flores flow #10 : pulang dari wae rebo naik apa?

bis 8-tampak samping

because he had no place he could stay in without getting tired of it and because there was nowhere to go but everywhere, keep rolling under the stars…
― Jack Kerouac, On the Road

Aku merogoh daypack hijauku sambil memastikan apakah semua peralatan elektronik yang semalam sempat di-charge di rumah Pak Blasius Monta sebelum genset mati sudah kubawa semua. Otokol yang meninggalkan desa Denge satu jam yang lalu masih terguncang-guncang di jalanan berbatu. Udara dini hari yang dingin menghembus dari samping. Hutan-hutan yang dilewati pun masih menyiratkan sepi.

Glek!
Mana charger kameraku? Lalu bagaimana aku memotret dalam tiga hari mendatang? Aku mulai sedikit panik (namun dalam hati panik beneran). Sementara waktu masih menunjukkan jam 4 pagi, hari masih gelap, dan kami semua masih di jalan antara Denge menuju Ruteng, in the middle of nowhere, tidak tahu di mana tepatnya kami berada.

Charger kameraku nggak ada…”
“Kemarin di meja tempat nge-charge iPad dan handphone, sudah kuambil semua.”
“Iya, tapi charger-nya ada di ujung dekat pintu, sedang mengisi baterai cadangan, yang satu sudah kumasukkan di kamera, satu lagi ku-charge.”

Aku terdiam. Berpikir bagaimana cara supaya benda itu kembali ke tanganku. Ada tiga pilihan, pertama menggunakan ojek kembali ke Denge dan mengambil charger lalu meneruskan naik ojek ke Ruteng, biayanya akan mahal sekali. Atau kembali naik otokol ini nanti siang ke Denge, tapi pasti akan memakan waktu lama. Pilihan ketiga menulis surat atau menitip pesan pada Pak Blasius untuk memaketkan charger plus batere kameranya ke Jakarta. Hmm, sepertinya akan butuh waktu jauh lebih lama.

Kemarin sore, setelah tiba lagi di kediaman Pak Blasius Monta sesudah turun dari Wae Rebo dengan berjalan selama 3 jam, kami diberi tahu beliau, apabila mau naik otokol, kendaraannya akan datang pada jam 3 pagi. Jadi kami harus bersiap-siap jam setengah tiga. Alternatif lain selain naik otokol yang hanya bertarif Rp. 30.000,- ini adalah naik ojek (apabila ingin bangun lebih siang) dengan tarif Rp. 200.000,-/orang sampai di jalan raya Ruteng-Labuan Bajo. Sebelum naik ke Wae Rebo dua hari sebelumnya pun kami ditawari seorang supir dari Labuan Bajo yang bersedia menjemput dengan tarif jasa Rp. 1.000.000,- per mobil.

Mempertimbangkan bahwa kami sudah harus mulai berhemat karena overbudget sewaktu menyewa mobil kemarin, jadi naik otokol menjadi pilihan. Tak apalah bangun pagi-pagi buta demi penghematan! Setelah membereskan seluruh packingan supaya besok tidak repot-repot lagi, aku memasang alarm jam 2:30 dan segera pergi tidur.

Teteoooootttttt….
Jam 2 pagi Pak Blasius membangunkan kami dan mengatakan bahwa otokol sudah datang memanggil-manggil, membunyikan klakson di depan! Waduh, tergeragap, aku segera menyambar jaket, mencangklong tas-tas yang sudah siap, tanpa sisiran dan cuci muka, berpamitan pada Pak Blasius, menyapu pandangan ke meja tempat meletakkan berbagai peralatan elektronik kemarin, berlari ke otokol di jalan depan halaman rumah, memanjat naik truk itu lewat roda belakangnya. Aku meraba tanganku. Ups, gelang-gelangku ketinggalan! Tapi ya sudahlah, karena supir otokol sudah menunggu cukup lama (padahal dia kecepetan, ya) dan tidak enak dengan penumpang lain yang berada di truk itu, akhirnya kurelakan gelang-gelang itu.

Tetoooottt…. Otokol melaju turun dari Denge, sambil membunyikan klaksonnya kencang.

Setiap hendak tiba di titik penjemputannya, otokol akan membunyikan klaksonnya kencang-kencang. Lagu sendu tahun 80-an yang biasa terdengar di bis antarkota, dibunyikan kencang-kencang di sini. Galau pagi buta, lah! Penumpang-penumpang ini ada yang sudah siap di tepi jalan, atau harus dijemput oleh si kenek ke dalam rumahnya yang agak mblusuk. Biasanya memang mereka sudah berpesan sejak sore untuk keberangkatan besok paginya. Tak jarang hanya barang saja yang naik mungkin titipan untuk seseorang di kota Ruteng, yang merupakan tujuan akhir otokol ini.

Jadi, begitulah kami terguncang-guncang selama satu jam di dalam kotak kayu di belakang mesin truk, ketika menyadari ada barang penting yang ketinggalan. Duh, gimana ya? Bisa-bisa merusak jadwal kami nih, karena keesokan paginya kami sudah memesan kapal di Labuan Bajo. Diam-diam aku sedikit menangis di pojokan menyesali kecerobohanku. Tak lama bersedih, kami mulai berkasak-kusuk di antara penumpang bagaimana cara mencari kabar ke Denge dan mencoba barangkali mereka ada seseorang kenalan yang bisa dititipi untuk menyusul kami dengan motor.

“Di Denge nggak ada sinyal..”
Dheg. Berarti mau tak mau kami harus kembali ke Denge. Supaya ongkosnya tidak terlalu mahal, maka kami harus balik jauh sebelum jalan raya. Tapi di mana bisa menemukan ojek di jam 5 pagi? Ini di pedesaan, loh!

“Nanti turun saja di Narang, naik ojek balik lagi ke Denge. Nanti tunggu di rumah saudara saya, masih bersaudara dengan Pak Blasius juga,” kata seorang gadis muda yang tadi naik di daerah Dintor. “Jam setengah sepuluh nanti ada bis dari Narang menuju Cancar. Jadi masih sempat kalau nanti setiba di Narang naik ojek kembali ke Denge dan balik lagi, masih terkejar bisnya,” lanjutnya hangat.
“Lalu ojeknya bagaimana?”
“Ini saya hubungi kakak dulu di Narang, ya. Minta supaya dicarikan ojek di sana.”

Ouh. Aku lega sekali.
Masyarakat di sini baik sekali.
Kepada seseorang tak dikenal seperti kami mereka rela repot-repot mencarikan info.

Nurma, nama gadis tadi, benar-benar menghubungi kakaknya di Narang untuk menunggu kami. Setidaknya memang anggaran ekstra kami hanya untuk ojek Narang-Denge-Narang saja nanti. Satu penumpang di belakangku menasihati, “Lain kali bawaannya dimasukkan satu tas saja, biar tidak ketinggalan.” Aku tersenyum getir. Benar juga, ini memang keteledoranku sampai-sampai harus merepotkan orang-orang satu otokol.

Sekitar jam setengah enam pagi kami tiba di Narang, di depan sebuah rumah yang menghadap sawah. Aku menurunkan barang-barang kami dan diperkenalkan pada Bu Mia, kakak yang juga masih bersaudara dengan Pak Blasius. Kami hanya membayar ongkos otokol sebesar Rp 10.000,-/orang. Sementara Nurma melanjutkan perjalanannya, kami disambut hangat oleh pemilik rumah.

Bu Mia menghidangkan kopi sembari kami menjelaskan maksud merepotkannya. Akhirnya diputuskan bahwa Jay yang akan kembali ke Denge mengambil chargerku naik ojek, sementara aku menunggu di sini. Kemudian Bu Mia mencari seseorang yang bersedia mengantar kembali ke Denge.

Setelah mendapatkan ojek, Jay berangkat ke Denge dan aku kembali beramah tamah dengan bu Mia. Ia tinggal dengan suaminya yang menjadi pengajar SMA di Narang beserta seorang anak dan keponakannya. Ia melanjutkan mempersiapkan kebutuhan pagi keluarganya, sementara aku malah nongkrong di tepi jalan untuk menunggu anak-anak sekolah lewat.

jalan desa narang yang dilewati anak sekolah
jalan desa narang yang dilewati anak sekolah

Desa Narang ini tidak terlalu besar. Adanya SMA Negeri di sini membuat tempat ini juga menjadi titik temu dari beberapa desa lainnya di sekeliling. Beberapa anak-anak sekolah lewat mengenakan pakaian pramuka. Wah, aku sampai lupa hari bahwa ini Kamis. Eh, tapi biasanya di hari Kamis kan anak-anak sekolah memakai batik? Mungkin kebijakan di sini berbeda.

Mereka tersenyum malu-malu ketika aku mengarahkan lensa kamera untuk mengabadikan. Beberapa yang sudah lebih besar malah menutupi mukanya. Aku menyapa mereka meminta izin,”Boleh difoto, kak?”
“Jangan, sudah terburu-buru ke sekolah,” tolaknya. Anak sulung bu Mia sudah mengenakan seragamnya dan melambaikan tangan hendak berangkat ke SMA yang sama dengan tempat ayahnya mengajar. Aku tersenyum dan balas melambai.

anak-anak berseragan pramuka yang malu-malu
anak-anak berseragan pramuka yang malu-malu
sekolah SMA Narang di tengah sawah yang dituju dari desa-desa sekitar
sekolah SMA Narang di tengah sawah yang dituju dari desa-desa sekitar

Sesudah jam tujuh pagi dan anak-anak sekolah sudah lewat semua, aku mulai bosan. Kuputuskan untuk membaca saja di teras rumah. Tapi desir angin dari sawah membuatku mengantuk sampai akhirnya bu Mia menawariku untuk beristirahat. Ugh, benar juga. Bangun terlalu pagi membuatku mengantuk. Aku masuk kamar dan tertidur lagi hingga jam delapan.

“Temannya kok belum datang-datang, ya?” Suara Bu Mia membangunkanku. Sudah jam delapan pagi dan kemungkinan bis datang pada jam sembilan. Aku cemas juga sih. Masa kita ketinggalan bis lagi pagi ini? “Nanti kalau gak dapat bisnya, menginap saja satu malam di sini..”

Waduh. Buat perjalanan dengan skedul agak ketat sepertiku, terlambat satu hari bisa bermasalah, nih. Aku tersenyum simpul. “Mudah-mudahan jangan, Bu.” Tapi ini kan kesalahanku juga bagaimana benda ini bisa tertinggal dan memolorkan waktu berjam-jam. Ya, lihat saja nanti deh.

Syukurlah sesudah kami sarapan, Jay datang juga akhirnya. Ongkos ojeknya Rp. 100.000,- PP ditambah ia membelikan bensin sebotol Aqua besar seharga Rp. 20.000,-. Ia membawakan charger, gelang-gelang, dan ikat pinggangku yang juga ketinggalan. Tuh, kan. Ceroboh benar aku. Ia langsung sarapan dan menenggak kopi yang dihidangkan.

    “Tadi sesudah mengambil barang dari rumah Pak Blasius, ban motornya ternyata bocor. Jadi aku jalan kaki sekitar 30 menit turun, sambil melihat-lihat anak-anak berangkat sekolah. Ketemu lagi dengan Pak Aven yang heran, kenapa masih ada di sini lagi. Orang-orang Wae Rebo yang kemarin ketemu kita juga heran, In.
    Tadi aku sempat lewat kampung Kombo, yang banyak dihuni masyarakat Wae Rebo itu. Pemukimannya biasa, seperti yang banyak kita lewati di jalan. Tapi di situ ada sekolah dan fasilitas kesehatan. Lucu melihat anak-anak ini berangkat sekolah, mereka pakai rompi bermotif Wae Rebo. Sayang karena aku buru-buru, tak sempat memotret.
    Sampai di tempat tambal ban, baru diperiksa, ternyata butuh satu tambalan lagi. Jadi menunggu lagi, deh.”

Jam sembilan satu bus 3/4 datang perlahan lewat depan rumah. Horeeee… Kami bisa pulang! Bu Mia melambaikan tangan pada supir bus yang akan ngetem dulu di lapangan, supaya nanti kalau balik lagi berhenti di rumahnya. Kami berpamitan pada Bu Mia dan suaminya yang begitu baik mau direpotkan gara-gara keteledoran ini. Sekaligus kami senang, wah, ada alternatif moda transportasi ke Wae Rebo nih!

Kami mengambil tempat duduk paling depan, di samping Pak supir yang sedang bekerja. Tentu saja kami jadi melihat, medan seperti apa yang ditempuh oleh bis yang hanya beroperasi sekali sehari itu. Ketika sudah meninggalkan kawasan desa, bis memasuki area hutan dengan tebing di kiri dan jurang di kanan. Jalanan yang berbatu-batu dan ber kelak-kelok memang membutuhkan keterampilan dan pengalaman pengemudinya. Beberapa kali aku bergidik dengan manuver pak sopir ketika berbelok di tepi jurang.

jalanan di desa masih mulus di tengah batang kering
jalanan di desa masih mulus di tengah batang kering
lembah kering menjelang siang
lembah kering menjelang siang

Sepertinya, jika ada yang bisa menyetir di jalur ini, pasti kemampuan menyetirnya sudah hebat, dan tahan dengan jalan menanjak berbatu berkelok ini setiap hari. Sudah 35 tahun loh! Tak heran orang-orang di jalur mengandalkan bus ini selain otokol dari Denge/Dintor yang lewat lebih pagi. Tak sekali bus ini berhenti di satu titik untuk mengambil titipan barang dan disampaikan pada penerima di desa tujuan yang masih berada di jalurnya. Cocok sekali pak supir ini menamai bisnya, Harapan Bersama.

    “Usaha bis ini sudah dijalankan sejak tahun 1979. Dari dulu hingga sekarang bis berangkat dari Cancar menuju Narang jam setengah tujuh pagi, kemudian kembali lagi jam sembilan. Sampai lagi di Cancar sekitar jam dua belas siang,” Pak supir menjelaskan padaku.
    “Memang tidak bisa dibuat dua rit sehari, Pak?”
    “Tidak ada yang bisa menggantikan. Bus saya ini memang cuma saya yang menyetir.”

Di satu titik, bis menanjak tersendat dan tiba-tiba berhenti. “Diperiksa dulu, sepertinya lahr-nya kena,” kata Pak Supir melompat turun. Waduh, pikirku. Tapi ya, sudahlah. Aku berhenti memikirkan kapan kami harus tiba, dan mencoba menikmati momen berhenti itu. Sementara pak supir memperbaiki mobilnya, aku turun dan melihat-lihat keadaan sekitar. Salah seorang penumpang menghampiriku dan menunjuk ke atas, “Itu kampung Todo, ada satu Mbaru Niang juga di situ.”

kampung Todo dari kejauhan
kampung Todo dari kejauhan

Wah, asyik! Di puncak bukit di depan sana, terlihat puncak kerucut Mbaru Niang nampak sangat jelas. Aku mengambil lensa tele dan memotret rumah itu, karena kita tentu tak akan mampir ke situ dalam perjalanan sekarang. Kejutan berhenti yang menyenangkan! “Nanti kita lewat Todo juga, Pak?” tanyaku. Penumpang yang berusia kira-kira setengah baya itu mengiyakan. “Tapi cuma sampai jalan besarnya saja. Kalau lihat Mbaru Niangnya harus naik ojek lagi.”

Setelah berhenti hampir satu jam, mesin mobil dinyalakan lagi dan kembali perjalanan yang endut-endutan di jalan berbatu itu dimulai lagi. Tak jauh dari situ, kami memasuki kawasan Todo, dan jalan berubah menjadi mulus beraspal. Ada sekolah yang ramai anak-anak pulang sekolah, ada warung-warung dan pemukiman di tepi jalan. Wah, sudah tengah hari rupanya. Ada persimpangan yang menunjukkan arah menuju rumah Mbaru Niang yang tadi aku lihat dari bawah, tapi kami tak singgah.

bis harapan bersama ketika sedang berhenti tanpa rencana
bis harapan bersama ketika sedang berhenti tanpa rencana
penumpang setia harapan bersama
penumpang setia harapan bersama
daripada bosan menunggu, senyum dulu.
daripada bosan menunggu, senyum dulu.

Di jalan yang lebih mulus dan lebih lebar ini, pak supir lebih santai menjalankan bisnya. Beberapa kali kami bertemu otokol dari arah yang berlawanan. Tidak semua sampai Dintor, tergantung desa-desa sekitarnya. “Kalau yang ke Denge atau Dintor ada tiga, yang berangkat jam lima pun ada,” katanya. Oh, tahu begitu kami tidak terburu-buru kemarin. Aku hanya meringis mendengar penjelasannya. Bis melaju terus berkelak-kelok sampai Pela, yaitu satu titik persimpangan di jalan raya Ruteng – Labuan Bajo, di mana orang bisa naik bis ke Labuan Bajo.

“Kalau bis ini hanya sampai Cancar, kalau otokol sampai Ruteng,” ia menunjukkan satu otokol di tepi jalan yang kami kenali sebagai mobil yang membawa kami dari Denge. Aku memperhatikan jalur yang sudah kami lalui melalui Google map. Rupanya memang kami sudah melintasi separuh lebar pulau Flores sejak pagi-pagi buta tadi.

seperti ini otokol yang menjadi transportasi andalan desa ke kota
seperti ini otokol yang menjadi transportasi andalan desa ke kota

“Kami mau lihat sawah laba-laba, Pak. Nanti kasih tahu turun di mana, ya,” pesanku. Walaupun sudah tengah hari aku tetap tidak mau melewatkan melihat salah satu keunikan sistem pertanian sirkular yang dianut oleh masyarakat Manggara, Flores Barat, ini.

Tapi yang lebih berharga dari sepotong perjalanan ini adalah, orang-orang baik. Aku begitu saja menitipkan kepercayaan pada mereka dan mendapatkan jamuan keramahan yang luar biasa. Di tengah jalan berbatu, hingga saat siang ini, anugerah bertemu orang-orang dari jalur-jalur yang tak kukenal ini, yang membuatku tetap tersenyum, menikmati setiap waktu yang dihabiskan.

“Terima kasih, Pak!” seruku sambil meloncat turun usai membayar ongkos Rp 25.000,-/orang ketika kami diturunkan di satu simpang di Cancar. Perjalanan tiga jam setengah yang berkesan.

Denge-Cancar 13 Nopember 2014.
ditulis di depok-pulomas-senayan-depok 09.03.2015 : 03.05

    Catatan :
    Jalur otokol dari Desa Denge :
    Denge – Dintor – Narang – Pela – Cancar – Ruteng

    Jalur bis Harapan Bersama :
    Narang – Pela – Cancar

    Denge : Nama desa start point sebelum jalan kaki ke Wae Rebo. Terdapat homestay milik Pak Blasius Monta.
    Dintor : Nama desa di bawah Denge, letaknya di tepi laut, umum juga sebagai tempat persinggahan, hanya harus naik kendaraan lagi hingga start point jalan kaki. Ada Wae Rebo Lodge, penginapan yang cukup nyaman milik Pak Martinus Anggo.
    Narang : Nama desa di antara Dintor dan Pela, di tengah persawahan, dengan jadwal bis yang teratur satu kali setiap hari.
    Pela : Nama desa titik persimpangan di jalan raya Ruteng – Labuan Bajo, tempat turun/naik bis antar kota di jalur utama trans Flores.
    Cancar : Nama desa yang terkenal dengan sawah berbentuk jaring laba-laba, terletak di antara Pela dan Ruteng ke arah Timur
    Ruteng : Ibukota Kabupaten Manggarai, bagian barat Flores.

Baca juga :
Di Wae Rebo bisa ngapain saja? lihat : flores flow #7 : 14 tindak tanduk asyik di wae rebo !
Belajar tentang budaya dan arsitektur di : flores flow #8 : wae rebo, melestarikan arsitektur dengan tulus
Berikan sedikit keceriaan di sini : flores flow #9 : anak-anak wae rebo

33 thoughts on “flores flow #10 : pulang dari wae rebo naik apa?

  1. Waduh, mbayangkan ketinggalan barang-barang penting di tengah perjalanan ikut-ikutan dag dig dug pisan mbak 😀

  2. Saya jadi makin yakin, hal-hal baik akan selalu terjadi pada orang-orang baik. Mereka melalui pengalaman yang menjadikan diri lebih baik, bertemu dengan orang-orang baik, dan berada dalam lingkungan baik ketika semua orang adalah keluarga, darah tak terlalu jadi soal–toh keluarga tak harus berjudul bagi orang yang punya hubungan darah saja?
    Syukurlah semua berakhir baik, Mbak. Saya yang hanya membaca saya ikut deg-degan, ikut was-was, karena saya juga kurang lebih sama cerobohnya :hehe :peace. Satu hal yang saya pelajari adalah bahwa saya kalau lain kali dapat soal ujian seperti itu harus menyelesaikannya dengan dewasa, agar saya mendapat hasil bagus, dan bahkan hadiah ilmu dan pengalaman, seperti yang Mbak dapat.
    Terima kasih sudah berbagi, Mbak :)).

    1. Sengaja aku menulis cerita ini untuk mengingatkan kekuranganku. Di jalan, memang orang-orang sekitar yang akan membantu, dan harus menaruh kepercayaan pada mereka. Dan kebetulan ini di daerah yang masih sangat menjaga ketulusan.
      Aku terharu banget waktu berpisah dengan Bu Mia. Kalau tidak singgah di rumahnya, mungkin sudah kedinginan pagi-pagi harus mencari kendaraan balik. 😀

  3. dulu ke karimun jawa ketinggalan carger hp,,dipaketin ama pak arif ( kepala desa KJ jaman dulu )

    rasanya begitu terharu dengan kebaikan orang2 daerah..

    terkadang lama di kota, membuat kita makin ingin belajar bahwa di suatu tempat sana ada orang yang benar2 tulus membantu tanpa embel2 uang dan materi

    1. habisnya, menghubungi ke Denge-nya pun di sana nggak ada sinyal, sudah begitu kantor pos adanya di Ruteng, trus kalau batere yang di kamera ini habis, terus gimana? charger dan batere cadangannya kan ketinggalan. 😀 jalan masih 4 hari lagi. mau nggak mau, balik deh.
      di banyak tempat di mana orang sering bertukar senyum, menemukan kebaikan yang tulus itu benar-benar luar biasa, ya.

Leave a reply to Rifqy Faiza Rahman Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.