Kamu tahu, barisan ombak mengantarkan debar rasa yang sama?
– Tias Tatanka
Sekian lama aku tidak menginjakkan kaki di tempat bertemunya darat dan lautan, akhirnya aku memutuskan untuk bergabung dengan perjalanan ke pantai Kiluan Lampung dengan beberapa orang yang tak kukenal sama sekali sembari melepaskan lelah pekerjaan beberapa bulan ini. Aku butuh suasana dan teman-teman baru. Tak peduli apa kata orang bahwa perjalanan itu bukan untuk melarikan diri, yang jelas aku ingin mengikuti perjalanan ke tempat yang alami yang cukup sulit dijangkau ini. Rupanya perjalanan ini menimbulkan kekangenan tersendiri pada suasana yang biasa dilalui, jalanan, pohon-pohon berlari, orang-orang baru, titik perpindahan manusia…
Perjalanan 6 Juli 2012 dimulai dari satu titik di daerah Jakarta Barat, di mana kami yang satu sama lain baru berkenalan menunggu bis menuju Merak. Mudah menemukan bis ini, di seberang RS Harapan Kita, Slipi, adalah pemberhentian terakhir sebelum bis memasuki tol di gerbang Kebun Jeruk. Perjalanan malam hari ini sekitar 2 jam lamanya sampai Pelabuhan Merak sebagai titik temu berkumpul dengan teman-teman lain yang berasal dari berbagai lokasi.
Tengah malam di Pelabuhan Merak ini rupanya aktivitasnya belum surut juga. Setelah diberitakan cukup macet di jalan tol Jakarta Merak, memang tampak agak ada penumpukan di mobil-mobil yang berbaris memasuki kapal. Dengan penerangan yang cukup jelas, pelabuhan ini tidak terlalu memberikan rasa tak aman seperti yang biasa dialami di bangunan transportasi di Indonesia. Petunjuk arah di dalamnya cukup jelas, beberapa warung makan juga masih buka. Ada juga minimarket yang dibuka 24 jam. Tempat menunggunya sendiri tak ada kursi, namun lantainya cukup bersih sehingga kami bisa lesehan di lantai sembari menunggu beberapa orang lagi yang tadi terpisah bisnya. Karena kami tidak naik mobil, sesudah berkumpul kami hanya membeli tiket pada loket dan berbaris ke pelabuhan bagian dalam untuk menuju anjungan yang naik ke kapal. Masih banyak orang-orang lalu lalang di pelabuhan ini.

Kapal sendiri cukup padat dengan penumpang yang akan menyeberang ke pulau Sumatera. Tampak kerumunan orang-orang di sisi kanan kiri kapal, juga yang memadati kelas bisnis yang ber-AC di tengah kapal. Kalau naik kelas bisnis akan dipungut biaya lagi sehingga bisa duduk di kursi yang nyaman sambil menonton televisi, tak perlu khawatir dengan angin laut yang bertiup. Namun aku memilih untuk keluar dari ruangan ber-AC itu. Terakhir naik feri ini ketika hendak meneliti pemukiman transmigrasi di Lampung tahun 1998, membuat aku ingin mengamati keliling kapal ini selagi ada kesempatan. Apalagi ternyata ada kabar kalau adik-adikku dari kampus yang akan menjelajah Lampung sama-sama naik kapal ini jadi ada alasan ke teman-teman rombongan untuk berpisah sejenak dan keliling kapal.
Orang-orang yang membeli tiket ekonomi duduk di koridor-koridor samping, atau di dek belakang dengan mobil-mobil, atau di dek depan ruang haluan. Aku menemukan beberapa adik kelasku di kampus di koridor samping, yang kemudian mereka mengajakku ke dek depan. Di sini banyak juga yang menikmati laut dengan menyandarkan badannya ke bibir kapal sambil mengobrol. Beberapa orang merokok di sini. Kemudian kami bercakap-cakap tentang apa saja. Aku rasa, memang tempat yang paling cocok untuk berdialog tentang kehidupan adalah tengah malam di bawah temaram sinar bintang seperti ini. Salah satu adik kelasku bercerita tentang impiannya untuk backpacking keliling Indonesia. Aku juga menimpali dengan pengalamanku melakukan perjalanan melintasi Selat Sunda ini bertahun-tahun yang lalu. Tak tampak apa-apa di sekitar kami kecuali gelapnya malam dan sesekali kapal yang lewat. Pulau Panaitan dan Anak Krakatau yang katanya bisa terlihat kalau siang hari tak kelihatan sama sekali. Setelah dua jam perjalanan, samar-samar terlihat perbukitan di Pulau Sumatera jauh di depan kapal. Pelabuhan Bakauheuni tujuan kami sudah mulai tampak lampu-lampunya. Namun ternyata harus menunggu sampai kapal diperbolehkan masuk ke Pelabuhan dan bersandar.
Air Terjun ini terletak di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman di dalam kompleks perkebunan kakao yang dikelola atau disubsidi Nestle. Dari gerbang depannya cukup berjalan kaki menyusuri jalan setapak di dalam perkebunan dengan medan yang tidak terlalu berat. Tak sampai setengah jam air terjun yang bergericik kecil sudah nampak. Oh, ternyata air terjunnya tidak terlalu besar (buatku tentu yang membandingkan dengan Curug Malela dan Curug Cikondang), sehingga kami bisa dengan mudah mencemplungkan kaki di kolam di bawahnya, sambil bermain-main air yang menderu turun. Tak apalah, di sini malah belajar teknik memotret air terjun sehingga menghasilkan efek air mengalir berbuih putih.
Selepas dari sini, barulah perjalanan panjang menuju Kiluan dijalani. Kami terus menyusur garis pantai selatan Lampung. Satu yang menarik perhatianku adalah kami melalui beberapa kampung dengan rumah-rumah panggung. Sepanjang pengetahuanku bahwa Lampung adalah daerah tujuan transmigrasi membuatku mengira bahwa area kampung dengan rumah-rumah berukuran sama itu adalah daerah transmigrasi yang sudah menjadi maju. Rumah-rumah ini berbentuk rumah panggung dengan jarak kurang lebih 25 m di antaranya di tengah pekarangan bersama, namun memiliki pintu gerbang sendiri-sendiri. Di bagian bawahnya dengan ketinggian kolong sekitar 1.5 m difungsikan sebagai tempat meletakkan timbunan kayu bakar. Karena ini siang hari, jadi di luar rumah tampak sepi. Mungkin juga penduduknya sedang bekerja di ladangnya, dan anak-anak sedang sekolah meskipun ada beberapa anak balita melambaikan tangan ke mobil yang lewat. Di depan rumah panggung ini terdapat beranda dan tangga. Sepertinya di sore hari beranda ini digunakan untuk aktivitas sosial antar penduduk. Karena melalui daerah ini cukup cepat, pengamatan yang ada menjadi kurang maksimal. Terbit keinginan untuk kembali ke daerah ini lagi, live-in dan berbaur dengan penduduknya sehingga bisa mengamati kegiatan sehari-hari di situ. Kalau kita datang hanya sebagai turis saja, kita tidak akan mendapat apa-apa selain kulit luarnya saja. Jika ada kesempatan untuk mengamati penduduk, aku ingin bercakap dengan penduduk aslinya, membiarkan mereka bercerita tentang apa saja tentang daerah mereka.

Perjalanan dilanjutkan sekitar 30 km lagi dari kampung tadi dengan kondisi jalan berlubang-lubang dan memperlambat laju kendaraan. Namun itu tidak menghalangi kami untuk kembali ke alam mimpi sampai mobil tiba di gerbang bertuliskan Kiluan dengan patung lumba-lumba di atasnya. Panas matahari siang sudah terik sekali di atas kepala. Sejenak kami bergaya foto-foto di sana kemudian memasuki sebuah kampung yang kuduga juga adalah kampung transmigrasi dengan hamparan sawah menghijau. Mobil berhenti di depan rumah seorang nenek tua dengan rumah berdinding papan. Menilik dari rumah-rumah sekitar yang berwujud dan berjarak relatif sama, aku kira ini juga daerah transmigrasi.
Kami berjalan kaki mendaki bukit menuruni lembah yang dipenuhi dengan pepohonan pisang dan juga kakao. Tadinya kupikir kakao itu hanya banyak ditemukan di Sulawesi, namun ternyata di wilayah Lampung banyak juga tanaman penghasil coklat itu ditemukan. Setelah melalui hutan-hutan, barulah kami temukan pantai pasir putih yang amat indah. Serasa pantai ini milik sendiri karena tak ada rombongan lain yang ada selain kami. Buih laut selatan Sumatera memecah ketika mendekati pantai.
Aku terpana.

Sudah lama sekali aku tidak ke pantai yang bagus seperti ini. Mungkin perjalananku ke Gili Meno beberapa tahun lalu terakhir kali. Selebihnya, pantai Popoh di Tulung Agung, pantai pulau Pramuka, apalagi pantai Ancol jelas tidak bisa dibilang indah sekali. Aku berlarian mengejar ombak, bermain dengan pasir putih yang beringsut di jemari. Tak lupa kuabadikan pemandangan indah di situ. Seperti anak kecil aku menulis-nulis nama di pantai dengan jari yang kemudian akan terhapus ombak, kemudian lari berkejaran dengan teman-teman baruku.

Di ujung pantai itu ada karang atol yang ditumbuhi lumut di atasnya, mengingatkanku pada satu adegan di film Harry Potter ketika ia berkelana mencari Horcrux. Tempat ini indah sekali. Lumut ini berwarna kecoklatan, menghampar seperti permadani yang empuk di bawah kaki yang berjalan telanjang. Terlihat kontras dengan pemandangan laut yang biru. Batu-batu besar juga ada membentengi laut membentuk teluk kecil yang bening memerangkap beberapa hewan indah di situ.
Sesudah puas bermain di pantai, kembali kami menyusur garis pantai menuju teluk Kiluan. Tempat yang akan kami inapi harus diseberangi dulu dengan perahu jukung. Bagi yang tidak berani tentu naik perahu ini menjadi pengalaman mendebarkan. Perahu dengan lebar lunas kurang lebih 35 cm itu dengan jukung di kiri dan kanannya memuat kurang lebih enam orang termasuk barang bawaannya. Tak sampai lima belas menit sambil menikmati pemandangan laut biru perahu tiba di tujuan. Tak ada pelabuhan menyambut, hanya pantai pasir putih yang siap dijejak ketika perahu merapat. Sebuah pondok kecil berada di tengah pekarangan pantai. Kami akan menginap di sana. Sore sudah menjelang ketika kami tiba.

Sesudah berganti baju rasanya kaki sudah gatal ingin mencemplungkan kaki ke air laut. Segeralah kami berlarian menghambur kembali bermain air laut di tempat yang agak dangkal ini karena didasari oleh terumbu-terumbu karang. Sayang sekali terumbunya tak terlalu bagus karena sudah banyak pecah terinjak. Ketika aku berdiri di atas terumbunya, air laut berada setinggi lututku. Untuk mendapatkan yang lebih indah lagi, kami berenang lebih ke tengah ke tempat yang terumbu karangnya lebih dalam. Matahari sore mulai turun di barat dan sinarnya jatuh di riak air laut.
Hampir turun rembang petang ketika kami keluar dari air dan mulai menunggu matahari terbenam. Sayang garis cakrawala yang tak nampak, sehingga semburat jingga hanya bisa dinikmati di langit. Kami makan di gazebo depan pantai sambil mendengar debur ombak yang memecah pantai. Sepuluh jam yang lalu kami belum saling mengenal, sekarang sudah saling berbagi, berguling-guling bercanda. Itulah perjalanan. Tempat kau mau tak mau harus percaya pada ketulusan uluran persahabatan yang ditawarkan seseorang. Karena saat itu mereka yang ada. Mereka yang seharusnya bisa menepis sedihmu yang kau tinggalkan di kota. Mengalihkan perhatian dan membuatmu tertawa dengan permainan. Tidak salah kalau sebuah perjalanan juga sebuah pelarian. Tidak selalu harus merupakan upaya mencari jati diri. Setiap orang punya distraksi yang harus ia cari. Penyeimbang kehidupan sehari-hari yang hanya bisa ditanggung sendiri. Karena itu lakukanlah perjalanan. Larilah dari keseharianmu. supaya kamu menemukan kehidupan lain di luar keseharianmu.
Malam di tepi pantai dilewatkan dengan permainan-permainan yang membuat yang tidak kenal menjadi cair, berlanjut dengan curhat-curhat seru semalaman. Kau tak pernah tahu, kapan bisa menemukan teman yang asyik berbagi tawa. Tapi apa yang lebih bahagia selain duduk mendengar debur ombak, kaki bermain pasir putih, kemerisik pelepah kelapa yang ditiup angin, bercerita tentang apa saja, dengan senyum tersungging lebar, seakan bisa hidup selamanya di situ?

Esok paginya ditandai dengan perasaan gembira karena akan melihat lumba-lumba. Mamalia laut yang memiliki raut wajah ceria ini memang selalu melintas di luar teluk Kiluan pagi-pagi. Teluk ini merupakan salah satu teluk di Indonesia di mana kita bisa menemukan lumba-lumba yang berpindah lokasi di pagi hari. Selain di sini, lumba-lumba juga bisa ditemukan di perairan Bunaken dan Papua. Dengan mengendarai perahu jukung yang dipasang motor tempel, kami bertolak dengan matahari berada di belakang. Awalnya melintasi perairan tenang dengan terumbu karang yang cantik bisa dilihat dengan mata telanjang dengan kedalaman sekitar 3 m. Kemudian perlahan gerakan air mulai berubah membuncah di perbatasan keluar teluk. Perahu terasa bergerak naik turun mengikuti ketinggian ombak. Sejuknya angin pagi menampar-nampar muka mengimbangi getar dada karena perahu mungil yang dipermainkan air laut.

Lumba-lumba itu mulai berloncatan di kejauhan. Pekik girang bercampur kagum terdengar dari kami melihat mamalia itu bergerak dalam kumpulan. Sesekali kami berhenti di satu lokasi sambil menunggu lumba-lumba itu lewat. Keindahan yang luar biasa. Aku merasakan dada yang mengelegak karena gembira sekali melihat pemandangan menakjubkan ini. Semenjak kecil aku selalu suka dengan lumba-lumba. Mamalia cerdas ini berkali-kali aku lihat apabila ada pertunjukan. Film-film tentang lumba-lumba dan persahabatannya dengan manusia selalu kutonton. Maka ketika bisa melihat lumba-lumba di habitatnya sendiri, perasaan ini tak bisa dilukiskan lagi dalam kata-kata. Rasanya ingin terjun dan berenang-renang dengan mereka. Menikmati terumbu-terumbu karang yang cantik, mendengarkan suara-suara mereka yang melengking nyaring. Ada satu cerita mengatakan apabila ada kapal nelayan diikuti lumba-lumba, maka ia akan diikuti juga dengan keberuntungan. Melihat lumba-lumba berkejaran di sini saja sudah merupakan keberuntungan besar sekali bagiku. Tidak boleh antusias berlebihan di sini, karena goyangan jukung kecil itu berpotensi membalikkannya yang sudah naik turun dihempas ombak.
Sekitar 30 menit berputar-putar menikmati kelucuan lumba-lumba di sana, perahu berputar balik dan menyusuri tepi tebing pantai Kiluan. Sekali lagi imajinasi bermain-main seolah itu tebing yang menjadi setting loncatnya Bella Swan ke laut. Ombak yang memecah di tebing bebatuan itu berubah menjadi buih-buih kecil membasahi belitan akar gantung pepohonan yang menjulur-julur ke air. Terumbu karang yang cantik itu pun kembali terlihat lebih jelas karena sinar matahari sudah menembus kedalaman. Tak merasa lelah, begitu tiba kembali di pantai kami langsung menghambur lagi untuk berenang. Rasanya sayang menyia-nyiakan waktu untuk tetap berada di darat sementara laut biru yang menghampar begitu indahnya. Kami terus bermain-main dengan air, membuat foto underwater, bercanda, saling menciprati, tertawa. Dan selalu dengan perasaan, mestinya kita nggak pulang saja, ya.
Menjelang siang kami berkemas pulang. Duh, rasanya berat sekali meninggalkan tempat yang indah ini. Tapi memang setiap orang punya kehidupan nyata yang harus dijalani, karena itu ia harus pulang. Dengan perahu jukung yang sama kami mengemasi ransel dan berlayar meninggalkan teluk. Langit sangat cerah dan pantulan birunya jelas tergambar di lautnya. Perlahan perahu merapat kembali di pantai yang kami seberangi kemarin. Aku turun dan sempat bermain ayunan di bawah pohon kelapa sambil memandang laut lagi. Goodbye, Kiluan. Semoga bisa bertemu lagi.

Terima kasih kawan-kawan baruku, Cendy, Abduh, Angie, April, Arif, Arum, Bambang, Dora, Endar, Hardy, Hendra, Intan, Yana, Yani, Rahmat, Wongso yang telah berbagi hari bersama.
written on train-to-train until Senja Utama September, 1st 2012
semua foto oleh penulis, kecuali yang disebutkan terpisah.
great… tapi gambarnya kurang di tune up nih… 🙂
masih belajar motret pemandangan, ndar.. 😀
aaahhh… selama gak pke kamera yahud, mending di tune up di photoshop sajah 🙂 🙂 🙂
biar lebih hidup color nya 😀
great,,, like it….. 🙂
aku mauu ke kiluan..ngajak siapa ya? mmmm
weeeh aku baru baca,,, klo kata di facebook mah LIKE THIS….
[…] pohonnya sampai beberapa tahun yang lalu. Tak sengaja aku masuk kebun cokelat dalam perjalanan ke Teluk Kiluan di Lampung. Yang rencana hanya melihat air terjun saja menjadi petualangan melintasi kebun cokelat. […]
[…] pohonnya sampai beberapa tahun yang lalu. Tak sengaja aku masuk kebun cokelat dalam perjalanan ke Teluk Kiluan di Lampung. Yang rencana hanya melihat air terjun saja menjadi petualangan melintasi kebun cokelat. […]