
Perkara hujan selalu membuat waktu berjalan lambat. Gara-gara air yang tidak henti turun sejak di Sidoarjo, kami yang rencananya tiba di Bromo sore hari, jadinya sudah lewat matahari. Sengaja ambil tol arah Malang keluar di Purwodadi, sesuai plang yang mengarahkan demikian.
Sempat was-was akan hujan yang terus mengguyur, pucuk-pucuk kanopi pohon yang menaungi, sampai bagaimana nanti kalau jalannya menyempit dan hilang arah? Yang diketahui, tujuannya Desa Tosari lanjut ke Wonokitri, titik inap sebelum mengeksplor Bromo. Tetapi orang baik ada di mana-mana, ketika pada sebuah tanjakan belok kanan kami bertemu pengendara motor yang akan mengantar melintas jalan hutan. Kebetulan sekali, karena hari sudah masuk rembang petang. Karena walaupun google map sudah mengarahkan pada segala tikungan, tapi siapa yang tahu yang akan terjadi dalam jalan berkelok pada tebing hutan di penghujung hari itu?
Jadi lambat-lambat kami mengikuti bapak berjas hujan biru tua itu lewat jalan tiga meteran, yang sesekali melalui dahan patah yang ia bersihkan terlebih dulu. Terang langit sudah ditelan tingginya pepohonan dan memang waktunya datang malam. Benarkah jalannya lewat sini, kadang ragu tapi tetap percaya mengikuti. Lagipula, ia mengenalkan jaket pemandu yang menyatakan dirinya resmi. Lagipula memang pilihan kami lewat Wonokitri, bisa dibilang wono itu hutan, kitri adalah pekarangan. Bisa jadi di balik pepohonan itu memang ada yang bertinggal.
Tapi memang benar, akhirnya kami bertemu lagi dengan rumah-rumah yang berderet, warung kopi, rombongan motor di tepi jalan, masjid, orang-orang bergerombol, meyakinkan bahwa ini sudah sampai di Desa Wonokitri. Ingatlah kalau sampai sini hanya bisa menerima uang tunai dan tidak ada EDC. Kata bapak tadi, ATM ada BRI di sebelah kelurahan, kalau BNI harus ke Tosari (ini Kecamatan Tosari sesungguhnya, bukan halte bus yang berada dekat Jl Blora di Jakarta). Kami berhenti di depan rumah bertingkat tiga, masih hujan dan cuaca dingin sekali, sambil menurunkan ransel yang memang untuk tujuan Bromo. Benar-benar hari sudah gelap.
Asli, udara dingin membuat kami nggak berminat mandi dan hanya tergiur oleh indomie rebus yang bisa dipesan di warung depan. Sweater tebal langsung mengrukupi, termasuk kupluk, sarung tangan dan kaos kaki. Hanya ujung hidung terbuka yang tertinggal dinginnya. Lalu teringat pada sekotak sushi yang dibawakan kawan yang batal jumpa tadi pagi. Untunglah ini makanan dingin yang tak perlu penghangat, sembari sumpit beradu memasukkannya ke mulut hingga tandas. Masih belum tambah hangat, seporsi nasi goreng pun kami santap.
Sambil menunggu lelah memaksa untuk tidur, bercakap hingga entah bagaimana akhirnya terlelap juga dan terbangun oleh alarm jam tiga pagi serta suara deru mesin jeep yang dipanaskan di depan. ah, sudah waktunya jalan-jalan rupanya!
Sambil menyesap segelas energen, kami mengemasi aneka barang yang dibawa pagi itu, beberapa biskuit, coklat panas dalam termos, dan air minum. Rupanya yang mau berangkat dini hari bukan kami saja, karena sampai puncak Pananjakan sudah berderet jeep lain parkir di tepi jalan. Padahal ini bukan hari libur, tapi bersyukur juga keramaian ini penanda pariwisata bangkit lagi pasca pandemi. Sudah harus berjalan kaki sambil menanjak, sambil mengatur napas satu-satu. Nggak apalah, biar lambat asal sampai bertiga.
Meskipun bukan hari libur, tapi Pesona Bromo menarik orang-orang untuk tetap datang pagi, memenuhi undakan dan berdesak pada pagar agar mendapatkan pandangan terbaik saat matahari muncul nanti. Ya, ia terbit pada semburat timur di samping gunung Bromo, menjadikan urat-urat gunung Batok di depan kami terlihat jelas, hingga gunung tinggi yang menjadi latar belakang, sang Mahameru yang megah.
Bromo terlihat merunduk di kejauhan, kawahnya yang menganga digenangi air hujan yang terpanaskan oleh geothermal di dalamnya, asap yang membumbung menandakan panas dan peringatan bahwa ia tidak tidur, sewaktu-waktu bisa saja meletup. Pura Hindu yang menjadi latar depan, tampak kecil dan anggun di antara lautan pasir untuk diarungi. Kuda-kuda dan orang-orang belum terlihat dari puncak Pananjakan ini, yang mungkin nanti ramai ketika siang.
Kami duduk bertiga, sambil menyesap coklat panas dalam termos, sengaja untuk melawan dinginnya pagi. Ada yang dari Sumatera, ada yang dari Lombok, juga dari Yogya begitu terdengar percakapan orang sekitar. Sebagai daerah wisata andalan Jawa Timur pantaslah ia menjadi magnet datangnya orang-orang dari berbagai negeri.
Ketika matahari sudah nampak sempurna, kami beranjak. Karena ingin menuju lautan pasir di bawah sana. Jeep pun menderu menyusuri jalan aspal menurun hingga ujungnya, kemudian melintasi lautan pasir hingga tiba pada ujung pagar dekat pura, di kaki gunung Batok. Sampai di sini, kata supirnya.
Aku berkeras untuk berjalan kaki hingga puncak Bromo, dan tidak menghiraukan aneka sais kuda yang giat menawari. Selangkah demi selangkah, sembari bersenda gurau melintasi jalur yang kerap dilintasi. Bap, tentu saja memilih menunggu di bawah. Lautan pasir membawa kaki kami, selangkah demi selangkah. Memang lelah, tapi itulah usahanya.




Sebelum tangga ke puncak kami berdua beristirahat mengambil napas, minum, mengumpulkan tenaga untuk naik ke tepi kawah di atas. Lalu satu-satu menyusuri tangga puluhan langkah. Sempat henti dua kali sebelum puncak, namun akhirnya tiba juga. Keluh kesah hilang di angkasa. Dan timbul gamang menyusuri tepi kawah yang sempit. Kawahnya berair akibat hujan, yang memang demikian sejak meletus beberapa tahun lalu.


Udara berangin menerpa wajah di ketinggian. Untungnya tidak terasa debu yang memicingkan mata. Segala tampak kecil di bawah sana, seperti anak semut beriringan. Relief alam di sekeliling masih memukau seperti tahun 2012 dulu. Cekungan lautan pasir ini yang dilingkupi tebing-tebing.


Turun dari puncak, kami naik jeep menuju bukit teletubbies, yang sayangnya banyak warung-warung di tepian. Hijau yang sekadar hijau, namun agak kering. Mungkin memang waktunya, karena bukit hijau itu yang merawat alam. Jadi tak lama kembali ke jeep dan melintasi pasir yang sangat luas, menderu bersama-sama.


Sebelum siang kami sudah kembali ke homestay sewaan, masih tak tega membawahi tubuh karena air dingin sekali. Cuci muka menjadi jalan keluar sekadar membuat segar.
Lepas dari Desa Tosari, kembali melalui hutan yang berkelak kelok, rerimbunan di kanan kiri yang tak jelas tampaknya malam kemarin. Lama terus menurun sambil berhati-hati, hingga bertemu desa lagi, yang penuh dengan kebun apel di kanan kiri. Penasaran ingin memetik, tapi malu jadi tak berhenti. Lanjut terus hingga jalan raya Purwodadi, masuk tol menuju Malang.
Perjalanan Januari 2022
ditulis Februari 2022, Matraman.