Atas padi yang engkau tumbuhkan dari sawah ladang bumimu, kupanjatkan syukur dan kunyanyikan lagu gembira sebagaimana padi itu berterima kasih kepadamu dan bersukaria
Lahir dari tanah, menguning di sawah, menjadi beras di tampah, kemudian nasi memasuki tenggorokan hambamu yang gerah, adalah cara paling mulia bagi padi untuk tiba kembali di pangkuanmu
[Emha Ainun Najib]
Bagian mana dari desa Sembalun yang menjadi favoritku? Aku rasa, aku suka semuanya. Terlebih lagi jika berada di ketinggian dan memperhatikan sawah-sawah yang menghampar permai di bawah sana, mendengarkan cericit burung dan angin yang mengalun.
Desa Sembalun ini bukan hanya Sembalun Lawang dan Sembalun Bumbung saja seperti yang sering diberitakan oleh media-media, namun lebih luas lagi di sekitarnya, begitu cerita Mbak Lia, pemilik Nauli Bungalow tempatku tinggal selama di Sembalun. Ia bercerita, sewaktu beberapa tahun yang lalu ada syuting film di sini, artis-artisnya merasa damai, karena bisa menjalani hidup seperti manusia biasa, tidak dikejar-kejar penggemar seperti biasa jika hidup di kota besar. “Kalau Dude Herlino yang datang, pasti dikerubutin juga sih..”
Desa Sembalun dengan ketinggian 1156 mdpl adalah desa di kaki gunung Rinjani di bagian timur, yang sering dijadikan titik awal pendakian gunung kedua tertinggi di Indonesia itu, termahsyur dengan padang savananya yang sering disebut-sebut oleh pemandu pendakian, “Banyak orang sering tersesat di padang savana Sembalun, karena ada banyak jalur di situ. Tak hanya jalur pendakian, lebih banyak lagi jalur menggembala ternak.”
Menurut hikayat zaman dahulu, desa Sembalun Lawang yang merupakan salah satu desa tertua di Lombok, sudah ada ketika gunung Rinjani meletus pada abad ke 13. Gunung yang dahulu disebut Gunung Samalas ini membuat orang mengungsi ke sisi timur. Sesudah letusan reda, ada tujuh keluarga yang memberanikan diri untuk kembali ke rumah mereka lagi, namun mengalami banyak rintangan. Ketika bertemu dengan Raden Aryamangunjaya dari Majapahit, mereka berjalan bersama hingga tiba di satu tempat yang penuh batu vulkanik dan berpotensi sebagai lahan subur. Di situlah mereka membangun desa barunya, Sembalun berasal dari dua kata, yaitu sembah yang berarti menyembah, dan ulun yang berarti kepala atau pemimpin, sehingga Sembalun berarti patuh pada pemimpin.
Dari udara, terlihat desa ini dibatasi oleh sawah-sawah, padang savana, dan bukit Pergasingan. Di sebelah barat terlihat ada green house yang cukup besar untuk pembibitan tanaman, dilihat dari atap plastik yang menutupi sebagian daerah. Tak heran, lokasinya yang sejuk di kaki gunung membuatnya cocok sebagai tempat pengembangan tumbuhan. Desa Sembalun Lawang sendiri memiliki luas 17.609 km2 memiliki hasil pertanian berupa padi, jagung, bawang merah, kopi, coklat, aneka buah seperti mangga, apel dan stroberi.
Di dalam jalan-jalan desanya, banyak sekali terdapat pohon bambu yang menaungi desa, dengan anak-anak yang asyik bermain apa saja di bawahnya. Seolah bagian ini tak tersentuh oleh modernisasi yang melanda kota-kota di sekitarnya. Ah, Lombok ini memang mutiara yang tersembunyi. Keteduhan di bawah rerumpunan bambu ini adalah kanopi alami untuk lapangan bermain mereka.
Masyarakat adat Sembalun mengenal konsep Wetu Telu yang bermakna Tuhan, alam dan manusia dijalankan atas tiga pemimpin, yakni penghulu radak atau kyai, pemangku adat dan pembantu-pembantunya, serta pemekel adat atau Jero.
Menjaga alam di Sembalun menjadi tanggung jawab pemangku adat, yang dibagi urusan tata ruang oleh Mangku Bumi, urusan menjaga hutan untuk kepentingan mengambil kayu, berburu, atau semedi oleh Mangku Gawar. Juga ada Mangku Gunung yang menjaga kelestarian gunung, Mangku Makem untuk konservasi mata air dan makhluk hidup di dalamnya dan Mangku Rangtewas untuk menjaga kawasan cagar alam. Sedangkan pengaturan cagar budaya dilakukan oleh Mangku Kepatahang. Keseimbangan alam Sembalun amat dijaga dengan adanya tugas sosial dari mangku-mangku tersebut.
Penduduk Sembalun yang aslinya adalah suku Sasak ini kini tinggal di rumah-rumah biasa yang mereka bangun di desa. Di dalam desa Sembalun ini terdapat satu desa adat Beleq yang masih dijaga oleh penduduk setempat. Desa adat yang dibatasi oleh batu kali bulat yang melingkupinya sebagai pagar, terdapat tujuh bangunan rumah yang berdiri dengan sederhana, tersusun rapi, dan masih dijaga oleh masyarakat sebagai situs peninggalan budaya dari masa silam.
Bangunan rumah di desa Beleq ini beralaskan tanah liat dan kotoran sapi yang dipadatkan dengan air hingga ketinggian sekitar satu meter yang pada bagian tengahnya dibuat tangga menuju satu ruang utama di dalam. Kedua bahan yang dipadatkan dengan air ini didiamkan beberapa hari sebagai dasar rumah mereka. Bahan alam diyakini bisa memberi kekuatan, yang dibuang bukan berarti tanpa guna. Dinding keliling terbuat dari anyaman sasak bambu, dinaungi atap ilalang yang teritisannya menjorok ke bawah dan rendah. Tundukkan kepalamu jika hendak masuk, pertanda menghormati sang tuan rumah.
Di sekitar desa adat ini banyak terdapat rerumpun bambu yang merupakan bahan dasar dari dinding-dinding rumah. Anyaman sasag yang jalin menjalin mengingatkan pada pola tenun yang biasa diproduksi oleh warga Sembalun sendiri. Membuat pembaruan atas rumah ini seharusnya begitu mudah, hanya tinggal mengambil dari bahan-bahan yang pasti ada di sekitar mereka. Rumah tradisional yang bisa memperbaharui dirinya sendiri, karena materi pembentuknya bisa terus tumbuh, dirawat, dan diambil hasilnya karena ada imbal balik dari lingkungan. Jika demikian adanya kearifan lokal, tentu tak sulit untuk mempertahankan rumah adat bukan?
Sisi dalam bangunan hanya terdiri dari dua bagian, ruang utama dan kamar. Satu-satunya kamar di dalam rumah ini memang diperuntukkan untuk perempuan, terutama lagi anak perempuan, untuk dilindungi sebelum masanya tiba. Perempuan Sasak yang belum menikah harus bisa menenun sebagai uji kesabarannya hingga tiba waktu yang pantas. Menurut adat suku Sasak, seorang anak perempuan yang telah dewasa bisa dilarikan, atau istilahnya diculik, oleh pria yang ingin menikahinya sebagai bukti keseriusan keluarga si pria.
Naungan atap untuk rumah adat Sasak ini dibuat dari ilalang kering yang dirangkai pada bilah bambu panjang dan dijepit, untuk kemudian dihamparkan pada kaso atap. Hamparan ilalang ini dibuat berlapis tiga untuk menghindari kebocoran akibat hujan pada rangka atapnya yang menggunakan kayu atau bambu, tergantung bahan yang lebih banyak ada di sekitar. Beruntungnya, di halaman di antara dua deret rumah adat tersebut terdapat dua orang bapak-bapak yang sedang merangkai ilalang tersebut. Saling silang.
Di ujung deret rumah tersebut, sebuah bangunan berdiri lebih tinggi dari yang lain. Bangunannya kecil, dengan dasar segiempat, dan harus menggunakan tangga untuk mencapai pintunya yang terbuka dari bawah. Itu adalah lumbung padi atau yang biasa disebut gleng untuk tempat menyimpan hasil bumi yang berlimpah sehingga bisa digunakan sebagai bahan makanan cadangan. Teras dibawahnya digunakan sebagai ruang berkumpul hingga semestinya, banyak hal-hal yang dibicarakan di bawah lumbung.
Sementara lahan-lahan ujung desa, dipergunakan sebagai area menanam cabai. Iya, cabai atau yang biasa kita sebut lombok itu. Mungkin dulu banyak sekali tanaman ini ditemukan di nusa tempat duduknya Rinjani ini, sehingga pulau ini bernama Lombok. Halaman-halaman pun digunakan untuk menjemur cabai kering yang sudah matang dari pohonnya. Buah panjang yang mampu membuat pipi merona ini menjadi primadona desa Sembalun. Apalah arti masakan Lombok tanpa paduan cabai di dalamnya?
Namun sayangnya rumah-rumah ini benar-benar kosong, tak berpenghuni. Bangunan-bangunan ini dirawat sebagai cagar budaya, namun tak ada kehidupan di dalamnya. Tak ada suara anak-anak kecil yang berlarian di pelataran cerah, tak ada suara ternak mengembik di pojokan, tak ada senyum gadis malu-malu mengintip dari jendela. Tak ada suara ayam berpetok, gadis menenun dengan tekun, atau pemuda bersarung yang mondar-mandir. Apalagi mendengar sekumpulan orang bermusyawarah di berugaq.
Berharap bisa mengobrol dengan satu dua orang di sini menjadi merasa agak kehilangan suasana seperti yang seharusnya kutemukan di sebuah desa. Area ini terkesan seperti sebuah museum saja, hanya saja tak berisi barang-barang peninggalan di dalamnya. Tak tahu, mungkin ada berbagai pertimbangan kenapa orang-orang tidak lagi bertinggal secara alami di sini, melainkan membuat ruang-ruang tinggal baru di luar desa adat ini, di sepanjang jalan, di sepanjang hutan, dan di dekat sawah-sawah mereka. Mungkin desa tua tempat tinggal tujuh sesepuh di masa lampau itu sedang menanti keturunannya untuk kembali.
Keberadaan masyarakat adat Sembalun sendiri memang banyak yang tidak tahu, apalagi sejak diberlakukannya tata guna lahan yang termasuk di dalamnya adalah hutan Rinjani pada tahun 1960-an. Sejak tahun 2000 hingga 2012 dilakukan rekonstruksi batas Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) menjadi hutan lindung, hutan produksi terbatas, taman nasional, dan taman wisata alam, taman hutan raya dan hutan suaka alam.
Masyarakat yang seharusnya tetap dijaga keberadaannya ini yang senantiasa menghidupkan ritual-ritual kebiasaannya untuk menjaga hutan, karena kehidupan mereka tergantung pada lingkungannya yang tetap hidup. Beberapa ritual lama yang sudah jarang dilakukan adalah Loh Dewa, yaitu ritual menanam pohon atau reboisasi di kawasan hutan adat dan Loh Makem, ritual menjaga kelestarian mata air. Jika hal-hal lama ini bisa dilestarikan, Sembalun yang permai ini akan lebih dicintai, yang memberi nafas untuk kehidupan mereka semua.
Mendakilah ke samping Desa Adat Beleq ini di mana ditemukan bukit kecil tempat kita bisa melihat desa dari atas, menangkap sawah-sawah hijau yang memenuhi pandangan mata hingga kaki-kaki bukit. Tak jarang anak-anak ikut naik dengan kaki-kaki telanjang mereka yang kuat, sekadar memamerkan senyum atau ikan yang mereka bawa. Angin sepoi-sepoi yang membuai memang menggoda untuk tidur barang sejenak dua jenak. Terkadang elang hitam lewat dan merentangkan tangannya diam, memamerkan kedigdayaannya di udara. Keseimbangan alam yang begitu terjaga sejak dahulu oleh kearifan lokal mengingatkan bahwa alam itu ada bukan untuk dieksplotasi, namun untuk dipelihara sebaik-baiknya supaya ia tetap bisa mengembalikan sebagai hasil bumi yang terbaik.
Sembalun, alunanmu selalu membuat rindu.
Travel Writer Gathering, Lombok Sumbawa 2015
Sembalun, siang yang mendung, 14 November 2015
Ditulis di Jakarta | 7 Desember 2015 | 16.33
data sekunder : adat sembalun di lereng rinjani, sejarah sembalun, eksotisme sembalun lawang.
#TWGathering2015
mendamba flamboyan di lombok selatan
south lombok : the blue, the pink, the beach
semilir nauli, bungalow di kaki rinjani
[…] berikutnya : south lombok : the blue, the pink, the beach semilir nauli, bungalow di kaki rinjani warisan lampau desa adat beleq, sembalun […]
[…] another story : mendamba flamboyan di lombok selatan semilir nauli, bungalow di kaki rinjani warisan lampau desa adat beleq, sembalun […]
[…] #TWGathering2015 mendamba flamboyan di lombok selatan south lombok : the blue, the pink, the beach warisan lampau desa adat beleq, sembalun […]
paling gak nahan lihat photo terakhir kak, asli cakep
itu teaser pandangan dari bukit Pergasingan..
mirip guilin ya kak
Bacaan menarik sebelum tidur… Semoga bisa membawa Sembalun ke dalam mimpi malam ini… 🙂
Sembalun selalu ngangenin yaaa..
Kayaknya saya sedikit mengerti kenapa di desa ini terkesan sepi dan hanya sebagai sebuah museum. Dan Watu Telu, sepengetahuan saya, dulu adalah lebih dari sekadar sistem pemangku adat dan kemasyarakatan, tapi jika pemahaman yang ada sekarang seperti itu, baik kalau saya diam dulu :hehe.
Cuma, ini memang membuktikan sih kalau peninggalan Hindu dalam tataran sosial memang pernah ada dan masih banyak yang menjaga sampai sekarang :hihi. Terbukti juga dari peninggalan arkeologisnya, sih, di sekitar sini setahu saya banyak situs dulu.
Lombok itu lomboq, artinya lurus, Mbak :hihi. Tapi memang masakan Lombok pedas-pedas, sih :hehe.
Ah, jadi mupeng nih buat kemari!
Senang sekali tulisan ini dikunjungi Gara, yang bisa memperjelas tentang apa itu Lombok — Lomboq — lurus. Aku juga sempat mendengar pemahaman lain soal Wetu Telu, tapi bisa2 polemik juga nih. Bisa masih ada, atau sudah tidak.
Hayo, kamu ke Sembalun.. Tapi tunjukkan juga desa-desa indah di pulaumu ya.
Oia, aku belum ke mesjid Bayan nihh..
Saya bisa bilang tidak ada–Sembalun dulunya adalah salah satu basis juga, basis terakhir malah, setelah Bayan. Cuma karena di tulisan ini Mbak sudah menjelaskan apa yang tampak di hari ini, maka memang demikianlah adanya. Yah, “program pemerintah” itu berhasil :)). Tapi saya nggak mau tepuk tangan deh atas “keberhasilan” itu.
Wokee… perjalanan terakhir saya ke desa-desa di utara berakhir celaka sih, jadi saya butuh waktu untuk menghilangkan trauma :haha. Tapi haruslah, ke Bayan. Dan Karang Bayan.
Kearifan lokalnya masih terjaga yaw kak, semoga masih bisa tetep bertahan. Kak masjidnya mana? Konon katanya justru yang paling di kenal dari Desa ini dari masjidnya lo kak,,, Tapi kalau nggak dapat masjidnya, dapat gini aja udah bikin ayem tentrem dink Mbk, hehehe
Masjidnya di desa yang berbeda, yang terkenal di desa Bayan. Terus bekum mampir juga, huhuww..
Pertengahan tahun lalu ke sini, ke Sembalun. Sayang, ga banyak luangin waktu untuk eksplor masyarakat dan desa di sana. Fokusnya pendakian doang. Hahaha. Nyesel… Menarik ya ternyata.
hayuk-hayoo.. ke Sembalun lagiii..
Rasanya kurang lama ya di Sembalun. Ingin menginap semalam lagi…
iya, ngiri deh sama yang ke sembalun terus-terusan, ehehehee
[…] #TWGathering2015 mendamba flamboyan di lombok selatan south lombok : the blue, the pink, the beach semilir nauli, bungalow di kaki rinjani warisan lampau desa adat beleq, sembalun […]
[…] stories : mendamba flamboyan di lombok selatan south lombok : the blue, the pink, the beach warisan lampau desa adat beleq, sembalun koran tempo : memburu mentari di bukit […]
[…] lombok pernah kuceritakan di: KORAN TEMPO : MEMBURU MENTARI DI BUKIT PERGASINGAN WARISAN LAMPAU DESA ADAT BELEQ, SEMBALUN SEMILIR NAULI, BUNGALOW DI KAKI RINJANI SOUTH LOMBOK : THE BLUE, THE PINK, THE BEACH MENDAMBA […]