Karena tidak ingin tinggal lebih lama lagi di Hiroshima, paginya aku langsung check out dari J-Hoppers, menitipkan ransel jinggaku dan hanya menenteng daypack hijau untuk mengunjungi Pulau Miyajima. Untunglah malam sebelumnya aku sempat mencicip okonomiyaki, hidangan olahan telur khas kota ini.
Dari stasiun Dobashi, aku naik streetcar hingga stasiun Hiroden-Nishi Hiroshima. Tak jauh dari situ, aku berjalan kaki ke stasiun Nishi-Hiroshima untuk berganti dengan kereta yang masuk jaringan JR. Untunglah, sehingga aku tak perlu membeli tiket lagi, hanya menunjukkan tiket JR Pass-ku untuk naik kereta ke Miyajima-guchi. Dari situ aku tinggal naik ferry selama 15 menit ke pulau Miyajima.
Pada jam 6 pagi ketika aku berangkat dari Dobashi, streetcar dipenuhi pelajar-pelajar Jepang yang memakai seragam pelaut dan berada di dalam kendaraan tanpa ribut-ribut. Mereka sepertinya cuek dengan sekeliling atau memang amat menjaga privasi. Tak satu pun yang berbisik-bisik heboh ketiika aku yang mengenakan coat merah terang, masuk di tengah pelajar-pelajar yang semuanya berbaju putih itu. Bahkan saat aku selfie sekali pun, mereka tetap tak peduli. Kebanyakan mereka juga turun di stasiun yang sama denganku, Hiroden-Nishi Hiroshima.
Setelah membeli beberapa buah onigiri sebagai bekal sarapan hingga makan siang, aku memasuki peron dan menunggu kereta tujuan Miyajima-Guchi. Keretanya cukup bagus dengan bangku berhadap-hadapan. Sambil melihat pemandangan pedesaan yang berlari-lari di jendela, aku melahap sarapan berupa dua kepal onigiri salmon dan udang. Rumah-rumah Jepang selalu nampak rapi di bawah awan-awan yang berarak cantik di langit.
Pelabuhan Ferry menuju Miyajima berada tidak terlalu jauh dari stasiun Miyajima-Guchi. Kapal sudah bersandar di dermaga ketika aku tiba dan menunjukkan tiket JR Pass-ku pada petugas. Benar, tiket ini mencakup biaya ferry juga, makanya aku menyempatkan diri untuk datang ke pulau cantik ini. Karena masih pagi, kapalnya tidak terlalu penuh, lagipula memang diisi sesuai kapasitas saja.
Angin laut menjelang musim gugur bertiup lumayan kencang menerpa wajahku ketika kapal mulai berlayar menuju pulau Miyajima. Tak lama kemudian mulai nampak O-torii gate di sebelah kanan. Torii besar gerbang laut ini adalah ikon pulau yang dianugerahi World Cultural Heritage oleh UNESCO ini. Tak heran, dari gambar-gambar yang sudah kulihat pun suasananya cantik berseri.
“The deer on Miyajima are wild. They may eat papers and cloth. Please pay attention and keep an eye on your personal belonging – especially tickets and souvenirs as the deers might eat them.”
Wah, ternyata di Miyajima itu ada rusa berkeliaran juga? Iih, lucu dong!
Masih merapatkan jaketku karena udara yang berangin, aku berjalan di tepi pelabuhan yang ditanggul dengan batu kali. Benar saja, di sana sini tampak rusa sedang bermalas-malasan jalur yang berpasir. Aku sedikit menjaga jarak dengan mereka, karena khawatir apa yang diperingati itu benar.
Tentu saja tujuan utamaku adalah melihat O-torii Gate dari jarak paling dekat. Semua jalur tepi laut ini diberi perkerasan untuk memudahkan berjalan kaki. Lucunya, aku juga menemukan murid-murid sekolah yang sedang piknik berbaris diatur oleh guru masing-masing. Ternyata Miyajima ini obyek studi wisata yang cukup ramai juga di kalangan anak sekolah. Aku berjalan terus hingga Mikasanohama dan memandang O-torii yang kakinya sudah tenggelam oleh air laut.
Menurut salah seorang teman, jika ke sini pagi-pagi sekali atau sore hari, kita bisa berjalan hingga ke kaki O-torii gate, karena air sedang surut. Dari info yang sempat kubaca di hostel, air mulai pasang pada jam 06:15 pagi. Jadi kalau ingin ke sini dan berjalan-jalan di pantainya, mungkin sebaiknya menginap di Miyajima saja.
Tepat menghadap O-torii gate, terdapat Itsikushima Shrine, yaitu kuil di atas laut. Bangunan ini dipersembahkan untuk tiga dewi Munakata, Ichikishima-hime, Tagitsu-hime, dan Tagori-Hime. Ketiga dewi ini disembah sebagai dewa laut, keselamatan perjalanan, keberuntungan, dan pencapaian. Terkenal dengan konstruksi uniknya, yang menampilkan keindahan artistik garsitektur aya Shinden Pertama kali dibangun pada tahun 593, bangunan ini direnovasi menjadi bangunan megah oleh Taira-no-Kiyomori pada tahun 1168. Penempatannya di atas air, yang indah dibingkai oleh gunung di latar belakang, merupakan salah satu visi Kiyomori.
Sebelum masuk kuil orang-orang membasuh tangan dan muka mereka dengan air dan gayung kayu untuk mensucikan diri. Karena tertulis larangan untuk menggunakan tripod, maka aku urung mengeluarkan alat bantu potret itu. Mungkin karena kayu-kayu ini sudah cukup tua, atau barangkali aktivitasnya memotretnya akan mengganggu yang benar-benar beribadah.
Papan-papan kayu yang berderak ketika dilewati ini saat aku berkunjung berada sekitar 20 cm dari permukaan air laut. Jika pasang purnama yang tertinggi, air kadang membanjiri lantai kayu ini atau masuk di sela-sela selipan kayunya. Orang-orang cukup ramai mengantri berdoa dengan suasana yang agak ramai. Beberapa biksu juga mondar-mandir di situ.
Kuil Itsukushima terdiri dari kuil utama, panggung drama Noh, ruang musik, aula dan tempat suci lainnya yang disisir di sekelilingnya. Semua struktur ini dihubungkan dengan koridor kayu hingga panjang total sekitar 300 meter. Warna jingga cerah dari kuil dan O-torii dianggap mengusir roh-roh jahat. Bangunan kuil tersebut dilapisi dengan pernis jingga cerah yang juga efisien sebagai perlindungan dari korosi.
Selepas dari pintu keluar kuil yang berdiri di atas air tersebut aku mampir sebentar ke Daigaji Temple yang dibangun untuk menggantikan beberapa bagian Itsukushima Shrine yang saat itu sedang direstorasi. Tepat di depannya terdapat Treasure Hall, tempat penyimpanan harta kuil dan klan Heike. Di dalam bangunan yang didalamnya alas kaki harus dilepas ini terdapat banyak lukisan, handycraft, dan patung-patung yang menggambarkan kejayaan Taira-no-Kiyomori di masa lampau.
Aku berjalan terus menuju Museum of History and Folklore of Miyajima, yang sayangnya tidak boleh dipotret dalamnya. Padahal bangunan yang digunakan sebagai museum sangat cantik berupa rumah kuno yang dibangun pada awal abad 19 oleh keluarga Egami.Keluarga ini adalah pedagang kaya pembuat kecap dari bagian terakhir periode Edo (1603-1867) sampai Periode Meiji. Taman yang diamati dari ruang tamu dari belakang, membuat pengunjung merasakan kehidupan pedagang kaya di masa itu. Ruangan ini juga menampilkan barang-barang tradisional seperti kerang penyu dan sisir dekoratif dan pakaian keluarga yang digunakan dalam upacara minum teh. Lukisan-lukisan tentang Itsukushima Shrine banyak dipajang di sini, bahkan dilengkapi dengan ruang audio visual dengan film yang menggambarkan suasana.
Rumah-rumah tua di Miyajima memiliki bagian depan yang sempit dan panjang dari depan ke belakang dengan lorong meluas mulai pintu depan hingga belakang. Di sepanjang lorong ada tiga ruangan, bagian depan, tengah dan paling belakang. Ruangan di tengah, disebut ‘oue’ tidak memiliki langit-langit.
Aku menyusuri jalan di belakang museum itu yang ternyata adalah perkampungan asli dengan rumah-rumah yang mesih terbuat dari kayu. Beberapa lokasi memang berubah fungsi menjadi restoran, tapi bentuknya masih sama. Langkahku terayun ke satu tanjung kecil berpasir putih tempat Kiyomori Shrine, salah satu kuil privat tempat Taira-no-Kiyomori berdoa. Dengan posisinya yang lebih dekat dengan O-Torii, memudahkan untuk mengambil gambar lebih bagus lagi.
Aku mengurungkan niatku untuk berjalan lebih jauh lagi, dan memilih kembali melewati belakang Itsukushima Shrine menuju Five Storied Pagoda dan Toyokuni Shrines. Karena letaknya di atas, aku agak terengah-engah ketika menaiki tangga, mungkin karena sudah lelah juga berkeliling sejak tadi. Five Storied Pagoda dibangun tahun 1407 setinggi 28 m dan mengkombinasikan arsitektur Jepang dan Cina. Gambar-gambar Budha yang berwarna menghiasi keliling pagoda.
Sementara Toyokuni Shrines yang dibangun oleh Hideyoshi Toyotomi dulu berfungsi sebagai penyimpanan sutra Buddhis. Di dalam kuil ini kini dipamerkan kerajinan khas Miyajima yaitu dayung kayu besar, sebagai penanda mata pencaharian masyarakat Miyajima.
Aku melanjutkan langkah kaki masih di tepi laut untuk kembali menuju pelabuhan. Melalui sepanjang Omotesando Shopping Center, banyak sekali toko-toko yang menjual cinderamata serta kue khas Miyajima, yaitu kue Manju. Bahkan toko kue ini memamerkan mesin untuk mencetak kuenya dari sejak adonan hingga terpanggang. Kue manju yang berbentuk maple ini memang buah tangan yang ditunggu-tunggu dari Miyajima.
Sayangnya waktuku di sini tak banyak karena harus kembali melanjutkan perjalanan ke sisi barat Jepang. Padahal Miyajima masih menyimpan banyak sekali pesona dari bukit-bukitnya yang belum sempat kudaki, juga kuil-kuil yang tersembunyi di balik hutan-hutan hingga Mount Misen Observatory di ketinggian 535m di atas permukaan laut. Selain itu, aku juga kepingin mencoba kereta gantung di Momijidani untuk mendaki perbukitannya. Ah, lain waktu pasti kusempatkan untuk ke sini lagi dan bercengkerama dengan rusa-rusa itu lagi.
Perjalanan September 2014
Ditulis di Jakarta-Depok-Bogor 08.08.2017
belom pernah ke jepang euy ejie, mb in..
bersih bgt yah disana, mb?
di kota-kota kecilnya sih iya. kalau kota besar ya sudut tertentu ada yang kotor. tapi tidak ada kumuh sih..
huwaaaa enak pas sepi banget itu Miyajima-nya…aku ke sana pas lagi rameeee, mau foto kayak gitu susah hehehe
datangnya pagi-pagi banget. jam 7 pagi sudah merapat, makanya masih sepi. jam 12 balik..
Mungkin warga Jepang memang dididik untuk tidak mencampuri privasi orang lain, makanya anak-anak sekolah itu juga nggak memberi perhatian lebih sama mbak Indri. Mungkin ya, hehe..
Seru ya jalan-jalan di area yang less touristy. Tempatnya tenang dan bisa melihat sisi lain kehidupan sebuah negara.