“Expose yourself to your deepest fear; after that, fear has no power, and the fear of freedom shrinks and vanishes. You are free.”
―
Sudah keenam kalinya aku menginjakkan kaki di bumi Mandalika ini, yang hampir semuanya dalam rangka jalan-jalan dengan gembira. Namun baru kali ini aku datang dengan getir, karena sekarang di sepanjang perjalanan tampak sepi. Jalanan pantai Senggigi yang biasanya ramai terlihat lengang, dan sesekali terlihat tenda terpal muncul di antara hamparan padang-padang. Terus menuju utara, reruntuhan pun menjadi pemandangan yang jamak di kiri dan kanan jalan.
Senggigi tetap menyajikan pesona senja yang luar biasa di bulan September dengan pemandangan Gunung Agung di seberang lautan yang bisa dinikmati dengan mata telanjang, berpadu dengan jingga dari bola matahari yang perlahan-lahan menghilang ditelan petang. Disambung dengan lembayung yang memenuhi udara menemani perjalanan terus ke Lombok Utara, memberi pesan bahwa waktu matahari tadi, masih menjadi pesona Lombok yang akan mengembalikannya sebagai pariwisata unggulan.
Lebih dari satu bulan sejak gempa menghantam pulau ini dan menghancurkan ruang bertinggal manusia di dalamnya. Tidak hanya kehilangan tempat berteduh, orang-orang pun kehilangan rasa percaya pada tinggal di dalam bangunan, karena tidak lagi memberikan rasa aman. Puluhan tenda darurat menjadi ruang hidup komunal sementara, juga ruang yang lebih kecil bertiang bambu dan berdinding terpal menggantikan tempat tinggal yang sudah berubah menjadi puing. Hidup yang mendadak berubah karena guncangan alam.
Aku melaju terus menuju timur, ke tempat teman-teman ILUNI UI yang sudah lebih dahulu di lokasi dan membuka posko di sana. Desa Sembalunbumbung pernah dua kali aku kunjungi di tahun 2014 sebelum mendaki Rinjani dan tahun 2015 bersama teman-teman Travel Writer Gathering. Menurut informasi, kondisi desa ini termasuk parah terdampak gempa sehingga diputuskan untuk melakukan aksi pemulihan di sini. Karena sudah gelap, pemandangan indah yang pernah aku lalui tidak terlihat lagi, apalagi penerangan buatan juga masih minim. Sesudah melewati jalan berkelok berkali-kali, ternyata ban mobil pecah karena terantuk batu. Sementara ban cadangan sudah terpakai oleh tim dalam perjalanan berangkat, jadi harus pasrah melaju pelan-pelan dengan satu ban pecah hingga mencapai Basecamp di Lapangan desa Laukrurung Barat.
Angin kencang menyambut kedatanganku di basecamp yang sudah dilengkapi dengan dua tenda besar untuk tempat tinggal tim dan untuk kegiatan, juga dilengkapi dengan satu tenda logistik yang berukuran lebih kecil. Badanku menggigil, terkejut dengan perubahan cuaca ini. Kulihat temperatur menunjukkan suhu 16 derajat Celcius. Pantas saja, pikirku sambil merapatkan sweater. Di dalam salah satu tenda, teman-teman sedang asyik bercengkrama dengan pemuda-pemuda lokal sambil minum kopi.
Berkontribusi dengan keilmuannya, ILUNI Arsitektur UI tergerak untuk membangun shelter atau hunian sementara bagi penduduk desa yang kehilangan ruang tinggalnya, namun bisa mengatasi ketakutan untuk tinggal di dalam bangunan. Karena itu didesain bangunan ringan namun kuat yang bisa berdiri dengan cepat untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, dan memiliki akses keamanan yang baik.
Aku mendapat kabar bahwa tim advance sedang melakukan pertemuan dengan RT setempat untuk menentukan siapa saja penduduk yang akan menerima bantuan ANTARA hunian sementara dari ILUNI UI. Keputusan ini berdasarkan matriks kebutuhan prioritas yang disusun bersama, sehingga akhirnya ada nama-nama usulan yang di lokasi tempat tinggalnya cocok untuk didirikan ANTARA. Setelah kira-kira satu jam aku di berada di basecamp, mereka baru datang dan bergabung bersama untuk membicarakan hasilnya.
Karena tubuhku belum beradaptasi dengan kondisi sekitar, maka aku memutuskan untuk tidur di mushola di kawasan tempat tinggal penduduk yang kebetulan kerusakannya minimal, tidak di basecamp di lapangan yang anginnya besar. Sebenarnya masih agak gamang berada di dalam bangunan, tapi sesudah diskusi tengah malam tentang perakitan shelter, aku tertidur juga di balik selimut.
Keesokan harinya, usai berkeliling melihat kondisi umum desa Sembalunbumbung, ditemani Pak RT, aku mengunjungi satu per satu titik-titik yang diusulkan, untuk melihat kerataan tanah, ruang terbuka yang dimiliki di tiap lahan sebagai tempat didirikannya ANTARA. Selama itu juga aku berdiskusi dengan warga mengenai hunian sementara yang akan dibangun ini yang rata-rata mereka sekarang hanya tinggal di tenda terpal berdesakan. Mereka berharap hunian sementara bisa jadi sebelum musim penghujan datang.
Sore harinya, aku berjalan kaki untuk melihat sumber air yang berada di Bukit Nanggi yang melalui hutan-hutan bambu yang cantik, yang suaranya gemerisik ditiup angin ketika melewati lorong-lorongnya. Di atas terdapat kolam air yang cukup besar sebagai tampungan dari mata air yang ada di atasnya, yang dialirkan lewat jaringan pipa PVC. Terdapat jalur sungai kecil berbatu yang kering di musim kemarau, yang kemungkinan terisi air di musim hujan.
Desain ANTARA sudah mulai dikerjakan sejak bebarapa minggu sebelumnya, dimulai dari survei lapangan ke Lombok, diskusi dalam tim hingga memutuskan untuk menggunakan material besi hollow 1.8 mm yang kuat terhadap gempa dan awet hingga bertahun-tahun. Fasade multipleks sebagai alternatif penutup relatif mudah didapat di daerah, walaupun bisa diganti juga dengan material-lain di kemudian hari. Sistem pengerjaannya yang knock down terbilang cepat dan mudah, sehingga material ini bisa dipergunakan lagi secara komunal untuk membuat ruang kegiatan bersama di kemudian hari kelak. Modul yang digunakan adalah kelipatan 2,4 x 4,8 m, sehingga tidak banyak bahan tersisa dari multipleks yang digunakan.
ANTARA dipresentasikan pada beberapa rapat bersama ILUNI UI, dan dikembangkan lagi menjadi bentuk ke depannya, juga memiliki variasi dengan modul yang sama sebagai MCK. Sebelum disepakati, desain ini ditampilkan juga pada Menteri Sosial dalam Konferensi Pers Penggalangan dana untuk Lombok.
Dua minggu kemudian aku datang lagi bersama dengan tim desain dan perakitan yang berangkat dua hari terlebih dahulu (Farrizky, Nicolaus, Raudhi beserta beberapa orang workshop). Sekali lagi tim melakukan sosialisasi pada warga karena dari daftar awal berubah akibat beberapa nama sudah mendapatkan bantuan dari pihak lain. Namun berkat musyawarah di antara warga desa, akhirnya bisa diputuskan nama-nama yang berhak mendapatkan ANTARA karena kebutuhan.
Akhirnya bahan fabrikasi tiba di lokasi basecamp pada Sabtu malam (29/09). Bahan yang diangkut dengan truk tronton dari Jakarta berhasil dipindahkan ke truk kecil oleh tim ANTARA yang dibantu oleh banyak pemuda lokal yang gotong royong untuk rehabilitasi tempat tinggal di desanya ini.
Terjadi keramaian di basecamp ketika warga hadir dan sama-sama membongkar muatan dari truk kecil ini untuk dibagi-bagi penempatannya di lapangan. Multiplek ditumpuk dengan multiplek, besi ditumpuk dengan besi yang disusun berdasarkan panjangnya, juga pelat disusun dengan pelat berdasarkan bentuk dan ukurannya masing-masing.
Warga desa ikut berkerumun untuk belajar merangkai pelat dan rangka besi dengan mur baut ini sehingga menjadi satu sisi rangka bidang. Mereka terlihat serius belajar merangkai dan kemudian bersama-sama menggotong satu bidang ke rumah pertama yang akan dirakit. Sementara di lapangan warga lokal mulai paham untuk setiap pasangan-pasangan besi dan pelatnya.
Hari pertama pembangunan tim berhasil mendirikan tiga ANTARA bersama-sama dengan warga, disusul tujuh buah di hari kedua. Rencananya akan dibangun 20 unit pada tahap pertama ini selama empat hari. Kolaborasi dengan warga ini diharapkan memberikan rasa memiliki sehingga benar-benar dijaga penggunaannya supaya tidak cepat rusak. Tentunya supaya ketika mereka sudah mendapatkan rumah permanen, material ANTARA yang masih bagus ini bisa digunakan untuk membangun ruang komunal yang bisa difungsikan sebagai balai warga, perpustakaan, ruang bersosialisasi dan sebagainya.
Sembari membangun ANTARA, mudah-mudahan kekhawatiran warga Sembalun untuk tinggal di hunian akan kembali. Semoga bangunan ini bisa menjadi perlindungan bagi masyarakat di kaki gunung Rinjani ini sebelum musim penghujan nanti datang. Sudah waktunya Sembalun untuk kembali bangkit, kembali pada kehidupan agrarisnya yang menjadikan desa ini indah. Dan kami akan mampir lagi untuk menyemil strawberry-nya yang lezat.
Depok, 03.10.2018. the wind from sembalun.
ANTARA team – Lombok:
Farrizky Astrawinata – Design & Research
Ardhes Perdhana – Design & Research
Indri Juwono – Fund & Development
Abi Sutanrai – Media Relation
Nicolaus Padeng – Field Architect
M. Razaq Raudhi – Field Architect
Diyas Wulandari – Structure Engineer
Satrio Anindito – ILUNI Ars
Johan Nurbarok – ILUNI Ars
Murni Khuarizmi – ILUNI Ars
Tomy Suryatama – ILUNI UI
Kalau soal hunian masih bisa diobati, tapi ketika tinggal di hunian menjadi ketakutan dalam diri itu yang harus diobati lebih utama.
Wah aku sedikit paham itu dengan multiplek, baja ringan, kwkwkw. Kerjaanku sekarang ada urusannya sama hal hal itu haha