“Adieu to disappointment and spleen. What are men to rocks and mountains?”
― Jane Austen, Pride and Prejudice
cerita sebelumnya : rendang minang #6: rumah gadang di tepi jalan
Salah satu tempat akhir yang aku dan Felicia datangi di Sumatera Barat adalah Lembah Harau. Jujur saja, sebelumnya tak ada ekspektasi apa-apa dengan tempat ini. Ketika dicari di google, tidak terlalu banyak terekam dalam jejak blog. Ada juga yang mengatakan bahwa Lembah Harau ini seperti tebing-tebing Yosemite di Amerika. Dengan pemikiran bahwa Lembah Harau ini agak-agak mirip dengan Ngarai Sianok, kami menuju ke sana.
Kami memasuki Kota Harau yang terletak di sebelah timur Payakumbuh, di jalan utama yang menuju Pekanbaru, Riau. Supir mobil kami agak-agak lupa lokasi lembah Harau, tapi tak berapa lama kami menemukan gapura menuju lokasi tersebut. Setelah membayar tiket masuk sebesar Rp.20.000,- untuk tiga orang dan mobil, kami melalui jalan selebar 6 meter di tengah dua persawahan. Udaranya cukup panas terik. Wajar sih, karena waktu juga menunjukkan sudah hampir tengah hari kami tiba di sana.
Dari kejauhan sudah tampak bukit batu, yang lama kelamaan dilihat dari dekat besaaaarrr sekali. Tebing-tebing batu ini membentang ratusan meter dengan kemiringan hampir 90 derajat. Lamat-lamat dari jauh kami melihat air terjun yang jatuh di antara tebing-tebing itu. Tidak cuma satu, hingga kami menyisip dengan mobil di jalan di antara tebing-tebing batu itu, kami sudah melihat tiga air terjun yang berjatuhan. Aku berpikir, seandainya Parang Jati, tokoh sacred climbing di novel Bilangan Fu-nya Ayu Utami ke Lembah Harau, pasti ia sudah jatuh cinta pada bentangan batu ini.

Tinggi tebing kira-kira 300-400 m itu melingkupi satu kawasan ini. Untungnya dengan bentangan yang luas ini bisa dilalui dengan mobil dengan kondisi jalan aspal yang cukup baik. Di jalur itu kami berbelok ke kiri dan menyusur tepian tebing sejauh kira-kira satu kilometer. Ada satu tebing di kanan kami yang dekat sekali dengan jalan, dan tebing di kiri kami yang terpisahkan oleh hutan. Aku dan Felicia cuma bisa melongo saja melihat batu yang sedemikian besar terdampar di dataran ini. Aku yang memang menggemari bukit batu sejak di Tebing Parang Jatiluhur, Citatah, sampai Sesar Lembang dan kemarinnya di Sianok, tak lepas terkagum melihat pemandangan alam yang luar biasa ini.


Di antara tebing-tebing itu, lagi-lagi kami melihat air yang meluncur jatuh memecah batu dengan jarak dekat. Ada berapa banyak air terjun di sini, ya, pikirku. Rasanya melihat begitu besar batu dan begitu banyak air terjun di satu tempat membuat perasaanku senang bukan kepalang. Begitulah, bahwa hampir setiap perjalananku aku menemukan air terjun yang bagiku bermakna jatuhan pecahan yang menyimpan energi begitu besar, namun akhirnya tenang di kubangan.

Kami sempat bertemu beberapa rombongan anak pramuka yang pulang dari Persami. Mereka berjalan beriring-iringan di hari yang panas ini. Lucunya, mereka juga tidak menolak ketika Felicia minta berfoto bareng. Para pandu muda ini terlihat agak lelah, namun tertawa ceria dalam perjalanannya pulang kemping ini. Dari arah anak-anak pramuka ini tiba pun ada lagi air terjunnya. Sepertinya, ini lembah batu dan air terjun menyatu.

Di pertengahan, kami menemukan echo point. Apabila kita berteriak di titik ini, maka akan terdengar gema yang dipantulkan oleh tebing-tebing batu tersebut. Aku dan Felicia mencoba bergantian berteriak. Aku berpikir, adakah tebing-tebing ini dicobai oleh kelompok-kelompok pencinta rock climbing? Melihat tekstur batu yang hampir tak memberikan celah, sayang juga jika untuk pemanjatan di sini harus menggunakan bor.

Kami masih menyisiri sisi tebing sampai menemukan satu dataran luas yang berdiri rumah adat Minangkabau di atasnya. Agaknya akan dibuat sebuah resort atau tempat peristirahatan di sini, dengan rumah adat dan pemandangan menghadap bukit-bukit batu raksasa itu di kejauhan. Setelah sempat berfoto-foto di sini, kami terus ke ujung jalur jalan, ada satu air terjun yang cukup ramai pengunjung. Di sekitarnya pun banyak warung-warung yang berjualan makanan dan cinderamata dilengkapi dengan parkir mobil. Sejenak kami mampir untuk ke kamar kecil, namun akhirnya kami beranjak karena hari sudah semakin siang. Lembah Harau dan bongkahan batu raksasanya memberi kesan keras dan panas hari itu, sebagai penyeimbang sejuk dan lembutnya pagi tadi.



white vaio. 13 agustus 2013.
perjalanan 31 maret 2013
cerita selanjutnya : rendang minang #8: bukan menjadi raja sehari di pagaruyung
[…] rendang minang #7: cadas batu lembah harau […]
kemarin ke sini pas kemarau… jadi air terjunnya ga cantik
yah, memang kalau melihat alam harus menyesuaikan dengan kondisi alam.. 🙂
[…] rendang minang #7: cadas batu lembah harau […]
aaaaaaaaaaaahhhhh….. iriiiiiii
aku pengen kesini.. 🙂
coba ke sini pagi-pagi joo.. mana tahu tambah kabut-kabut cantik..
siyap! lirik list destinasi dulu yes..
listnya pasti panjaaangg…. :p
Kalau gak salah di lembah itu ada penginapan yang berbentuk resort, dan bangunannya cantik kalau dijadiin obyek foto.
aah, keren bangeet >.< *mimisan
makasih yaa sudah mampir. batu memang kereenn.. 😀
Artikel yang menarik !
terima kasih sudah membaca 😉