Udaipur 17 jam

Make your heart like a lake like a calm, still surface and great and great depth of kindness

– Lao Tzu

Udara masih dingin sejuk ketika kereta memasuki Stasiun Udaipur. Ah, ini bahkan belum jam enam pagi sambil mengangkat ransel dan mencari tuktuk yang akan membawa kami ke hostel. Rupanya kota ini pun cukup santai, tidak ramai deru kendaraan atau apalah yang menandakan aktivitas pagi. Hostel yang kami inapi yang berada di tepi danau Pichola Udaipur, sengaja dipilih untuk melewati leyeh-leyeh senja dan melihat aktivitas air di seberang.

Bahkan pemilik Bunkyard Backpacker hostel pun baru terbangun ketika kami tiba, dan mengabarkan bahwa kamar kami belum available. Itu berarti, kami belum bisa membaringkan badan setelah perjalanan dengan kereta tadi malam. Tapi sungguh baik, ternyata ada teras yang menghadap danau dengan karpet gulung terlipat di situ. Tanpa banyak berpikir aku meletakkan ransel di situ dan selonjoran di situ sambil menunggu hang-overnya hilang. Tidur dulu saja, lah!

Kenapa ya, aku malah memilih Udaipur, bukannya Jaisalmer untuk rute trip kali ini? Sepertinya karena memang tertarik pada istana airnya yang khas, dan sepertinya nyaman untuk beristirahat seharian sambil leyeh-leyeh. Sesudah kepanasan di Agra dan Jaipur, selain karena kota ini juga dilewati jalur kereta, lokasinya yang berada di 423 mdpl menandakan udaranya bakal cukup sejuk karena di ketinggian.

Setelah dua jam merebahkan badan kami pun sarapan ditemani pemandangan danau yang tenang. Ha, mestinya tempat ini cocok untuk honeymoon dan leyeh-leyeh, nih. Beberapa turis bule juga sudah mulai bangun dan mengambil tempat untuk sarapan. Karena teman jalan harus bekerja dengan laptopnya, aku memutuskan untuk berjalan kaki sendiri menyusuri kota.

Lorong-lorong Udaipur sangat menarik dan hidup. Berbagai toko-toko yang menjual cinderamata berhias daengan berbagai ukiran yang cantik. Suasananya mengingatkanku pada lorong-lorong di Kuta, Bali, namun dalam skala yang lebih sepi. Kaca patri, balkon berpagar, ambang pintu penuh ukiran organik khas India memenuhi berbagai sudut kota. Aku pun sempat mampir ke salah satu toko buku dan menemukan satu karya Arundhati Roy di situ.

Tak jauh dari hostel, aku menemukan ghat, pelataran luas tepat di samping danau dengan banyak merpati bermain di situ. Di seberangnya terlihat seperti daratan pulau dengan bangunan yang berdasar air. Takjauh dari situ aku melihat jembatan membentang. Oh, rupanya kita bisa menyeberang nanti. Dari Gangaur ghat itu tampak Jagmandir dan Taj Lake Palace yang hanya bisa dicapai dengan kapal. Rupanya Jagmandir adalah sebuah pulau yang sengaja didirikan di tengah danau sejak tahun 1551 hingga 1652 oleh Maharana Jagat Singh I.  Tempat ini digunakan kerabat kerajaan untuk pesiar & berpesta.

Dari ghat yang berpelataran luas ini,sebagian suasana danau Pichola mudah ditemui. Bentuk khas lengkung arc yang menumpu bangunan, cupola pada kepala menara, ukiran yang kaya detail, balon berkaki gerigi, berpadu dengan lembutnya air yang melingkupi permukaan dasarnya. Seakan bangunan ini hanya melayang saja di atasnya.Seolah-olah Udaipur adalah kota air, namun sebenarnya kota berdanau. Mestinya perlu sering studi banding ke sini untuk memperlihatkan bagaimana kekayaan budaya lawas dipreservasi dengan tetap berdampingan dengan penduduk lokal, tidak hanya modern belaka.

Ketika aku kembali ke hostel untuk mencari info bus yang membawa kami ke Jodhpur, ternyata pemilik hostel memberi info bahwa besok hingga tiga hari ke depan adalah peringatan Holi, yang membuat kendaraan umum yang akan kami naiki tidak akan beroperasi. “Yeah, everybody celebrate Holi! Don’t you want to celebrate too?”

Waduh, tentu saja kami mau, tapi nggak di Udaipur yang kotanya sepi gini. Wah, mau tidak mau kami harus memajukan rencana untuk berpindah kota sore itu juga. Fixlah, jadi nggak perlu menginap di sini. Tapi karena bed sudah siap, ya sudahlah dipakai dulu berbaring-baring sejenak.  Jadilah kami makan siang dan rencana akan mengunjungi City Palace dan mengeksplor kota di siang hingga sore hari sambil mencari tiket bus.

Jam 1415  ketika kami tiba di depan City Palace, petugasnya bilang,”Already closed at 2 o’clock. The palace will be open in three days, because of Holi.” Denggg… ternyata walaupun hostel hanya lima menit dari sini, terlambat ya terlambat saja. Baiklah, memang nggak semua hal sesuai rencana, jadilah kami meneruskan plan B yaitu mencari agen bus yang bisa membawa kami ke Jodhpur. Kami menyusuri lagi lorong-lorong itu dan mendapat tiket di sleeper bus seharga INR 800 yang berangkat di jam delapan malam. Apa boleh buat, harga ini kami ambil saja dan dibayar langsung.

Karena tidak jadi ke City Palace, kami mengunjungi Museum Bagore Ki Haveli yang masih buka. Bangunan yang dibangun oleh Shri Amarchand Badwa, yang menjadi Perdana Menteri Kerajaan Mewar tahun 1751 hingga 1778. Hingga tahun 1986, bangunan ini direstorasi kembali oleh West Zone Cultural Center dan diubah menjadi museum.

Berdiri juga di tepi danau Pichola, bangunan ini menggunakan material lakhori brick dan lime mortar sebagai bahan bangunan tradisional yang digunakannya. Courtyard yang besar, balkon tinggi, dekoratif achways termasuk beberapa cupolas dan air mancur menjadi daya tarik seni yang sangat dominan. Ditambah dengan mural dan kaca patri yang memainkan cahaya dari danau, ruang-ruang dalam museum ini menjadi sangat memesona.

Menariknya, di dalam museum ini berisi ratusan boneka yang menggambarkan kerajaan dalam ukuran mini. Suasana istana, juga hewan sebagai kendaraan yang digunakannya juga tergambarkan sebagai sebuah cerita di sini. Detail karya ini begitu halus dan awet hingga bertahun-tahun. Boneka-boneka ini hanya berukuran setinggi 40-50 cm, namun sangat menggambarkan bagian istana, termasuk pakaian dan perangkat apa saja di dalamnya. Memang terasa agak ngeri berada di tengah boneka sebanyak itu, seolah roh yang menjadi sosok boneka ini masuk dan mengawasi kami yang memasuki ‘istana’nya.

Sepeninggal dari museum ini, kami menuju jembatan yang menyeberangi danau Pichola untuk melihat kota dari seberang. Kebanyakan di tengah sini digunakan sebagai restoran, namun tak sedikit yang duduk-duduk di tepiannya. Yang menyenangkan dari Udaipur adalah kota ini cukup bersih, dan tidak banyak pengemis dan peminta-minta seperti kota lainnya sehingga turis bisa menikmati lokasi-lokasi ini dengan santai dan nyaman. Kalau punya waktu lebih lama lagi, nyaman sekali menulis di sini sembari diterpa semilir angin danau.

Deretan Museum Bagore Ki Haveli, hostel tempat kami tinggal, City Palace, hingga Jagmandir bisa terlihat dengan jelas. Wajah kota ini tidak membelakangi danau, sehingga tidak membuat ruang tertutup ke arah danau, melainkan menjadi sebuah wajah kota tanpa sempadan terhadap air yang bisa dinikmati sebagai lansekap kota di atas air. Hm, apakah Venesia seperti ini?

Ketika kami kembali ke tengah kota rupanya sudah ramai warga masyarakat yang juga berjalan-jalan di antara gang-gang tersebut, juga mulai berkumpul di sekitar Kuil. Rupanya persiapan Holi yang disebut juga Festival menyambut Musim Semi yang keramaiannya sudah mulai beberapa hari sebelumnya membuat kota lebih meriah dan hidup. Puncak perayaan Holi yang disebut DhulhetiDhulandi, atau Dhulendi inilah yang membuat seluruh India meliburkan diri tiga hari. Bubuk warna menjadi perangkat khas Holi, sudah mulai dijual di mana-mana.

Di depan Kuil dipersiapkan kayu-kayu untuk api unggun yang sengaja dinyalakan pada malam sebelum Holi. Api unggun ini dinamakan Holika Dahan (kematian Holika) atau Chhoti Holi (Holi kecil) untuk mengenang peristiwa lolosnya Prahlada ketika hendak dibakar oleh Holika (saudara perempuan Hiranyakasipu). Holika terbakar dan tewas, sementara Prahlada selamat tanpa luka. Dalam mitologi Hindu, Prahlada yang pengikut Wisnu adalah anak Hiranyakasipu yang merupakan raja Asura dan bangsa Dravida yang merupakan pengikut Brahma yang mati di tangan Narasinga, awatara Wisnu.

Kami kembali ke teras hostel untuk menikmati matahari terbenam di balik danau, dan lampu-lampu yang mulai menyala. Pendarnya menjadikan permainan cahaya yang menarik di air. Senja turun perlahan dengan nuansa jingga yang melankolis. Ah, memang tidak bisa lama di sini, tapi setidaknya mesti punya kenangan visual yang indah di sini.

Sesudah menyantap makan malam, kami bergegas naik tuktuk lagi ke tempat pemberangkatan bus yang berada di sisi lain kota yang ramai seperti kota pada umumnya. Ternyata tempat kami tadi memang hanya sebagian kecil dan hanya tempat wisata saja. Rupanya cukup banyak juga yang menunggu bus di agen pemberangkatan ini. Ketika bus datang, ternyata kami mendapat tempat di lantai dua, dan bisa tidur pula! Memang kota-kota di India jaraknya lumayan jauh dan membuat transportasi umumnya harus mengakomodasi kebutuhan istirahat dalam perjalanan.

Udaipur, see you again! Holi Jodhpur, here we come!

Perjalanan Maret 2016. Ditulis di Tangerang, 15052021. Momen nggak bisa traveling.

cerita Indiasiesta yang lain :

seandainya ada om-telolet-om di India

sensasi Varanasi

menyisir jejak budaya muslim dan Buddha dari Varanasi

serba-serbi berkereta api di India dalam 2804 km

mencari cinta di taj mahal

the jewel of jaipur

udaipur 17 jam

2 thoughts on “Udaipur 17 jam

  1. Aku pun suka dengan kota yang tenang dengan elemen air yang kaya dan bentang pegunungan seperti ini, mbak. Sesuatu banget ya bisa menemukan kota di India yang bersih, aku tahunya kota-kota di bagian selatan itu.

    Ngomong-ngomong, kalau aku kayaknya akan memilih bertahan di Udaipur dan tetirah di situ sampai 3 hari ke depan 😀

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.