Matahari sudah naik seperempat langit ketika pesawatku mendarat di bandar udara Sultan Baabulah, Ternate. Kuputar jarum jam tanganku supaya menunjukkan waktu dua jam lebih cepat dari Jakarta, usai penerbangan dini hari empat jam tadi. Usai mengambil tas di bagasi, aku beranjak ke jalan raya dan mencari tukang ojek yang akan membawaku berkeliling pulau.
Pulau Ternate amat dikenal sebagai bagian sejarah bangsa ini, sebagai penghasil buah pala dan cengkeh, rempah-rempah yang amat laris pada abad 18-19 dan menjadi perebutan berbagai bangsa di Eropa. Di awal abad ke16 pulau ini ramai didatangi saudagar dari Portugis, yang memberikan banyak kemilau emas pada rajanya sebagai pembayaran atas hasil bumi rempah yang dibawa ke bumi Eropa. Berlanjut dengan kekuasaan pedagang VOC yang kemudian memonopoli perdagangan ini.
Jika dilihat dari udara tadi, kehidupan di pulau Ternate lebih padat pada daerah pesisir pantai mengelilingi gunung Gamalama yang masih aktif. Kehidupan kotanya lebih padat di bagian timur pulau, dengan beberapa pelabuhan besar maupun kecil yang melayani penyeberangan ke pulau-pulau lain di sekitarnya. Laut dan gunung menjadi pemandangan yang jamak dan mudah dilihat dari berbagai sudut pulau. Kota Ternate sendiri merupakan ibukota Provinsi Maluku Utara yang berdiri sejak tahun 1999.
Sesudah menaruh tas dan menyegarkan diri di satu penginapan di daerah Swering, dekat dengan Pelabuhan Ternate, kembali Bapak Amir yang berprofesi sebagai tukang ojek di Ternate ini menjemputku. Kami melewati istana kerajaan Ternate yang pagi itu gerbangnya masih tertutup rapat. Menurut Pak Amir, di hari-hari tertentu area halaman istana dibuka sehingga orang bisa masuk dan melihat-lihat sekitar istana. Di pagar istana terpasang lambang istana Ternate yaitu Goheba Madopolo Romdidi yang berarti burung elang berkepala dua. Di depannya terdapat lapangan besar yang sering digunakan untuk berbagai kegiatan rakyat di Ternate, mulai dari upacara hingga pertunjukan-pertunjukan seni dan pemeran pembangunan.
Tujuan berikutnya adalah Menara Benteng Tolukko di daerah Dufa-dufa yang dikelola secara sederhana namun cantik dengan hamparan taman bunga di sekitarnya. Salah satu kisah menceritakan bahwa menara benteng ini dibangun oleh Portugis pada tahun 1512 ini dibuat dari batu andesit yang disusun berkeliling. Sesudah pertempuran pada tahun 1577 benteng ini diambil alih oleh Sultan Ternate dan dinamai sesuai Sultannya kala itu, Kaicil Tolukko. Tidak terlalu sulit untuk naik ke puncak menara, karena lokasinya yang memang sudah berada di dataran tinggi. Tak heran tempat ini menjadi titik strategis di masa lalu, karena dari puncaknya bisa dilihat kapal-kapal yang berlalu lalang sehingga cocok menjadi titik pengawasan perdagangan maupun keamanan pulau. Separuh daratan pulau pun terlihat jelas dari sini sambil berputar 180 derajat. Pulau Tidore dengan gunungnya yang juga menjulang tinggi berada tepat di hadapan terpisahkan lautan biru.
Dari daerah Dufa-dufa, kami melintasi kota lagi menuju di utara, melalui kawasan Batu Angus. Batu-batu besar yang berwarna hitam bertebaran ini adalah muntahan letusan gunung Gamalama di masa lalu dan tersebar di banyak tempat dalam bentuk bongkahan-bongkahan besar. Sebenarnya gunung ini masih aktif dan sering juga mengeluarkan letusan-letusan kecil. Terus menyusur jalan-jalan desanya, kami menemukan satu pantai yang berpasir putih panjang dengan pohon kelapa yang melengkung menjorok ke lautnya. Sebenarnya, kukira itu adalah Pantai Sulamadaha yang terkenal itu, tapi koq pemandangannya tak seperti di foto yang ada di media. Lagipula jalannya tidak terlalu bagus, jalan tanah yang tidak terawat dari tepi jalan raya. Apa mungkin pantai rahasia itu letaknya harus ngumpet, ya?
Tapi Pak Amir mengajakku mengunjungi tempat yang menurutnya adalah Pantai Sulamadaha. Setelah melewati gerbang dan membayar Rp. 2000/orang, motor menyusuri jalan beton yang menempel pada bukit. Di kanan tampak laut begitu biru dan berkilau tertimpa sinar matahari dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Di ujungnya, barulah Pak Amir menunjukkan teluk yang mirip dengan yang ada di foto-foto media, kapal melayang dan air yang begitu bening di bawahnya. Tapi sayangnya, airnya sedang tidak bening. “Kalau pagi-pagi jam enam baru airnya masih bening, bisa snorkeling di bawahnya juga,” jelas salah satu penjaga sewa ban yang kami temui. Memang terlihat beberapa keluarga asyik bermain di teluk itu sambil memakai ban renang. Akhirnya kami beristirahat di situ sambil makan siang di bawah pohon.
Dalam perjalanan berkeliling pulau ini, kami menemukan juga Danau Tolire kecil yang berada di tepi laut. Suasana sekitarnya sepi sekali dan sepertinya juga tidak ada yang menghabiskan waktu untuk leyeh-leyeh di sini, kecuali berfoto-foto sejenak. Danaunya terlihat tenang dan tidak ada pergerakan oleh angin sedikit pun di sini. Sepertinya suasana agak mistis yang terasa.
Kami melanjutkan perjalanan ke Danau Tolire besar yang memiliki luas sekitar lima hektar terletak di kaki gunung Gamalama. Melihat permukaan danau yang berwarna kehijauan sekitar 30 meter di tepi kakiku berdiri, menimbulkan sedikit perasaan seram. Konon kabarnya, dulu ada satu desa yang berada di dasar danau sekarang, kemudian melakukan perbuatan buruk sehingga seluruh penduduknya dikutuk jadi buaya dan air menggenangi seluruh desa. Udara panas tak berangin membuat tempat ini makin menjadi titik sepi, ditambah pohon kayu putih yang meranggas dan menyisakan batangnya berdiri kering.
Sekitar Danau Tolire ini dikelilingi oleh hutan kayu putih dan pala dengan jalan setapak menuju hutan. Entah memang tempat ini sepi atau karena sudah tengah hari dan tidak banyak orang berwisata ke sana, pengunjung hanyalah aku dan Pak Amir saja. Warung-warung kecil di tepi danau pun tampak sepi, menggoda untuk membeli sebotol soda dingin untuk melegakan tenggorokan.
Sisi utara Pulau Ternate didominasi oleh hutan pohon pala yang bergerumbul dan meneduhi jalanan yang dilalui. Komoditi ini masih menjadi primadona untuk diekspor ke Eropa seperti zaman dahulu kala. Tidak seperti sisi timur yang cukup padat dengan perumahan, di utara hingga barat lebih banyak pedesaan, hutan, kebun, peternakan dengan suasana yang tenang. Ditambah lagi hujan rintik-rintik mendinginkan langit yang tadi panas kerontang.
Sebenarnya, salah satu tujuanku datang ke Ternate adalah mencari spot yang sama dengan apa yang ada di uang kertas 1000 rupiah edisi terakhir ini. “Oh, itu di Pantai Ngade,” kata Pak Amir. Berarti kami tinggal mencari spot mana yang kira-kira cocok dengan gambar di uang berwarna biru itu. Pertama, kami berdiri di tepi lembah dengan Pulau Maitara dan Tidore berada di hadapan, tapi komposisinya masih kurang pas. Atas saran seseorang di jalan, kami masuk ke halaman sebuah cafe dan menuruni lembahnya hingga pantai untuk melihat kedua pulau itu berdampingan. Ombak laut Ternate menderu-deru di depan kami tanpa satu kapal pun yang lewat. Hmm, jadi mana spot yang cocok dengan uang 1000 ini, ya?
Karena penasaran, kami berpindah lagi ke Pantai Fitu yang di situ banyak perahu nelayan tertambat. Olaa, sepertinya tempat ini paling cocok dengan gambaran uang seribu di hadapanku, hanya saja agak sedikit ramai. Tidak hanya satu perahu yang tertambat, tetapi ada beberapa yang mungkin bersiap melaut malam nanti. Pantai panjang berpasir putih dibatasi oleh bebukitan batu tempat cafe tadi berdiri.
Gunung Tidore sebagai latar belakang dan Pulau Maitara di depannya dikelilingi lautan biru, adalah salah satu keindahan Indonesia yang terekam dalam lembar-lembar yang sering berada dalam genggaman tangan. Deburan-deburan ombak memecah pantai ditemani angin membuat lembaran 1000 rupiah yang dipegang sulit untuk diam. Senja yang agak mendung mengakhiri petualangan hari itu di pulau rempah yang indah ini.
Yang mana bakal jadi favoritmu dari Ternate? Masih bakal ada cerita lainnya tentang pulau ini.
birthday trip 30 April 2016. ditulis di Depok-Bogor-Bandung, Juni 2017
(Sebagian naskah pernah dimuat di Koran Tempo, Agustus 2016)
cerita lain dari Maluku Utara:
kak indriii, kayaknya yang Pantai Ngade itu salah deh, yang bener Danau Ngade, lokasinya di Desa Fitu, itu sekarang spot foto-foto yang udah dibikin jembatan kayu kalau foto tampak danau (laguna) dari atas dengan latar belakang Maitara dan Tidore.
sementara yang pantai di uang seribu setauku juga masih berada di Desa Fitu, tapi aku baru tahu namanya Fukuaku, hahaha.
aku nggak ke danau Ngade, tapi katanya namanya pantai Ngade, satu daerah itu Ngade deh.. eh, namanya Fitu bener, kenapa jadi Fukuaku? #buruburuedit
Asik ya jalan-jalan menyusuri Ternate
Iya, asyik banget uyy keliling sini.
tiap baca nama dufa-dufa, gua ingatnya naik kora-kora dan jet coaster.. padahal itu mah dufan.. *d’oh!
perasaan pas naik speed boatnya mah serasa kora-kora juga..
Kak indriiii…seru banget ke ternate. Btw tempat domisiliku saat ini juga banyak pohon palanya lho. #gapenting banget heheh. Ngomongin ttg gunung gamalama jadi ingat dorce. Beliau dari sini juga ya?
Eh udah dari 1999? Udah lama juga, kok perasaan baru sebentar jadi Maluku Utara hehe. Seru juga bertualang mencari sudut yang paling pas dengan imej yang dikenal luas 😀
Hahaha..
Sungguh mirip dengangambar uang kertas seribuan itu wkwk..
Kaliman terakhir paragraf keempat maksudnya “pameran pembangunan.” bukan “pemeran pembangunan.”, ya, Ndri?
Melihat Menara Benteng Tolukko ingat waktu aku di Benteng Belgica, Banda Neira, Maluku Tengah, tempat kami nongkrong karena posisinya tepat di depan penginapan kami banget. Ada bagian yang mirip, meski Benteng Belgica jauh lebih besar.
Ah, baca tulisan ini jadi ingat pernah batal ke sana tahun 2015, dan semakin besar keinginan untuk ke sana. Tapi lumayan, lah, udah pernah jumpa Sang Sultan dan foro bareng saat acara launching ‘Visit Ternate-Tidore 2017’ di Kemenpar beberapa bulan lalu. Hehehe..
Cerita yang bagus dan menarik, Ndri. Enak dibacanya, mengalir, dan berhasil membawaku sebagai pembaca seolah ada di dalam ceritanya.
Mamaciiiiiiih…. 🙏👍😘
Eyalaaaaah.. Ada yang typo komentarku:
“kalimat” bukan “kaliman”
“foto” bukan “foro” 😄
waaahh, aku malah belum pernah ke maluku bagian itu. emangnkalau benteng-benteng itu rata-rata mirip yah bentuknya, yang jelas lokasinya emang pasti paling strategis bisa lihat keseluruhan pulau. ahh, jadi kangen maluku..
Kak indri, saya suka bgt sm konsep foto dipadukan sm sketchnya kak indri. Unik dan kreatif
makasih yaa Leo..
[…] traveling maluku utara: kepingan lingkar ternate ruang-ruang sosial di tepi laut […]
[…] rempah-rempah yang lebih berharga dari emas, sampai-sampai aku sempat melakukan perjalanan ke Ternate dan Tidore untuk melihat jejak-jejak kolonialialisasi. Karena belum sempat ke Banda, maka ajakan […]