-
Pernahkah kamu berbicara pada batu? Pernahkah kamu tanya bagaimana rasanya menjadi tumpuan, menjadi sesuatu yang dikuatkan, menjadi tahanan agar beban di atasnya tidak runtuh?
Barangkali kau perlu bertanya pada bebatuan di kampung Bena, yang bisa dicapai dalam satu jam perjalanan dengan kendara bermesin dari Bajawa, sejak kapan mereka berada di sana. Di sini batu tidak hanya diperlakukan sebagai tumpuan, namun juga sebagai pelindung. Bukan sekadar batu kecil untuk melempar anjing, tapi bongkahan sesuatu yang melingkari, mengitari.
Melihat kampung Bena dari ketinggian gerbang masuk, yang tampak adalah dua garis lengkung yang saling bertemu seperti daun, dengan pinggiran meliuk dan tulang tengah yang kuat, demikian, seperti sehelai daun yang menggeliat di genggaman tangan. Tepian itu adalah rumah-rumah yang berderet rapi, tempat kehidupan sehari-hari dijalankan, untuk pulang setiap petang dari ladang.
Panas matahari yang hampir sampai di ubun-ubun, dan langit biru cerah memberi latar indah di balik pemukiman itu. Dua orang mama menyapa dan meminta untuk meninggalkan goresan pesan di bangunan pertama yang ditemui. Bangunan yang mirip sama dengan kampung Luba sebelumnya, sama-sama serumpun di daerah Ngadha, kampung yang bertumpu pada batu.



Bebatuan mendominasi lansekap pandanganmu. Tataran tanah yang bertingkat-tingkat itu terpisahkan oleh tumpuan batu-batu yang menahan dinding-dinding tanahnya. Berdirilah di depan dinding batu pertama yang ditemui. Di kanan akan ditemui deretan rumah yang seperti bergandegan satu sama lain. Rumah-rumah kayu ini tidak berdiri renggang dengan halaman masing-masing. Halamannya adalah pelataran di depannya. Loka.
Mulai dari loka seu. Kau bisa menaiki dinding batu itu menuju lapis yang lebih tinggi melalui undakan bebatuan juga. Pipih, belah, tajam, ditata dengan rapi untuk diinjak perlahan. Samping kanan langkah ada batu yang keras, di samping kiri adalah rumah yang lunak, dibangun dari bahan organik yang terus tumbuh dan bisa diganti.
“Permisi, mama..”
Seorang ibu yang menunggu rumah yang ditinggalkan lelaki-lelaki untuk bekerja, duduk di berandanya, Teda Wewa, dengan kaki menjuntai, mengunyah sirih dengan sedap. Di sini, rumah begitu diagungkan. Rumah adalah perlambang keluarga, tempat bertukar cerita sehari-hari, menambah energi, juga beranak pinak.


-
Bagaimana rasa ketika melangkahkan kaki di tengah tumpukan batu lalu seketika anganmu berpikir bahwa waktu tak pernah berputar di sini?
Menaiki rumah dimulai dari tangga batu yang memanjang di sisi depan. Satu undakan batu, dan satu undakan dari bilah-bilah bambu yang dihamparkan. Anak-anak kecil yang belum sekolah berlari naik turun undakan itu. Jika lelah, mereka akan beringsut-ingsut di pojokan mengulik ujung hidungnya yang lebih sering berair.
Dari teda wade bisa langsung menyapa tetangga di kiri dan kanannya tanpa harus turun ke tanah. Batas setinggi sandaran bahu membuat kepala bisa menoleh dan mengobrol, bersapa canda tentang sehari-hari. Antar mereka sebenarnya bisa saling melompat karena jarak yang hanya sepelangkahan. Tapi di sinilah batas pribadi itu ada, ketinggian yang membuat segan. Tumpuan batu yang membuat rumah-rumah deret ini bisa berdiri tinggi, dengan undakan sebagai jalan memutar.
Sa’o Ata adalah perlambang kepala badan dan kaki, ditumpu oleh batu yang kuat, ditunjang tiang-tiang yamg ditebang pada umur yang cukup, dinaungi lembaran ilalang yang ringan dan tebal, seimbang untuk melindungi keluarga yang memanfaatkan ruangnya.



Memasuki sa’o dari depan adalah permisi terhadap pribadi, dari teda wewa, menuju teda one, hingga tiba di dalam one. Di dalam ruang-ruang pribadi terkandung cerita tentang masa lalu, tentang hal-hal yang dijaga, bukan rahasia namun tak perlu diceritakan. Di sini hanya ada hal-hal baik yang dijaga sejak masa leluhur. Jika sempat berada di dalamnya, berarti sudah dianggap keluarga.
Ada jarak di antara kedua rumah di mana atap-atap ilalang menjuntai jatuh, berjalan di gemerisik helai diterpa angin ringan. Lorong di samping dua sa’o, menuju bagian belakang tempat air-air mengalir, membersihkan banyak hal sebelum masuk lagi. Di belakang tempat bersenda gurau tanpa sekat, hal-hal tidak disembunyikan, berlarian dari ujung ke ujung. Dari sini bisa mengintip kaki-kaki penunjang rumah, melihat itu berdiri kokoh.



-
Dan berpikir, seberapa besar batu yang ada di bawah sana? Seberapa dalam tanah di bawah ini hingga mencapai batu-batu padas penahannya. Dan seberapa sering ia bergetar oleh Gunung Inerie di kejauhan?
Tanah lapang di depan deretan rumah membentang dari loka ulu (kepala) hingga loka eko (ekor) berderet dari bawah ke atas, tingkat demi tingkat yang ditahan oleh dinding-dinding batu, tempat berkumpul untuk mendoakan leluhur, ruang terbuka yang dijaga untuk senantiasa ada, tanpa dibalut keserakahan untuk memiliki. Langkah demi langkah di tanah ini melalui tangga yang didaki satu demi satu. Setiap tingkatan adalah loka, halaman dari rumah-rumah yang berada pada ketinggian yang sama. Sembilan loka woe yang dibatasi oleh batu-batu mulai dari titik rendah hingga yang tinggi, loka Seu, loka Dizi Ka’e, loka Wato, loka Deru, loka Dizi Azi, loka Kopa, loka Ngadha, loka Ago dan loka Bena.
Tinggi rendahnya tanah tidak membuat kedudukan rakyat Bena menjadi berbeda. Alam yang memberi tanah dan manusia yang membagi-baginya harus hidup rukun tanpa memandang siapa yang di atas atau di bawah. Batu-batu yang menguatkan tanah dan tidak melongsori satu sama lain. Ture, susunan batu berjajar.



Loka adalah tempat bertemu. Tempat Bhaga, rumah bersyukur dan Nga’dhu kekuatan laki-laki berdiri berdampingan. Juga batu-batu perkasa yang berdiri tegak menjulang ke angkasa, dan altar batu persembahan. Melangkah dengan hati-hati, agar tidak salah menginjak posisi.
“Tidak boleh naik ke sini bukan, Mama?”
Altar batu itu bukan tempat bermain. Di situ doa-doa dipanjatkan pada hari-hari tertentu, di antara ture-ture yang mengelilinginya. Kerasnya batu yang tidak mudah terkikis dan tetap tidak dipindahkan dari tempatnya sesudah ratusan tahun. Ada yang tidak bergerak dan tetap diam di sini, berdiri dan merasakan energi yang begitu kuat. Ini adalah pertunjukan diam di tanah lapang. Ruang yang mengundang orang untuk berkumpul. Batu di dekat dan gunung di kejauhan, pijakan dan ketinggian, seimbang dalam ruang kosmis.



-
Apa yang kau lihat di ketinggian? Serupa pangkal daun yang membesar, atau seperti ujung helai yang meliuk? Di sini ketinggian adalah ekor, tak ada jalan keluar selain jurang.
Berdiri dari atas eko Bowoza hingga memandang ulu Mangulewa, deretan rumah di kiri dan kanan dan hamparan loka di tengah-tengah. Mulai terasa semilir angin di puncak sini. Beristirahatlah sejenak sambil membaca ke mana udara akan bergerak. Mungkin di titik ini kau bisa mengambil keputusan-keputusan penting dalam hidupmu. Mungkin butuh ketinggian untuk berpikir lebih jernih.
Sabuk hijau melingkari Desa Bena, alam raya di luar sana. Ota ola, begitu istilahnya. Hijau adalah hutan luar yang senantiasa bergerak, tumbuh mengikat udara, dan menjadi penunjang utama kelangsungan desa. Energi terluar yang menjaga keseimbangan. Hutan, rumah, tanah, dan tugu batu, seperti kulit yang berlapis-lapis menjaga harmoni gerak hingga diam. Gerak alami dari hutan, gerak teratur dari manusia dalam rumah, dan gerak perlahan hingga diam di tanah lapang.
“Sudah tidak turun hujan sejak bulan Mei.”
Langit biru terlalu cerah berpadu matahari di atas ubun-ubun. Peluh mulai mengucur di pelipis mengeluarkan sisa air yang sudah ditelan sejak pagi. Tapi Inerie yang berdiri jauh di sana tetap hijau, dikelilingi pepohonan yang tidak mengering, seakan ada sumber air sembunyi di bawah sana yang tetap menghidupi.






Aku mengitari Bena hanya sekitar dua jam sebelum di tengah hari. Tidak ada pemandu yang menemaniku berkeliling, sehingga semua yang kutuliskan berdasarkan interpretasiku terhadap tipologi kampung dan literatur yang kubaca. Pada jam aku mampir ke sana, hampir semua penduduk lelaki pergi ke kebun untuk bekerja. Ada beberapa mama dan anak-anak balita yang berkeliaran, namun kurang lancar berbahasa Indonesia. Jadi, aku tidak banyak bisa menggali informasi selain dari yang tertulis di sa’o tamu.
Kampung Bena dan kampung Luba memiliki tipikal rumah yang sama, karena sebenarnya mereka masih satu hubungan kekerabatan. Hirarki ruang-ruang di dalamnya sama, pola bermukimnya sama-sama mengitari loka di tengah, hanya bentuk geometris kampungnya yang berbeda. Tidak banyak suara-suara yang terdengar di pagi menjelang siang itu, relatif sangat sepi, karena itu ada interpretasi terhadap batu dan kesunyian. Batu megalithikum mendominasi pandangan dan aura yang ditangkap dari kampung ini.
Banyak wisatawan mancanegara yang berkunjung ke kampung ini, untuk melihat bagaimana pola hidup tradisional di kampung ini. Penduduknya sudah terbiasa dengan orang-orang yang berkunjung, sehingga tidak canggung lagi. Ketika aku meninggalkan kampung ini di tengah hari, banyak penduduk yang beristirahat kembali ke rumah untuk makan. Mereka akan menyambut dengan ramah, menawarkan untuk mampir sambil bercengkrama.
perjalanan 10 nopember 2014
ditulis 9 februari 2015
literatur : Arsitektur Vernakular : Keberlanjutan Budaya di Kampung Bena Flores (Martinus Bambang Susetyarto, Penerbit Padepokan Seni Djayabhinangun, Sukoharjo, 2013)
keterangan :
loka : halaman
nga’dhu : tiang beratap, perlambang kekuatan lelaki
bhaga : bangunan tempat roh nenek moyang, simbol ibu
sa’o : rumah
one : bagian rumah paling dalam
cerita sebelumnya :
flores flow #1 : fly to kelimutu
flores flow #2 : maria, gadis pemandu sa’o ria koanara
flores flow #3 : debu lintas trans ende-bajawa
flores flow #4 : luba, doa dari kaki gunung Inerie
Gila.. Antara batu , bambu (alas), dan atap warnanya hampir sama. Keren tempatnya 🙂
sangat down to earth banget! mungkin supaya tidak bisa dideteksi dari luar angkasa? jadi mimikri gitu 😀
[…] cerita selanjutnya : flores flow #5 : loka, batu, dan bena […]
[…] cerita sesudahnya : flores flow #4 : luba, doa di kaki gunung inerie flores flow #5 : loka, batu, dan bena […]
[…] cerita sebelumnya : flores flow #1 : fly to kelimutu! berikutnya : flores flow #3 : debu lintas trans ende-bajawa flores flow #4 : luba, doa di kaki gunung inerie flores flow #5 : loka, batu, dan bena […]
[…] cerita selanjutnya : flores flow #2 : flores flow #2 : maria, gadis pemandu sa’o ria koanara flores flow #3 : debu lintas trans ende-bajawa flores flow #4 : luba, doa di kaki gunung inerie flores flow #5 : loka, batu, dan bena […]
Begitu asli, begitu tak tersentuh, begitu hidup, dan begitu sarat dengan makna kehidupan. Memang, kadang kita belajar tentang hakikat hidup dari asal, asal yang sebenar-benar asal. Tempat ini menurut saya memberi pelajaran yang sangat meruah, bahkan dari setiap inci dan tinggi bebatuan di sana. Dinaungi Gunung Inerie sebagai pengawas, supaya semua insan tetap mawas.
Itu dolmenkah, Mbak? Lalu, masyarakatnya sendiri berpenghidupan dari mana? Astaga, daerah itu betul-betul ada di dalam kotak kaca… *masih takjub sendiri*
Gara, yang amazing banget, Bena ini sering sekali dikunjungi wisatawan mancanegara, dan letaknya tak jauh dari kota Bajawa. Masih mudah dicapai dari jalan besar pula.
Terus, mereka masih menjalani kehidupannya seperti dunia itu tidak berputar. Benar-benar perenungan sekali, apakah mereka tetap bertahan tanpa modernisasi karena nuraninya sendiri, menjaga kekayaan leluhur?
Masyarakatnya berpenghidupan dari kebun-kebun di sekitar mereka. Kopi Bajawa yang terkenal itu dari daerah sini juga. Kecukupan untuk tidak berlebih-lebihan membuat mikrokosmosnya terjaga.
Aku suka banget kalimatmu : Dinaungi Gunung Inerie sebagai pengawas, supaya semua insan tetap mawas. 🙂
Betul itu mirip dolmen, tapi aku baru menemukan istilah Ture untuk batu-batu menhirnya itu, kaau dolmen kan di bawahnya kadang ada kubur, kalau ini seperti altar persembahan..
Makasih banget tanggapannya..
cantik yaaaa … ini jadi salah satu impian ku 2015 ini, semoga bisa bisa bisa
cantik bangettt, aku mau ke sini lagi dan desa2 sekitarnyaaa…
dari batu sampe rumah, warna hampir seragam ya. abu-abu gitu. keren
rumahnya sebenarnya kecoklatan sewarna tanah. batunya yang abu-abu.. tapi emang jd warna tanah ya..
[…] mampir ke kampung Luba dan kampung Bena, yang termasuk wilayah Ngadha, dengan pola bermukim yang hampir mirip. Jalan rayanya tidak terlalu […]
[…] flores flow #3 : debu lintas trans ende-bajawa flores flow #4 : luba, doa dari kaki gunung Inerie flores flow #5 : loka, batu, dan bena flores flow #6 : dingin bajawa, panas aimere, dan hujan […]
[…] flores flow #3 : debu lintas trans ende-bajawa flores flow #4 : luba, doa dari kaki gunung Inerie flores flow #5 : loka, batu, dan bena flores flow #6 : dingin bajawa, panas aimere, dan hujan ruteng flores flow #8 : wae rebo, […]
[…] Ruteng – Denge Tak jauh dari kota Bajawa, luangkan waktu untuk singgah ke desa Luba dan desa Bena yang berada di kaki gunung Inerie dan dilalui dalam perjalanan. Nikmati kehidupan desanya, […]
[…] Dari Kupang ke Bajawa dilanjutkan dengan pesawat Wings Air dengan baling-baling dan terbang rendah. Huih, akhirnya sampai lagi di daerah yang terkenal dengan desa-desa adatnya yang indah ini. Tentu saja aku pernah punya cerita tentang Bajawa, sebelum akan ada tulisan baru nanti. […]