Aku menonton Surat dari Praha dua hari yang lalu, ketika tahu-tahu punya waktu menonton, tertarik melihat posternya, tetapi sayangnya mal di samping kantor di wilayah Bogor tak lagi memutar film itu. Segera kucari posisi bioskop di Jakarta Selatan yang tak terlalu jauh dari pintu tol. Biasalah, film Indonesia memang sering dianaktirikan sehingga waktu tayangnya tak lama. Karena tak berhasil mendapatkan teman kencan juga, aku nonton sendirian di Kalibata, yang terhitung cukup lumayan untuk pulang ke rumah malamnya.
Padahal aku tak baca resensi apa pun untuk film ini, tapi cerita eksil di negeri seberang selalu menarik perhatianku. Plot cerita yang unik dan kebetulan yang menjadi agak wajar, kemudian dibungkus dengan cerita sejarah yang selama ini disembunyikan dari orang Indonesia. Bahwa ada kerabat yang jauh di luar negeri sana yang tiba-tiba kehilangan kewarganegaraan karena iklim politik yang berubah. Dan nasib seorang sarjana nuklir yang terpuruk tak bisa mengaplikasikan ilmunya.
Semacam alasan kenapa aku benci politik. Sehebat-hebatnya seorang engineer mungkin bisa tak berkrida karena sistem politik. Dan aku memilih menonton film ini tanpa menonton trailer apa pun, dan menemukan beberapa hal yang membuat film ini menarik bagiku dan bisa kuingat lama (bahkan sampai menulis review).
1. Tio Pakusadewo
Selain posternya yang agak misterius, Om Tio Pakusadewo ini yang menarik minatku untuk menonton film Surat dari Praha. Terakhir melihatnya berakting di film Rayya, Om Tio terlihat lebih tua dan lebih kurus, namun aktingnya jempolan sebagai seseorang yang kehilangan tanah airnya, menjalani kehidupan sehari-hari di Praha dengan wajar, sambil sesekali minum, main piano atau bernyanyi. Ialah alasan kenapa Surat dari Praha ini ada.
2. Kemala Dahayu Larasati
Nama karakter yang diperankan oleh Julie Estelle. Nama yang mencuri perhatianku ketika pertama kali disebut terdengar indah mengalun, sangat khas Indonesia. Ditahbiskan pula untuk Julie yang cantik dan anggun, yang karakternya keras walau hatinya hancur.
3. Gaun polkadot hitamnya Larasati
Muncul di scene-scene akhir, bahannya tampak ringan melayang jatuh di badan Larasati yang langsing. Langkah-langkahnya menyusur jalan-jalan di Praha dipadu dengan sepatu boots dan tas cangklong. Sederhana tapi meninggalkan kesan yang unik. Dari sejak meninggalkan rumah, naik trem, hingga nongkrong di bar, gaun ini tetap manis dengan suasana santai.
4. Toko buku
Ow, toko buku adalah tempat paling bagus sebagai scene film. Apalagi di sini berupa toko buku kecil dengan rak-rak yang tingginya dari lantai hingga langit-langit, dan cafe mungil di ujungnya. Warna cokelat kayu yang mendominasi membuat suasana menjadi hangat dan intim. Tidak modern, namun terasa begitu akrab. Jika aku di sana, mungkin hampir pasti akan nongkrong di toko buku ini cukup lama.
5. Praha
Whoa, Praha atau Prague adalah bucket list sejak aku mengidolakan pesenam-pesenam zaman dulu yang banyak berasal dari ibukota Ceko (dulu ibukota Cekoslowakia). Entah tahun berapa kelak aku bisa menjejakkan kaki di sini, tapi pemandangan kota Praha yang cukup ramai dengan bangunan-bangunan batu yang kuno, membuatku penasaran. Sayang tak banyak sudut kota yang dijelajahi dalam gambar sehingga kurang banyak lansekap kota yang bisa dinikmati penonton.
Menjadi eksil di negeri orang memang menyedihkan, tapi selama didampingi oleh teman-teman selama bertahun-tahun berjuang bersama-sama, hidup yang selalu disyukuri menjadi bagian dari perjuangan, termasuk bagaimana untuk memaafkan tanah air yang dulu begitu saja membuang mereka. Mereka tumbuh menjadi manusia bersama-sama, menua bersama, tetapi tetap dengan sekeping memori tentang tanah tumpah darah.
Pink room. 05/02/2016. 23:08
semua foto dari trailer film pada youtube yang ditayangkan di bawah ini.
Membaca reviewnya sepertinya menarik film ini. Dan saya sangat suka dengan kota yg banyak bangunan kuno…masuk list tontonan nih. 🙂
bener, harus nonton aja. supaya lebih lama diputar…
Yg pasti g pengen kesono akh.
Terkenal sbg kota tercantik sedunia hehe
ahcieee, dan teromantis juga??
ya gitu dehhhhh.
Kayaknya Praha bakal jadi salah satu kota Eropa selanjutnya yang diminati traveler Indonesia, secara lebih murah dan tak kalah cantik dengan kota-kota Eropa lainnya.
aku membayangkan seperti di film Before Sunrise. dan memang cantik!
Jadi kapan mau ke Praha mbak? 😉
Kalo project aku seleseeeiiii. (bikin skedul aja 2.5 tahun lagi hahahaha)
Sepertinya film ini menarik!
Yes, poin no 4 juga menarik hati ku kak, kayanya asyik nongkrong seharian di tempat itu
moga2 masuk lombok ya.. wuiii, aku pencinta toko buku dan pengen punya sudut kayak gitu..
Tadinya mau nonton film ini di Bioskop Makassar tapi ternyata sudah tidak diputar lagi, memang benar yah film Indonesia suka dianak tirikan.
Saya tertarik nonton film ini, abis ngeliat mata najwa mengulas tentang film ini sebagai bagaikan sejarah kelam peristiwa 65.
lebih ke kelamnya Orde Baru sih, dan efeknya bagi mereka yang sudah di luar negeri ketika ‘pembersihan’ sehingga tak bisa pulang..
Pernah nonton bincang2 ttg film ini di salah satu acara di Kompas TV, terus jadi inget novel ‘Pulang’-nya Laksmi Pamuntjak, sama2 ttg orang yg kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Aku juga selalu tertarik sama cerita sejarah seperti itu. Pengin nonton Surat dari Praha euyy..
Pulang itu Leila S Chudori, kak Icha.. 😉
Ehh kok aku campur2 sama Amba hahaha.. Maaf kak. :p
wah, keren banget ceritanya… nggak sabar nunggu versi youtube nya…. hadoh. gimana coba carinya. makasih untuk ulasannya ya mbak. 🙂
mendingan nggak usah dicari, kan youtube cuma buat trailernya saja. nanti cari DVDnya aja ya..
iya ya mbak, semoga saja ntar ada kesempatan.
saya nonton film nya blm sampe abis hahaha
hayo, sampai mananya?