-
Aku tidak pernah sampai puncak.
Jam delapan tiga puluh pagi itu, ketika matahari mulai bangun dari balik punggungan puncak, ketika langit memantul di Danau Segara Anak di bawah, ketika tiupan menghantam tubuhku yang terseok-seok di jalur berpasir, aku menyerah.
“Mas Sopyan, sampai sini saja,” ucapku gemetar sambil menahan tangis dan dingin. Satu jalur pendakian di depanku menuju puncak nampak 45 derajat di depan. Aku tak kuat lagi. Sudah hampir 6 jam kami berjalan dari Plawangan Sembalun, dan belum juga sampai titik pendakian akhir. Kakiku rasanya kaku untuk digerakkan.
Menahan dingin, aku paksakan untuk mengambil gambar keindahan danau dengan anak gunung baru yang muncul di tengah-tengahnya ketika erupsi. Danau yang merupakan kaldera Rinjani itu memantulkan langit biru yang cantik dengan awan berarak.
Ya, aku takluk oleh kebesaran-Mu. Mungkin hati ini terlalu angkuh untuk yakin menundukkan. Mungkin juga ketakutan terlalu besar mengalahkan. Mungkin lelah yang disembunyikan akhirnya nampak juga. Mungkin tak seharusnya aku terus berjalan sendiri.
Aku berdiri merentangkan tangan dan melihat sekeliling. Punggungan tipis yang tadi kami lewati. Puncak yang tidak jadi dicapai. lereng berkabut dengan edelweiss. Jalur pasir yang menyeret badan. Bebatuan keras yang menahan. Matahari yang membias di belakang.
Terima kasih, Tuhan. Walau hanya sampai titik ini Kau sanggupkan aku untuk melangkah, aku bersyukur sudah diberi kesempatan melihat sepotong keindahanmu dari atas sini. Alhamdulillah.




Tak sampai dua jam aku tiba lagi di Plawangan Sembalun dengan beberapa insiden jatuh terpeleset di pasir. Ada serombongan turis Jepang yang ketika mereka naik tadi melewati aku, ternyata turunnya pun menyalip aku lagi yang terseok-seok. Hmm, fisik mereka pasti terlatih dengan baik.
Dari kejauhan, aku melihat Jay yang berdiri di depan tenda kami dengan jaket jingganya. Setengah berlari aku sampai di titik aku mulai tadi. “Aku nggak sampai puncak,” isakku pelan. “Sudah, nggak apa-apa,” katanya sambil mengacak-acak rambutku. Kabut tipis mulai naik di lereng kiri dan kanan kami. Perlahan, danau Segara Anak dan lembah edelweiss itu hilang dari pandangan. Lima belas menit kemudian, gumpalan putih mengambang di sekeliling. Aku termangu melihat pemandangan itu. Seperti berdiri di atas awan.

Sesudah beristirahat secukupnya, kami makan dan membongkar tenda untuk turun ke tepi danau. Kata Sopyan, dibutuhkan waktu sekitar 3 jam sampai bawah. Aku menghitung-hitung, mungkin kalau dengan kecepatan seperti kami, bakal 5 jam sampai bawah.
Ternyata, jalur turun menuju danau dipenuhi jalur berbatu yang cukup curam. Beberapa kali kami harus berhenti dan melangkah hati-hati menuruni ketinggian hingga satu meter. Kabut timbul tenggelam di sekeliling kami. Sesekali aku berpegangan pada akar ilalang untuk menahan badanku supaya tidak jatuh.
Tapi perjuangan menuruni lereng itu dibalas dengan keindahan yang setimpal. Padang ilalang yang ditemui sebelum hutan, mengerling keemasan dengan latar air danau di kejauhan. Tak sabar aku menuju tepi danau yang beriak-riak ringan dengan sepoi angin yang menderu tipis di telinga.



Benar, seperti perhitunganku, memang jam 5 sore kami baru tiba di tepi danau. Kecepatan jalan seorang pemandu dan pendaki pemula sepertiku tentu berbeda sih. Udara di tepi danau begitu damai dan tenang, namun lama-lama mendingin. Gemerisik pepohon diterpa angin mendesiskan suasana nyaman.
Ketika keesokan harinya banyak pendaki yang meneruskan perjalanan ke Plawangan Senaru untuk turun lewat Senaru, kami memilih untuk menikmati tempat ini sehari lagi. Butuh pemulihan setelah pendakian panjang kemarin. Siapa yang tidak ingin berlama-lama berada di tepi danau cantik ini? Waktu menyihir kami untuk berada di sini, melepaskan lelah di mata air panas tempat berendam melepaskan penat, memandang jauh ke lereng air mengalir, ditemani awan berarak di angkasa.
Sore itu tiba satu rombongan pendaki empat orang keluarga dari India. Aw, tetiba aku teringat pada satu keinginan terpendamku untuk pergi ke negeri itu. Aku mengajak mereka mengobrol dan mengutarakan keinginan-keinginan mengunjungi beberapa lokasi di sana. Mereka ramah sekali mengobrol denganku bahkan sampai kami bertukar alamat email. Hmm, mungkin ini pertanda untuk ke sana sesegera mungkin.
Beberapa pendaki memancing ikan yang bisa terlihat dengan mata telanjang di bermain-main di air yang bening. Malah satu grup yang mendirikan tenda di samping kami bercerita bahwa malam sebelumnya mereka menangkap ikan dengan tangan kosong. Asyik sekali!






Sesudah sehari dua malam bermalasan di tepi danau, memang kami harus kembali namun melalui jalur Senaru. Jalur ini relatif lebih kering, melalui hutan, namun cukup curam juga. Berjalan terus ke atas dengan pemandangan di belakang yang luar biasa membuat rasa enggan untuk meninggalkan tempat yang rasanya sudah mengikat hati ini.
Warna koral biru dari langit membias di air danau seperti melambaikan tangan pada kami, menahan untuk tetap tinggal. Sofyan dan Budi sudah mengingatkan bahwa pendakian pulang ini akan cukup berat, dan ternyata mereka tidak main-main! Sesudah jalan setapak yang melelahkan, di depan jalur batu-batu yang sering sekali harus dipanjat sambil mengangkat badan.
Kami berjalan sepanjang sisi kanan tebing dan sisi kiri jurang. Di beberapa tempat terdapat handrail besi untuk kami berpegangan supaya tidak gamang melangkah sendiri. Hampir tengah hari ketika aku tiba di Plawangan Senaru. Panas terik luar biasa menyambut ketika aku melangkah di atas bebatuan di daerah itu. Rasa haus juga menyergapku, namun air minum sudah hampir habis.






Perlahan-lahan aku meniti bebatuan landai diiringi gonggongan anjing yang ikut pemiliknya, salah seorang peladang daerah Senaru. Aku harus cepat melalui bebatuan ini, karena kabut segera turun, bisa-bisa jalur tidak kelihatan lagi. Jay dan Sopyan masih jauh di belakang, sementara Budi sudah turun di bawah. Dari kejauhan tampak ia nongkrong-nongkrong di Pos 3. Hati-hati aku melangkah turun.
Sampai pos 3 aku bertemu dengan keluarga India ini yang sedang makan siang hasil masakan porternya. Dengan ramah mereka menawarkan nenas yang kuterima dengan ringan hati. Sebenarnya aku tak terlalu doyan nenas tapi setelah berhari-hari makan daging awetan, baru kali ini aku makan buah. Segarnya!
Sambil duduk-duduk aku melihat Jay turun perlahan melewati jalur berbatu yang tadi kulewati. “He will be here by fiften minutes,” tebakku sambil mengobrol dengan salah satu dari keluarga India itu. “Ah, I thought it would more than thirty minutes,” kata pria India yang bermukim di Singapore itu. Dia benar! Jay memerlukan waktu 45 menit untuk sampai di tempat kami. Ia kepayahan dan langsung melahap nenas yang aku berikan padanya.


Rombongan India itu meninggalkan pos terlebih dahulu. Aku yakin kami akan bertemu lagi di jalan nanti. Sesudah cukup istirahat, kami melanjutkan perjalanan. Jalur berikutnya berpasir, sehingga kami harus agak berhati-hati melangkah. Tapi tak terlalu panjang lalu mulai memasuki hutan. Pada awalnya Budi, aku, Jay, Sopyan berjalan beriringan. Lama kelamaan Budi berjalan jauh di depan, dan aku di belakangnya beberapa menit sampai tak melihat sosoknya lagi.
-
Aku sendirian.
Jay yang cedera kakinya tak bisa cepat melangkah ditemani Sopyan sepertinya jauh di belakangku. Budi jauh di depan. Aku benar-benar sendiri. Terkadang hanya suara burung yang kudengar atau suara angin. Selebihnya tenang sekali.
Vegetasi di jalur Senaru ini cukup rapat sehingga sinar matahari hanya sedikit menembus jalur yang kami lalui. Berpegang pada kata-kata Sopyan untuk mengikuti jalur saja, aku melangkah ringan sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Mungkin satu album Sheila on 7 sudah kunyanyikan sambil aku berjalan sendirian.
Sesekali aku berhenti cukup lama sambil menunggu Jay dan Sopyan tiba. Tapi tetap saja ketika mulai berjalan bersama lagi aku akan berjalan agak cepat dan kembali mereka tertinggal di belakangku.
-
Ada apa dengan sendirian?
Saat-saat ketika jalan berteman hanya angin, kemerisik dedaunan, dan burung yang sahut-menyahut di luar sana. Mungkin itu saatnya berpikir tentang diri sendiri, tentang masa depan, tentang kesendirian (lagi).

Menjelang magrib aku tiba di pos 2. Keluarga India itu ternyata menginap semalam di sini karena tenda mereka terpasang rapi. Ada dua shelter di sini semua dipadati kumpulan porter dan guide. Aku meneguk teh hangat yang ditawarkan oleh pemandu keluarga India tadi sambil menunggu Jay dan Sopyan yang ternyata baru tiba setengah jam kemudian.
“Sudah gelap. Jalannya bebarengan saja, jangan pisah-pisah kayak tadi,” pesan pemandu grup India tadi pada Sopyan dan Budi. Sesudah tenaga kami pulih, beriringan turun dengan menyalakan headlamp masing-masing. Berjalan dengan kekuatan yang berbeda-beda harus ditemani dengan toleransi satu sama lain. Yang jalannya lebih cepat harus rela menurunkan temponya, sementara yang berjalan lambat juga tidak bisa terlalu manja. Syukurlah kami kompak berjalan dalam gelap.
Setelah lewat satu pos ‘bayangan’ di mana aku sempat mengganti kaus yang basah keringatan, kami berjalan terus sampai pos 1. Sempat merasa tertipu juga karena melihat papan petunjuk menuju pos 1 hanya 1 km, tapi itu kan jarak horisontalnya? Lha kita kan turun vertikal? Dalam gelap, berjalan harus lebih ekstra hati-hati karena resiko terperosok atau kepleset ketika melangkah.
Mungkin sudah jam 9 malam ketika kami sampai di pos 1. “Ayo, sedikit lagi sampai gerbang!” semangat Sopyan pada Jay yang kelelahan. Kakiku yang sudah berjalan sejak pagi juga mulai lelah. Ah, sudah etape penghabisan ini, harus kuat!
Tadi sempat kuamati bahwa di antara pos-pos istirahat tadi, jenis vegetasi di kiri dan kanan kami berubah. Sesudah savana kering di pos 3 atas tadi, dan pepohonan hutan hujan tropis, menjelang pos 2 banyak tanaman pandan-pandanan. Makin ke bawah vegetasi berkayu dengan akar-akar gantung dan tipis yang menyilangi jalan kami makin banyak. Salah satu petunjuk dekat pos 1 juga adanya beberapa pohon beringin yang tumbuh di jalur itu.
Aahh, akhirnya kami tiba di gerbang Senaru juga. Ada satu pondok di situ yang menjual pisang goreng yang langsung kulahap sambil selonjoran. “Masih jauh ke tempat istirahatnya, mas?” tanyaku pada Budi. “Ah, deket kok jalan ke desanya,” jawabnya sambil menghembuskan asap rokok.
Ternyata masih dua jam lagi barulah kami sampai di Rinjani Trekking Centre di desa Senaru sekitar jam 1 pagi. Jadi total kami berjalan sejak jam tujuh pagi tadi adalah 18 jam! Aku terduduk di depan rumah sambil membuka sepatu yang sudah melindungi kakiku selama ini. Begitu berdiri, kaki rasanya lemas. Meraih ponsel, aku mengirim email pada teman-teman Travel Blogger Indonesia :
“Sudah turun Rinjani. Lepas sepatu, kaki rasanya mau copot.”
Alhamdulillah.
No one ever loses anyone. We are all one soul that needs to continue growing and developing in order for the world to carry on and for us all to meet once again.
― Paulo Coelho, Aleph
perjalanan 3-7 Nopember 2013
ditulis di Villa Soegi – Jogja, 01.11.2014 | 00:47
cerita pendakian > renjana rinjani : menuju kabut di hening sang dewi
cerita persiapan > renjana rinjani : bukan hanya membawa hati
cerita penerbangan > air asia dalam rengkuhan mimpi rinjani
Aku masih mengumpulkan keberanian untuk kesana, rasa nya masih blm pass buat berangkat. Ngebayangin capek nya dah bikin malesss tapi angkat jempol buat kak indri 🙂
Adeuuh, kak cumi, aku nggak sampe puncak kokk.. *nangis*
Tapi pengen lagi ke sana, yang pemandangannya indahh..
[…] cerita selanjutnya menuju puncak : renjana rinjani : jalan mengenali diri […]
so indah !!!!!!
[…] rinjani mountain, lombok : cerita penerbangan > air asia dalam rengkuhan mimpi rinjani cerita persiapan > renjana rinjani : bukan hanya membawa hati cerita pendakian > renjana rinjani : menuju kabut di hening sang dewi cerita puncak dan pulang > renjana rinjani : jalan mengenali diri […]
Puncak hanyalah bonus ya kan Mbak, kita punya batas-batas diri yang hanya kita yang tahu. Kadang saya menganggap, baik sekali ataupun belum mencapai puncak, tak cukup sekali saja mengunjungi Rinjani yang luas dan indah. Lengkap.
Perjalanan turun (yang naik dulu) ke Senaru dari Segara Anak benar-benar menguji kesabaran, karena itulah jalur pulang. Menguji mental, fisik. Lelah sekali, tetapi setibanya di kampung Senaru, tiba-tiba mendadak rindu dengan segalanya di atas gunung. Selalu seperti itu di gunung manapun.
Dalam hati saya berkata, ah bolehlah kita kapan-kapan mendaki bareng? Hehe 🙂
[…] piknik, bukan ke desa adat, bukan snorkeling ke gili, bukan leyeh-leyeh di resort, apalagi bukan mendaki gunung Rinjani yang jelita, melainkan mengamati dari dekat bagaimana pertanian tembakau menghidupi masyarakat Lombok Timur. […]
[…] GILI TRAWANGAN : LIVING AND TOURISM ARE COUPLED DESA TRADISIONAL SENARU, KUNJUNGAN PASCA RINJANI RENJANA RINJANI : JALAN MENGENALI DIRI RENJANA RINJANI : MENUJU KABUT DI HENING SANG DEWI RENJANA RINJANI : BUKAN HANYA MEMBAWA HATI TUGU […]