“Nanti jalan terus saja, lalu naik bukit, dari atas sana bisa melihat sawah berbentuk jaring laba-laba,” pesan Pak Supir Harapan Bersama sebelum aku turun.
Hari panas terik.
Di pertigaan banyak orang-orang yang menawarkan jasa ojek menuju bukit.
Aku tetap berjalan dengan ransel 40 liter di punggung dan daypack di dada.
Matahari masih bersinar dengan garang.
-
But you already here. Ingat dong perjuangan kamu tadi pagi hingga tiba di sini.
Sebelum belokan ke kiri, aku sudah melihat bukit. Kuikuti saja di mana lembahnya sehingga aku bisa mulai menapaki. Rumah-rumah di kiri dan kanan. Anak sekolah yang berjalan ringan di depanku. Kukejar.
-
Hai, kalau mau lihat sawah laba-laba, naik dari mana?
Terus saja, di bawah menara itu ada jalan.
Pantas saja diingatkan waktu untuk melihat sawah ini di pagi hari. Di saat seharusnya embun-embun membuka hari, ditemani kesejukan udara bersih untuk dihirup. Saat manusia petani masih beraktivitas memeriksa tanamannya, sumber penghidupan mereka. Tapi apa tak layakkah sawah dikunjungi juga di siang hari?
-
Kamu nggak apa-apa? Masih kuat?
Satu tikungan ditemukan dengan anak tangga beraturan menuju puncak bukit. Menitipkan ransel dan daypack, melangkah naik hanya membawa alat-alat perekam gambar, untuk pembuktian lokasi dan berbagi. Menapaki satu demi satu, di bawah naungan bambu, hingga tiba di atas disambut tiupan angin yang menghempaskan peluh.
-
Lingkaran.
Di bawah sana, ada pembagian sempurna. Sudut demi sudut yang terbentuk dari luasan petak. Setiap bilah juring sawah yang ditanami pada masa yang berbeda. Hijau yang berbeda pada tiap lajur. Mungkin pemiliknya berbeda-beda, mungkin juga masih ada hubungan saudara. Terpikirkah bagaimana membagi luasan wilayah sawah itu antar mereka? Apakah angka ajaib 22/7 yang dipergunakan? Apakah rumus-rumus luar biasa tentang luasan menemani pembagian ini? Atau samakah pola melingkar ini dengan rumah Mbaru Niang di kawasan Manggarai ini? Ketika lingkarannya yang sempurna bisa dibagi dengan adil.
Dari tepi jalan, sawah ini serupa hijau lainnya yang sempat ditemui. Rata dalam sejauh pandangan, hanya terlihat tonggak-tonggak berbendera membatasi jarak. Dalam pandang dua dimensi, berada dalam satu elevasi. Semua berubah ketika diamati dari ketinggian. Ujung demi ujung terlihat sejauh sudut mata.
-
Bahwa mata melihat berbeda tergantung ia melihat dari sisi mana. Bahwa yang kupikirkan adalah rumus matematika, alih-alih kearifan warga dalam membagi tanahnya. Bahwa otak ritmisku yang mencari harmonisasi dari lingkaran yang menghampar di bawah sana. Apakah ada pola berulang? Apakah ada deret hitung setiap berapa juring warna hijaunya kembali sama? Dibagi menjadi berapa lingkaran itu? Dibagi menjadi berapa lagi juring-juring itu? Bagaimana dengan luasan di antara titik persinggungan lingkaran?
Beberapa orang turis Eropa naik ke atas bukit dan memotret sawah itu dari atas. Mungkin juga keunikan ini tak ada di negaranya. Mungkin juga mereka mencari sudut yang berbeda. Awan-awan mulai melindungi dari terik matahari. Panas yang tadi membakar muka, perlahan disejukkan. Wajahku pias, menahan haus, mengintip lewat lubang rana.
-
Sawah ini bernama lingko. Berima dengan kata lingkar yang berbentuk sama. Memiliki pusat ditandai dengan kayu teno, ditarik keluar hingga titik lander. Berulang ke samping hingga mengitari lingkaran. Dibagi-bagi lagi setiap potongannya dengan dimensi organis. Mengukur dengan jari, dengan jengkal, ataupun langkah. Karena bukankah tubuh manusia serupa satu konstruksi geometris?
Tidak lebih dari tiga puluh menit berdiri di atas, aku turun. Mungkin sebelum kepalaku makin banyak berpikir alih-alih menikmati hijau. Awan dengan cepat berubah kelabu. Kembali mengangkat ransel dan menyusuri jalan yang sama. Rumah-rumah yang tadi dilewati. Penduduk yang ramah melambaikan tangan. Supir angkutan pedesaan yang menawarkan jasanya. Kembali ke pertigaan tempat Pak Supir menurunkan kami tadi. Bertemu seorang calo travel, yang menawarkan jasa antar ke Labuan Bajo. Duduk di emperan toko bangunan.
Kemudian hujan turun. Deras sekali.
-
Bumi ini melingkar. Orbitnya juga melingkar. Matahari pun berbentuk lingkaran. Maka tak ada yang salah dengan sawah lingko tadi. Pun dengan hujan deras sesudah panas terik ini. Semua bekerja dalam siklus. Lingkaran. Kembali ke awal.
Bus datang, pengemudinya berambut gimbal rasta namun berkaus merah muda. Membawa kami melintasi hujan deras, naik turun pegunungan, menaik turunkan penumpang, mengambil barang titipan. Hutan, jurang, lembah, desa, kembali kami lewati. Di satu titik tinggi ia berhenti, memperlihatkan siluet gunung dengan laut sebagai latar di belakangnya. Mungkin ia tahu, perjalanan di senja hari ke arah barat selalu memberikan pemandangan yang menakjubkan. Lembayung, biru, bercampur jingga.
cancar-labuan bajo 13 Nopember 2014.
pink room, 09.03.15 | 00.15
remah perjalanan dari :
flores flow #1 : fly to kelimutu
flores flow #2 : maria, gadis pemandu sa’o ria koanara
flores flow #3 : debu lintas trans ende-bajawa
flores flow #4 : luba, doa dari kaki gunung Inerie
flores flow #5 : loka, batu, dan bena
flores flow #6 : dingin bajawa, panas aimere, dan hujan ruteng
flores flow #8 : wae rebo, melestarikan arsitektur dengan tulus
Kok bagus ya sawahnya haaaa…
sepedahannya harus sampai sini, yaaaaa…
Aku coba mbak, tapi nunggu waktu yang tepat *semedi dulu 😀
ini salah satu hiburan di flores setelah dimanjakan sabana gersang lalu melihat awah hijau
Sawah memang andalan Indonesia banget ya. Aku lihatnya pas siang-siang boloong…
Aku pagi2 dg napas senen kamis
Pagi-pagi kan pas ada embunnya kaakk, bagusss…
Begitu unik, Kaaak!
nggak ada di tempat lain, kak idah!
Keren banget. Cerdas!!!
math is fun!
kayak susunan lingkar kayu gitu yak, dan uniknya membentuk segi yang berbeda tapi serupa, wah keren banget 😀
Masih penasaran sih dengan pembagian tanahnya. seandainya nggak cuma mampir doang…
Jadi pengen kesana rasanya Mba, one day harus kesana, thanks udah sharing 😀
Kak .. ada filosofi khusus ngak, knp bentuk sawah nya jadi macam ini ??? selain dari yang kak indri jelasin masalah pembagian tanah ???
karena orang manggarai filosofi hidupnya siklis, berputar, jadi untuk buat rumah, kebun, sawah, compang, upacara pola dasarnya adalah lingkaran, yang kemudian dibagi-bagi.
Genius. Masyarakat yang mengakui dan memafhumi bahwa insan yang hidup di dunia adalah mikrokosmos, dengan unsur dan polah yang tiada beda dengan semesta tempatnya berpijak, yakni makrokosmos. Benar-benar kearifan yang demikian cerdas, Mbak.
Saya tak perlu meragukan lagi bahwa cara terbaik untuk menyatu dengan alam adalah dengan menjadi alam itu sendiri.
ukuran-ukuran dimensional yang mengacu pada tubuh manusia itu memperlihatkan bahwa ukurlah sesuai jangkauanmu, bukan jadi lebih serakah dan mengambil di luar kesanggupan. karena kehidupan makrokosmos bukan cuma angka 🙂
Setuju, ambillah sesuai kebutuhan :)).
[…] sebelumnya : flores flow #11 : seputar lingkar sawah cancar flores flow #8 : wae rebo, melestarikan arsitektur dengan tulus flores flow #6 : dingin bajawa, […]
Yang begini ini cuma ada di indonesia. Filosofinya ajibb
Yes, Indonesia memang kaya! Ini asli #IndonesiaOnly
[…] di jalan raya lagi, jangan melewatkan untuk mengunjungi Cancar, lokasi sawah berbentuk jaring laba-laba yang merupakan satu ciri khas pertanian di kawasan Manggarai. Dan hari itu juga, dengan menumpang […]
Indah….*terkagum2* Ternyata ada ceritanya ya kenapa melingkar2 begitu. Thanks for the info, kak Indri! 🙂
Kalau yang tentang adat memang selalu ada cerita, kak TC. 🙂
Beruntung banget yang bisa jalan2 dan lihat keindahan alam indonesia. Beda banget ketika lihat gambar jakarta dengan gambar yang indah dengan pemandangan yang begitu hijau terasa menyejukan mata
sebenarnya, nggak jauh dari Jakarta juga banyak sawah2 terbentang. ke Garut misalnya. terasering dan jalan naik turunnya indah…