Apa yang kamu harapkan dari menjejakkan kaki di sebuah tanah berbentuk persegi, di bawah sinar matahari yang cerah pagi hari, dikelilingi rumah-rumah yang tidak bisa berbicara kepadamu?
Maka kamu akan melangkah pada rumah terdekat di mana ada seorang lelaki tua dengan tenun-tenun berwarna warni bergelantungan di depannya. Ia bertanya dari mana asalmu, dan menawarkan seplastik kopi untuk dibawa pulang sebagai buah tangan. Sembari tersenyum wajahnya menjelaskan bahwa ia tertinggal di sini sementara yang berbadan lebih kuat darinya berada di kebun untuk merawat apa yang mereka tanam beberapa saat sebelumnya.
“Kopi ini takarannya satu cangkir. Harganya lima ribu.”
Tanpa bahasa yang cakap, tak perlu penjelasan banyak bahwa selendang-selendang berwarna-warni yang terhampar bisa ditukar dengan beberapa rupiah yang tidak sedikit untuk dibawa pulang. Pertanda juga bahwa ada kegiatan yang dilakukan di sela-sela hari untuk menghasilkan satu karya yang indah.



Rumah-rumah tidak pernah bercerita apa-apa kecuali kamu benar-benar mencari tahu apa yang terjadi di situ. Bangunan kayu yang mengelilingi tanah merah tempat berlindung dari panas maupun hujan yang mungkin turun. Berdiri di atas bongkahan batu, satu kejeniusan lokal untuk menghindari rayap naik hingga ke batang-batang penyangga atap. Hutan-hutan bambu yang mengelilinginya tak perlu mendapatkan siraman residu untuk menghindarkan diri dari serangan hewan pengeropos ini.
Sinar matahari bersinar terik meskipun hari masih dua jam menjelang tengah hari. Langit biru yang mendominasi ditambah beberapa serpihan awan memberi latar kesempurnaan pada elemen-elemen penguat dunia. Warna tanah sebagai elemen penyangga mendominasi perlambang kekuatan. Tak ada yang berani mengubah warna dasar ini. Apa yang sudah diberi oleh alam, tetaplah menyelaraskan. Tidak iri, tanpa menonjol.
Tidak ada kiblat tertentu pada rumah-rumah pendiam ini. Semuanya hanya bermuka pada tanah persegi yang menjadi halaman depan bersama, tempat mungkin menghabiskan waktu di sore hari, atau tempat berkumpul sembari memanjatkan doa kepada sang Hyang. Empat pasang tonggak yang berpasangan di tengah tidak boleh dijadikan tempat bermain, sebagai sarana berbicara pada yang dipuja.


Seorang mama duduk sambil menenun kain sebagai kegiatan sehari-harinya. Beranda rumahnya yang beralas bilah bilah bambu yang tipis tahun menemani cermat tangannya memainkan batang dan benang warna di pangkuannya. Ia tersenyum ramah dalam posisinya terpasung alat tenun kesehariannya. Bibirnya terkulum merah oleh sirih kegemaran.
Beranda ini tempat warga saling bertegur sapa, berkumpul sambil bercerita berbagi hari. Beralaskan deretan kayu yang disusun horisontal di atas balok-balok membentang, dengan celah di antaranya untuk mengatasi muai di hari panas atau susut di musim penghujan. Lihatlah ke samping, deretan gigi babi yang sengaja dipamerkan, pertanda sudah seberapa sering penghuninya mengadakan perayaan. Babi sebagai sajian utama, dihidang dalam penuh ria di antara doa-doa.
Seluruh deret depan beranda yang terbuka, memberi jejak selamat datang pada setiap tetamu. Memberi ramah pada siapa yang hadir lewat lapangan di depan. Namun dinding tepi beranda yang setinggi punggung ketika bersandar, membatasi dari sisi kiri dan kanan, mengalihkan jalan bertandang hanya dari depan. Semua cerita hanya dari satu pintu, ditampung di depan, tanpa kasak kusuk di samping atau belakang.
Bilah-bilah bambu ditangkupkan sebagai naungan, dibelah dibagi dua, kemudian dipersatukan lagi untuk melindungi. Batang bambu tidak terbaring utuh bergandengan dengan sesamanya, karena keangkuhan ini tidak akan melindungi. Celah-celah yang mungkin terjadi antara deretan bambu pasti menjadi jalan bagi air hujan untuk mengganggu penghuni beranda. Batang yang pernah tinggal berkelompok ini dibelah dua, disusun berderet dan ditumpuki tangkupan sebelah yang lain, sehingga tidak ada lagi celah untuk menyelisip di antaranya. Satu penyelesaian tradisional yang sederhana tanpa bantuan lembaran anorganik.





Sebuah pintu kayu di atas undakan mengundang untuk mengintip ke dalamnya. Dua anak tangga membuat orang tidak bisa berdiri tegak lagi ketika sampai di undakan teratas. Kepala terpaksa harus ditundukkan karena menyentuh ujung naungan bambu di atasnya. Mungkin kau jadi teringat pada masa kecil ketika tinggimu masih memungkinkan untuk keluar masuk ambang pintu tanpa harus merunduk. Rupanya dewasa adalah pertanda merendahkan kepala sebagai tanda hormat, permisi pada pemilik rumah sebelum melangkahkan kaki menuju ruang pribadi. Ketika akal budi menjadi pedoman sehari-hari, di situlah batas-batas antara mulai dikenali.
“Boleh aku masuk, Ma?”
“Jangan, bukan keluarga tidak boleh masuk.”
Seberapa pentingnya dirimu, tidak berarti apa-apa di sini. Keluarga. Sesuatu ikatan yang sekental darah, seperti apa yang mungkin mengalir ketika mendirikan rumah ini. Satu ruangan dalam yang tidak diperkenankan dilangkahi karena tak ada kekerabatan. Ruang dalam yang dinamakan ‘one‘, rahim ibu yang rahasia, tempat cerita-cerita bermula.
Dua tiang utama di bagian dalam yang mungkin berdiri di atas kepala tertanam di bawahnya, melalui upacara-upacara pembentukan ruang untuk tempat keluarga mereka beranak pinak.


Dari luar, pelepah rumbia menutupi bagian-bagian pelindung bangunan dari panas dan hujan. Warnanya yang awalnya kecoklatan perlahan-lahan menua dimakan tahun. Lembabnya di dalam akan senantiasa kering oleh asap yang berteman dengan abu ketika bahan mentah diubah menjadi masakan di bagian belakang. Diikat oleh bubungan di atas, sebagai penyatu keluarga tak terpisahkan.
Kembali ke tanah lapang yang suwung, tak ditemani oleh gelak tawa anak-anak kecuali bocah ingusan yang naik turun undakan depan rumah mama. Udara menghangat ketika matahari beranjak naik di atas ubun-ubun. Sedikit angin tidak menerbangkan debu ketika langkah diayunkan ke pelataran lebih tinggi. Gunung Inerie berdiri damai di kejauhan. Dengan menunduk takzim, makam akan tertangkap mata dengan lindungan tebing di atasnya. Satu komposisi latar gunung kuburan yang membuat hormat menjadi lebih dalam, kepada leluhur atau doa pada yang jauh.
Teriakan anak-anak dari sekolah sebelah memecah kesunyian yang dijaga di siang hari. Desa Luba di tengah hutan-hutan bambu, menyepi dari keramaian kota Bajawa, tetap berdiri di antara doa-doa rakyatnya yang tak putus dipanjatkan.
perjalanan : 10.11.2014
ditulis di : rawamangun-karet-depok-manggarai 04.02.2015. 18:45

sa’o saka pu’u dan sa’o saka lobo

(dengan mahkota ata – laki-laki)

(dengan mahkota anaie – perempuan)




cerita sebelumnya :
flores flow #1 : fly to kelimutu
flores flow #2 : maria, gadis pemandu sa’o ria koanara
flores flow #3 : debu lintas trans ende-bajawa
cerita selanjutnya :
flores flow #5 : loka, batu, dan bena
Kain tenunnya keren 🙂
kain tenun di flores super keren-keren!
Masyarakat di sana seperti tak tersentuh oleh waktu yang sama dengan yang mempermainkan kita di ibukota ya :))
Mereka tetap setia dengan kearifan budaya dan kesederhanaannya, ingar-bingar dalam sunyi doa yang terucap :terharu
Atapnya itu menurut saya penemuan unik :hehe. Selama membaca tadi paling terkesan dengan atap dan kain tenunnya itu :hehe
atap bambunya itu genius loci banget! kearifan lokal sederhana tapi kena banget.
kalau cara berdiri di atas batu itu mungkin agak sama dengan beberapa tempat di indonesia.
salut dengan cara penulisannya kak, membuat pembacanya tergoda untuk menuju kesana.
Kain tenun gitu ada yang murah gag ya 😦
kain tenun rata2 harganya di atas 100rb untuk selendang kecil pun.
hehee, thanks ya sudah membaca. ditunggu kedatangannya… 😀
Masyarakat Flores yang sangat kental ciri budayanya. Tak hanya arsitektur rumah tapu juga tenunnya. Ah kekayaan Indonesia ini sangat membanggakan Mbak Indri ….
ada yang lebih canggih dari saya nulisnya tentang tenun, mbak vie.. saya mah baru mendokumentasikan saja..
Rumah yang indah dan tenunan yang menggoda mbak in. Semoga pas ke sana bisa membawa pulang satu tenunannya 😀
Bawalah, jangan sampai menyesal. Jangan lupa bawa hati juga #eh
Duh kangen floresssss
Aku juga kangen floressss, ke sana lagi yuukkk…
Aku benar-benar harus belajar cara mendeskripsikan sesuatu dengan indah dan sempurna di blog ini.
oke fix!
Mbak aku mau deh ngeles sastra sama kamu :)))))))
Aduuh, ngeles. Kamu juga tulisannya bagus koookkk…
*sstt, coba bongkar2 disgiovery deehh..
rumahnya
ada keindahan di balik kesederhanaannya
*kapan ya bisa ke sanaaa
hihihihi
segera.. segeralah pulang…
*terus ngelist titipan buku-buku* 😀
[…] untuk meninggalkan goresan pesan di bangunan pertama yang ditemui. Bangunan yang mirip sama dengan desa Luba sebelumnya, sama-sama serumpun di daerah Ngadha, desa dengan bertumpu pada […]
[…] sesudahnya : flores flow #4 : luba, doa di kaki gunung inerie flores flow #5 : loka, batu, dan […]
[…] : flores flow #1 : fly to kelimutu! berikutnya : flores flow #3 : debu lintas trans ende-bajawa flores flow #4 : luba, doa di kaki gunung inerie flores flow #5 : loka, batu, dan […]
[…] #2 : maria, gadis pemandu sa’o ria koanara flores flow #3 : debu lintas trans ende-bajawa flores flow #4 : luba, doa di kaki gunung inerie flores flow #5 : loka, batu, dan […]
[…] mampir ke kampung Luba dan kampung Bena, yang termasuk wilayah Ngadha, dengan pola bermukim yang hampir mirip. Jalan […]
Must be… Must be at Inerie… Must be there…. *nyanyi sesenggukan* 😦
ke… kenapa, Qy? Inerie indah banget ya. bener2 menaungi sekali..
Menjulang gitu mbak, kerucut sempurna.. Adem kalau lihat gunung mah, apalagi ini bukan di Jawa 🙂
Iya, tapi belum pernah lihat jalur pendakiannya. Katanya di puncaknya ada salib gede..
[…] #2 : maria, gadis pemandu sa’o ria koanara flores flow #3 : debu lintas trans ende-bajawa flores flow #4 : luba, doa dari kaki gunung Inerie flores flow #5 : loka, batu, dan bena flores flow #6 : dingin bajawa, panas aimere, dan hujan […]
[…] #2 : maria, gadis pemandu sa’o ria koanara flores flow #3 : debu lintas trans ende-bajawa flores flow #4 : luba, doa dari kaki gunung Inerie flores flow #5 : loka, batu, dan bena flores flow #6 : dingin bajawa, panas aimere, dan hujan […]
[…] Aimere – Ruteng – Denge Tak jauh dari kota Bajawa, luangkan waktu untuk singgah ke desa Luba dan desa Bena yang berada di kaki gunung Inerie dan dilalui dalam perjalanan. Nikmati kehidupan […]
[…] nyaman, bisa langsung terus menulis berparagraf-paragraf hingga selesai. Contohnya tulisan tentang desa Luba ditulis dalam bus transjakarta Pramuka-Kampung Melayu, disambung dengan angkot ke Casablanca dalam […]