-
salamku matahari, wangi pohon, dedaunan, kupu-kupu menari,
embun di pucuk-pucuk rerumputan.
ikutlah bersama dan menyapa batu-batu, cukup kuatkan kakimu.
Jam ponselku menunjukkan pukul enam pagi ketika kami tiba di pelataran kompleks candi Gedong Songo. Sesudah berada dalam mobil selama hampir satu jam, angin pegunungan berhembus menggigit tulang seketika pintu terbuka. “Wah, tukang karcisnya belum buka. Sarapan dulu, yuk!” ajak Astin yang menyetir mobil sejak jam lima pagi tadi di Semarang mengeluh lapar. Beruntunglah ada satu warung yang menjual mi instan rebus yang mampu mengganjal perut sebelum mulai mendaki.
Candi Gedong Songo terletak tidak jauh dari kota Semarang. Dari Banyumanik, kawasan atas kota Semarang bisa ditempuh dalam waktu satu jam mengendarai mobil menuju arah Ambarawa, kemudian berbelok ke arah barat dan terus mendaki sampai daerah Bandungan. Daerah dataran tinggi yang sering menjadi tempat peristirahatan warga Semarang ini jalannya tidak terlalu lebar sehingga membutuhkan skill yang cukup untuk menyetir belok sambil mendaki begini. Untung Astin cukup piawai mengemudikan mobilnya sampai-sampai tidak mau kugantikan. Mungkin dia tidak percaya pada kemampuan anak kota sepertiku. Setelah beberapa kali berbelak-belok melewati villa-villa asyik dan Pasar Bandungan, kami tiba di pelataran parkir Kompleks Candi Gedong Songo. Untung tadi Astin masih ingat dengan jalannya, sehingga kami bisa sampai. Daripada mengandalkan googlemaps yang sinyalnya timbul tenggelam, lebih disarankan bertanya pada penduduk setempat apabila menemukan persimpangan meragukan.

Hingga kami selesai makan dan menuju depan pintu gerbang, petugas loket masih belum ada. Baiklah, daripada menunggu dan kesiangan, lebih baik langsung memasuki titik awal kompleks candi ini. Alasan kami datang pagi-pagi begini memang supaya ketika memulai pendakian tidak terlalu panas, dan udaranya masih segar. Ini memang bukan jalan-jalan biasa, sengaja datang ke kompleks Candi Gedong Songo ini untuk latihan fisik sebelum mendaki gunung benaran beberapa minggu kemudian. Sayangnya karena Astin mengeluh maag-nya kambuh, ia memilih tinggal di mobil dan membiarkan aku, Pra dan Jay untuk mengeksplor candi-candi bertiga saja.
“Kuda, mbak. Biar cepat sampai,” kata seseorang pengurus kuda menawarkan jasanya. Kami menolak dengan halus karena memang niat datang ke sini untuk latihan fisik jadi harus berjalan kaki sambil menggendong ransel. Tidak terlalu berat sih, dan sepertinya jalur mendakinya masih cukup bersahabat denganku. Untungnya, di kompleks candi ini jalur berjalan kaki dan jalur kuda berbeda, sehingga tidak saling mengganggu dan berpapasan di jalan. Lebih menariknya berjalan kaki ini karena sequence yang dilalui mulai candi pertama satu per satu mendaki hingga candi terakhir lebih indah. Perubahan suasana yang terjadi di jalur jalan setapak dan vista yang perlahan-lahan terbuka, apalagi ditambah dengan interpretasi masing-masing candi membuat dialog sepanjang jalan menjadi lebih hidup.
Jika dilihat dari namanya, Candi Gedong Songo berarti Candi Sembilan Bangunan. Sembari menuju titik Candi Gedong I yang tidak jauh dari taman depan, kami berandai-andai jika kompleks candi ini dulunya adalah semacam padepokan tempat berguru para ksatria. Kami mulai berkhayal bahwa Candi Gedong I ini adalah semacam area selamat datang, untuk para ksatria pemula yang baru mulai berguru.
Di Candi Gedong I yang berada di ketinggian 1.208 m terdapat satu candi dengan kondisi yang cukup baik. Candi yang mudah dilihat dari sejak masuk ini selalu menjadi persinggahan pertama dan selalu ramai. Untunglah di pagi hari ini tidak banyak orang yang berada di sini sehingga bisa mengambil gambar dengan mudah. Anatomi candi Hindu ramping yang kemungkinan dibangun pada dinasti Sanjaya kerajaan Mataram itu mengikuti kaidah kepala, badan dan kaki dengan tangga dan pelataran sebagai tumpuannya, bagian badan yang ada relung tempat menyimpan patung, dan cungkup atap sebagai naungan.


Dari area terbuka, kami berjalan melewati warung makan yang belum buka, yang berada di antara hutan pinus. Di kanan berjejer beberapa pondok yang masih tertutup pintu dan jendelanya, sementara di sebelah kiri, wow! Apa yang tersembunyi di balik pagar? Ternyata ada pelataran besar beserta beberapa villa-villa kayu di dalamnya juga terlihat tenda-tenda di situ. Rupanya pelataran itu adalah tempat pertemuan yang bisa disewa apabila ada event yang diselenggarakan di situ. Ada sedikit kesibukan pagi itu, mungkin ada satu perusahaan yang mengadakan family gathering.
Kami agak terengah-engah karena jalanan menanjak tipis namun cukup panjang. “Huih, nanti kalau naik gunung, pasti dengan beban lebih berat, dan waktu lebih lama. Menanjaknya, sama!” tukasku sambil mengatur napas. Aku melangkah satu demi satu hingga melewati villa-villa itu sampai menemukan track menurun. Dan masih di bawah naungan pinus pula!


Tapi jalan menurun tak bertahan lama, setelah sepuluh menit berjalan, kembali area terbuka berada dalam pandangan kami, beserta candi kedua berada di atas sana. Untung napas sudah mulai teratur sehingga saat menanjak lagi di perkerasan bebatuan itu mulai terasa lebih mudah dilakukan. Sesampai di candi kedua dan memandang ke bawah, pemandangan indah perbukitan dan danau Rawapening membentang biru di kejauhan. Udara bertiup semilir mencubit kulit yang sedikit keringatan.
Candi Gedong II ini berdiri sendirian, walaupun di depannya terdapat hamparan batu-batu yang nampak seperti umpag dari sebuah bangunan. “Mungkin di masa lalu ada pondok kayu yang berdiri di atas alas bebatuan ini namun sudah musnah termakan cuaca,” kataku. Posisinya yang tepat di depan candi membuatku berpikir demikian. Atau bisa juga susunan itu tempat meletakkan sesajian makanan?


Untunglah jarak Candi Gedong II ke Candi Gedong III tidak terlalu jauh tapi masih lumayan menanjak, sehingga tidak terlalu memakan nafas dan tenaga. Lagi pula sudah mulai mendapat ritme yang nyaman untuk perjalanan ini. Baru satu jam kami berjalan, dan udara masih segar tidak terlalu terik. Dalam bayangan kami, jika dulu kompleks Candi Gedong Songo ini memiliki tingkatan-tingkatan kelas untuk ksatrianya, berarti kami sudah menjejak tahapan ketiga.
Pemandangan dari menuju Candi Gedong III ini membuat dada berdegup, karena gunung-gunung yang melatari candi ini seolah menyatu dalam harmoni susunan candi. Kepala candi yang selaras dengan lansekap alami yang mengitari memberikan rasa merunduk takzim pada pencipta semesta. Bukit tempat candi-candi ini berada, dilingkupi oleh gunung-gunung besar di sekelilingnya.

“Eh, tapi di masa lalu kan candi dibuat sebagai tempat ibadah. Mereka memuja dewa-dewa dan membuat patungnya di dalam candi untuk dipanjatkan do’a,” pikirku. Berarti bisa juga jejak candi ketiga ini adalah tempat ksatria yang ilmunya sudah lebih tinggi daripada di candi I dan II tadi, atau bisa juga salah satu tahapan berdoa sesudah meditasi di candi yang ditemui sebelumnya. Sepertinya kami terlalu banyak berandai-andai. Tapi, bukannya interpretasi atas suatu lokasi itu juga penting untuk menghidupkan cerita?
Candi Gedong III yang berada di ketinggian 1.297 m ini tidak terlalu besar.Terdapat dua candi berukuran sedang, tak terlalu beda jauh dengan candi pertama, beserta dua candi perwaranya yang tidak terlalu lengkap. Sepertinya kedua candi ini berpasangan seolah lelaki pada candi yang lebih tinggi dan candi kedua terlihat lebih merunduk, seolah perlambang perempuan. Padahal, candi yang lebih tinggi dan menghadap barat adalah candi utamanya, dan candi di sampingnya disebut candi apit yang menghadap utara.
Di samping Candi Gedong III juga terdapat dua hamparan batu, yang lagi-lagi membuat aku berkhayal, apa yang dilakukan di masa lalu? Karena hamparan batu ini cukup lebar dan berada di elevasi yang lebih rendah daripada ketiga candi tadi, apakah ini dulu juga merupakan pelataran umpag batu dengan bangunan kayu di atasnya? Jika dahulunya adalah bangunan batu, bencana apakah yang membuatnya tersebar menjadi reruntuhan seperti ini? Karena konstruksi batu tidak pernah menggunakan perekat, hanya cara penyusunan dan batu kunci yang dipasang sedemikian rupa sehingga berdiri tegak.



Kami mengikuti terus jalur jalan yang diperkeras dengan susunan batu andesit segiempat. Di kanan tebing batu dan lembah di kiri, ditemani desau angin dan cericit burung-burung hutan. Ah, pagi hari memang saat yang tepat untuk memulai perjalanan. Jalanan terus menurun hingga bertemu dengan sumber air panas yang mengepul-ngepul. Air mengalir dialirkan di kolam rendam, namun beberapa sumber panas bumi keluar dari bebatuan kuning yang mengandung sulfur. Sebenarnya pemandian ini cukup mengundang untuk dihampiri dan melemaskan otot, tapi kami memilih lain kali.


Setelah melalui jalan menurun dan menanjak lagi, kami tiba di Candi Gedong IV kami menemukan dua buah candi kecil, yang satu masih terlihat utuh, sementara yang lainnya tinggal reruntuhan saja. Mungkin di zaman dahulu kedua candi ini kembar, seperti Nakula Sadewa yang selalu berdampingan. Area candi IV di ketinggian 1.295 m ini cukup besar, selain 2 candi kecil tadi juga terlihat satu bangunan dengan tapak yang cukup lebar, tersisa bagian kaki candi yang sudah runtuh dan tumpukan batu-batu di sampingnya, kemungkinan adalah penyusun keutuhannya.
Satu candi yang masih utuh juga di sini terlihat cantik dengan meru-meru kecil yang tersusun rapi di sekeliling kepala hingga empat lapisan. Dikitari oleh tumpukan rendah batu-batu seolah rela runtuh demi menjaga berdirinya candi yang masih anggun itu. Apa yang terjadi di masa lalu? Apakah ada pertempuran besar dengan alam di sini?




Di antara Candi Gedong IV dan Candi Gedong V terdapat tanah dan pondok-pondok yang dibangun oleh pengelola untuk beristirahat. Masih sangat sepi di situ, mungkin karena memang kami bertiga pengunjung paling pagi yang naik hari itu. Tanpa membuang-buang waktu kami mendaki tangga menuju Candi Gedong V yang berada di posisi paling tinggi pada 1.308 m. Sejak berjalan dari Candi Gedong III pun sebenarnya puncak Candi Gedong V ini sudah terlihat jelas, karena posisinya yang jauh lebih tinggi dari candi sebelumnya,
Dua buah candi berdampingan, satu yang utama dan masih utuh, dan candi apit di sampingnya hanya ada reruntuhan, bahkan disangga untuk menjaganya tetap berdiri. Juga ditemukan tiga onggokan sisa candi perwara di sampingnya, beserta hamparan baru menerus. Pada sisi candi utama ini terdapat ukiran Ganesya, dewa ilmu pengetahuan yang masih utuh.
Lokasi Candi Gedong V ini yang paling tinggi, dan di sekitarnya pun terlihat agak gersang kurang ada pepohonan. Areanya paling besar dibandingkan yang sebelum-sebelumnya dan posisi candi-candi yang runtuh tersebar di mana-mana. Mungkin juga semakin tinggi hirarki kompleks candi, semakin banyak candi yang dibangun dalam satu areanya untuk acara-acara yang lebih besar.



Entah karena faktor alam atau kejadian di masa lalu, Candi Gedong VI, VII, hanya tinggal reruntuhannya, sementara Candi Gedong VIII dan XI dikabarkan hilang. Jika dilihat dari beberapa reruntuhan baru di candi-candi sebelumnya, bisa jadi ada satu hal besar yang membuat sebagian wilayah kompleks ini hanya tinggal sejarah saja.
Aku jatuh cinta pada kompleks Candi Gedong Songo ini ketika melihatnya dalam beberapa scene film Rayya, cahaya di atas cahaya, yang dibintangi oleh Titi Rajo Bintang dan Tio Pakusadewo di tahun 2012. Film ini kemudian menjadi film perjalanan favoritku, dan ingin mendatangi tempat-tempat yang ada di situ. Melintasi langkah demi langkah di jalan setapak, berbicara dengan batu, melemparkan ingatan pada masa lampau, tentang tahapan yang harus dilalui satu demi satu. Bertanya-tanya tentang episode kehidupan yang dilalui.
Dari area Candi Gedong V kami bisa melihat pemandangan di bawah, jalur-jalur panjang yang dilalui tadi. Posisi area candi yang terus menaik seperti sebuah hirarki untuk melakukan satu tapa ritual kepercayaan. Pengalaman perjalanan dari satu candi ke candi lain, meniti jalan yang semakin berat, jalur naik dan turun. Berlatih menghadapi tantangan terus menerus membuat semakin kuat. Dan memohon keselarasan dari semesta, dalam gunung-gunung yang dipeluk awan dan langit biru.
Hormati lawanmu, jika kau tak ingin membuang karunia kehormatan yang disematkan kepadamu.
– Rayya
perjalanan oktober 2013 | goodreads indonesia semarang | ditulis di reading room, april 2015
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog “Blog Competition #TravelNBlog 3“ yang diselenggarakan oleh @TravelNBlogID.
Wahh sampai di atas ya menjelajahnya, aku hanya sampai candi pertama hihihi
hya.. candi pertama mah cuma selemparan batu ateuhh…
penjelasannya lengkaap… dan pemandanganya indah…. Kayanya enak berendam di air panas yaa…
yak, indaahhh…
abis beberapa candi, berendam air panas kayaknya asyik. mesti direncanakan, waktu itu gak bawa baju ganti sih. 😝
bawa dress2 cantik juga buat foto2 di sini..
hahaha… buat sesi potopiti ngga lupa yaaa… 🙂
aku sempat niat bawa gaun/rok buat poto2 di situ, niat mirip gayanya Titi rajo bintang itu.. :))
hahaha… iya… aku liat treiler nya… niat banget yaaa…xixi
Gedong Songo! Ah, saya kepingin ke sana lagi Mbak :hehe. Gedong Songo itu salah satu tempat pertama yang saya dokumentasikan dalam blog ini :)).
Candi pemujaan sih ya, kalau menurut saya. Di dalam candi ada yoni dan mungkin lingga namun sudah musnah. Di Candi Gedong III ada arca Nandi yang mungkin dulu ditempatkan di candi kecil di hadapan candi induk. Relung-relung di dalam candi kini juga kosong, entah arcanya di mana. Candi Siwaistis, dengan relief Ganesha, Durga Mahisasuramardini dan Siwa Agastya. Sampai sekarang masih dipakai sebagai tempat pemujaan, sih :hehe.
Saya ke sana medio 2014 kemarin dan reruntuhan yang ditata di depan Gedong II itu masih ada. Belum direstorasi, ya… :huhu.
dan Ganesya ada di candi yang paling atas (entah benar paling atas atau masih ada yang lebih tinggi sebenarnya), sebagai lambang ilmu pengetahuan berarti ditempatkan teratas, bisa jadi sebagai perlambang dengan ilmu, manusia bisa menguasai dunia…
Interpretasi yang sangat menarik, Mbak :)).
Untuk merestorasi butuh konstruksi aslinya kan. Mungkin data itu yang belum ada…
Ya, mungkin demikian Mbak :)).
Candinya dobel eksotis ya Mbak, selain menyimpan misteri dari masa lampau (terlihat dari banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab), juga latar belakang gunung itu loh yang candi gedong 2. SUbhanallah :’}
Latar gunung memang eksotis banget, seperti tunduk terhadap semesta… Sudah nguplek2 google, isi artikelnya itu2 aja. Jadi pengen hunting skripsi orang karena penasaran.. 😌
Gunung Padang pun juga misterius kan ya seperti apa rupa dan peurntukannya pada masa lampau… Candi Arjuna di Dieng juga masih misterius..
Gunung Padang sepertinya tempat tetirah religi di masa lalu, masa Pajajaran sepertinya. Pola-pola ruang, sequence-nya mulai dari area penerima sampai titik tertinggi itu terbaca dengan jelas.
Saya punya bukunya soalnya, penulisnya kan ketua tim arkeologi dari UI. Masih ngambang pada beberapa titik temuan.
Wah, nanti lihat2in yaa. Penasaran juga dengan pola ruangnya.
Emang paling bener deh kalo susur Semarang culiknya mbak Indri. Huahahhaaa
Semarang emang ngangenin!
Wah sayang ya candi ke sembilan hilang
Sepertinya terjawab oleh Mz. Arievrahman di bawah…
Setuju Semarang emang ngangenin :3
Semarang sudah seperti ‘pulang’ buatku..
Mau buat pengakuan dosa. Walaupun deket, aku belum pernah ke candi iniii *bersa gagal jadi wong Jateng* 😀
wuihh, aku pakai jurus ngegombal ngerayu pokoknya biar dianterin ke candi ini, termasuk ngikutin aku jalan kaki keliling. hihihi..
kalo gak ada yg nganter memang rada reribet, ya..
aku kalau ke sini gak bayar tiket masuk mba.
tapi lewatnya naik dari gunung ungaran, turun ke candi gedong 9 hehehe
Hah, kamu nemu candi gedong ke sembilannya? Atau candi tertinggi yang dilihat? Turun lewat jalur kuda, ya? *cerewet* ✌️
gak nemu… aku juga gak bisa ngelihat candi yang konon kasat mata.
turunnya bukan jalur kuda, tapi jalur pendaki dong.
muter dari sidomukti – puncak ungaran – gedong9
Dulu cuma muter bentar terus balik, kalau ini udah keliling beneran 😀
Nah, mumpung deket, ayo dicoba lagi. Kayaknya bisa naik sepeda, loh..
Kabarnya sih, candi-candi yang hilang itu tetap ada, cuma gak kelihatan oleh orang biasa.
Kalau begitu, benarlah bahwa aku hanya orang biasa, mz. Mungkin kalau masuk hutan di belakangnya itu nemu candinya ya? Atau ada di jalur tetirah ini?
Semarang berhati mantan sayangnya mbak Indri.. -__-
hahaha.. Harus move on..
*lah malah curhat
Mbak Indri suka berkhayal ternyata..
Candi Gedong Songo memang wajib untuk dikunjungi ya Mbak In..
Dan Jawa Tengah punya banyak banget candi..
Salam kenal mbak Indri..
Salim
Rrrrrrrr…. Iya. jatuh cinta sama kotanya aja, jangan pada sudut2 kenangan. *halaahh, malah lanjutin curcol*
Banyak kok candi2 dan peninggalan kebudayaan yang bagus di pulau Jawa, sangat #IndonesiaOnly 😊
Eerrrrrr, Indonesia banyak cecandian ya mbak 😀
itu sampaaaai atas :’ keceeee banget :3
itu yang uap panas keluar dari dalam bumi kok keceee banget :3
Banyak, Indonesia kan banyak sekali pengaruh peninggalan Hindu/Budha di masa lampau.
Pertama kali kesini kemping sama kakak kelas idola XD
(((IDOLA)))
berdua aja?? 😉
Ini ketika kita belom seakrab sekarang yoo? *halah :p
Ketika kita belum kenal dan bukuku belum terbit, lebih tepatnya :p
Dah 2 tahun lebih ga gedung songo, ternyata belum banyak perubahan berarti, btw reviewnya lengkap banget mba Indri, wawasan saya meningkat 32,7% haha 😀 #lebaymode
aah aku suka banget ke sini, bisa menikmati candi di dataran tinggi yang adem-adem.
soalnya kalau ke Prambanan gak bisa lama-lama duduk santai, terik banget.
jadi pengen balik lagi. 🙂
iyaa, ke sininya jam 6 pagi. jam 9 dah cabut lagi.. sama, aku juga males kepanasan… :))
sungguh indah pemandangannya. btw, candinya mirip candi Arjuna di Dieng mba
Iyaps! yang candi kedua mirip banget sama tata ruang Candi Arjuna di Dieng.. candi pewaranya juga.. 😉