“SELAMAT PAGIIIIII…… Nama ibu Indri Juwono. Ada yang tahu pekerjaan ibu apa?”
“Tukang Bangunan!”
“Arsitek!”
“Wah, pada pintar-pintar ya.. Tahu dari mana?”
“Helm!”
“Nama!” sambil menunjuk name tag.
“Ituuu…” sambil menunjuk maket.
“Jadwal!” seru seorang siswa.
Di mana adegan antara arsitek dan siswa-siswi yang cerewet itu? Di Kidzania-kah? Bukan, melainkan di sini, Kelas Inspirasi. Pada Rabu 20 Februari 2013, sekitar seribu orang dari berbagai macam profesi yang spesifik dari 6 kota besar di Indonesia, mengajar dan berbagi ilmu pada banyak anak SD yang sedang menuntut ilmu, membuka mata mereka pada cita-cita, dan menjelaskan ragam profesi yang ada di masa depan.
Awalnya pada suatu malam aku melihat Tania, salah satu juniorku di Arsitektur UI mengirim tautan Kelas Inspirasi di grup 40 tahun KAPA FTUI di facebook. Penasaran kubuka tautan itu, dan woohoo, ternyata itu salah satu tawaran mengajar di SD di beberapa kota besar di Indonesia. Malam itu juga aku mengetes diriku sendiri, bisakah aku lolos dalam seleksi menjadi guru sehari itu?
Sejak kecil aku ingin jadi arsitek, cita-cita yang selalu kupupuk sampai kuliah, walaupun perlu 5 1/2 tahun untuk menyelesaikannya. Sekarang, tak terasa sudah 10 tahun aku bekerja sebagai arsitek, baik di kantor konsultan atau terkadang membantu kenalan mewujudkan rumah impian mereka. Biarpun lelah, aku mencintai pekerjaanku. Aku beruntung punya cita-cita sejak kecil sehingga tidak salah dalam menentukan pilihan studi.
Aku ingin berbagi dengan anak-anak tentang cita-cita menjadi arsitek yang kupegang sejak SD dan terus-terusan kupupuk hingga sekarang. Aku ingin mereka melihat bahwa tidak ada sesuatu yang tidak mungkin jika terus belajar. Percaya bahwa ketekunan akan berbuah keberhasilan. Aku ingin membagi mimpi pada mereka dan membuat mereka bersemangat meraihnya. Aku ingin apa pun cita-cita yang ingin mereka capai, harus dikejar pantang menyerah. Itulah salah satu motivasiku mengikuti Kelas Inspirasi. Aku sendiri sangat menyukai berbicara dengan anak-anak, beberapa kali menjadi MC atau fasilitator acara anak sehingga aku merasa tidak akan sulit beradaptasi dengan anak SD yang sedang ceria-cerianya itu.
Aku ingat, aku mendaftar hanya sekitar seminggu sebelum ditutup. Karenanya tak lama menunggu pengumumannya. Tadinya aku bingung mau mengajar di Jakarta atau Bandung. Namun akhirnya aku memilih Jakarta dengan pertimbangan ini pengalaman mengajarku yang pertama. Ketika tanggal 31 menerima email yang berisi bahwa aku terpilih sebagai pengajar sehari di Kelas Inspirasi, aku girang sekali. Aku melihat daftar yang diterima dan ternyata ada beberapa yang kukenal, Famega yang editor, Endah Bayu yang analis politik dan Ign Susiadi seniorku di Arsitektur UI yang juga sama-sama diterima.
Sebelum berlangsung Kelas Inspirasi, semua peserta mengikuti briefing oleh Tim Kelas Inspirasi di Gedung Indosat, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta pada tanggal 9 Februari 2013. Di sana aku berkenalan dengan teman-teman yang akan ‘berjuang’ bersama di kelompok 25 di SD yang sama. Aku berkenalan dengan Justine Chen, IT untuk perusahaan makanan, Farli Sukanto, creative design di TV yang pernah kuliah arsitektur juga, Ria Prastawa, penyuluh di Komnas HAM, Cynthia Ruslan, marketing di salah satu perusahaan makanan ringan, Pak Sadono, oil engineer, juga Erfan Siboro, banker. Kami semua akan mengajar bercerita soal profesi kami yang unik-unik itu dibantu Raisa Annisa atau Acha, fasilitator kami yang pernah menjadi guru setahun untuk Indonesia Mengajar di kawasan Lampung Utara. Sayang sekali, tak satupun dari fotografer tim yang menampakkan batang hidungnya. Dari perkenalan hari itu kami bertukar nomor ponsel dan email untuk komunikasi sampai menjelang hari H.
Sebagai ketua kelompok, Farli cukup intens mengirim email berisi rencana-rencana kami. Lebih sering berkomunikasi di email, kami sepakat untuk survey lokasi sekolah yang kebagian di SD Pejaten Barat 05 Jakarta Selatan. Aku cukup senang karena tidak terlalu jauh dari Depok. Pada hari survei ini baru aku berkenalan dengan Fransiska Anggiana, seorang Pemimpin Redaksi majalah di bidang traveling, yang akan bergabung juga untuk mengajar di Hari Inspirasi. Makin seru dan bersemangat bersama orang-orang dengan latar yang berbeda.
Ternyata, lokasi sekolahnya terasa oasis sekali. Berada tak jauh dari kemacetan Pasar Minggu dan riuhnya perempatan Republika Pejaten, sekolah ini berada di tengah kebun yang rimbun yang mengingatkan pada lagu lama, “Pepaya, mangga, pisang, jambu. Dibeli, dari Pasar Minggu..”. Sekolah yang berdiri mundur sekitar 25-30 m dari jalan Pejaten Raya, membuat lokasinya tak bising oleh lalu lalang kendaraan sekitar. Memasuki lapangan olahraganya seperti beristirahat dari penatnya Jakarta.
Karena Sabtu 16 Februari 2013 pada hari survei anak-anak sekolah libur, maka kami tak bisa melihat kegiatan belajar mengajar sehari-hari di sekolah itu. Untunglah beberapa hari sebelumnya Yustin dan Farli sudah berkunjung dan bertemu dengan salah satu guru yang mengajar di sekolah dengan 7 kelas itu. Setelah mengobservasi keliling sekolah, kami diskusi santai menentukan teknis pelaksanaan hari H yang akan berlangsung tiga hari kemudian itu. Di situ masing-masing kami yang baru ketemu sekali dan bercanda-canda lewat whatsapp, dengan semangat yang sama melewatkan kecanggungan sebagai kenalan baru dan melontarkan ide-ide segar.
Sebelum Hari Inspirasi itu aku sempat bingung bagaimana menjelaskan tentang profesi arsitek ke anak-anak SD. Menarik dari sisi penghasilan? Tidak juga. Lelah banyak begadang? Pasti. Profesi yang keren? Sudah pasti. Bagaimana cara mudah menjelaskan fungsi profesi ini pada anak-anak, ya? Aku kembali pada pikiran masa kecilku. Arsitek identik dengan seseorang yang berada di tengah proyek pembangunan, sedang mengawasi pelaksanaan, lengkap dengan helm di kepala dan gulungan cetak biru di tangan. Tapi yang lebih kuingat lagi adalah, dulu aku ingin menjadi arsitek karena suka menyusun ruang-ruang pada rumah bonekaku. Aku mengaitkannya pada kuliah Perancangan Arsitektur 1 tentang menciptakan ruang dari kebutuhan. Ini dia! Arsitek adalah space developer, mengolah ‘ruang’ dari kebutuhan menjadi massa untuk menampung kebutuhan berkegiatan. Pemahaman ini yang mendasari aku membuat lesson plan untuk anak kelas 2, 4, dan 5 yang menjadi jatahku mengajar tentang pemahaman pekerjaan seorang arsitek.
Pada Hari Inspirasi 20 Februari 2013 aku berangkat dari Depok jam 5.05 pagi bersama rekan banker Erfanus Siboro, untuk menghindari macet di perjalanan supaya tidak terlambat. Cepat juga, karena 29 menit kemudian kami sudah tiba di samping SDN Pejaten Barat 05 Pagi. Sesudah sarapan lontong sayur yang tersohor di whatsapp, kami memasuki sekolah dengan berdebar-debar. Apakah anak-anak bakal menurut? Apakah kelas bakal ramai? Deg-degan dan penuh pikiran sambil mengangkat maket berukuran 1×1 m yang sudah berusia 11 tahun itu ke ruang guru.
Kami sempat briefing sejenak pada jam 7 pagi dan berkenalan dengan guru-guru pengajar sekolah. Aku juga berkenalan dengan beberapa teman yang baru muncul di hari itu. Bergabung juga dengan kami Bapak Agung Djojosoekarto yang bekerja untuk Democracy and Justice Governance untuk ikut mengajar, juga tiga fotografer yang mendokumentasikan kegiatan ini, Septi Yulia Sari, Gita Adi Tamtama dari Bali dan Haviz Maulana dari Jogja. Selain itu, juga ada Ardi Wilda yang meliput kegiatan kami. Sebelum ‘bertempur’ masuk kelas kami yel dulu untuk menyemangati satu sama lain.
Kelas pertama yang menjadi ujian mengajarku adalah kelas IVA. Ketika masuk, aku langsung disambut ucapan selamat pagi serempak dari murid-murid di dalam. Jumlah murid di ruangan ini hanya sekitar 28 orang. Muridnya cukup aktif dan bersemangat. Di dalam kelas ini ada seorang murid perempuan bernama Icha, yang heboh dan meramaikan suasana. Ternyata tak hanya aku, teman-teman lain yang mengajar di kelas ini pun merasakan kehebohan si Icha ini. Aku mulai dengan menanyakan pada anak-anak, apa yang mereka tahu tentang arsitek. Aku mencoba mengaitkan kegiatan dengan bangunan yang dibuat. Karena anak-anak, maka aku kaitkan dengan hobi mereka.

“Anak-anak hobinya apa???”
Semua anak laki-laki menjawab hobinya main bola, sementara anak-anak perempuan variatif, tapi sebagian besar bersepakat untuk menjawab hobinya menyanyi. Aku minta mereka menggambar di selembar kertas putih tentang kegiatan yang menjadi hobinya itu.
“Kalau bermain bola butuhnya apa??”
“BOLA!!”
“GAWANG!!”
“LAPANGAN!!!!”
Aku menggiring mereka untuk menyadari bahwa untuk bermain bola, dibutuhkan ruang bernama lapangan. Kemudian aku minta mereka untuk menggambar lapangan bola di sekeliling gambar orang yang bermain bola.
“Kalau bernyanyi butuhnya apa??”
“PANGGUNG!!!”
Rupanya anak perempuan lebih cepat mendapatkan ruang kebutuhannya. Sebenarnya banyak tempat yang bisa dijadikan lokasi bernyanyi, namun panggung lebih menjadi gambaran di mata anak-anak itu sebagai wadah bernyanyi yang keren. Anak-anak ini pun aku minta menggambarkan panggung yang melatari kegiatan.

Setelah itu aku meminta anak-anak ini untuk melengkapi gambar yang telah mereka kreasi. Ada yang lanjut menggambar sampai tribun penontonnya, ada yang menambah jumlah pemain bolanya, ada yang menambahi rumputnya. Di gambar anak perempuan juga sama ramainya. Ada yang menggambar penyanyi dengan miknya juga latar panggung dengan balon-balon. Kelas cukup ramai namun terkendali. Tak ada anak yang berkeliaran mengganggu.
Sesudah itu aku minta beberapa anak maju untuk menjelaskan karyanya. Seorang anak lelaki maju menjelaskan gambarnya, bahwa itu adalah pemain bola kesayangannya, Lionel Messi yang sedang bermain di lapangan bola buatannya. Sementara Icha juga berani maju dengan gambarnya yang menarik, ia ceritakan sebagai Agnes Monica yang sedang bernyanyi di acara Inbox. Wah, hebat-hebat juga imajinasi mereka yang tertuang dalam gambar sederhana.


Setelah presentasi mereka, kujelaskan bahwa pekerjaan arsitek itu membuat bangunan dari kebutuhan manusia yang bermacam-macam. Mereka menyebutkan macam-macam bangunan.
“Kalau untuk bermain bola dibangun apa?”
“STADION!”
“Kalau orang bepergian naik bis dibangun apa?”
“TERMINAL!”
“Kalau orang perlu berbelanja dibangun apa?”
“PASARRR!!!!!!”
Karena waktu 35 menit ini hampir habis, maka aku hanya sedikit menjelaskan tentang maket yang kubawa. Maket tugas akhir tentang Rumah Sakit Anak yang meluluskanku dari UI 11 tahun silam itu dikerubuti anak-anak dan dipegang-pegang. Aku menjelaskan sedikit sampai Justine memberi kode untuk ke kelas sebelah.

Giliran jam berikutnya adalah kelas IVB. Semula aku mengira bahwa kelas ini sama ramainya dengan IVA. Ternyata tidak. Karakter anak-anak di kelas IVB lebih tenang dan pendiam. Mulanya aku mendapat perhatian ketika di awal membuka pertanyaan, “Kalian tahu bangunan apa yang dibuat arsitek?”
“GEDUNG! KANTOR! HOTEL! APARTEMEN!” seru mereka. Kemudian, ketika aku memberi pertanyaan tentang hobi seperti yang kutanyakan di IVA, beberapa menjawab bermain bola, berenang, memasak (tak satu pun menjawab menyanyi), dan sebagian besar diam saja tak tahu mau menjawab apa. Aku membujuk bertanya pada beberapa di pojokan, namun mereka hanya malu-malu tersenyum. Aku mulai mati gaya menghadapi ini.
Kubagikan kertas-kertas HVS untuk mereka menggambarkan hobi dan ruang hobinya. Ternyata, begitu dibagikan banyak yang bingung mau menggambar apa. Beberapa malah langsung menggarisi kertas pada bagian tepinya. Aku berkeliling dan memancing mereka untuk menyatakan hobinya, masih saja malu-malu. Mereka malah menutupi gambar dengan tangan ketika kubantu lihat. Lima menit mereka masih menggambar dalam suasana hening. Aku berpesan, gambarnya tak usah bagus-bagus, yang ada di pikirannya saja. Lima menit kemudian masih tak ada tanda-tanda ada yang mengacungkan kertasnya. Aku mulai mati gaya lagi. Aku meminta kertas dikumpulkan tapi seisi kelas tetap bergeming malu-malu.

Aku berbisik minta saran pada Ardi yang sedang meliput di pojok kelas. Reporter yang pernah jadi guru setahun di Indonesia Mengajar itu menyarankan untuk meminta anak-anak tutup mata dan tenang mengumpulkan. Aku coba caranya, namun anak-anak tetap konsentrasi menggambar dengan penggaris dan ada yang bolak balik menghapus. Aku hampiri seorang anak yang tadi terdengar agak aktif dibanding teman-temannya, nmanya Reza. Ia menggambar lapangan bola dan sekarang sedang menggambarkan papan iklan di sekeliling lapangan. Kuminta ia maju ke depan kelas. Ia berkata harus menyelesaikan gambarnya dulu. Aku berkeliling dan ketika kembali kulihat ia menambahkan banyak pemain di ‘lapangan bola’-nya. Akhirnya ia maju ke depan kelas dan menceritakan karyanya walaupun terpatah-patah. Kami sekelas memberi tepuk tiga kali atas keberaniannya.

Ternyata masih ada waktu tersisa. Aku panggil seluruh anak untuk ke depan melihat maketku. Aku ceritakan konsep bangunannya yang berbentuk permainan ular naga. Menurutku, rumah sakit anak harus berbentuk yang tidak menakutkan untuk anak-anak. Mereka mulai tertarik dan terjadi dialog antar mereka sendiri. Sambil memegang dan menunjuk-nunjuk, mereka juga menanyakan pintu masuk, ruang periksa dokter, dan lainnya. Ternyata, walau untuk kelas yang berkarakter pendiam, lebih dibutuhkan sesuatu benda perhatian yang lebih memancing perhatian mereka secara nyata.

Sebelum pagi itu berakhir, masih berpindah mengajar lagi, kali ini di kelas V. Di sini aku memakai lesson plan yang berbeda dengan kelas IV. Setelah perkenalan profesi dan lagi-lagi tebak-tebakan berbagai fungsi kegiatan dan bangunan yang digunakan untuk berkegiatan tersebut, aku meminta mereka untuk berpura-pura menjadi arsitek yang akan membangun sebuah sekolah. Aku minta mereka menyebutkan nama-nama ruangan yang dibutuhkan di sekolah. Ramai-ramai mereka bersahut-sahutan menyebutkan ruang-ruang yang mereka inginkan.
“KELAS!”
“PERPUSTAKAAN! KANTIN! RUANG GURU! TOILET!”
“RUANG KOMPUTER! GUDANG ALAT OLAHRAGA! LAPANGAN BOLA! KEBUN!”
“MUSHOLA! AULA!”
Ruangan-ruangan yang mereka inginkan aku gambarkan secara acak di papan tulis sehingga semua anak bisa melihatnya. Kemudian aku membagikan kertas dan meminta mereka menggambar denah sekolah dan memasukkan ruang-ruang tersebut ke dalam kotak-kotak ruang sekehendak mereka, menurut penempatan ruang yang paling asyik. Ternyata hampir sama seperti kejadian di kelas IVB, anak-anak kelas V ini juga kalem-kalem ketika diminta menggambar. Mungkin juga penjelasanku yang kurang, sehingga beberapa kali aku menerangkan kepada mereka apa yang harus dilakukan, yaitu menempatkan ruang-ruang di dalam kotak-kotak denah yang sudah mereka gambar. Akhirnya banyak juga yang berhasil memindahkan nama-nama ruangan yang berantakan di papan tulis ke gambar mereka. Aku meminta satu orang untuk maju dan menceritakan yang digambarnya. Mulanya tidak ada yang mau, namun setelah beberapa kali membujuk ada satu anak yang berani maju dan bercerita tentang sekolah yang ia inginkan. Kami memberi tepuk tangan padanya.

Sama seperti di kelas IVB, aku menggunakan maket untuk menarik perhatian anak-anak yang sudah tak sabar ingin keluar istirahat itu. Mereka maju dan mengerumuni maket yang kujelaskan sebagai miniatur bangunan Rumah Sakit Anak itu. Yang paling mengharukan, ketika aku pamit untuk keluar, mereka menyanyikan lagu Terima Kasih Kakak, untukku yang sudah mengajar di situ.
Masuk jam istirahat, aku sudah lelah kehabisan napas di ruang guru. Baru kusadari, tugas guru itu sangat berat baik untuk membuat anak-anak yang berisik untuk diam, maupun yang membuat anak-anak berbicara ketika mereka pendiam. Waktu istirahat yang cuma 15 menit itu kumanfaatkan untuk bertanya-tanya pengalaman di kelas masing-masing. Ada Erfan yang banker tetapi dipanggil rentenir di salah satu kelas, presentasi Cynthia dengan proyektor yang dikerumuni anak-anak sejak awal, juga pengalaman pak Agung yang menjelaskan anti korupsi pada anak-anak kelas II SD yang ricuh. Mbak Ria mewanti-wanti untuk tidak membawa maketku ke kelas II karena mereka luar biasa aktif bergerak sehingga kemungkinan maket bisa rusak apabila dibawa ke kelas.
Aku memasuki kelas II yang memang aktif sekali itu dengan salam yang setengah berteriak karena mereka sedang berisik sekali ketika memperkenalkan diri sebagai arsitek. Kugambar bentuk-bentuk geometris di papan tulis dan meminta menyebutkan bentuk-bentuk tersebut.
“LINGKARAN!”
“BUJURSANGKAR!”
“SEGITIGA!”
Kuminta mereka mengacungkan tangan mana yang memilih lingkaran, bujursangkar atau segitiga. Ketika ditanya, ternyata mereka lebih suka berada di dalam lingkaran daripada di dalam segitiga. Aku mengajak seluruh anak kelas dua ke lapangan. Kuminta mereka bergandengan membentuk lingkaran, kemudian kubagi tiga. Kelompok pertama membentuk lingkaran, kelompok kedua bujursangkar, kelompok ketiga segitiga. Salah satu dari anak-anak itu maju ke tengah lingkaran dan kuminta melakukan gerakan mandi. Lucu sekali melihat anak-anak itu masuk ke dalam dan berpura-pura mandi. Sejenak kemudian kuminta berganti dengan gerakan menyapu. Lalu bergantian melakukan gerakan menari. Ada satu anak yang mengikuti goyang inul dan membuat teman-temannya terbahak.
Setelah bermain di luar, aku masuk ke dalam dan menjelaskan maksud permainan tadi. Kuceritakan bahwa kita bisa melakukan macam-macam kegiatan di ruang yang bentuknya berbeda-beda, karenanya tidak perlu takut untuk kreatif. Aku berpesan kepada anak-anak kelas II yang hendak pulang itu supaya mereka rajin belajar. Sebelum mereka pulang aku dan mbak Ria membagikan kertas warna warni sehingga mereka bisa menuliskan cita-citanya setelah kelasnya dimasuki oleh kakak-kakak berbagai profesi.
Di ruang guru kuintip cita-cita anak-anak kelas II itu, banyak di antara mereka yang ingin menjadi polisi atau tentara. Ada satu yang ingin menjadi guru agama. Ada satu haru yang menyusup ketika membaca kata Arsitek tertera di kertas-kertas cita-cita tersebut.
Ketika jam pelajaran berakhir, semua murid berkumpul di kebun depan sekolah untuk penanaman pohon cita-cita. Acara dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama-sama dengan suara gemuruh. Kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari guru-guru, dan penanaman pohon cita-cita. Tim Kelas Inspirasi membawa 6 buah pohon lokal yang sekarang sudah langka keberadaanya untuk ditanam di halaman sekolah mereka. Pohon ini dibuat sebagai perlambang tumbuhnya cita-cita yang semakin kuat jika semakin dipupuk dan dipelihara, seperti kerajinan dan ketekunan yang terus dipupuk hingga mencapai cita. Sebagai penutup, semua murid menyanyikan lagu Laskar Pelangi sambil melepaskan burung-burung dari sangkar sebagai tanda meningginya impian mereka sampai ke langit.




Buat kami, ini satu hari liburan lepas dari penatnya Jakarta di tengah kebun Pasar Minggu yang hijau. Satu hari yang diisi dengan tawa bahagia anak-anak yang mendengar pengalaman ini. Buat mereka, mudah-mudahan hari ini dianggap sebagai pengalaman tak terlupakan dan dapat memacu mereka untuk menjadi seseorang yang berarti di masa depan. Bagi guru-guru, kami bungkuk sedalam-dalamnya atas jasa yang tanpa lelah diberikan untuk mengajar anak-anak Indonesia. Untuk tim Kelas Inspirasi kelompok 25, ini awal persahabatan kita untuk semua kegiatan positif di masa mendatang.
UNTUK INDONESIA!
jumat. 08. Maret. 2013. 19.25.
after office hours. envirotec office.
foto oleh : Septi, Haviz Maulana, Gita Adi Tamtama, Ardi Wilda
Mau tidak menyekolahkan anakmu di sini? Kondisi fisik dan pengajaran bisa dilihat di SD Pilihan Kelas Inspirasi
menyenangkan ya 🙂 bisa memberikan inspirasi dan mendapat inspirasi 🙂
terima kasih.. selalu menyenangkan bersama anak-anak…
Senangnya bisa berbagi…. 🙂
dan pengen mengulang mengajar lagi…
seru ya
Indri kangen 🙂
ini teteh Nanny yaa??
standing ovation!!
You did a great job Ndri!
everybody can do this! mari sebarkan virus Inspirasi!! 🙂
jadi kangen ngajar juga nih.. dah lama ga ngajar anak-anak..
pastilah kamu enjoy dikerumuni anak-anak yaa..
Program Kelas Inspirasi ini menarik ya mbak.
Anak-anak bisa langsung melihat karakter tiap orang dari berbagai bidang, ini dapat membantu memberi inspirasi kepada anak-anak untuk mem-plot cita-citanya di masa depan ingin menjadi apa. 😀
terima kasih sudah berkunjung. menyenangkan sekali berbagi cerita dengan anak-anak. tantangan selanjutnya adalah menjaga ‘mimpi’ itu tetap ada..
[…] ketika arsitek menjadi guru sehari […]
Aaakkkkkk….doain aku yaaakkk! Keren euuuyyy!
Aku doaiiinnnnn….
[…] ketika arsitek menjadi guru sehari di SD Pejaten Barat 05 19.03.2013 : 14 : 14 foto oleh Atam, Farli dan […]
[…] ding). Aku suka semua tulisan-tulisanku soalnya nulisnya saja diniatin. Ada satu tulisan di ketika arsitek menjadi guru sehari yang mengundang spam banyak sekali. Kayaknya sih nggak pernah menulis sesuatu yang nggak banget […]
[…] sebelum mengajar aku membuat persiapan yang agak berbeda dengan tahun lalunya lagi (bisa dibaca di sini), sekarang temaku mengajar di SD Pancoran Mas 4 ini adalah arsitektur tradisional. Berhubung aku […]
keren bgt caranya menjelaskan ke anak2. trimakasih inspirasinya 🙂
Iya, seneng banget jadi guru itu walopun cuma sehari..
Saya sedang mencari informasi “apa yg bisa disampaikan tentang profesi arsitek ke anak SD”, karna saya jg baru daftar KI 5 Pekanbaru.. mau cari referensi.. karna ga mudah untuk menyampaikan profesi yang ga banyak di gandrungi anak SD.. biasanya setiap ditanya cita-cita,, mereka jawab ingin jadi dokter polisi guru pilot.. jarang banget yg bilang jadi arsitek.. hehehe. terimakasih banyak sharing nya mba..
terima kasihhh.. semoga banyak yang ingin jadi arsitek untuk memajukan negeri