A village is a hive for a glass, where nothing unobserved can pass.
– Charles Spurgeon
Aku melihat gerbang desa ini tengah malam ketika kami turun dari gunung Rinjani di desa Senaru. Keesokan paginya ketika kami sudah beristirahat semalam, aku meluangkan waktu untuk mengunjungi desa yang berada di tengah permukiman biasa, namun dipisahkan oleh gerbang. Seolah ada dunia tersendiri di dalamnya.
Kami diterima oleh salah satu warga desa. Ia mengenakan sarung khas Sasak dan banyak bercerita. Di desa adat Sasak Senaru bangunannya masih menggunakan material maupun bentuk lokal. Hampir seluruh mata pencaharian dari kaum lelaki di sini adalah bertani, karena itu di siang hari suasananya tampak sepi.
Di bagian depan desa terdapat dua bale bersama. Bangunan dengan tiga tonggak utama di tengah ini dipergunakan untuk aktivitas bersama dari empat rumah yang ada di depannya. “Di sini digunakan untuk belajar bersama anak-anak, atau ibu-ibu yang mengobrol sambil bekerja mempersiapkan masakan, atau sering juga digunakan bapak-bapak untuk pertemuan. Duduk-duduk melingkar saja di atas dipannya itu, sambil membicarakan hal-hal yang dianggap penting,” jelas bapak penduduk asli itu.


Pola desa ini cukup unik dan rapi. Baris pertama dari depan adalah dua bale berderet, lalu baris berikutnya empat rumah berderet menghadap depan, lalu empat rumah lagi membelakangi rumah depan yang menghadap dua bale bersama lagi di tengah. Berikutnya berulang dengan empat rumah yang menghadap bale bersama di tengah desa tersebut. Di belakangnya lagi, ada dua bangunan tinggi yang ternyata ada lumbung beras. Jadi, pola kebersamaan di sini cukup penting, karena ada beberapa bale yang memang memudahkan warganya untuk bersosialisasi.



Rumah-rumah di sini dibuat dari tiang kayu yang duduk di atas pondasi batu yang menerus. Lantainya sudah disemen dengan ketinggian yang sama dengan pondasi tersebut. Sekeliling dinding ditutup dengan anyaman bambu, kecuali pada bagian teras setinggi 80 cm.
Kuda-kuda atap menggunakan kayu, sementara gording, kaso dan rengnya dengan bambu berbagai ukuran, kemudian ditutup dengan berlapis-lapis ilalang kering yang diikat pada setiap usuk. Wuwungan atapnya dijepit dengan dua bilah bambu yang membentuk pola yang khas. Seperti bangunan tradisional lainnya, kebiasaan mereka memasak di dalam rumah bisa mengeringkan ilalang ini sehingga tidak terjebak dalam kelembaban.








Di bagian yang menghadap belakang rumah yang berhadapan, ada lumbung tempat penduduk desa yang bertani menyimpan hasil, lalu dikeluarkan untuk dimakan sehari-hari. Di bawahnya, penduduk memelihara kambing yang memakan sayur-sayuran. Selain kambing yang diikat, banyak berkeliaran ayam dan anjing yang berlarian bebas di pelataran tanah desa.




Kampung adat ini relatif mudah dicapai, bisa menggunakan angkutan umum dari Mataram-Anyar Bayan, kemudian dilanjutkan ke desa Senaru lalu berjalan kaki sampai kampung adat. Di luar desa ini juga termasuk pilihan titik awal pendakian ke Gunung Rinjani, yang bisa dicapai dengan 1 hari sampai Danau Segara Anak, 1 hari lagi sampai Plawangan Sembalun, baru ke puncak. Objek wisata lain yang menarik di desa Senaru ada Rumah adat Karang Bajo dan Masjid Kuno Bayan. Selain itu juga dapat menikmati keindahan alam di sekitar desa, seperti Bangket Bayan, Air terjun Tiu Kelep dan Air terjun Sindang Gila.
Summary of Senaru Traditional village:
I saw this village gate midnight when we came down from Mount Rinjani in Senaru village. The next morning when we had rested overnight, I take the time to visit the villages in the middle of the regular settlement, but separated by a gate. We were received by one of the villagers wearing his traditional sarong.
Village pattern is quite unique and neat . The first line of the front are two bale, then the next row of four houses in a row facing the front, and four more back to the front of the house facing the two bale together again in the middle. Next repeated with four houses facing the bale together in the middle of the village. Behind them, there are two buildings which was a rice granary. Thus, the pattern of togetherness here is quite important, because there are some for residents to socialize.

The results of the villagers who farmed stored in the barn. Underneath, residents raise goats who eat vegetables. Besides tied goat, a lot of wandering chickens and dogs running free in the courtyard of the village land.
The houses here are made of wooden poles which sits on top of the stone foundation. The floor has been cemented with the same height as the foundation. Around the walls covered with woven bamboo, except on the terrace as high as 80 cm .
Structured by wooden roof truss, while the purlins, rafters and battens made by bamboo of various sizes, covered with layers of dried reeds tied to each rafter. The top of the roof clamped with two bamboo slats that form a distinctive pattern. As with other traditional buildings, their habit of cooking at home can dry reeds.

This traditional village is relatively easy to achieve, can use public transport from Mataram – Anyar Bayan, then proceed to Senaru village and walk to the traditional village. Outside this village also included a selection of the starting point of climbing to Mount Rinjani , which can be achieved with 1 day to Lake Segara Anak, 1 more day until Plawangan Sembalun, until the top . Another interesting attraction in the village of Senaru includetraditional house Karang Bajo and the Bayan Ancient Mosque. In addition, visitors can also enjoy the natural beauty around the village, such as the Banqueting Bayan, Tiu Kelep waterfall and Sindang Gila waterfall.
visited 7 Nopember 2013 just written on the way to flores one year after.
because story always worth to tell..
rinjani mountain, lombok :
cerita penerbangan > air asia dalam rengkuhan mimpi rinjani
cerita persiapan > renjana rinjani : bukan hanya membawa hati
cerita pendakian > renjana rinjani : menuju kabut di hening sang dewi
cerita puncak dan pulang > renjana rinjani : jalan mengenali diri
satu tempat yg belum sempat dan masih menjadi impian ehhee
ayo, kamu yang sudah ke mana2 harus ke sini!
baru sampai gili trawangan doang indri.. mau sih tp jatah cuti tidak ada lagi
Wah, tunggu post-ku berikutnya tentang Gili Trawangan deh.. 😉
siapp
Gw masih penasaran ama mesjid kuno bayan, kapan lalu ngak sempet mampir.
btw sudah ada unsur semen nya yaaa buat lantai nya, kirain masih kayu 😉
kalau yang asli sasak malah bukan kayu, kak. tapi tanah. jadi dasar lantainya tanah yang dipadatkan gitu..
damai banget desanya
karena siang hari sepi, kaak.
Mantap Ndri, semua sudutnya terekspose dengan jelas dalam postingan ini.
Senaru, desa yang selalu bikin aku pengen balik ke Lombok
Kalau aku lagi pengen nyoba stay Sembalun, kak. Kayaknya masih asli lantainya tanah.
kalo diliat dari model rumahnya sih agak2 mirip sama kampung naga… 😀
oh, jelas beda. kalau rumah di kampung naga berdiri di atas umpag batu, sementara ini berdiri di atas pelat tanah (sekarang diganti semen)
coba dibandingkan dengan kampung naga bisa dibaca di :https://tindaktandukarsitek.com/2013/10/15/kampung-naga-dalam-uraian-uriya/
🙂
[…] Aku belum menulis tentang Sade, tapi pernah mampir ke desa Sasak yang lain di Senaru : desa adat di bawah rinjani […]
[…] undangan ke Lombok kali ini bukan piknik, bukan ke desa adat, bukan snorkeling ke gili, bukan leyeh-leyeh di resort, apalagi bukan mendaki gunung Rinjani yang […]
[…] DI LOMBOK SELATAN HAMPARAN HIJAU TEMBAKAU LOMBOK GILI TRAWANGAN : LIVING AND TOURISM ARE COUPLED DESA TRADISIONAL SENARU, KUNJUNGAN PASCA RINJANI RENJANA RINJANI : JALAN MENGENALI DIRI RENJANA RINJANI : MENUJU KABUT DI HENING SANG DEWI RENJANA […]