flores flow #1 : fly to kelimutu

IMG_1505

The reason birds can fly and we can’t is simply because they have perfect faith, for to have faith is to have wings.”
― J.M. Barrie, The Little White Bird

“Dalam beberapa saat, pesawat ini akan mendarat di Bandar udara Komodo, Labuan Bajo..”
Lho? Kok di Labuan Bajo? Tujuanku kan mau ke Ende? Aku melihat gugusan pulau-pulau di laut Flores lewat jendela sambil bertengok-tengok pada pramugari yang sudah duduk manis di kursinya itu dalam posisi mau mendarat.

Drama urusan pesawat ini belum selesai rupanya. Setelah dua hari sebelumnya skedul penerbangan TransNusa Denpasar-Ende dibatalkan sepihak sehingga aku kelimpungan mencari tiket baru, tadi di bandara Ngurah Rai pun gate penerbangan Wings Air pindah dari gate 3 ke gate 5 tanpa pengumuman, sehingga kami berlari-lari pindah gate karena ada petugas keliling menanyakan : Ende? Ende? Dan sekarang pesawat ternyata mendaratnya di Labuan Bajo. Huwow!

ende, right?
ende, right?

Jadi, Labuan Bajo itu ada di Flores bagian barat, sementara Ende ada di Flores bagian timur. Kira-kira 390 km jauhnya menurut google maps. “Mbak, jadi pesawat ini ke Ende, kan?” tanyaku pada pramugari manis ketika pesawat ATR 72 berbaling-baling itu mendarat di landasan bandara. “Iya, mbak. Nanti ke Ende. Ini mengangkut penumpang di Labuan Bajo yang mau ke Kupang.”

Ealah, ternyata pesawat ini transit di mana-mana seperti angkot. Catatan untuk pesawat tujuan pulau-pulau gugusan timur ini, rajin-rajinlah bertanya di penjaga gate supaya tidak sesat atau ketinggalan pesawat jadinya. Ternyata penerbanganku ini adalah gabungan jadwal DPS-LBJ dan DPS-ENE yang digabung lagi dengan LBJ-KOE. Padahal dijual dengan jadwal terpisah, loh.

Penerbangan Denpasar-Labuan Bajo adalah jalur yang indah. Aku sarankan untuk mengambil tempat duduk di sebelah kiri, karena pesawat akan terbang di sebelah kanan gugusan pulau-pulau Lombok, Sumbawa, Kepulauan Komodo. Jika cuaca cerah, Gunung Rinjani dan Tambora bisa terlihat jelas keindahannya, di tengah kontur hijau berbukit-bukit pulau-pulau tersebut. Dari atas laut Flores yang terbentang antara Pulau Sumbawa dan Flores ada banyak pulau-pulau cantik yang bertebaran di bawah, dengan bentuk-bentuk unik yang khas.

meninggalkan Bali
meninggalkan Bali
di atas pulau sumbawa
di atas pulau sumbawa
tepian sumbawa timur
tepian sumbawa timur
menjelang labuan bajo
menjelang labuan bajo

Kami berdua diminta pindah ke bagian depan pesawat untuk menyeimbangkan beban karena sebagian besar penumpang turun di Labuan Bajo. Wah, wah ternyata sekarang kami berada di deretan kanan. Semoga saja yang dilihat di samping bukan hanya laut. Ternyata pesawat mengudara di atas pulau Flores sehingga bentang alamnya terlihat jelas dari angkasa melalui jendela kanan. Jenis pesawat ATR 72 yang hanya bisa terbang di maksimum ketinggian hanya di 25.000 kaki membuat leluasa melihat apa yang ada di bawah sana. Udara cerah dan bersih di siang hari membuat kami tak sabar untuk mendarat.

Akhirnya pesawat baling-baling itu mendarat dengan satu hentakan yang cukup bisa ditolerir penumpang di Bandara H. Hasan Aroeboesman, Ende, dalam kondisi langit cerah tanpa awan hampir jam 3 siang, sehingga panasnya, hmm, ini Indonesia, bung. Rasanya mataharinya ada dua di sini. Bandaranya tidak terlalu besar, hanya ada satu ruangan seukuran 10×8 sebagai ruang kedatangan dengan banyak supir mobil sewaan yang berkerumun di sekitar pintu keluar. Kami berkenalan dengan empat turis Belanda yang hendak pergi ke Moni juga. Hmm, mungkin bisa share mobil sewaan?

gerbang bandara Ende
gerbang bandara Ende

Aku yang bertekad naik kendaraan umum saja berkeras untuk tidak meladeni permintaan supir-supir itu. Mereka menawarkan harga Rp. 300.000,- per mobil untuk membawa ke Ende, atau Rp. 100.000/orang jika kami sharing mobil dengan pejalan lain. Sama saja mahalnya, kan? Kesal dengan tarik-tarikan yang begitu ramai, aku meminta untuk diantarkan saja ke terminal untuk naik bis tujuan Maumere. “Nggak sanggup, bang. Bajetnya nggak sampai segitu,” kataku jujur. Kami pamit dengan keempat traveler Belanda itu sambil berjanji bertemu lagi esok hari.

Satu mobil bersedia mengantar kami ke terminal Ende dengan ongkos Rp. 50.000 yang masih sanggup kami tanggung berdua. Dari terminal Ende kami menemukan travel menuju Maumere dengan ongkos Rp. 50.000 per orang. Dengan begitu, berdua jadi Rp. 100.000 saja! Travel memakai mobil Suzuki APV hitam, yang sudah hampir penuh ketika kami berdua naik. Aku duduk di belakang, bersebelahan dengan seorang bapak-bapak tua yang hendak ke Lembata. “Nanti malam saya sampai Maumere, menginap di sana, besok naik kapal ke Adonara. Jalan darat lagi, lalu naik kapal lagi ke Lembata. Paling cepat Senin pagi saya baru sampai Lembata,” ceritanya. Aku tahu pulau Lembata karena pernah menjadi salah satu judul pemenang Khatulistiwa Literary Award beberapa tahun silam. Mungkin jika waktu perjalanan lebih renggang di kesempatan yang lain, aku akan mampir pulau itu.

Kami melewati mobil sewaan empat orang turis Belanda yang tadi bertemu kami di bandara. Mereka sedang asyik memotret sawah terasering di tepi jalan. Ah, melihat sawah mungkin sudah begitu terbiasa untuk kami, yang warga negeri Indonesia itu. Mobil melaju terus melalui jalan dengan tebing-tebing batu di kiri jalan, dan jurang di tepi kanan. “Kalau musim hujan, di sini sering longsor, ” tukas bapak yang hendak ke Lembata itu. “Kalau jalan sudah ditutup, nggak ada yang bisa lewat lagi,” sambungnya. “Padahal ini jalan satu-satunya ke Maumere, Pak?” tanyaku memastikan. Ia mengangguk.

Hmm, sebenarnya aku tertarik untuk terbang dulu ke Maumere baru naik travel ke Moni. Tapi karena jadwal penerbangan ke Maumere dari Bali terlalu mepet dengan jadwal ketibaanku ke Bali, jadi aku mengurungkan niat ini dan memutuskan mengambil penerbangan ke Ende saja. Tentu lebih lengkap rasanya jika overland ini dimulai dari ujung timur hingga ujung barat. Tapi kan masih ada yang lebih timur lagi? Tapi kan? Terus? Ah, manusia memang tidak pernah puas. Selalu ingin mengeksplorasi tempat-tempat baru. Negeri cantik ini terlalu indah untuk dijelajahi dalam waktu singkat.

Aku membuka tasku dan mengeluarkan sebungkus buah anggur. Kutawarkan buah itu pada penumpang-penumpang yang lain. Walaupun baru kenal, namun kami sudah mengobrol-obrol dengan ramai. Benar kata teman-teman, di Flores orangnya ramah-ramah. Kami banyak mengobrol sepanjang perjalanan.

Setelah melewati beberapa desa, naik turun naik berbagai bukit, kami tiba di Moni. Udara dingin menyergap seketika begitu kami keluar dari mobil. Aku meregangkan badan, memandang gunung di belakang, tempat danau Kelimutu berada. Mungkin Danau Kelimutu ada di pikiran utama setiap orang yang datang ke Moni. Ya, mau apa lagi ke Moni kalau tidak ke Danau Kelimutu? Dan ketika akhirnya aku tiba di tepi Danau Kelimutu, wah! Tempat ini memang layak untuk diimpi-impikan.

    Aku datang ke Kelimutu untuk sebuah alasan, mungkin terdengar biasa saja karena banyak orang yang ke sini atas alasan yang sama, melihat danau tiga warna seperti yang ada di uang Rp.5000 di masa kecilku dulu. Tapi untuk menuju ke satu tempat dengan biaya yang cukup mahal membutuhkan alasan yang cukup kuat, bukan hanya sekadar ‘jalan-jalan’ belaka. Kalau alasanku memang karena pemandangan di selembar uang, sejujurnya memang karena itu. Tidak perlu mencari alasan lain yang lebih filosofis. Sederhana saja.

Aku dan Jay berjalan bersama dua orang dari Spanyol yang sama-sama menyewa mobil bersama kami pada jam 4 pagi. Sinar purnama masih menemani jalan penuh tikungan di atas bukit ketika mobil Toyota Avanza itu naik terus menuju start point ke danau tiga warna itu. Tarif masuk untuk wisatawan domestik sebesar Rp. 7500,- sementara untuk wisatawan mancanegara sebesar Rp.225.000,- untuk hari libur. Aku melongo melihat besarnya perbedaan antara tiket masuk itu. Hmm, apakah pengelolaan tempat wisata di Danau Kelimutu sudah begitu bagusnya sehingga patut dibayar wisatawan mancanegara begitu mahal? Aku mengingat beberapa bulan sebelumnya ketika aku pergi ke negeri sakura, banyak tempat wisata yang memasang tarif cukup mahal untuk wisatawan yang bukan warga negara itu.

Dari tempat parkir kami berempat mendaki tangga batu dengan diterangi cahaya senter. Ada petunjuk di beberapa tempat menggunakan bahasa Indonesia sehingga aku menjelaskannya pada mereka. Tapi ketika tidak ada petunjuk lagi, ternyata mereka lebih canggih! Berkalungkan GPS, mereka menemukan jalan menuju danau pertama Tiwu Ata Polo atau disebut danau untuk roh-roh jahat. Kami naik ke atas tepian danau itu, namun karena masih agak gelap dan tidak bisa melihat apa-apa sehingga kami turun lagi dan meneruskan berjalan di jalan setapak berbatu itu ke danau selanjutnya. Kabut pagi menemani perjalanan ini. Aku mengatur napas sejenak, mengingat latihan lari yang kujalani beberapa bulan ini. Udara dingin membuatku merapatkan jaket merah tua yang kupakai dan menutupkan tudungnya di kepalaku.

Kami melalui jalur menanjak di tangga batu yang cukup panjang selama kira-kira 15-20 menit hingga sampai pelataran dengan tugu di atasnya. Ada beberapa penjual kopi dan selendang yang menggelar barang dagangannya di bawah tugu. Bersamaan dengan kami, ada empat turis mancanegara yang sudah tiba terlebih dahulu ke titik tugu tersebut. Seperti kuamati dari Moni semalam, sepertinya wisatawan lokal yang berada di kawasan ini hanya kami berdua.

Karena masih penuh kabut, kami tidak bisa melihat danau Tiwu Ata Mbupu (danau bagi arwah orang tua) dengan jelas. Gumpalan-gumpalan putih masih agak menutupi warna danau yang kali ini berwarna biru gelap itu. Agak ngeri memandang ke bawah, takut terpeleset sedikit lalu jatuh. Aku hanya berpegangan pada sisi pagar dan melongok-longok ke bawah, berpikir kenapa warna danau ini bisa biru gelap seperti ini?

tiwu ata mbupu  (danau untuk arwah orang tua)
tiwu ata mbupu
(danau untuk arwah orang tua)
penjelasan warna danau
penjelasan warna danau

Ketika matahari mulai muncul dari balik kabut, warna danau berikutnya Tiwu Nua Muri Koo Fai (danau bagi arwah muda mudi) mulai tampak jelas. Hijau toska cerah mendominasi pandangan kami. Pasti banyak sekali kandungan belerang di bawah sana. Hampir semua wisatawan yang berada di sana mengarahkan kameranya ketika semburat jingga perlahan muncul di angkasa.

Danau ini luar biasa cantiknya. Angin bertiup ringan menghembuskan rambutku yang berombak-ombak. Udara segar yang dihirup memenuhi rongga dadaku. Latar pegunungan di kejauhan, memberi lansekap indah pada dua danau tak beriak itu. Tiwu Ata Polo terlihat di samping jauh Tiwu Nua Muri Koo Fai. Tak heran tempat ini banyak diimpikan oleh para pejalan yang mampir ke Pulau Flores.

Aku terdiam lama di samping pagar memandangi kedua danau tersebut. Rasanya ingin menunggu semburat jingga itu merekah dan kabut naik supaya makin melihat keindahan dua danau itu. Ingin tersenyum lebar dan bahagia sekali berada di sini. Since I was young, this place is something might be only in my imaginary all this time, watching through magazine or television. Dan sekarang aku berada di sini, di tepian mimpiku. Seandainya aku punya sayap seperti burung Gerugiwa yang kicauannya terdengar di sepanjang jalan tadi, tentu aku akan memandang ketiga danau tersebut dari udara, mengagumi keindahan ciptaan Yang Kuasa.

tiwu nua muri koo fai (danau untuk arwah muda mudi)
tiwu nua muri koo fai
(danau untuk arwah muda mudi)
tugu tempat menunggu matahari terbit foto: jay
tugu tempat menunggu matahari terbit
foto: jay
    Kalau nggak nekad, nggak akan ke mana-mana, In.

    Aku teringat dengan berbagai persiapan yang kulakukan untuk bisa tiba di sini. Dari membeli tiket promo ke Denpasar dari Jogja, menyisihkan dana THR, membeli tiket Trans Nusa yang ternyata batal terbang, pontang-panting dengan sinyal ketika mendadak hunting tiket baru, persiapan rute dengan mencereweti banyak orang yang pernah ke sini, mencari info dari blog hingga tengah malam, belanja dari jauh, packing, hingga… berhenti bekerja.

    Aku memutuskan berhenti dari kantor tempatku bekerja sebulan sebelum perjalanan ini dimulai. Aku ingin lebih santai, tidak diburu-buru pekerjaan, dan melakukan perjalanan dengan santai. Bukan jenuh, aku hanya ingin berhenti bekerja dan mengambil waktu luang saja. Dan pergi jauh ke timur adalah salah satu impianku sejak dulu.

    And I thank you who dare to accompany me. Meskipun hanya sekadar menuntaskan janji.

jalur turun dari puncak gunung kelimutu
jay turun dari puncak gunung kelimutu
tangga yang tadi kami lalui mendaki  foto : jay
tangga yang tadi kami lalui mendaki
foto : jay

Kami menuruni tangga ketika matahari sudah mulai naik dan langit mulai cerah biru. Jalur yang kami naiki tadi ternyata cukup panjang namun indah sekali. Kami turun sendiri-sendiri sambil mengabadikan lansekap savana yang menghampar di situ. Di bawah kami berbelok lagi ke danau pertama tadi, Tiwu Ata Polo. Menurut brosur yang diterima, danau pertama ini kadang-kadang bisa berwarna cokelat. Ketika kami ke sana danaunya berwarna hijau toska, sama dengan Tiwu Nua Muri Koo Fai di sebelahnya. Masyarakat setempat mempercayai perubahan warna pada ketiga danau tersebut berkaitan dengan dinamika sosial politik yang ada di Indonesia.

tiwu ata polo (danau arwah orang jahat0 foto : jay
tiwu ata polo
(danau arwah orang jahat0
foto : jay

Di bawah terdapat tanah lapang tempat memberi makan arwah leluhur yang dilaksanakan pada saat Festival Kelimutu yang disebut Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata. Masyarakat Lio percaya bahwa arwah orang yang meninggal akan tinggal di salah satu dari tiga danau di puncak Kelimutu, tergantung perbuatan selama hidupnya. Ah, semoga acara-acara ritual ini kelak bisa terus dilakukan oleh warga sekitar tanpa terlalu banyak penonton yang merusak kesakralan acaranya.

jalanan yang mulai melandai
jalanan yang mulai melandai
tempat memberi makan arwah
tempat memberi makan arwah

Kami bertemu dengan serombongan keluarga yang bercakap-cakap dalam bahasa Flores yang hendak berwisata melihat danau Kelimutu. Aku tersenyum lebar menyapa mereka yang sudah terlihat agak lelah mendaki tangga-tangga di awal. Senang sekali melihat bahwa obyek wisata ini tidak hanya dinikmati oleh orang asing, tapi warga sendiri juga memilih tempat ini sebagai tempat mengisi liburan. Untung biaya yang dibebankan pada warga lokal cukup murah dan terjangkau.

Hai, Indonesia. Aku tidak akan pernah puas menjelajah negerimu dan menyapa ramah warganya, yang merupakan saudaraku juga. I have my faith.

DSC_3431

perjalanan 8-9 nopember 2014
ditulis di pojok adiguna | 12 januari 2015

cerita selanjutnya :
flores flow #2 : flores flow #2 : maria, gadis pemandu sa’o ria koanara
flores flow #3 : debu lintas trans ende-bajawa
flores flow #4 : luba, doa di kaki gunung inerie
flores flow #5 : loka, batu, dan bena

63 thoughts on “flores flow #1 : fly to kelimutu

  1. ah, dulu temanku punya pacak dokter di ende. setiap hari dipamerin foto dan diajak kesana. sayang gegara urusan kuliah jadi gag sempat terus..

    sekarang liat postingan ini langsung jadi pengen kesana 😦

  2. aku cuma bisa nahan napas kak pas matahari terbit. temen jalanku bersujud, ini impian dia jaman sma dan kesampean di usia 35. pengen ke sini lagi lho tapi masih banyak tempat indah di negeri ini belum didatengin

  3. Aku suka dengan kata-kata Kak Indri “Kalau nggak nekad, nggak akan ke mana-mana, In”. Setuju, karena perjalanan2 terbaik biasanya dilakukan secara nekad haha. Kelimutu pemandangannya bagus, jadi ingin ke sana. Apalagi danaunya. Senang karena kakak berhasil mencapai mimpi ke sini. ^^ Terima kasih untuk foto2nya yang indah! Waiting for your next posts. 🙂

  4. Saya kira, wujud uang 5ribu rupiah bergambar Kelimutu juga menjadi alasan harus pergi ke sana. Tak ada yang lain. Kapan ya? 😦

      1. aku nggak mengoleksi kok. tapi aku terobsesi ke tempat2 yang ada di uang2 itu. baru ke nias, komodo, kelimutu, dan lagi pengen banget ke maitara seperti uang 1000-an sekarang.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.