
I have always imagined that Paradise will be a kind of library
~ Jorge Luis Borges
Sejak mengerjakan Perancangan Arsitektur 5 semasa kuliah mengikuti prinsip desain Ken Yeang, aku selalu bermimpi bisa mengunjungi bangunan karyanya yang berprinsip bioclimatic ecodesign. Ken Yeang, arsitek berkebangsaan Malaysia ini, selalu menerapkan konsep bangunan hemat energi, dengan memanfaatkan sinar matahari yang berlimpah di negara-negara tropis ini. Setelah gagal mengunjungi Menara Mesiniaga di Kuala Lumpur karena hujan deras di kunjungan beberapa bulan sebelumnya, ternyata saat ini kesempatanku adalah mengunjungi National Library of Singapore, yang berlokasi di daerah Bras Basah, hanya 5-10 menit berjalan kaki dari National Museum of Singapore dan Singapore Art Museum.
Yang membuatku lebih bahagia lagi, bukan saja perjalanan ini gratis karena dibayari oleh Skyscanner, tapi karena fungsi bangunan ini adalah perpustakaan. Buat yang kenal banget denganku, tentu tahu kalau separuh duniaku adalah buku. Bisa dibilang aku ini bookfreak, yang selalu tergila-gila pada apa pun yang berkaitan dengan buku. Sehingga kunjungan ke tempat ini seperti hadiah luar biasa, mengunjungi sepotong surga buku, gudang ilmu untuk pengetahuan.
Bangunan ini terdiri dari dua massa bangunan di barat yang berbentuk kotak dan timur yang berbentuk melengkung, dihubungkan oleh lorong promenade dan jembatan di atasnya. Lorong sebagai jalur masuk utama ini membujur dari Victoria Street sampai North Bridge Road. Di depan terdapat kanopi gantung dari kaca yang menaungi kedua bangunan. Dominasi material kulit bangunan adalah kaca dan metal yang merupakan material yang bisa di-recycle. Kusen alumunium, cladding alumunium, rangka baja, dan kaca anti silau, terpampang jika aku mendongakkan kepala memandang langit di area 11.304 m2. Hijau taman di kaki bangunan berlantai 15 ini menyejukkan mata dari panasnya udara Singapura siang itu.


Perpustakaan nasional seluas 58.783 m2 ini menampung buku-buku untuk Central Public Library di lantai basemen 1, dan Lee Kong Chiat Reference Library dari lantai 7 hingga 13. Di lantai 2-5 terdapat Drama Center dibawah naungan National Art Council, sementara di lantai paling atas terdapat area kaca tertutup yang dinamakan The Pod, untuk event dan pameran-pameran tertentu. Ada dua taman di dalam bangunan yaitu The Courtyard di lantai 5 dan The Retreat di lantai 10. Sayang aku hanya 2 jam di dalam bangunan ini sehingga tidak menjangkau semua lantai.
Ken Yeang, adalah seorang arsitek yang menerapkan prinsip bioklimatik di bangunan-bangunan desainnya. Dengan memecah bangunan menjadi dua bagian dan dihubungkan dengan skybridge, maka bangunan tidak menjadi bulky dan masif dan menciptakan ruang-ruang penuh cahaya matahari tropis yang bersinar sepanjang tahun. Ruang-ruang baca ditempatkan di tepian yang terang sementara buku-buku yang butuh perlindungan ditempatkan di tengah. Fungsi-fungsi servis seperti toilet, tangga darurat diposisikan di pinggir untuk mendapatkan sinar matahari dan pengudaraan tanpa bantuan kipas pendorong. Memang di ruangan-ruangan koleksi masih menggunakan pengudaraan buatan untuk melindungi kondisi buku dari perubahan cuaca.


Aku memasuki promenade bangunan yang ramai juga digunalan orang untuk berlalu lalang ke jalan sebelah sananya. Di massa bagian barat digunakan sebagai ruang eksebisi, sedang ramai oleh event Singapore Biennale. Satu sudutnya terdapat kios 24 hours bookdrop di mana kita bisa menyumbangkan buku-buku untuk perpustakaan Singapura ini. Tidak ada petugasnya di sini, hanya jika memasukkan buku mendapat resi otomatis.


Udara di lorong penghubung ini mengalir bagus, sehingga apabila ada kerumunan orang yang berlalu lalang juga tidak akan terasa gerah. Aku melangkah ke bangunan sebelah timur. Pintu kaca dengan kusen alumunium menjadi penghubung antara promenade dan bagian lobby perpustakaan ini. Di dalam juga terdapat satu instalasi dari kardus yang merupakan bagian dari Singapore Biennalle juga. Seluruh ruangan berdinding kaca, sehingga cahaya matahari masuk menerangi tanpa pencahayaan buatan.

Setelah melewati screening gate, aku naik eskalator sampai lantai 2 dan lanjut ke lantai 3, yang merupakan prefunction dari ruang teater di dalamnya. Dindingnya berlapis oak natural dengan pintu berlubang-lubang. Selain eskalator, menuju lantai-lantai atas juga ada lift. Karena tidak bisa masuk ke teater, aku melanjutkan sampai lantai 4. Ada cafe dan hall serbaguna, dan juga jembatan penghubung ke gedung barat ruang audio visual.




Di lantai 1 kaca dipasang dengan spider glass system, sementara di lantai-lantai atas, selain dengan curtain glass dengan back mullion yang disangga oleh struktur pipa besi. Sisi tepi eskalator ini selalu terang hingga lantai atas, sehingga tak memerlukan pencahayaan buatan.



Aku naik lagi ke satu lantai di atasnya. Rupanya sedang ada eksebisi sejarah perpustakaan nasional ini. Dipamerkan di panel-panel berbentuk buku, aku mempelajari berdirinya perpustakaan ini sejak masih bersatu dengan National Museum of Singapore. Eksebisi ini mungkin tidak selalu ada, cukup beruntung aku bisa melihat sejarah perpustakaan yang dulu berada di Stamford Road bagian dari Raffles Museum.


Perpustakaan Singapura yang sudah berdiri sejak tahun 1830 ini awalnya hanya terdiri dari satu lemari buku saja. Kemudian perlahan-lahan dikembangkan hingga menjadi perpustakaan referensi yang besar, hingga kini dengan jaringan ke perpustakaan publik dan perpustakaan digital dengan layanan online. Bangunan ini yang diproyeksikan sebagai learning hub mengobati kehausan akan pengetahuan dan keyakinan pada sistem pendidikan.


Di depan ruang eksebisi yang terang ini terdapat taman kering yang dinamakan The Courtyard. Melalui pintu kaca, aku melangkahkan kaki menginjak panel-panel kayu yang disusun memanjang. Taman ini langsung menuju udara terbuka sehingga aku bisa melihat-lihat suasana sekitar dari atas. Ada tanaman-tanaman di pot maupun rambatan. Beberapa bangku taman dan satu area yang ditinggikan dengan kayu berisi orang-orang yang asyik menekuni buku maupun laptop. Di sudut-sudut tersedia kabel power untuk mencharge baterai.


Area ini termasuk dalam bagian yang disebut Ken Yeang “passive mode” yaitu pencahayaan matahari dioptimalkan, konfigurasi yang ditentukan orientasi matahari, sun shading, ventilasi alami, lansekap dan desain fasad yang responsif. Kisi-kisi bangunan yang jauhnya bisa sampai 6 meter, membantu membuat naungan di bawahnya, juga membelokkan cahaya sehingga bisa mencapai ke bagian dalam perpustakaan.
Angin berhembus cukup besar untuk pengudaraan di situ. Terdapat sirip-sirip untuk menghindari silau. Selain menghadap ke open gallery, taman ini juga menjadi pemandangan dari study lounge, sebuah ruang baca dan diskusi yang cukup ramai. Aku tidak masuk ke sana karena takut mengganggu.

Naik lewat eskalator ke lantai atasnya lagi, aku masuk ruang koleksi buku Bussiness, Science and Technology. Ada pustakawan yang berjaga di konter ruang perpustakaan yang koleksinya terdiri dari buku-buku, audio visual, maupun e-book. Ketika aku memotret, petugas menegurku karena suaranya mengganggu.

Memang, suasana di ruang koleksi ini sangat tenang. Orang-orang membaca di meja besar, dengan setumpuk buku di dekatnya atau laptop yang terbuka dengan koneksi wi-fi gratis. Di beberapa sudut ada ruang baca dengan sofa-sofa empuk yang nyaman. Aku berjalan di antara rak-rak itu dengan perasaan senang melihat berbagai judul di bidang teknologi berbaris dalam sistem desimal Dewey. Di tengah ruangan terdapat kumpulan bangku dengan tanda : researcher. Diam-diam aku mengambil foto dengan ponsel.



Aku mengambil satu buku art tentang desain sampul buku lalu mengambil tempat di satu sofa di pojokan yang menghadap langsung ke gedung timur. Jendela besar curtain glass menerangi ruang baca sehingga meminimalkan pencahayaan buatan. Di sudut timur terdapat roof garden juga yang bisa diakses dari dalam ruang baca. Usai membaca, aku mengembalikan buku ke meja bertuliskan returned books, kemudian keluar.

Area koleksi reference library termasuk dalam fitur “full mode” karena menggunakan energi listrik dan pengudaraan secara penuh. Di lantai-lantai tinggi memang lebih baik tertutup karena hembusan angin sangat besar. Meskipun demikian, secara keseluruhan bangunan ini menghabiskan energi sebesar 172 kwh per meter, lebih rendah daripada rata-rata bangunan di Singapura yaitu 250 kwh per meter. Di beberapa area seperti lobby dan foyer, yang dimasukkan dalam fitur “mixed mode” dilakukan penghematan-penghematan energi seperti lampu dengan sensor cahaya, eskalator dengan sensor pengguna, juga air toilet yang juga dengan sensor gerak. Sehingga penghematan didapat karena benda mekanis ini hanya bekerja jika ada penggunanya.

Aku sempat naik lagi melalui eskalator ke lantai di atasnya yang berisi buku-buku sosial politik namun tidak kumasuki karena takut tidak mengerti. Aku masuk lift dan langsung turun hingga lantai basemen, yang terdapat perpustakaan publik di situ. Ketika masuk sini, aku yakin teman-temanku sesama pencinta buku akan menjerit-jerit kegirangan apabila diijinkan.
Begitu masuk di samping kanan terdapat deretan rak buku fiksi dengan urutan abjad penulisnya. Ada belasan rak di sini yang disusun alfabetik dan membuat mata berbinar-binar. Belasan orang mengisi kursi-kursi sambil membaca buku favoritnya. Suasana di sini jauh lebih ramai daripada di ruang koleksi atas sana. Orang masih bercakap dengan volume normal. Tingkat ramainya setara percakapan di toko buku. Terdapat inner garden juga di tengahnya yang memasukkan sinar matahari langsung dari permukaan tanah.



Aku menyisir rak-rak lain dan menemukan topik-topik populer. Banyak juga orang membaca sambil berdiri. Di bagian tengah terdapat rak yang memajang buku-buku baru yang dimiliki perpustakaan ini. Ada juga rak pengembalian buku yang dibaca di tempat dengan desain yang menarik.
Tiba-tiba mataku tertumbuk pada satu gerbang berbentuk pohon.
Aku melangkah masuk dan terpana melihat ruangan ini.

Sebuah perpustakaan anak yang cantik dan lucu sekaligus. Didesain untuk kebutuhan anak, dengan rak-rak rendah dan ruang membaca yang intim, bisa dipastikan di sini anak akan meraih buku tanpa disuruh. Tepat di depan gerbang pohon tadi, ada satu island besar ruang membaca berbentuk pohon 3 dimensi, di mana anak-anak asyik bermain dan membaca buku di bawahnya.


Aku mengamati rak-rak berbentuk pepohonan juga. Di salah satu lorong ada seorang ibu yang membacakan cerita untuk anaknya. Seperti di ruang perpustakaan publik, di sini pun buku disusun berdasarkan alfabetikal penulisnya. Sayang aku lupa memeriksa apakah karya Shel Silverstein atau buku anak Marjane Satrapi ada di segmen ini. Dinding ruangan ini dicat berwarna hijau, dengan hiasan di sana sini, sementara lantainya berkarpet tebal yang memungkinkan anak tidak terluka jika jatuh.


Bahkan di satu sudut terdapat rak penuh baby book, yaitu buku-buku yang seluruhnya hard paper atau kain atau plastik, sehingga tak mudah rusak bila tergigit atau dilempar-lempar oleh bayi berusia di bawah 2 tahun. Furniturnya pun dibuat berujung tumpul dan bulat, sehingga tidak berbahaya. Ada beberapa anak yang merangkak ke sana ke mari di sini. Huuh, gemas melihat pipi-pipi bening ini. Kalau di Indonesia ada tempat seperti ini gratis pasti ramai juga.


Waktu sudah menunjukkan hampir jam 4 sore. Sebenarnya masih ingin menjelajah sisi-sisi lain dan mengeksplorasi bangunan hijau ini. Mungkin satu hari aku akan kembali seharian penuh untuk menjelajah dari basemen hingga atap. Saatnya aku beranjak dari tempat setengah surga ini ke kantor Skyscanner. Saat aku keluar tidak melalui jalan yang sama lagi, tapi ke sisi selatan bangunan. Banyak tanaman menghiasi muka bangunan ini. Aku masih berjalan di trotoar, memandangi satu bangunan impianku itu.


I’m an ecologist first,
an architect second.
[Ken Yeang, Ecoarchitect]
bogor-manggarai, 25-26 desember 2013.
perjalanan 23 nopember 2013.
referensi :
1. National Library, Singapore http://en.wikipedia.org/wiki/National_Library,_Singapore
2. Ken Yeang’s National Library of Singapore http://www.architectureweek.com/2011/1026/environment_2-2.html
another step :
a sunset walk in singapore
a museum walk in singapore
[…] a library walk at singapore […]
[…] a library walk at singapore […]
Kereeenn foto-fotonyaaa!! Teringat pas ke sana tahun 2010 bareng temen2… 😀
special visit nih, must place to be visited buat penggemar bukuuu..
dan pengen ke sini lagi seharian, Noy.. pengen banget sampai lantai 15-nya. thanks ya udah mampir..
Yuk kapan-kapan bersamaku! hehehe ^^
awesome library!
*ngiler pengen kesana*
hihiii, ayo berburu trip gratisnyaa..
Kayanya seharian pun ga cukup deh di sana, keren..
Di sana seluruh ruangannya ttp pke pendingin juga (AC) atau cuma ruang2 tertentu yg ga kena angin?
ruangan2 fungsional pake pengudaraan buatan, tapi daerah servis dan sirkulasi paduan fan dan AC. ada sistem smart buildingnya deh..
ampun indah sekali perpustakaan ini. Kalao perpusnya seperti ini, saya yakin perpus ngak kalah rame sama mal
ayuk, bikin perpus kayak gini di indonesiaa… 😉
Gw ke sini tahun lalu. Pas ujan, jadi gw mutusin pagi-pagi ke perpus aja. Eh, ternyata gw betah banget, sampe lewat waktu makan siang, dan menghabiskan beberapa buku novel grafis. Padahal tadinya niatnya cuma menunggu ujan reda 😀
Ada satu lagi yang gw suka banget di sini, yaitu kita boleh bawa tas atau apa pun ke dalamnya. Eh, tapi gw udah jarang banget ke perpus di Jakarta sekarang deng, jadi nggak tahu apa kita masih harus menitip barang di tempat penitipan atau nggak.:p
Btw, motretnya pake apa, Ndri? Bagus.
motretnya pake kamera yang biasa aku tenteng2 itu, Lu. kalo di dalam perpusnya sih pake ponsel ajaahh..
Ke singapore tp gak sempat kesini haiizzzzz nyesel abis…duhhh tempat anak2 itu justru yg sangat menarik untukku 😀
wahh, ini my number one wishlist. makanya pas ditanya ke spore mo ke mana, jawabanku ke national library 😀
Uwwwwoooowwww…..
kalo aku jadi pustakawan di sana, rela gak pulang 😀 #takjub
dikunciin tapi gak boleh bawa makanan di dalam gimana? hihihi..
Beda banget dengan perpustakaan Nasional negara seribu pulau, 180 derajat, lebih, #eh
nah yang nasional di sini justru belum aku kunjungi *selfkeplak*
kalau di sini yang bagus bangunannya itu perpustakaan pusat UI di depok dan perpustakaan persada sukarno di blitar yang masih wishlistku.
Wah ini langsung jadi spot favoritku waktu ke S’pore pertama kali.. Trims ulasannya lengkap banget! ^^
menyenangkan sekali ya berada di antara buku-buku, Gio…
bisa jadi seperti mimpi memasuki perpustakaan megah seperti ini. perpustakaan selalu menjadi prioritas dan kebanggaan di negara-negara maju. di negara saya sih pemerintah lebih suka membangun tugu selamat datang yang megah, patung-patung dan sesuatu yang simbolis lainnya. 😦
betul, sayang sekali di sini yang lebih diutamakan membangun mal, tugu atau gedung2 pemerintahan yang mementingkan gengsi. perpustakaan sebagai ruang publik yang mengedukasi tak menjadi prioritas. :”(
[…] indrijuwono on a library walk at singapo… […]
Mauuu… punya perpustakaan kaya gini. Mungkin yang lebih kecil ukurannya tapi ada bantal buat baca buku sambil tidur siang 😛
huiihh, komenmu ketimbun di spam. untung iseng ngecek.
yuk, kita bikin perpustakaan berbantal-bantal cantik.
[…] Bangunan ini terdiri dari dua Lebih Lanjut […]
[…] beriringan menuju halte bis di depan Bugis Junction dan menaiki bis yang lewat sampai depan National Library of Singapore beberapa menit saja. “Lha, kok sebentar? Tahu begitu tadi jalan, kaki saja,” kata […]
a library walk at singapore | tindak tanduk arsitek – хороший пост, спасибо
thank you, come and visit there..
Perpustakaannya cakep banget. Rame pengunjung lagi. Senang liatnya..
Perpustakaan rame karena isinya pun bermanfaat, pengelolanya seneng. Jadi efek bola salju gitu, yang rame tambah ramee…
kereeen banget perpus anak2nya.. duh kapan ya ngajak keeya ke sana?
samaaaaa…. pengen banget ngajak bintang ke sana. yuk barengan!
[…] satu arsitek yang mengambil prinsip-prinsip ekologis adalah Ken Yeang dari Malaysia, di mana karya bangunannya selalu mengadaptasi dari alam, tidak dilawan melainkan diselaraskan, […]