cirebon : mudik dan perut yang manja

DSC_0221

I’m on seafood diet
I see food, and I eat it.

Ada satu hal yang selalu aku inginkan setiap kali aku pulang ke Cirebon. MAKAN. Makan makanan khas Cirebon. Karena aku yakin, bahwa makanan paling enak dimakan di tempat asalnya, termasuk asap, mengantri, dan keramaiannya. Dan sebagai tempat lahirku lebih dari 30 tahun yang lalu, walaupun tidak pernah tinggal di situ, Cirebon selalu menjadi tempat yang dirindukan untuk pulang, terutama mengupayakan kenaikan berat badan.

Cirebon terletak di jalur Pantura, sekitar 3.5 jam naik kereta dari Jakarta, 5 jam dari Jogja naik kereta juga, 8 jam dari Surabaya, hampir 12 jam dari Blitar. Dengan mobil? Unpredictable. Kami pernah terjebak macet 12 jam ketika berangkat mudik sesudah sahur di Depok. Tahun berikutnya, kami berangkat sesudah buka maghrib, alhasil sampai Cirebon jam 7 pagi keesokan harinya. Selanjutnya, ayah memilih tidak bawa mobil kalau mudik. Atau kami baru mudik sesudah hari lebaran. Itu pun dari Bandung, karena mereka memilih tinggal di situ sembari menemani adikku kuliah. Ya, keluarga kami tinggal berpindah-pindah di pulau Jawa, sehingga sering melawan arus balik untuk pulang ke Cirebon. Ketika tinggal di Jakarta, itu ujian sesungguhnya.

Setiap kali tiba di kota Cirebon, perutku selalu mendadak lapar. Di depan Stasiun Kejaksan Cirebon berderet berbagai tukang empal gentong kebanggaan Cirebon. Sayangnya, karena mudik di lebaran kemarin aku naik kereta ekonomi, kereta turun di Stasiun Prujakan, yang tidak terlalu banyak tukang makanannya. Tapi ketika naik becak ke Gunungsari, hm.. hmm.. Perutku bergejolak. Angin berhembus kencang.

Di dekat stasiun Prujakan ada jalan Ampera yang di ujungnya yang bertemu jalan Gunungsari (sekarang Tentara Pelajar) ada kedai-kedai berbagai makanan. Yang paling enak di sini adalah sate kambingnya. Sate yang dibakar cukup empuk ini pas dimakan malam hari dengan nasi putih mengepul. Tapi, jam delapan begini sudah sepi? Jangan-jangan habis, pikirku sambil meneruskan perjalanan sampai rumah tanteku.

“Dek, ke depan makan Yamin yuuk,” ajakku pada partner in crime kemarin, Lukman Juwono. Adikku yang baru hampir setahun bekerja ini juga berniat berwisata kuliner di kota udang ini. Kami berjalan kaki ke jalan Tentara Pelajar untuk makan mie Yamin, yaitu mie ayam berbumbu kecap dengan bakso.
“Mie-nya tinggal seporsi, nok,” kata tukang Mie Yamin. Yaah, agak kecewa aku menawarkan Lukman untuk membeli nasi goreng saja. Jadi mie-nya seporsi untukku. Ehehe.

Aku teringat sewaktu kecil sering diajak mama bersama teman-teman SMA-nya untuk makan mie Yamin Baso Eddy di depan Cirebon Mall. Entah masih di situ atau tidak ya, tukang mie yang enak itu. Pergi makan mie adalah salah satu hal wajib yang didaftar oleh mama mengisi masa mudik beliau.

yamin jalan tentara pelajar
yamin jalan tentara pelajar

Pagi hari, mama masuk kamarku sambil membawa nasi jamblang. Nasi yang dibungkus daun jati dengan sambel goreng irisan cabe merah dan lauk paru sapi goreng itu mengisi perutku. Turun ke bawah, ternyata ada sebungkus nasi kuning dengan irisan telur dadar yang masih belum ada yang makan. Nasi kuning juga salah satu favoritku. “Hei, itu nasinya Adek! Kamu kan sudah makan nasi jamblang,” tegur mama melihatku kepingin mencomot nasi lagi.

Biasanya kalau kami menginap di rumah nenekku yang kupanggil dengan Mbah Mamih di Kegiren, aku sering berjalan kaki ke warung nasi kuning di samping Toserba Yogya di Jalan Siliwangi yang hanya buka pagi.

nasi jamblang pagi bawaan mama
nasi jamblang pagi bawaan mama

Sesudah siang dijamu dengan ketupat dan lontong opor, perutku mulai rindu pada empal gentong. Sore itu aku menulis status di twitter : Sudah 22 jam di Cirebon dan belum bertemu tahu gejrot dan empal gentong.

Yah, maklum dong. Itu kan makanan kebanggaan dan khas Cirebon. Daging, jerohan, yang dimasak dengan bumbu kuning di dalam gentong tanah liat, ditaburi kucai dan dimakan dengan lontong terpotong, selalu menjadi andalan di setiap acara keluarga kami. Tapi kenapa tadi siang nggak ada ketika di acara keluarga, ratapku. Malam itu aku mengajak Lukman jalan-jalan kaki di sekitar tepian Grage Mal untuk mencari empal gentong. Yah, kali-kali dia mentraktir kakaknya yang baik ini.

Rupanya kami kemalaman, atau entah orang mudik memang sedang banyak-banyaknya, sehingga semua kedai empal gentong habis. Duh, kalau kami menginap di Kegiren bisa jalan kaki ke Pasar Pagi untuk makan empal di tepian sungai. Kami berjalan balik melalui deretan tukang nasi jamblang yang disesaki pengunjung. Mungkin memang salah jam, mestinya agak sore makannya kalau musim lebaran begini.

Eh, tiba-tiba aku melihat tukang mie koclok di depan sebuah garasi. “Makan mie ini aja, Dek! Lapar nih..” Kami masuk dan memesan dua porsi mie koclok. Mie ini hanya buka di malam hari. Rebusan mie dengan kuah kental, telur, kol, taburan ebi, irisan daun bawang menghangatkan perut kami yang lapar. Ini juga salah satu kuliner favoritku. Lebaran sebelumnya, aku dan Lukman juga pernah hunting mie koclok namun kehabisan.

Selain di sini, aku juga suka mie koclok di depan Toserba Yogya jalan Siliwangi, yang berhadapan dengan tukang nasi kuning yang terlebih dulu aku ceritakan. Walaupun tempatnya kecil, namun lokasi yang dekat rumah kami sering menyambangi tempat ini.

mie koclok. ingat ya, ada huruf 'l' nya!
mie koclok. ingat ya, ada huruf ‘l’ nya!

Sampai rumah mama menawari makan sup dengkil, yaitu sup kaki sapi andalan keluarga kami. Entah kami tidak takut kolesterol atau apa, setahun sekali kalau sedang kumpul-kumpul keluarga Cirebon pasti sup dengkil ini keluar. Belum kenyang dengan mie, aku mengambil dua potong dengkil yang bisa dimakan sambil menyeruput-seruput. Sedap!

Mbah Mamih paling suka memasak sup dengkil kalau anak-anaknya pulang berlebaran. Selain bisa menemukan opor, kalau ke dapur pasti ada sepanci besar sup kaki sapi yang tidak perlu dibawa ke meja makan untuk menghabiskannya.

dengkil. karena tak ada gambar di panci, gambar dari http://dapurku-dapurmu.blogspot.com/2012/10/resep-sup-kikil.html
dengkil. karena tak ada gambar di panci,
gambar dari http://dapurku-dapurmu.blogspot.com/2012/10/resep-sup-kikil.html

Pagi berikutnya aku memilih makan nasi kuning yang sudah kuincar sejak kemarin. Eh, ternyata selain nasi kuning, mama juga membawa docang, kuliner sarapan kesukaannya. Docang pernah dibilang ‘makanan sampah’ oleh salah satu teman mama, karena isinya yang bercampur baur, ada lontong, tempe, tauge, oncom, kuah daun singkong, parutan kelapa. Aku mencicipi beberapa sendok sebelum menghabiskan nasi kuningku.

Pagi-pagi tante sering mengajak jalan-jalan keliling kampung sambil membeli docang di warung salah satu teman mainnya. Jalannya masih tanah dengan rerimbun pohon melingkupi. Lalu kami sarapan docang di rumah Kegiren sambil memandang kolam ikan yang dipelihara Mbah Papih. Kadang-kadang aku mencebur ke kolam yang luas itu.

docang yang penuh. gambar dari http://cirebonpro.info/konten/index/12/Makanan-dan-Minuman-Khas-Cirebon
docang yang penuh.
gambar dari http://cirebonpro.info/konten/index/12/Makanan-dan-Minuman-Khas-Cirebon

Akhirnya siang itu sebelum berangkat ke Goa Sunyaragi, aku dan Lukman mampir kedai empal gentong untuk memenuhi hasrat kami. Padahal masih jam 11 lho! Sembari menunggu empal disiapkan, kami memesan tahu gejrot yang biasa mangkal di depan kedai di depan Grage Mal itu. Sepertinya di mana pun ada kedai empal, di depannya ada pikulan tahu gejrot. Sebenarnya ini tahu yang biasa-biasa saja. Tahu goreng dipotong-potong disajikan dengan ulekan bawang merah, garam dan cabe. Kemudian si mamang penjual akan ‘menggejrotkan’ menuang air gula merah dari botol ke ulekan itu di atas piring kecil tanah liat. Tahu yang dipotong-potong itu lalu dicampur dan dimakan dengan lidi. Dulu sewaktu SD di Bandung, aku sering membuat tahu gejrot sendiri.

Karena rumah Kegiren berada di jalan sempit, banyak tukang jajan yang selalu lewat, dan yang selalu kutunggu siang-siang adalah tahu gejrot. Kalau kumpul keluarga, kami sering memberhentikan pikulan tukang tahu dan memborong dagangannya untuk dimakan ramai-ramai. Anak-anak kecil suka menunggui tukang tahu mengulek dan menggejrot.

tahu gejrot (fotonya Lukman)
tahu gejrot
(fotonya Lukman)

Empal pesanan kami tiba! Lukman memesan empal gentong, sementara aku ingin mencoba empal asem. Rupanya Empal asem ini tidak bersantan namun lebih mirip sup, hanya saja rasanya agak asem oleh jeruk nipis dan tomat. Segar memakannya di siang hari bolong begini. Sementara empal gentong lebih bercitarasa gurih, sudah sering kami coba. Empal gentong itu dibilang enak kalau rasanya pekat. Tapi kalau di Cirebon, rasanya semua empal gentong enak, atau hanya mulutku yang tidak bisa membedakan?

Lagi-lagi di depan Toserba Yogya, kami biasa nongkrong untuk makan empal gentong du pinggir jalan. Hanya gerobak dan bangku kayu panjang, pedagang itu selalu kami kunjungi kalau liburan. Sekarang area mangkalnya berubah jadi minimarket. Entah pindah ke mana ia.

empal gentong (fotonya Lukman)
empal gentong
(fotonya Lukman)
empal asem yang bening
empal asem yang bening

Mengikuti keriaan malam di Cirebon, kami tidak lupa mencoba Nasi Jamblang Mang Dul yang berada di depan Grage Mal. Kedai ini tidak pernah sepi bahkan mengantri sampai luar. Aku memesan dua nasi tambah sambel goreng dan semur daging, karena tinggal itu yang tersisa di jam delapan malam. “Besok buka lagi sejak jam 5 pagi,” kata pelayannya pada seorang bapak-bapak yang kecewa kehabisan lauk malam itu. Di sekitar kedai itu juga terdapat warung nasi jamblang yang berupa warung tenda biasa dan orang-orang tinggal memilih lauk untuk dimakan bersama nasi beralas daun jati itu. Tapi nasi dan semur Mang Dul memang enak, daripada yang kumakan kemarin paginya.

Di depan Pasar Pagi dekat rumah Kegiren juga berderet tukang nasi jamblang yang membuka lapak di depan toko-toko yang sudah tutup. Aneka lauk dalam baskom lurik disajikan bersama sekepal dua kepal nasi. Salah satu tanteku yang suka makan di sini karena menurutnya harganya lebih murah dari Gunungsari.

nasi jamblang mang dul
nasi jamblang mang dul

Belum kenyang hanya dengan nasi jamblang dua kepal, kami berpindah ke kedai sebelahnya yang syukurlah, belum habis. Kami memesan sate kambing 10 tusuk dengan nasi untuk dimakan berdua. Satenya cukup empuk namun kecil-kecil. Suasana kedai yang sewaktu kami datang sepi tiba-tiba ramai karena masuknya dua rombongan keluarga untuk makan malam. Tak heran, kedai sebelah-sebelahnya sudah tutup kehabisan.

sate kambing penutup malam
sate kambing penutup malam

Pagi terakhir, aku dan Lukman berjalan kaki sepanjang jalan Ampera, hingga dekat kraton Kacirebonan. kemudian kami melintas-lintas tengah jalan Patratean, terus hingga sampai di Pagongan. Hwa, pasti tahu apa yang dituju di sini. Nasi Lengko Pagongan, terkenal enak dan lezat, karena kecap mataharinya. Kecapnya memang merknya matahari, dibuat oleh industri rumah tangga di belakang Nasi Lengko ini. Nasi Lengko khas sebagai masakan sarapan, bisa ditemui di berbagai sudut kota Cirebon. Kadang-kadang di gerobak, kadang di warung. Mama juga sering membuat nasi lengko untuk sarapan di rumah. Bahannya cuma timun, tauge, tahu goreng, tempe goreng yang dipotong-potong kemudian disirami sambel kacang, irisan kucai dan bawang goreng. Aku sering menambahkan telor ceplok. Di Nasi Lengko Pagongan ini, ada juga sate sapi yang enak bisa untuk menemani makannya.

Hampir tidak pernah pulang ke Cirebon tidak makan nasi lengko. Di gang kecil depan Pasar Pagi, sepulang belanja mama mampir warung kecil yang menyajikan makanan khas ini. Dibungkus daun pisang dan koran, aku pulang sambil menenteng krupuk mlarat dari pasar.

nasi lengko pagongan
nasi lengko pagongan

“Kak, ada yang lupa.. Kita belum beli serabi!” seru Lukman di perjalanan pulang. Oh iyaa, besok kereta kami ke Bandung jalan jam 5 pagi, sepertinya tidak lewat tukang serabi juga. Penganan dari beras ketan yang dipanaskan di tungku itu enak untuk mengganjal perut pagi.

Lagi-lagi teringat rumah Kegiren yang di ujung jalannya ada tukang serabi tempatku biasa membeli sejak kecil ketika sedang liburan. Adonannya ditaruh di ember untuk dituangkan ke cetakan dan tungku. Nenek penjualnya selalu membawa ikatan jerami untuk membersihkan cetakannya.

Ah, jadi kangen rumah Kegiren. Itu tempat mama dibesarkan bersama delapan kakak dan adiknya yang lain. Cirebon selalu mengingatkan pada hangatnya senyum mbah Mami, pelukan mbah Papi, kolam besar di belakang rumah, pohon mangga yang bergelantungan, pohon pisang, bougenville dan lainnya. Aku sering mengundang anak-anak tetangga untuk bermain yang kini juga sama dewasanya.

Rumah yang dulu terasa besar itu kini sumpek dikepung pembangunan tetangganya, sementara tidak terawat lagi. Sejak Mbah Papih meninggal sewaktu aku SMP, tidak ada lagi yang merawat halaman belakang. Kolamnya kering dan berubah fungsi jadi tempat jemur. Kebunnya menyempit dan pepohonan tak ada lagi. Menyusul Mbah Mamih ketika aku kuliah, agak mengurangi ketertarikanku untuk kembali tinggal di situ. Namun walaupun kota Cirebon semakin panas, di situ kenanganku, tempat liburan masa kecilku. Salah satu kota yang bisa aku bilang, pulang.

Sekarang, salah satu kangen Cirebon adalah kenangan makanan yang kukenal sejak kecil. Seperti nostalgia yang kuhabiskan dengan adikku beberapa hari ini karena kami tidak lagi tinggal serumah. Merangkai sisa-sisa jalan dua dasawarsa lampau. Tanpa kenangan, sepertinya bubur ayam cirebon dan sop buah cirebon itu hoax, mengingat kami tidak menemukan satu warung pun yang menjual kedua jenis makanan tersebut sepanjang keliling Cirebon.

    #TentangPulang

Olive ‘Merangkai Serpihan Kenangan di Peunayong
Danan Wahyu ‘Mudik, Rindu Rumah
Bobby ‘Tradisi Mudik di Keluarga Batak
Fahmi Anhar ‘Tradisi Lebaran Di Kampung Halaman
Farchan ‘Kepulangan yang Agung
Vika ‘Sepatu Kakek
Yofangga ‘Ibu, Aku Pulang
Indri ‘Cirebon : Mudik dan Perut yang Manja
Parahita ‘Mudik atau Tidak, adalah Pilihan
Rembulan ‘Yogyakarta, Pulangnya saya..
Bolang ‘Sebuah Cerita tentang Pulang
Nugie ‘Selalu Ada Jalan Untuk Pulang
Badai ‘Lebaran Terakhir Bersama Nenek
Eka ‘Pulang adalah Kamu
Rijal Fahmi ‘Petasan Party di Hari yang Fitri
Titiw ‘Kamu orang Jakarta atau Makassar?
Citra ‘Berhari Raya di Bangka
Adlienz ‘Merindu Pulang di Pangkuan Ibunda

tentang keraton-keraton di Cirebon :
keraton kasepuhan: penanda masa cakrabuana.
keraton kanoman : tetap putih di tengah keramaian.
keraton kacirebonan, ingatan muda sejarah keluarga

cerita-cerita jalan-jalan di Cirebon :
solo traveling at cirebon | bersendiri di kota udang

68 thoughts on “cirebon : mudik dan perut yang manja

  1. aduh kk Indro, makan mulu
    itu tahu gejrotnya menggoda deh. btw, aku pernah saking kepengennya makan empal gentong, ke Cirebon rame2 ma teman naik kereta terus langsung deh kuliner, esoknya pagi2 aku balik lagi ke Jakarta karena ada kegiatan sementara yg lain masih enak liburan. demi perut yg manja tuh 😉

  2. pertama kali dan terakhir kali ke cirebon pas SD mampir tempat bule, tapi skrg bule sudah pindah ke Jogja.. dan dulu ingetnya tahu gejrot. kayaknya seru menyempatkan diri ke cirebon untuk kulineran *elus2perut

  3. […] Yogyakarta, Pulangnya saya Sutiknyo – Sebuah Cerita tentang Pulang Indri Juwono – Cirebon : Mudik dan Perut yang Manja Matius Teguh Nugroho – Selalu Ada Jalan Untuk Pulang Taufan Gio – Lebaran Terakhir […]

  4. Woooww…postingannya bikin lapar berat Mba Indri 🙂 saya sukaaa..saya sukaaa….
    Enak-enak semua nih. Suami saya beberapa kali cerita soal nasi jamblang yang dia makan saat sedang perjalanan dinas. Belum pernah sekalipun saya makan 😦

  5. Kurang banyak tuh makanannya yang diposting *lempar serbet* *bikin ngiler*

    Aku pernah ke Cirebon sekali, pas nikahan temen. Makan nasi jamblang, empal gentong, tahu genjrot. Pas pertama makan nasi jamblang aku dan temen-temen komennya gini “lha, nasi sama sambel doank toh” wkwkwk :p

  6. Salah banget itu kalo tengah malam liat postingan #TentangPulang ini, jadi laper bawaannya. Tapi kak, kau koq ga gemuk-gemuk ya, padahal makannya banyak gini. hahaha #nanyaserius eh #nanyabecanda 😀

  7. Empal gentong saya taunya cuma yang di Stasiun Besar Cirebon (KA). Dulu dari dua warung empal gentong yang ada, salah satunya enak banget. Begitu KA brenti harus langsung turun dan minta dibungkusin, trus cepat naik KA lagi yang segera berangkat. 😀

  8. […] Kak Olive – Merangkai Serpihan Kenangan di Peunayong Kak Danan – Mudik, Rindu Rumah Kak Bobby – Tradisi Mudik di Keluarga Batak Fahmi Anhar – Tradisi Lebaran Di Kampung Halaman Kak Farchan – Kepulangan yang Agung Kak Vika – Pulang Mengenang Kakek Kak Yofangga – Ibu, Aku Pulang Kakatete – Mudik atau Tidak, adalah Pilihan Kak Bolang – Sebuah Cerita Tentang Pulang Kak Nugie – Selalu Ada Jalan Untuk Pulang Kak Badai – Lebaran Terakhir Bersama Nenek Mbak Indri – Cirebon: Mudik dan Perut yang Manja […]

  9. Ditunggu kehadiranya di cirebon,,😁😁
    Mau explore cirebon sepuasnya,,,???
    Rental motor aja, harga murah, motor diantar jemput gratis,,,,!!
    Hub ,” oke rental motor ”
    Hp /wa : 085724198194
    Pin bb : 54A0E475

    Semoga info ini membantu,👍👍👍😁😁

  10. […] Tulisan Travel Bloggers Indonesia lainnya, silakan kakaaaaa: Kak Olive – Merangkai Serpihan Kenangan di Peunayong Kak Danan – Mudik, Rindu Rumah Kak Bobby – Tradisi Mudik di Keluarga Batak Fahmi Anhar – Tradisi Lebaran Di Kampung Halaman Kak Farchan – Kepulangan yang Agung Kak Vika – Pulang Mengenang Kakek Kak Yofangga – Ibu, Aku Pulang Kakatete – Mudik atau Tidak, adalah Pilihan Kak Bolang – Sebuah Cerita Tentang Pulang Kak Nugie – Selalu Ada Jalan Untuk Pulang Kak Badai – Lebaran Terakhir Bersama Nenek Mbak Indri – Cirebon: Mudik dan Perut yang Manja […]

Leave a reply to Rental Motor Cirebon Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.