya pun tak banyak mengotori pantai. Ombaknya besar memecah pantai, dengan warna laut yang langsung biru menggelap, menandakan dasar yang cukup dalam di sana. Aku hanya berani bermain-main di tepian saja, kemudian berlarian ke satu ujung berkarang yang berulangkali ditampar air laut juga. Hempasan air laut ini bagaikan seperti napas yang berlarian, tak putus-putus dan terus menerus berulang-ulang, sementara beberapa dari kami memilih untuk tidur-tiduran saja di bawah naungan pohon besar di tepi pantai, menggelar kain dan membaca buku dengan santai.
Jika diperhatikan, pola pemukiman di Pulau Semau ini bukan berada di tepian pantainya, melainkan lebih ke bagian tengah pulau. Mata pencaharian yang kebanyakan berkebun pada lahan-lahan tertentu membentuk desa-desa yang berada di sepanjang jalur yang tadi kami lalui. Apalagi kontur tanah yang cenderung tidak banyak berbukit-bukit tinggi. Desa-desa terpisahkan oleh hutan-hutan gersang atau lahan-lahan perkebunan. Penduduk Pulau Semau sangat ramah terhadap pendatang. Senyum lebar di wajah-wajah mereka, melembutkan sinar matahari yang terik membakar. Tidak ada penginapan di sini, sehingga jika bermalam harus di rumah penduduk.
Di ujung jalur melintasi desa menjauh dari Oibua tadi, kami bertemu dengan pantai Oetebu yang berada di satu teluk panjang. Di sini kami beristirahat sebentar untuk meregangkan kaki yang baru berpanas-panasan di atas motor. Pantai Oetebu ini berpasir halus dan landai, sebenarnya sangat menarik untuk direnangi lagi dan bermalas-malasan dikejar ombak. Dari atas pantai aku mengamati seorang nelayan yang baru kembali dan menarik perahu bersama anak lelakinya. Langkahnya terseret-seret tapi tetap bersemangat.
Menariknya, di seberang pantai Oetebu ini terdapat cangkang-cangkang kerang besar yang sengaja ditata untuk mengendapkan garam dari air laut. Menurut Pak Boy, penduduk sekitar akan mengambil garam dari hasil menguapkan air laut di cangkang kerang ini seminggu sekali.
Ternyata jalan sesudah pantai Oetebu tidak lagi semudah sebelumnya, karena medannya didominasi oleh pasir pantai. Alhasil butuh keahlian ekstra untuk pengendara motor melalui pasir-pasir yang menggeliat di bawah roda-roda ini. Aku yang membonceng pun terpaksa harus jalan kaki supaya motor lebih mudah bergerak. Di sisi kanan, laut yang sama lanjutan dari pantai Oetebu menemani jalur perjalanan ini. Satu demi satu motor pun akhirnya tiba di kaki bukit Liman. Senja sudah hampir tiba.
“Terus naik ke atas!” seru Pak Boy. Bukit itu tidak terlalu tinggi kelihatannya. Pak Boy mendahului naik dengan motornya sehingga yang lain bisa mengikuti di jalur yang didakinya. Aku menggendong ranselku berjalan naik di belakang motor yang melaju satu-satu. Tekstur tanah yang cukup padat membuat jalur ini cukup mudah untuk didaki. Hampir lima belas menit kemudian, aku tiba di puncak Bukit Liman. Semburat warna merah mulai menyebar di angkasa pertanda matahari akan segera tenggelam. Aku melayangkan pandangan pada sekeliling. Garis pantai berpasir putih putih yang panjang di bawah sana tertangkap indah oleh pandangan mata, di sepanjang utara dan selatan membentuk lengkung berbatas dengan cakrawala.
Perlahan-lahan bola merah itu turun dan membiaskan jingga dan lembayung yang berpadu dalam hangat senja. Sambil duduk-duduk di puncak bukit, masih terdengar ombak laut di bawah sana masih berlarian mengejar pantai. Ketika akhirnya matahari tenggelam, langit mulai meremang menandakan kami harus segera meninggalkan bukit ini, turun lewat sisi lainnya yang lebih landai, melalui desa-desa lagi dalam Pulau Semau.
Tulisan ini sudah dimuat di Koran Tempo (cetak) Sabtu pada tanggal 2 Juli 2016. Yang tertulis di sini adalah versi sebelum diedit.
cerita lainnya di pulau timor :
#ExploreTimor #ExploreTheDiversity
Perjalanan bersama DPD ASITA NTT
12 jam keliling kupang
cerita senja tablolong
elegi fatumnasi
rumah-rumah yang berlari dalam perjalanan menuju kolbano
cerita dari batu-batu di pantai kolbano
[…] 12 jam keliling kupang cerita senja tablolong elegi fatumnasi rumah-rumah yang berlari dalam perjalanan menuju kolbano semau, satu bukit dan sekian pantai […]
[…] cerita lain : 12 jam keliling kupang cerita senja tablolong elegi fatumnasi rumah-rumah yang berlari dalam perjalanan menuju kolbano cerita dari batu-batu di pantai kolbano semau, satu bukit dan sekian pantai […]
[…] cerita lain tentang Timor : 12 jam keliling kupang cerita senja tablolong elegi fatumnasi rumah-rumah yang berlari dalam perjalanan menuju kolbano cerita dari batu-batu di pantai kolbano semau, satu bukit dan sekian pantai […]
[…] 12 jam keliling kupang cerita senja tablolong elegi fatumnasi rumah-rumah yang berlari dalam perjalanan menuju kolbano cerita dari batu-batu di pantai kolbano semau, satu bukit dan sekian pantai […]
[…] Fatumnasi, 21 November 2015 ditulis di Bogor, 17.12.2015 #ExploreTimor #ExploreTheDiversity Perjalanan bersama DPD ASITA NTT cerita lainnya di pulau timor : 12 jam keliling kupang cerita senja tablolong elegi fatumnasi rumah-rumah yang berlari dalam perjalanan menuju kolbano cerita dari batu-batu di pantai kolbano semau, satu bukit dan sekian pantai […]
ah kupangggg itu rinduu deh kak
kupang yaaa???
Daerah gersangnya serasa afrika…
bener, pas di situ takjub bangetlaahh…
Semau kereeeeeeen…. pemandangannya keren-keren banget, Kak In!
Jatuh cinta untuk menyepi di sini dah kak Ocit…
Banget, Kak. Aku lihat foto tanah tandusnya aja udah jatuh cinta!
Cantik-cantik mbak pantainya. Sunsetnya cakepp
Masukin wish list dulu ahhh
Memang di Timor rasanya cantik semua pantainya yaaa…
[…] 12 jam keliling kupang cerita senja tablolong elegi fatumnasi rumah-rumah yang berlari dalam perjalanan menuju kolbano cerita dari batu-batu di pantai kolbano semau, satu bukit dan sekian pantai […]
Biasanya kalau liat yang gersang-gersang gak tertarik. Tapi ini sepertinya beda.