“You may say I’m a dreamer
But I’m not the only one
I hope someday you’ll join us
And the world will be as one”
Imagine-John Lennon
Ternyata Nagasaki memberi kesan yang tidak sama dengan Hiroshima. Kota ini jauh lebih tenang dan manis menyambutku dengan penuh keakraban. Mendung pagi menggelayut ketika aku menyusur tepi pelabuhan yang berangin cukup kencang. Kapal-kapal kayu dan besi yang bersandar di dermaga membuatku enggan beranjak dari papan-papan kayu yang berderak. Aku berkeliling di bagian luar bangunan pelabuhannya yang bertema gelombang, dengan lengkung-lengkung material zincalum sebagai dinding. Terasa sekali tempat ini sudah begitu modern, namun tetap berpadu cantik dengan perairan.
Seorang bapak tua yang sedang berolahraga pagi menyapaku ramah, “Ohayou gozaimasu. Good morning.” Aku membalasnya dengan senyuman dan kata-kata serupa. Udara berangin tak mengendurkan semangatnya untuk melakukan gerakan-gerakan ringan di tepi laut. Uh, semoga tidak hujan hari ini, pikirku melihat langit pagi yang kelabu. Sepanjang sisi pelabuhan banyak restoran-restoran dan kafe yang menghadap kapal-kapal yang parkir di situ. Tidak tercium bau amis seperti biasanya di tepi laut. Nagasaki menjadi kota pelabuhan yang cantik dan strategis dengan berbagai obyek wisata andalannya.
Aku terus berjalan menuju destinasi utamaku hingga memutuskan tiba di kota ini. Nagasaki Prefectural Art Museum karya arsitek Kengo Kuma menjadi target utama kunjunganku. Memang, salah satu keinginanku ke Jepang adalah melihat hasil-hasil karya arsitek Jepang yang terkenal di mancanegara. Lokasi museum ini terletak agak unik, karena dibelah oleh kanal kecil di tengahnya, menjadi dua bangunan yangitu Art Museum Building dan Gallery Building.
Material kaca transparan menyambut di bagian entrance bangunan, dengan komposisi vertikal yang banyak bermain di depannya, dari material batu sebagai elemen penguat. Di lantai dua terdapat jembatan berisi galeri tertutup kaca yang menghubungkan dua massa bangunan tersebut.Dengan pemandangan langsung ke kanal dan laut, pemandangan di sini pada setiap musim pasti sangat indah. Koleksinya bermacam-macam, baik karya seni dua dimensi maupun tiga dimensi.
Tidak hanya di dalam bangunan, koleksi museum ini pun sampai di rooftop garden dengan berbagai sculpture yang bisa dinikmati dengan latar kota Nagasaki yang berbukit-bukit. Berkeliling dan bolak balik tidak membosankan karena pengalaman ruang di setiap bagiannya begitu berbeda. Pelataran riverside pada bagian dasar bangunan bisa memberikan inspirasi untuk berkarya lebih. Di tengah dua massa yang masif ini, kanal air menjadi elemen yang bergerak organik dan dinamis.
Merunut dari peta Nagasaki yang kuambil di stasiun kemarin, aku berjalan menuju Dejima, satu kawasan di sebelah utara yang dulu difungsikan sebagai markas VOC ketika menduduki Nagasaki. Sambil melintasi jalur trem aku bertanya pada satu turis bule yang berjalan kaki, “Where is the entrance of Dejima?” sambil memperlihatkan petaku berdiri di samping dinding kompleks Dejima. Ternyata tak jauh dari situ, ada gerbang masuk untuk membeli tiket masuk kawasan niaga ini. Menariknya, aku diberi selembar kertas yang bertuliskan nama-nama bangunan dalam kompleks ini, dan kotak-kotak di bawahnya tempat mencap stempel yang ada di tiap bangunan. Asyik banget! Kalau bawa anak-anak ke sini, pasti mereka senang dan mau berkeliling bangunan walaupun demi stempel di kertas ini.
Dejima dibangun di ujung lepas Nagasaki untuk menghambat penyebaran agama Kristen dengan mengisolasi warga asing dari penduduk Jepang. Ketika diambil alih VOC tahun 1641, lokasi ini menjadi tempat transit berbagai macam barang maupun pengetahuan. Reklamasi yang terjadi di sekitarnya sejak tahun 1859 membuat Dejima kini dikepung berbagai bangunan untuk kepentingan pelabuhan.
Aku menjelajah bangunan satu demi satu di tapak yang memanjang tepat di tepi Nakashima River itu, dimulai dengan bangunan gereja dan seminari di paling ujung yang kini menjadi toko suvenir. Bangunan International Club, tempat para pelaku bisnis dulu berkumpul, kini difungsikan sebagai restoran. Tepat menghadap Nakashima River, selain tanggul-tanggulnya yang masih ada diperkuat, juga terdapat maket miniatur Dejima di masa lalu ketika masih berada di lepas pantai. Beberapa bangunan terbuat dari bata difungsikan sebagai museum arkeologi dengan memamerkan peninggalan batu.
Terus ke bagian barat, bangunan-bangunan kayu di sini sudah direstorasi menyerupai bentuk aslinya. Kebanyakan tersusun dari kayu warna gelap yang difungsikan sesuai macam-macam kebutuhan yang ada di masa itu. Pasti seusai memasuki setiap bangunan aku mencari stempel untuk ditambahkan di dalam kertas yang sedari tadi kubawa-bawa. Bangunan-bangunan yang berdiri pada awal abad 19 itu telah beberapa kali melalui tahapan mengikuti umur kayu.
Keluar dari gerbang barat, aku menaiki street car jalur biru langsung menuju Peace Park. Selama hampir 30 menit streetcar berjalan melalui jalan utama Nagasaki yang berbukit mendaki dengan bangunan-bangunan di kanan dan kiri. Turun di stasiun Matsuyama-Machi, aku menyempatkan diri mampir minimarket untuk membeli makan siang, kemudian mendaki menuju Peace Park karena dipisahkan sekitar 100 anak tangga dari jalan raya. Tapi jangan khawatir, ada eskalator yang membantu pejalan yang kelelahan sampai pelataran atas yang luas itu.
Taman ini dibangun sebagai perlambang pengingat perdamaian dunia, dengan patung besar Yesus dalam posisi duduk. Tangan kanannya yang menunjuk ke atas menyimbolkan ancaman dari senjata nuklir, tangan kirinya menunjuk ke samping menyiratkan kedamaian yang setara, dan matanya tertutup menggambarkan doa yang dipanjatkan untuk korban nuklir yang telah beristirahat dengan tenang.
Ya, Nagasaki juga dikenal sebagai kota yang dijatuhi bom atom oleh Amerika pada tanggal 9 Agustus 1945, tiga hari sesudah Hiroshima juga hancur dengan bom berkekuatan ledak tinggi itu. Dari atas Peace Park, aku turun lewat sisi lainnya untuk berjalan menuju Urakami Cathedral dengan dinding-dinding bata merah yang hancur sebagian ketika bom atom dijatuhkan. Ternyata meskipun tempat ini tak sulit ditemukan, tetapi jalanan menanjak di siang hari bolong cukup menguras stamina. Sesampai di depannya aku hanya memotret sebentar kemudian berjalan turun hingga tepi jalan raya dekat Peace Park tadi.
Aku teringat percakapanku semalam dengan Hiroto Kitamura, seorang anak muda asal Fukuoka yang kutemui di hostel. Ia bertanya, “Why do you come to Nagasaki?” Aku menjelaskan alasanku, “Do you remember where I came from? I came from Indonesia, the country which was invaded by your country. And after Nagasaki was being bombed at 1945, Japan gave up. I want to see the development of the city that had destroyed.” Ia hanya tersenyum, “But we’re all now live in world peace, right? And do friendship.”
Aku menuju Hypocenter Park, tempat yang diyakini sebagai titik dijatuhkannya bom atom 70 tahun silam itu. Dikelilingi pohon-pohon peneduh, tempat ini tidak terlalu ramai, namun masih terdapat altar kecil untuk berdoa. Tidak seperti tadi pagi, kali ini langit sangat cerah sehingga keringatku bercucuran sambil berjalan-jalan. Aku menyeberangi Shimonokawa River untuk menuju Nagasaki Atomic Bomb Museum.
Lagi-lagi aku menemui anak tangga di tengah taman untuk menuju pintu masuk museum tersebut. Karena kali ini tak ada eskalator, aku menaikinya pelan-pelan, lalu mendaki sedikit hingga tiba dekat museumnya yang terlihat rendah, hanya beratap kubah kaca di permukaan tanah.
Ternyata ketika aku masuk, memulai mengeksplorasi museumnya harus turun dengan ramp melingkar di bawah kubah kaca tersebut hingga dasar. Museumnya terdapat di bawah tanah! Suasana di bawah didramatisir dengan gelap dan permainan lampu-lampu serta suara. Replika Urakami Cathedral disinari lampu-lampu yang bergantian berkilat-kilat seolah menggambarkan kondisi pada tanggal 9 Agustus 1945 itu. Berbagai benda-benda yang terkena dampak bom atom juga ditampilkan di sini, begitu juga dengan poster-poster dan video.
Aku melangkah ke satu ruangan yang disinari sinar matahari langsung dari atap kaca yang berisa banyak pesan-pesan perdamaian dari anak-anak, juga informasi dan model bom untuk menjelaskan bahayanya bom nuklir bagi dunia, tidak hanya efek bagi negara Jepang saja. Terdapat ramp naik panjang menuju ruang audio visual berisi film tentang bom nuklir, berlanjut dengan selasar hingga kembali ke lobby masuk tadi.
Sebenarnya Nagasaki bukanlah target utama kedua dijatuhkan di Jepang pada tahun 1945, karena seharusnya bom dijatuhkan di Kokura yang memiliki salah satu gudang persenjataan terbesar di Jepang, penuh dengan kendaraan militer, persenjataan berat angkatan darat maupun angkatan laut, dan digosipkan juga menyimpan senjata gas beracun. Namun karena kondisi cuaca di atas Kokura yang tertutup awan, mengakibatkan akhirnya bom dijatuhkan di Nagasaki yang juga berlokasi strategis sebagai pertahanan kelautan Jepang, pada tanggal 9 Agustus 1945 jam 11.02. Namun itu tak menjadikan kota ini terpuruk, namun bangkit lagi dengan kekuatan industri dan kelautan, juga sejarah misionari Belanda yang begitu kuat.
Tepat di samping Nagasaki Atomic Bomb Museum tersebut terdapat Nagasaki City Museum of History and Folklore yang berdinding bata merah dan tinggi. Di dalamnya banyak bercerita tentang sejarah kelautan Nagasaki, termasuk peninggalan budaya aneka kapal layar, pakaian, barang pecah belah hingga mainan anak-anak Jepang.
Aku sempat menimbang-nimbang apakah sore itu aku langsung kembali ke hostel dan langsung kembali ke Osaka, atau mampir ke Site of the Martyrdom of the 26 Saints in Japan yang terletak tak jauh dari stasiun Nagasaki jika dilihat dari peta. Akhirnya aku memutuskan untuk naik streetcar ke Nagasaki-Ekimae, dan berjalan kaki menuju lokasi yang sempat kubaca informasinya di sius pariwisata Jepang itu. Seperti sudah kuduga, jalanannya kembali menanjak hingga pelataran yang berisi 26 patung misionaris Jepang yang dieksekusi dengan penyaliban di Nagasaki atas perintah Hideyoshi Toyotomi. Namun sayang museumnya sudah tutup karena sudah sore. Aku hanya melihat dinding museum berhiaskan ukiran dan mural cantik yang terbuat dari aneka batu dan kaca yang berwarna-warni.
Sebenarnya masih banyak hal lagi yang bisa dilihat di Nagasaki, seperti melewatkan senja di pelabuhan atau atap Prefectural Art Museum, atau naik gunung Inasa melihat Nagasaki dari posisi tertinggi dengan kereta gantung. Nagasaki menjadi kota yang bagus untuk percontohan pembangunan kota di tepi laut, dengan memaksimalkan potensi tepi airnya.
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Tempo pada September 2015. Dipost ulang di blog untuk memperingati 72 tahun jatuhnya bom di Nagasaki.
Perjalanan September 2014
Kotanya tenang ya, dan agak unik juga bisa menemukan patung Yesus dan katedral dengan arsitektur Eropa. Baru tau kalau Nagasaki adalah target pengganti.
Nice story, mbak 🙂