Beberapa waktu lalu, aku tergelitik ketika membaca beberapa keluhan tentang kunjungan ke desa adat yang dianggap ‘komersil’. Tidak satu dua kali keluhan itu muncul ketika sedang mencari data tentang kunjungan ke desa adat. Tuduhan itu semata-mata karena ada harga yang harus dibayar ketika ingin menginjakkan kaki ke dalam desa tersebut. Yang aku ingin tanyakan balik, memangnya definisi ‘komersil’ yang ada di pikiran-pikiran itu? Sembari membuka KBBI daring, ternyata yang ditemukan adalah kata ‘komersial’. Begini artinya :
Berarti, apabila suatu tempat dikomersialkan, berarti ada keuntungan yang diambil dari uang yang diterima oleh desa adat. Bentuk berupa uang masuk laksana tiket yang mungkin tidak dikenakan pajak ini sering dikeluhkan oleh beberapa pejalan yang tiba-tiba datang ke pintu desa dan ditawari untuk membayar dan diberi penjelasan tentang asal-usul desa. Sayangnya, tak semua rela untuk membayar karena merasa tidak tahu (atau tidak mau tahu) imbal balik apa yang mereka akan terima. Maka aku melihat dari beberapa desa yang pernah aku kunjungi. Desa-desa ini tidak cukup mudah untuk dijangkau, namun tetap banyak orang yang ke sana.
Desa 1 : Baduy Dalam, Banten
Ketika kami tiba di Ciboleger dan hendak menuju desa adat di dalam, ada beberapa orang yang bersedia mengantar melalui jalan-jalan. Jumlah imbalannya memang sukarela per kelompok, tapi bayangkan ia bisa memandumu selama 4-5 jam, sambil menjelaskan sejarah budaya desanya. Kebanyakan orang Baduy Dalam tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik, sehingga jika ada yang bisa berkomunikasi dengan pendatang, seharusnya layak mendapatkan imbalan. Mereka akan bercerita tentang budaya, titik-titik dilarang memotret, hal-hal yang dianggap sakral, dan menjaga desanya. Tidak boleh mandi dengan sabun atau shampoo, karena akan merusak keseimbangan alam, tutur mereka. Orang Baduy Dalam hidup dengan kesinambungan dengan alamnya, makan dari kebun, bahan rumah dari hutan, transportasi berjalan kaki, sehingga mereka sebenarnya tak perlu campur tangan ekonomis dari orang luar seperti kita. Uang diperlukan untuk beberapa kebutuhan varian, seperti membeli ikan, baju, dan lainnya.
ceritanya : baduy dalam : mengembalikan energi positif dalam diri
Desa 2 : Tumori, Nias
Desa ini tidak berpagar berpintu masuk, sehingga setiap orang bisa masuk dan melihat-lihat desa ini. Namun alangkah baiknya jika sebagai orang asing mencari tahu siapa yang bisa ditemui di desa untuk sekadar permisi. Karena sewaktu di sana aku dijamu oleh keluarga Zebua, jadi mereka mengantarku berjalan-jalan melihat beberapa rumah adat yang masih berdiri dan diperbaiki pasca gempa. Sempat juga masuk dan melihat-lihat isi rumahnya yang asli, beratap rumbia dan berjendela tingkap, berkenalan dengan pemilik rumahnya yang hangat. Berkat Tumori, aku mendapatkan sahabat baik yang tetap berkontak hingga kini.
Namun di desa sebelahnya yang berjarak sekitar 3 km dari Tumori, penduduknya tidak mengizinkan desanya untuk dikunjungi wisatawan untuk difoto-foto. Katanya, mengganggu keseharian dan tidak untuk tontonan. Padahal rumah-rumah Omo Niha-nya lebih asli dan cantik. Keputusan mereka tentunya harus dihormati.
ceritanya omo niha di keramahan desa tumori
Desa 3 : Kampung Naga, Jawa Barat
Begitu tiba di gerbang kampung, seorang pemandu akan menawarkan jasanya untuk mengantar berkeliling. Mereka akan menjelaskan sejarah desa, hal-hal yang berkaitan dengan budaya, hal tabu atau tidak boleh dilakukan di sana. Selama menuruni anak tangga sebanyak 300-an lebih itu, pemandu banyak waktu untuk bercerita sebagai persiapan sebelum masuk desanya. Ada beberapa tempat di sana yang memang disakralkan tidak boleh didekati atau difoto seperti petilasan atau bukit arah rumah kepala kampung. Daripada menyesal kelak, memang lebih baik mengikuti ketentuan adat ini. Toh kita adalah tamu, yang seharusnya menghormati apa kata tuan rumahnya. Pemandu juga menjembatani apabila kita ingin mendapatkan informasi dari penduduk desa. Ia juga mengajak mampir ke rumahnya untuk sekadar minum kopi dan gorengan sembari mempelajari setiap lekuk rumah. Pemandu ini tergabung dengan satu paguyuban desa yang belajar bersama-sama untuk mejelaskan tentang wilayahnya. Imbalan yang mereka terima terkontribusi kembali kepada desa yang mata pencaharian utamanya adalah bertani.
ceritanya : kampung naga dalam uraian uriya
Desa 4 : Desa Sade, Sasak, Lombok
Desa ini cukup ramai oleh wisatawan yang mampir dalam perjalanannya menuju pantai Kuta. Ada kotak yang bisa diisi seikhlasnya untuk kas desa, dan pemandu yang mengantar berkeliling gang-gang desa, sambil menjelaskan adat dan budayanya. Hampir di setiap belokan desa Sade terdapat penjual tenun, kain, atau benda-benda kerajinan yang dibuat mandiri oleh warganya. Hampir tidak terlihat mata pencaharian mereka sebagai petani, karena dagangan begitu mendominasi. Ruang-ruang sirkulasi yang dilewati oleh setiap pengunjung menjadi ajang etalase dengan bangunan-bangunan tambahan. Rasanya tidak nyaman untuk mempelajari bangunan dengan cara seperti ini. Tapi mungkin setiap orang punya kepentingan yang berbeda? Mungkin juga orang-orang datang ke desa hanya untuk sekadar mampir berwisata sambil berbelanja tenun.
Aku belum menulis tentang Sade, tapi pernah mampir ke desa Sasak yang lain di Senaru : desa adat di bawah rinjani
Desa 5 : Wae Rebo, Flores
Tidak seperti desa-desa lainnya yang sudah dikenal lama, desa Wae Rebo baru mulai tenar tahun 2009 sesudah sekelompok arsitek mempublikasikan perjalanannya ke sana. Sesudah itu, satu per satu bangunan-bangunan di Wae Rebo direstorasi sehingga bangunan-bangunannya yang disebut Mbaru Niang menjadi komplit kembali menjadi tujuh bangunan kerucut yang berangka kayu dan bambu, serta beratap ilalang. Sembari memperbaiki bangunan, dengan kesadaran mereka juga menanam pepohonan di sekitar desa sebagai bahan baku untuk mengganti atau memperbaiki bagian-bagian rangka yang rusak. Namun sayang untuk penutup atap, yaitu ilalang masih didatangkan dari Pulau Mules yang berada di seberang Dintor, satu desa di Wae Rebo.
Sewaktu aku berkunjung ke Wae Rebo tahun lalu, ada ketentuan untuk membayar sejumlah uang sebesar Rp. 250.000/orang yang berlaku untuk turis domestik maupun mancanegara. Kabarnya harga ini sekarang sudah naik. Uang ini adalah tarif menginap di rumah adat Wae Rebo beserta makan 3x. Selain itu biaya ini juga akan masuk ke kas desa sebagai modal pemeliharaan desa supaya keaslian dan kelokalan Wae Rebo tetap terjaga. Mata pencaharian penduduk Wae Rebo adalah bertani dan berkebun, sehingga mudah ditemukan mereka yang menjemur kopi di halaman desa, kembali dari ladang dan mengobrol santai. Mereka begitu mencintai desanya hingga bisa bercerita panjang lebar.
ceritanya : wae rebo : melestarikan arsitektur dengan tulus
Aku rasa, di jaman dahulu tak ada yang namanya desa adat, karena pasti semua desa pasti menjunjung nilai-nilai adatnya yang dikembangkan sebagai pola desa, material, pola hidup dan bertinggal. Mereka sangat menjaga lokalitasnya karena ada ketergantungan dengan alam, yang harus senantiasa mereka jaga supaya tidak murka dan memberikan bencana. Namun lama kelamaan ketika pengaruh global mulai masuk sedikit demi sedikit informasi dan gaya hidup membuat daerah menjadi berubah. Desa-desa yang berada dekat dengan jalur transportasi menjadi yang paling cepat berubah. Sementara yang tinggal di pedalaman tinggal menunggu waktu.
Apakah rela rasanya apabila kebudayaan yang sudah berumur ratusan tahun ini punah begitu saja? Karena desa adat itu adalah tempat edukasi yang baik tentang hidup yang seminimal kebutuhan manusia. Di situ mereka hidup tidak berlebih dari kebutuhannya, berkebun, bersahabat dengan alam, dan bercerita bangga dengan lokalitasnya.
Benar, desa adat bukan tempat wisata, namun tempat edukasi untuk mereka yang mau belajar tentang hidup, tentang ruang, tentang kesederhanaan, tentang senyum ikhlas. Berkolaborasi dengan tetumbuhan alam sebagai pengokoh bangunan di desa. Material-material yang menunjukkan sifat aslinya. Batu keras si penahan tanah, kayu yang berdiri menopang, dan helai-helai daun ilalang atau rumbia sebagai naungan. Karena beginilah mereka beratus-ratus tahun hidup, dan masih bisa sampai tahun-tahun mendatang. Informasi pengetahuan yang harus banyak dibagi adalah keahlian yang berkaitan dengan teknologi alami sederhana yang bisa mudah diserap dan dikerjakan bersama-sama.
Ada begitu banyak desa yang bisa dimampiri sendiri tanpa membayar juga, namun dengan persahabatan, kata-kata santun, dengan keinginan kuat untuk mengetahui dan menghormati budaya. Mungkin dalam obrolan di antara kopi dan gorengan, dari wajah ramah yang ditampakkan dengan ketulusan. Belajar, bukan untuk mengeksploitasi. Duduk dan berceritalah hingga tegukan bersama membuatmu jadi saudara.
Dana yang dikeluarkan bukanlah untuk komersial dan dipergunakan untuk kepentingan pribadi, namun untuk menjaga lokalitas itu tetap ada, karena keaneka ragaman negeri ini terlalu sayang untuk hilang begitu saja karena tidak ada upaya menjaganya. Ini untuk alam yang akan meregenerasi dirinya sendiri, untuk bangunan-bangunannya yang bergantung pada alam, dan memberikan pengetahuan tentang fungsi ruang hidup. Untuk mereka tetap ada, mempertahankan budayanya, menjadi bangga sebagai bagian dari kultur yang sudah berumur ratusan tahun. Menjadikan dirinya tidak hampa.
Karena menjadi maju bukan diukur dengan dinding tembok atau lantai keramik dan atap mengkilap. Menjadi maju itu menjadi lebih arif terhadap alam. Mempertahankan untuk kesinambungan. Di desa-desa itu kita belajar.
Jakarta, 27 Agustus 2015 : 16.57
Setuju Mbak, bagaimanapun, membantu itu adalah baik. Diniatkan dengan baik, membantu mereka agar tetap lestari dan terjaga.
thanks dukungannya Rif. seneng lho ada mahasiswa yang berpendapat demikian 🙂
Saya gak tau apa desa adat ada di minangkabau atau tidak. Di kampung mama di tanah datar, Pariangan, saat ini pun penduduknya lebih memilih membangun rumah modern yang mentereng bergaya mediterania daripada merestorasi rumah gadang keluarga. Kadang nilai kearifan lokalnya terasa berkurang, hehehe. Mungkin ini bentuk kecil salah kaprah akan pengertian “maju”itu ya kak??
mungkin karena memang nilai-nilai apa yang selama ini tertanam adalah pembangunan identik dengan kepermanenan. Itu terjadi di banyak tempat di dunia koq. material alami juga makin susah dicari karena lahan menanamnya juga berkurang banyak.
Ulasan menarik, mbak. Jadi ini buat pelajaran bagi yang sering mengeluh saat harus mengeluarkan uang jika menuju desa adat. Mereka harus paham dengan alasan-alasan kenapa tidak gratis sesuai dengan harapan mereka.
ada informasi yang didapat ketika mereka masuk koq. jadi bukan nggak ada imbal baliknya. jalan-jalan ke desa adat itu edukatif dan asyik.
setuju banget sama tulisan ini, dan sama sekali tidak berkeberatan jika bisa membantu walaupun sedikit. makasih sharingnya kak 🙂
terima kasih juga sudah baca. menabung lebih banyak untuk hasil yang lebih baik, ya. share doong.. 🙂
Setuju! Dengan uang itu kan bisa membantu mereka bertahan juga, membantu kelangsungan hidup mereka, mencegah dari kepunahan.
Kalau kita bepergian dengan travel atau tour guide, kan harus bayar juga? Mereka menukar waktu, tenaga dan pikiran dengan menjadi tour guide, atau bahkan menyewakan ruang kamar dan menyiapkan makanan. Yaaa minimal sama dengan kita makan di warteg kan? Atau ya seperti nginep di hotel, hehehhhee…
Nah kalo mau datang ke desa yang masih alami, dan pengen serba gratis, coba temukan desa yang belum diketahui masyarakat 🙂
iya put, kalau dikelola dengan benar kan bisa jadi sumber pemasukan buat desanya. pengunjung pun dapat pengetahuan, dan nggak semata mampir saja. kalau mau serba gratis bisa koq, berkomunikasi, ngobrol sampai diajak masuk. emang butuh waktu lebih lama, tapi begitulah..
Semuanya berawal dari ” pembayaran seikhlasnya” ini menjadi titik masayarakat lokal mengenal mata uang. Setiap orang pasti berbeda-beda dalam kata seikhlasnya, sehingga nantinya akan terdoktrin bahwa yang memberi lebih itu lebih bagus. Maka terjadilah harga tetap yang ditetapakan masyarakat adat. Disinilah harusnya lebih diatur agar pembayarannya tidak memberatkan para pejalan dan mereka tidak menjadi matre.
Intinya Iuran masuk untuk desa adat ini sebenarnya hal yang wajar dan memang harus kita berikan sebagai imbalan dengan apa yang kita dapatkan baik itu dari jasa guide bahkan jika kita bisa menginap di rumahnya.
tanggapan yang bagus. memang sebagai uang jasa ada yang diganti sebagai uang lelah dan untuk sumbangan desanya. untuk besaran angka yang disepakati memang hak si empunya desa untuk menentukan, karena tidak terlalu berat atau cukup itu juga seringkali relatif kan, ya? 😃
kadang yg mahal bayar guidenya …
iya juga ya, kak.
mungkn mestinya ada lembar informasi standar yang bisa kita tahu bahan2 atau poin2 apa saja yang mestinya disampaikan oleh guide? jadi kalau kurang bisa minta diperjelas oleh guide.
Dan abis baca ini aku jadi inget skripsiku mbak 😂😂
Waktu sidang, salah satu dosen nanya
“Lantas bagaimana pendapatmu, dan bagaimana kamu menyikapi perubahan budaya dalam sebuah masyarakat adat”
Aku jawabnya lempeng aja
“Biasa aja kok” 😂
Namanya perubahan cepat atau lambat pasti akan terjadi, permasalahannya adalah agar perubahan itu tak dibentuk dari luar, melainkan dari masyarakat sendiri
Rumah boleh berubah, asalkan pola pikir mereka terhadap alam tak berubah sama sekali
aku inget kamu pas nulis ini, karena kamu yang nulis ini dengan dasar ilmiah, kan? gempuran sosial dari luar memang cepat banget, apalagi soal uang seperti ini. dilematis juga, antara mengajarkan menjaga alam dengan imbalan, atau menjaga alam dengan kesadaran..
Nah, permasalahan pariwisata di Indonesia, kadang kita terlalu menggembor2kan suatu tempat wisata tanpa melihat masyarakatnya siap atau enggak, jika masyarakatnya ga siap maka akulturasi budaya yang terjadi bakal gak sehat saat tiba2 banyak orang asing yg datang kesana
Sebelum membuka suatu desa adat (kalimat desa adat sebenernya gak tepat sih, buat memudahkan aja) sebaiknya masyarakat diberikan edukasi terlebih dahulu. Pemahaman budaya mereka dikuatkan dahulu.
Soalnya 7 unsur kebudayaan yg dibilang Koentjaraningrat (gak cuma ekonomi aja) langsung-tidak langsung pasti akan terpengaruhi dengan adanya kegiatan wisata
karena desa adat lebih dari sekadar tempat wisata biasa, maka mestinya memang ada edukasi yang lebih untuk warganya untuk mempertahankan nilai-nilai lokalnya di sini. memang sulit juga karena ada beda pola pikir tentang maju atau tidak, apakah perlu merelakan lokalitasnya jadi bahan ‘tontonan’ edukatif.
desa adat (begitu pun arsitektur) adalah penanda waktu suatu masa pernah ada. beberapa orang memang memilih untuk berubah dan meninggalkan ‘masa’nya, tapi beberapa memilih tetap mengikuti apa yang sudah diikuti ratusan, ribuan tahun, karena begitulah alam berbicara, berkesinambungan..
Nice info mb.
Temen pernah nanya ada uang sukarela ga ketika ke tempat ini, Terkadang suka kepikir “kok mahal sih ini itu bla bla”
Tapi sebagai tamu harus menghormati keputusan yg sudah mereka buat
mungkin di pusat informasi perlu dijelaskan dananya untuk apa-apa gitu ya, jadi nggak spekulasi..
bisa juga sih mb. Biar tamu tahu juga. Ya meskipun sebenarnya udah tau kalo dana itu akan digunakan untuk perkembangan di desa tsb
kak.. kok kamu punya foto Baduy Dalam…?
Itu pas di perbatasan sebelum masuk baduy dalam.
Kalo aku si yes kak. Membayar bukan berarti untuk kepentingan pribadi melainkan untuk membantu mereka yang sudah memberikan informasi penting. Apalah artinya selembar kertas untuk sebuah pengetahuan
Membantu mereka untuk keberlangsungan mereka selanjutnya sih, bukan sekadar memberi uang..
Yups satuju 😉