mengheningkan cipta di hiroshima

Udara panas menyengat ketika aku turun di stasiun Hiroshima siang hari itu. Aku bergegas mencari pusat informasi untuk memperjelas cara menuju hostel dari stasiun. Sebenarnya aku sudah mencari tahu sebelumnya melalui google map, tapi tetap saja untuk lebih yakinnya, aku bertanya di kantor mungil itu. Karena aku tidak bisa berbahasa Jepang sama sekali, maka tourist information centre adalah salah satu tempat untuk mengorek keterangan menuju lokasi hingga sejelas-jelasnya. Dan di Jepang, fungsi ini selalu berada dekat atau di stasiun.

Keluar dari stasiun, aku menaiki streetcar (tram) jalur kuning tujuan Dobashi. Kuhitung ada 13 stasiun hingga streetcar ini akan berhenti di tempat aku aku turun. Peta di tanganku bertuliskan huruf kanji buta kubaca, namun juga dilengkapi dengan tulisan latin. Peta ini cukup lengkap informasinya, termasuk cara transit streetcar antar jalur, cara menukar uang kecil di mesin, sampai beberapa lokasi wisata favorit. Untunglah, di setiap perhentian diumumkan nama stasiun yang lamat-lamat kucocokkan dengan tulisan di peta. Ransel jinggaku kuletakkan di lantai trem sehingga agak menghalangi orang lewat. Berkali-kali aku bilang ‘sorry’ sambil menundukkan kepala.

Ting! “Dobashi!” seru pengeras suara di dalam streetcar.

Aku turun di satu persimpangan dan membayar tarif sebanyak 160 yen yang dimasukkan ke kotak di samping pintu. Menurut peta, lokasi hostel J-Hopper yang sudah kupesan tidak jauh, hanya berbelok ke kiri, lalu ke kanan, dan berada di sekitar situ. Duh, udara panas membuat dua ransel yang kubawa terasa berat. Aku berhenti di depan sebuah toko, “Sorry, J-Hopper? Hostel?” Perempuan di dalam toko itu keluar dengan wajah ramah, kemudian mengantarkanku ke Hostel yang ternyata kelewatan satu jalan. Benar kan, orang Jepang itu baik-baik.

Resepsionis J-Hoppers menyambut dan memeriksa pasporku, kemudian memberi kunci ke kamar yang berada di lantai dua. Karena aku memesan tempat tidur bertipe futon (kasur lipat tradisional Jepang), maka aku mendapati kamarku berisi 4 tempat tidur berjajar dengan satu yang masih tergulung. Itu pasti tempatku, sambil menyeret ransel jinggaku ke situ. Setelah menggelar dan merapikannya, aku bersiap-siap untuk ke Peace Memorial Park. Ouh, sudah hampir jam setengah empat! Aku harus buru-buru sebelum pintu-pintu masuk museum tutup.

Peace Memorial Park adalah alasanku untuk pergi ke Hiroshima. Kota yang memiliki kenangan kuat dengan kemerdekaan Indonesia ini menarik untuk dikunjungi karena pembangunannya yang cukup pesat dan kebangkitannya sejak dijatuhi bom pada 6 Agustus tahun 1945. Karena itu aku memilih lokasi penginapan di J-Hoppers yang menurut info hanya berjalan kaki selama 10 menit sampai taman memorial ini

Setengah berlari, aku memasuki taman luas dan rindang di sekelilingnya itu untuk mencapai Hiroshima Peace Memorial Museum yang pasti segera tutup karena sudah sore. Bangunan ini memanjang melayang dari barat ke timur di atas tiang-tiang bulat dan menjadi focal interest dari keseluruhan taman. Seorang pemandu yang sedang menemani turis bule menunjukkan arah sayap timur ketika kutanyai di mana pintu masuknya. Segera aku menuju arah yang ditunjukkan untuk menikmati sejarah yang terjadi 72 tahun yang lalu itu.

Hiroshima Peace Center and Memorial Park dibangun pada tahun 1955 oleh Kenzo Tange, salah satu arsitek Jepang yang ditugaskan untuk membuat satu tempat untuk mengenang bom yang dijatuhkan di kota ini pada tahun 1945. Tange mengumpulkan memori kolektif dari orang-orang yang sudah melewati masa-masa buruk “most extraordinary man made disaster ever witnessed” ketika jatuhnya bom yang tidak hanya berdampak pada kota Hiroshima sendiri, tapi juga pada dunia internasional. Memorial Park ini direncanakan untuk mengolah kenangan inagural yang terjadi.

Pada sisi sebelah selatan, Tange mengkomposisikan bangunan Hiroshima Peace Museum yang memanjang dan berdiri di atas kolom-kolom beton berukuran besar. Memasuki museum dari salah satu ujungnya, pengunjung akan dibawa menyusuri lorong yang bercerita tentang tragedi bom yang menghancurkan hampir seluruh kota, dan menjadi akhir perang dunia kedua itu.

Setelah membayar tiket masuk sebesar 50 yen, aku naik dan memasuki lorong yang dindingnya didekorasi oleh bata-bata yang menandakan kerusakan hebat akibat jatuhnya bom atom. Masuk ke ruangan utama, di satu sisi terdapat replika reruntuhan dengan figur anak-anak yang compang-camping karena ledakan dahsyat yang tak terduga itu. Aku terhenyak melihat suasana yang seketika tercipta di dalam museum. Dengan membangun sequence seperti itu, pengunjung dibawa untuk kembali ke masa 72 tahun yang lalu, ketika Hiroshima hancur.

Pada tanggal 6 Agustus 1945 jam 8:15, sebuah bom atom pertama kali dijatuhkan di Hiroshima sebagai senjata pemusnah. Diikuti cahaya yang menyilaukan mata, bom diledakkan dari sekitar 600 meter di atas pusat kota. Sinar panas dan ledakan membakar hampir semua bangunan yang berjarak 2 kilometer dari hiposentrum, menewaskan ribuan nyawa. Mereka yang berhasil selamat, dengan pakaian terkoyak yang terbakar dan berdarah-darah, merangsek keluar dari puing-puing kota.

Di tengah-tengah ruangan divisualisasikan model area kota dan bom atom yang dijatuhkan di atasnya. Di situ juga dipamerkan peninggalan-peninggalan yang ditemukan usai jatuhnya bom, seperti sepeda roda tiga, seragam anak sekolah, batu-batu, lempeng-lempeng besi yang tertekuk, semua dalam kondisi rusak, agak meleleh, seperti terkena panas yang sedemikian tinggi. Hatiku mencelos kosong melihat semua ini. Kubayangkan saat itu masih pagi, ketika anak-anak sekolah baru saja masuk kelas, ketika orang-orang baru berangkat bekerja dan masih di jalan, dan tiba-tiba waktu berhenti, seolah masa depan lenyap begitu saja saat bom nuklir dari Amerika itu dijatuhkan.

Bentuk museum yang memanjang memberikan pengalaman ruang yang menarik karena arus pengunjung dibawa untuk menyusuri setiap peninggalan-peninggalan yang ada. Sequence diikuti oleh beberapa bagian, kerusakan karena panas yang menyengat (Damage of Heat Rays), kerusakan karena ledakan (Damage of Blast), dan kerusakan karena radiasi (Damage of Radiation). Di sisi-sisi kanan dan kiri dipaparkan foto-foto korban radiasi yang bertahan hidup namun akhirnya menderita karena kanker dan leukemia beberapa tahun kemudian. Aku terdiam dan menatapi gambar-gambar itu sambil termenung. Sebegitukah menderitanya rakyat biasa di sini akibat perang para penguasa dunia? Walaupun 70 tahun silam negeriku dalam posisi dijajah juga oleh negeri matahari terbit ini, tapi efek yang begitu besar pada kota ini juga begitu besar.

Di satu sudut terdapat cerita tentang Sadako Sasaki, yang terpapar oleh bom atom ketika berusia dua tahun. Sepuluh tahun kemudian, ia mendekam di rumah sakit karena didiagnosis menderita leukemia. Untuk melupakan rasa sakitnya, ia melipat kertas menjadi burung-burung kertas yang kini disimbolkan sebagai perjuangan mencapai perdamaian dunia. Sadako akhirnya meninggal delapan bulan sesudah berjuang melawan penyakitnya.

Aku keluar dari ruangan utama dan berbalik memasuki lorong yang menghadap bagian utama taman. Jendela panjang membuatku leluasa mengamati setiap sudut taman. Di belakangnya, kota Hiroshima yang bangkit dari keterpurukan bom atom, berdiri megah dengan aneka gedung tinggi untuk menjalankan fungsi-fungsi bisnisnya. Setelah melewati kisah kekejaman bom atom tadi, aku tertegun di depan titik yang tepat menghadap ke Cenotaph for A-Bomb Victims. Kota ini adalah kuburan raksasa, desisku sambil menggigit bibir. Ribuan jiwa tak tertolong ketika bom atom ini meluluhlantakkan kota.

“Saat itu pagi yang di tengah musim panas, tiba-tiba ledakan besar dan segalanya di sekitar menjadi runtuh. Badan yang terluka tanpa tahu apa yang terjadi tetap bergerak untuk mencari pertolongan. Langit biru menjadi kelabu, hujan gelap turun tanpa keindahan. Orang-orang tergeletak tewas di jalanan, atau cuma berjalan tertatih-tatih. Kenangan yang begitu menyedihkan,” begitu hasil wawancara di beberapa layar sepanjang koridor yang dijelaskan oleh pemandu museum. “Namun kini Hiroshima bangkit lagi menjadi kota industri yang cukup maju, tapi tidak pernah melupakan sejarah keterpurukan akibat bom atom.”

Dilihat dari luar, bangunan museum ini berupa kotak panjang dari selatan ke utara di mana di dalamnya tadi pengunjung melintasi di dalamnya, yang diangkat oleh tiang-tiang beton sehingga memberikan kesan ringan dan melayang. Keseluruhan materialnya dari beton ekspos dengan finishing abu-abu yang sangat halus. Jendela-jendela berjajar teratur dalam keheningan, menghubungkan ruang yang ada di dalam dengan suasana di luar.

Sayap timur yang difungsikan sebagai ruang masuk museum tampak sepi, sementara sayap barat yang berfungsi sebagai kantor mulai ramai dengan orang yang keluar. Orang-orang banyak melalui ruang di bawah museum, yang tidak menghalangi pergerakan. Berbeda dengan bentang memanjang museum yang finish-nya telanjang, bangunan kubikal pada kiri dan kanan ini ditutup dengan lempeng batu alam berukuran besar pada kolom dan dindingnya.

Ketika turun ke taman, hari sudah cukup sore sehingga aku banyak menjumpai orang-orang yang sedang beristirahat di taman. Seorang kakek asyik membaca koran di bangku batu, anak-anak sekolah pulang dengan sepedanya, sepasang muda mudi yang baru pulang kerja berjalan kaki melintasi taman. Ruang kota ini sangat hidup dan mudah dijangkau karena tidak ada pagar sama sekali di sekelilingnya. Orang bebas keluar masuk lewat dari satu sisi, melintasi taman dan keluar di sisi lainnya lagi. Taman ini menjalankan fungsinya sebagai ruang jeda dan ruang rekreasi.

Tange mengolah ruang luar yang berorientasi pada satu cenotaph di tengah kawasan, berupa bidang lengkung yang menaungi batu panjang dengan ukiran 200.000 nama-nama korban bom, dengan epigraf tertulis : “Please rest in peace, because we shall repeat the mistake.” Cenotaph ini sebagai pusat orientasi dari seluruh kawasan dan hingga kini menjadi titik yang paling sering dikunjungi. Bahkan setiap tanggal 6 Agustus, diadakan upacara untuk mengenang jatuhnya bom di Hiroshima.

Di depan Cenotaph for A-Bomb Victims terpasang karangan bunga yang diganti setiap hari, sehingga orang-orang yang lewat bisa mampir sebentar dan mendoakan untuk jiwa-jiwa yang gugur karena bom atom. Hampir setiap menit orang datang, berdoa, dan pergi di sini. Tak ada satu pun yang berniat iseng dengan merusak altar kecil tempat orang mengheningkan cipta sejenak. Dengan area kosong dan lapang di sekelilingnya, titik ini memiliki aura yang sangat kuat sebagai titik sentral kawasan apalagi ketika matahari perlahan-lahan mulai tenggelam.

Karena bangunan Hiroshima National Peace Memorial Hall for the Atomic Bomb Victims sudah tutup, aku melanjutkan perjalanan kakiku ke tepi sungai Hiroshima sambil memandang ke seberang tempat Genbaku Dome-mae, gedung beratap kubah yang tetap berdiri ketika bom atom dijatuhkan itu mulai disinari lampu-lampu di sekitarnya. Senja mulai meremang ketika aku beristirahat di tepi sungai sambil memakan bekalku dan mengambil gambar bangunan yang bayangannya terpantul di sungai. Taman sudah mulai agak sepi hingga saat gelap benar-benar datang dan lampu taman menyala semuanya. Aku berjalan memutar ke seberang dan mendekati bangunan yang terdaftar sebagai UNESCO World Heritage Site itu.

Genbaku Dome-mae dibatasi oleh pagar yang menghalangi orang-orang untuk masuk ke dalamnya karena dikhawatirkan masih ada sisa radioaktif akibat paparan bom 60 tahun silam itu. Beberapa bagiannya runtuh, namun dinding-dinding utama dan kubahnya masih utuh. Padahal menurut dokumentasi di museum tadi, sekitarnya hancur lebur.

Di tengah remangnya senja, aku makin tercekat lagi melihat dari dekat bangunan yang menjadi saksi bisu ledakan berkekuatan 16000 ton itu, merinding membayangkan orang-orang yang saat itu berada di dalamnya, tak bisa menyelamatkan diri. Sejenak aku berdoa lagi di sini untuk jiwa-jiwa yang telah pergi itu, sebelum melanjutkan menyeberangi jembatan, melintasi taman lagi hingga sisi yang satunya untuk kembali ke hostel.

Akhir Desember 1945, ketika efek-efek akut radiasi sedikit mereda, bom atom Hiroshima diperkirakan menelan korban sekurang-kurangnya 140.000 jiwa.

Pembangunan Hiroshima Peace Center and Memorial Park ini tidak sepenuhnya berjalan mulus, karena ada pihak yang ingin mengenang tragedi Hiroshima sebagai luka yang harus dilupakan, atau ada yang untuk mengambil hikmah perang sebagai satu tonggak perdamaian Efek memori yang tidak sama di setiap orang ini yang harus dianalisis dan dirangkum arsitek dalam mendesain Memorial Park karena tidak hanya menjadi memori sebagian penduduk Hiroshima saja, tapi juga oleh Jepang dan pengetahuan dunia. Sebagai bagian dari bukti sejarah, kawasan ini menjadi tujuan pembelajaran banyak orang dari seluruh dunia yang datang ke kawasan, bukan cuma tentang hal-hal yang terjadi pada tahun 1945, tapi juga bisa merepresentasikan bagaimana kota Hiroshima yang bangkit kembali dan menghadapi masa lalunya dengan menghargai perdamaian di masa depan.

Perjalanan September 2014
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Tempo, Agustus 2015.

 

7 thoughts on “mengheningkan cipta di hiroshima

  1. Seru banget ceritanya, Kak Indri! Berasa lagi didongengin sama guru sejarah yang asik!

    Selalu suka sama cerita tentang museum yang nyimpen cerita duka. Ga cuma nyimpen sejarah, tapi juga pesan untuk ga ngulangin bencana serupa di masa depan. Thanks for sharing 😃

  2. Banyak review bagus soal jaringan J-Hoppers ini, di Osaka juga ada. Anyway, Hiroshima ini salah satu kota yang menarik buatku karena… ada tram. Hehehe 😀

    Sama, mbak. Aku ikut sedih membaca ceritamu tentang korban bom Hiroshima. Aku benci perang, karena rakyat biasa yang nggak tahu apa-apa jadi korban para penguasanya. Lalu, bocah Sadako itu nggak ada hubungannya sama legenda hantu Sadako kan? 😛

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.