If the bite doesn’t kill the prey outright, the venom will.
Matahari bersinar cukup terik ketika kami tiba di Pulau Rinca, yang termasuk dalam pengelolaan Taman Nasional Pulau Komodo. Dermaga Pulau Rinca hanya berisi empat perahu berukuran sedang. Mungkin sudah sejak pagi turis-turis ini tiba, sehingga menjelang jam 11 begini sudah tidak terlalu ramai. Menyusuri dermaga hingga ke pintu gerbang, ternyata tak ada satu pun ranger yang menyambut di situ. Lho, bagaimana ini? Tapi ada jalan setapak yang bagus ke arah kanan. Bersama dua pasang turis, kami menyusuri perkerasan jalan setapak itu, hingga bertemu gerbang dan satu padang besar kosong di mana jalan setapak ini seperti melayang di atasnya. Sequence yang indah sebagai jalan masuk!
Perbukitan berwarna keemasan terhampar di depan mata. Musim kemarau yang lambat berakhir di sini hanya menyisakan sedikit kehijauan pada pohon-pohon. Langit biru yang membentang di angkasa memberikan kontras ditengarai gugusan mega. Berjalan di tengah padang itu, di ujungnya baru ditemui kantor-kantor pengelola Taman Nasional ini.
Kami masuk salah satu kantor untuk membayar tiket masuk. Untuk wisatawan domestik seperti kami hanya perlu membayar Rp. 20.000,- saja ditambah tiket kamera seharga Rp. 5.000,-/unit. Semua wisatawan diharuskan diantar oleh pemandu untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Komodo adalah binatang buas berbahaya yang hidup secara liar di sini. Tentu tidak boleh gegabah dengan mencoba sok-sokan jalan-jalan sendiri di sini. Bisa-bisa ketangkap komodo, nanti.




Di dekat kantor pengelola terdapat beberapa bangunan fasilitas yang cukup lengkap. Ada satu tempat duduk-duduk tempat turis bisa beristirahat dan membeli sedikit jajanan. Nuansa alami sangat kental di sini dengan kayu-kayu sebagai tiang dan batu alam yang dibiarkan kasar di dinding. Di langit-langit yang dibiarkan terbuka, berbaris rapi kayu-kayu kecil telanjang dari kulitnya. Toiletnya yang merupakan satu bangunan terpisah sendiri pun berdinding batu-batu dengan atap yang dibiarkan mengambang di atas tembok berdirinya, memberi sela untuk pengudaraan alami.


Pemandu kami, bernama Pak Samad, membawa kami melintasi halaman hingga tiba di depan beberapa bangunan panggung yang di bawahnya, ada komodo-komodo sedang tidur-tiduran! Mungkin karena panas, komodo ini memilih berteduh dan bermalas-malasan di naungan ini. Komodo ini berwajah garang namun terlihat agak malas. Geraknya pun hanya sedikit menggeleser kiri dan kanan. Beberapa orang mencoba berfoto di tempat yang agak berjarak dengan komodo ini. “Jangan terlalu dekat,” kata pemandu mereka. Walaupun mereka terlihat malas, jangan berharap bisa berpose sambil mengelus-elus mereka misalnya. Binatang berdarah dingin ini ternyata bisa berlari dengan kecepatan hingga 20 km/jam. Satu tips dari pemandu kami, jika kebetulan dikejar komodo, larilah zigzag karena komodo hanya bisa mengejar dalam garis lurus.


Komodo (Varanus komodoensis) adalah binatang berdarah dingin, spesies kadal terbesar di dunia yang hanya ditemukan di Pulau Komodo, Pulau Rinca, Flores, Gili Motang dan Gili Dasami ini sekarang berada di ambang kepunahan sehingga populasinya dilindungi oleh pemerintah dalam Taman Nasional. Komodo masuk dalam keluarga biawak, yang bisa berjalan di darat maupun berenang di air. Badannya yang besar mungkin disebabkan karena alam tinggalnya yang luas.
Kami memasuki hutan yang kering mengikuti jalur jalan setapak. Ranting dan pohon kering di mana-mana. Warna kecoklatan tanah berbaur dengan batang-batang pohon. Benar saja, komodo bisa menyembunyikan diri di antara lansekap ini. Warna tubuhnya tak bisa dibedakan dengan batang pohon rebah. Mereka bisa bersembunyi dari kewajiban sebagai tontonan. Di Pulau Rinca yang seluas 1000 hektar ini, terdapat kurang lebih 2000 ekor komodo.
Komodo menghasilkan 15-20 butir telur setiap pada masanya. Komodo betina hanya bertelur di satu lubang, namun ia juga menggali banyak lubang di sekitarnya untuk mengelabuhi musuhnya misalnya babi, ular, atau komodo lain. Ia menjaga sarangnya selama tiga bulan, lalu sesudah lewat musim hujan ia baru meninggalkan sarangnya. Biasanya telur menetas sekitar bulan Maret-April setelah berumur sekitar 8-9 bulan. Ukuran bayi yang baru menetas sekitar 35 cm. Setelah keluar dari lubang, anak komodo akan melihat-lihat sekitar karena ia rentan menjadi mangsa predator, termasuk menjadi incaran komodo dewasa. Anak komodo ini akan hidup di atas pohon selama kira-kira tiga tahun dan memakan binatang-binatang di atas pohon seperti cecak atau tokek, namun terkadang turun ke tanah dan mengambil air minum. Di pohon pun, anak komodo tetap harus waspada terhadap predator lain, yaitu burung elang. Tingkat keberhasilan hidup anak komodo cukup rendah, hanya sekitar 16%. Sedihnya, predator bayi komodo ini paling besar adalah para komodo dewasa.
“Kalau terkena gigitan komodo, maka harus segera dilarikan ke Bali untuk diberi antibiotik khusus,” Pak Samad bercerita, pernah ada seorang ranger yang tergigit komodo ketika sedang patroli pagi-pagi. “Mungkin karena belum terlalu terang, sehingga tidak melihat komodo dan terkejar hingga tergigit. Untunglah patrolinya tidak sendiri, sehingga komodo yang menyerang bisa dihalau.”
Jika mau melihat lebih banyak komodo, datanglah di pagi hari, pesan Pak Samad. Karenanya kami tiba di Pulau Komodo jam tujuh pagi. Dermaganya yang panas dan cukup panjang, karena dermaga ini juga dipersiapkan untuk kapal-kapal besar kelak, sehingga tidak terlalu dekat garis pantai. Tepian pulau Komodo penuh dengan pepohonan rindang yang dilalui dalam perjalanan menuju kantor Taman Nasional. Satu keunggulan pengelolaan tempat ini dibanding beberapa taman nasional yang pernah kukunjungi adalah adanya jalur sirkulasi yang jelas untuk pengunjung.
Dari tepi laut hingga kantor harus melalui selasar terbuka dari susunan kayu yang berdiri di atas tanah. Mungkin ini untuk mengamankan pengunjung apabila tiba-tiba ada komodo yang merayap-rayap di tanah. Kami juga melalui bangunan tempat penjualan cinderamata nanti siang dijual.



Selepas dari kantor pengelola, pemandu membawa kami berkeliling pulau dengan menyusuri jalan setapak yang cukup rapi dibatasi oleh batu-batu kecil di kiri dan kanannya. Berjalan di sini sebenarnya lebih nyaman menggunakan sepatu trekking. Tapi karena kupikir medannya tidak berat, sepatu aku tinggal di Labuan Bajo kemarin. Menurut pemandu kami, terkadang komodo berjemur di atas bukit di pagi hari. Pemandu selalu membawa satu tongkat dengan ujung Y untuk menghalau komodo. Ujung ini dipergunakan untuk menahan tongkat di ketiak supaya tidak licin.
Aku bertemu satu komodo yang sedang beristirahat di bawah pohon, di jalur perjalanan kami. Pulau ini lebih ramai daripada pulau Rinca, dan yang mengerumuni komodo yang sedang asyik melata itu pun cukup banyak. Pemandu kami ini cukup canggih, ia menyuruhku berdiri di belakang komodo sementara ia mengambil foto dengan sudut pandang yang cukup oke.



Yang lebih menarik dari pulau ini sebagai salah satu unggulan pariwisata adalah sequence-nya yang indah. Alur perjalanan berubah-ubah mulai dari lorong-lorong kanopi pepohonan kering, jalan berbatu hingga ke puncaknya, gugusan bentang pulau yang kecoklatan kering. Musim kemarau yang panjang tidak menyisakan banyak titik hijau di sini. Hampir semuanya kecoklatan di sekeliling, memberikan aroma kayu-kayu kering berpadu dengan amisnya udara laut. Angin yang sedikit bertiup memberikan sedikit lelah.
Hampir keseluruhan area di pulau Komodo ini kering kemarau sehingga panas teriknya cukup menyiksa. Sesudah bersusah payah mendaki hingga ke puncak Sulphurea Hills demi menemukan komodo yang berjemur, ternyata tak ada satu pun kecuali ranting-ranting kering. Mungkin jam delapan pagi sudah cukup kesiangan untuk komodo, sehingga mereka bersembunyi lagi di hutan-hutan dan enggan menjadi tontonan turis.
Walaupun panas, namun turun dari bukit berbatu tadi aku masih tertarik untuk mendaki satu bukit dengan gazebo di atasnya bernama Fregata Hills. Namanya cantik. Berada di puncaknya yang makin panas karena hari makin siang sebenarnya melelahkan, namun terbayar oleh tangkapan mata gugus tepi pulau yang melengkung di bawah kontras dengan air laut yang membiru.
Kami malah menemukan komodo lagi sekembalinya di bawah di dekat bangunan mess. Jadi timbul pertanyaan, kenapa komodo-komodo ini lebih mudah ditemukan dekat-dekat dengan tempat orang menjaga daripada di hutannya sendiri? Di pulau Rinca pun kemarin begitu. Apa mungkin di sini lebih banyak benda berdaging yang berdarah? Hm. Semoga komodo-komodo ini tidak merencanakan apa-apa.
Rinca-Komodo 14-15 Nopember 2014
late night 19.03.2015 | 00:20
cerita sebelumnya :
flores flow #11 : seputar lingkar sawah cancar
flores flow #8 : wae rebo, melestarikan arsitektur dengan tulus
flores flow #6 : dingin bajawa, panas aimere, dan hujan ruteng
flores flow #1 : fly to kelimutu
Ternyata gak banyak berubah ya Rinca sekarang dengan tahun 2010. Rindu luar biasa T_T
Jangan berubah, deh. Tetap begitu saja. Hutan2 dan ilalangnya cantik…
Aamiin!
Tak kira pose bareng Komodo mbak 😀
Ada sih, tp di hape :p
Sekalian disertakan mbak, duh nggak ngeri pa mbak haaaa
aku kmrn ke situ pas musim panas.. semua coklat keemasan , pengen pas ijo royo di musim hujan
iyaa, aku iri dengan foto2 dalijo 😀 siang panas terik benar yaaaa…
tulisan yang berhubungan dgn flores selalu bikin mupeng
ayuk ke sana lagi dong winny….
rencana tahun depan
Mungkin mereka tumben melihat manusia Mbak, jadi penasaran :hehe.
Bagus alamnya, khas daerah Sunda Kecil bagian timur :)).
Seru, setengah menakutkan tapi sangat menantang :)). Keren banget!
aduh benar, buat komodo yang malas-malasan mungkin pikirnya, “huh, manusia. gak penting! gak usah ribut ato kucaplok!”
lalu malas-malasan lagi.
Ya mungkin juga :hihi.
Pada foto paling atas, jalan setapaknya kayak emang bener melayang gitu ya, Kak. 😀
Komodo-komodonya kayak nggak bertulang gitu. Melempem semua badannya ke tanah. Haha… jadi bikin pengeeeeen ke Komodo. 😀
Sukaaa komennya kak Citra.. Komodonya malesss.. Hus, awas dikejar komodo :p
Hihi…itu komennya modus aja biar ntar diajakin juga ke Pulau Komodo. Wahahahha… :p
aku modusin dong biar diajak ke Pulau Komodo lagiii… :))
[…] juga beraneka ragam. Jika punya waktu satu hari, bisa ke Pulau Rinca saja atau pulau Komodo saja. Dua hari satu malam, bisa mampir ke kedua pulau habitat kadal raksasa Komodo itu. Tambah satu hari lagi, bisa mampir Pulau Padar yang lengkungannya indah. Titik snorkeling dan […]
share tentang akomodasi dong kak… trus itinerary yg oke, emang lebih nyaman ke Rinca dulu baru ke Komodo ya? thanks in advance 🙂
kalau mau tahu lebih mending mana sih nggak tahu, wong baru sekali 😀 ke komodo dulu juga bisa, tapi emang lebih jauh, berangkatnya harus lebih pagi.
Kangen komodonya #eghhh
Mbak in, dipostingan paling bawah kok tertulis rinca komodo november 2015? Yg dimaksud apa 2014? Kan skrg msih maret 2015 hehehe
ooh, iyah. dibetulin deh. makasih ya dari komodo…
[…] cerita tentang Pulau Rinca dan Komodo : flores flow #12 : bukit-bukit kering pulau rinca-komodo […]
Dari fotonya sudah terbayang gersang dan panasnya, mbak. Cieee sekarang mbak Indri udah punya pose khas 😀